Share

Ditipu Mentah-Mentah

“Bunda, kepalaku sakit.” Suara Melody terdengar lirih, meringis sambil memegangi kepalanya.

Aku beranjak meninggalkan sofa, memberikan air pada Melody. Semarah-marahnya aku, tidak mungkin membiarkannya sendirian dalam keadaan seperti ini.

“Pengen muntah,” rengeknya.

Kupapah dia menuju kamar mandi.

Tadi malam saja Melody dua kali muntah, sampai aku meminta pihak hotel menghubungi dokter. Terlalu banyak mengonsumsi minuman keras, penjelasan dari dokter. Melody memiliki kondisi lambung yang tidak sehat, diberikan wine tentu saja tubuhnya akan beraksi seperti ini. Aku sempat takut, berpikir jika dia hamil ternyata hanya karena efek minum wine.

“Perut aku sakit, Bun.”

“Badan aku lemas.”

“Kepala pusing.”

Berulang-ulang dia mengucapkan itu, tanpa membicarakan apa yang terjadi tadi malam aku lebih fokus merawatnya. Melody harus pulih dulu baru akan kutanya soal kebenaran hubungannya dan juga Nino.

Sepertinya dia juga tidak menyadari bagaimana bisa kembali ke kamar ini. Dalam kondisi sakit mana mungkin berpikir hal lain, anak ini begitu manja.

Liburan yang berharap bisa membuat bahagia malah berakhir petaka. Mungkin memang sudah jalannya seperti ini, menangis darah pun tidak akan bisa mengubah apapun.

Saat ini yang bisa kulakukan hanya ikhlas menerima takdir yang ada meski rasanya sakit dan berat. Aku tidak mempermasalahkan pengkhianatan Nino tapi yang menjadi masalah besar bagiku adalah hal terlarang yang sudah dilakukan Melody dan Nino berperan di dalamnya.

Setelah makan dan minum obat, Melody kembali terlelap.

Hatiku perih melihatnya seperti ini. Bukan sepenuhnya salah Melody, aku sebagai ibu juga tidak becus mendidiknya hingga dia terjerumus begitu jauh dan aku tidak menyadari.

Bel berbunyi. Aku beranjak untuk melihat karena tadi aku memesan makanan untuk Maura, dia tidak mau makan bubur instan yang kusiapkan.

“Pesanan Anda, Bu.”

Aku membuka pintu lebar-lebar agar pelayan itu masuk membawa semua makanan itu, namun netraku menangkap sosok yang duduk memeluk lutut di dekat pintu. Kuperhatikan dari dekat.

Nino. Apa yang dia lakukan? Apa semalaman dia di situ?

Ah, apa peduliku. Dia sudah menghancurkan segalanya, apapun yang akan dilakukannya tidak akan bisa mengambil hatiku.

“Mbak, tolong panggil security untuk mengusir orang ini.”

“Saat datang orang ini sudah ada di sini, Bu. Apa dia mengganggu Ibu?”

Aku mengangguk, “Tolong panggil petugas keamanan.”

Kembali kututup pintu sebelum Nino terbangun. Aku masih ingat tadi malam dia tidak berhenti mengetuk dan membunyikan bel, memanggil-manggil namaku. Entah berapa lama dia melakukan itu, aku pun tidak memperhatikan meski saat itu mataku sama sekali tidak terpejam. Dalam situasi seperti ini tidak ada keinginanku untuk tidur meski hanya untuk sekejap.

Setelah memastikan kondisi aman, Melody juga sudah lebih baik. Kuputuskan untuk pulang karena di sana tempat yang paling aman saat ini. Aku tidak ingin lagi bertemu apalagi berhubungan dengan Nino.

“Bunda, kenapa pulang?” Maura tampak tidak rela karena liburannya harus terganggu, baru saja kemarin sampai dan hari ini harus kembali lagi.

“Kakak sakit jadi harus pulang. Lain kali saja ya?”

“Bunda ....” Maura merengek.

“Adek ‘kan pintar, kasihan kakak. Tidak apa-apa ya.”

Maura mengangguk lemas, “Mata Bunda seperti mata panda.” Dia menunjuk ke arah wajahku.

Wajar saja semalaman aku menangis dan tidak bisa tidur, hasilnya seperti ini. Masa bodo dengan penampilan, itu bukan hal penting untuk saat ini.

***

Tiga hari berlalu, sudah kupastikan Melody benar-benar pulih. Karena kondisi lambungnya yang buruk, efek minum wine itu lumayan lama.

“Bunda akan menghargai kejujuran kamu.” Kutatap Melody yang kini duduk di hadapanku.

“Kejujuran apa, Bun? Memang Bunda bertanya apa?”

Aku menghela nafas panjang, mencoba mengontrol diri agar tidak emosi.

“Kamu bukan anak kecil ‘kan, kamu tahu maksud Bunda. Selama ini Bunda pura-pura tidak peduli soal celana dalam, kontrasepsi, tanda merah di lehermu dan cara berjalanmu yang tidak wajar itu. Dan terakhir ... kamu yang mendatangi seorang laki-laki di kamar hotel. Apa Bunda sebodoh itu di mata kamu sampai kamu berpikir Bunda bisa dibohongi?” Aku bicara tanpa nada tinggi namun penuh penekanan.

“Bun ... itu ....”

“Apa?” Dadaku bergemuruh saat kembali mengingat kilasan kejadian beruntun yang menghancurkan hidupku.

“Maaf ....”

Mataku memanas, satu kata itu sudah mewakili semuanya. Kugigit bibir untuk menahan isak tangis agar tidak pecah.

“Apa kamu diancam sampai berani melakukan itu?” Aku masih berpikir Melody tidak akan mungkin melakukannya dengan sukarela, bisa saja diancam seperti kasus-kasus yang marak terjadi di masyarakat.

Melody menggeleng, “Kami saling mencintai, Bun.”

Deg!

Rasanya jantung ini seperti disayat belati, perih.

“Cinta? Cinta kamu bilang?” Tawaku pecah, tawa pedih dengan air mata yang berderai, “itu namanya nafsu yang mengatasnamakan cinta. Tidak ada namanya cinta merusak, Melody. Cinta itu menjaga. Apa kamu tidak berpikir setelah melakukan hal itu dia bisa saja pergi meninggalkanmu hah?” Emosi tidak mampu kubendung, akhirnya pecah. Berteriak di depan wajahnya.

Aku bukan orang yang bisa berlama-lama menahan kemarahan seperti ini. Bukan perkara kecil yang saat ini ada di depanku.

“Dia tidak akan meninggalkanku, Bun. Dia janji akan menikahiku.”

Dengan kasar kuusap air mata yang membasahi pipi, “Apa kamu tidak pernah berpikir sebelum bertindak? Tidak hanya hidupmu yang hancur, Bunda juga hancur melihatmu seperti ini. Kamu yang Bunda jaga setulus hati malah dirusak dengan seenaknya oleh lelaki brengsek itu! Apa kamu tidak memikirkan perasaan Bunda dan ayah?”

Melody berdiri membuat kursi berdecit keras, “Untuk apa? Bunda dan Ayah juga tidak pernah memikirkan perasaanku!” teriaknya. Matanya memerah, “saat aku minta, memohon kalian untuk tidak berpisah apa kalian mendengarkanku? Memikirkan perasaanku? Tidak! Kalian egois, hanya memikirkan diri kalian sendiri tanpa peduli padaku!”

Tangisnya pecah, bisa kulihat sorot matanya yang memancarkan luka. Dia bahkan menjambak rambutnya sendiri. Aku langsung mendekat dan berhambur memeluknya.

Hatiku mencelos. Ternyata perpisahanku dan Mas Tian berdampak begitu besar pada Melody.

Sekarang semuanya sudah terjadi, penyesalanku pun tak berarti. Semuanya memang berawal dari keegoisanku dan Mas Tian sebagai orang tua. Melody tidak sepenuhnya salah, kami yang tidak becus menjadi orang tua.

“Bunda minta maaf, Bunda tidak tahu kamu begitu terpukul ka-”

Melody melepaskan diri dari pelukanku dan berdiri menjauh.

“Aku tidak mendapatkan kasih sayang dari Ayah, dan aku merasa disayangi saat bersama dia, Bun. Dia membuatku merasa nyaman, dia yang selalu ada untukku saat aku sedih. Bunda dan Ayah tidak pernah peduli, selalu sibuk dengan urusan sendiri!”

“Cukup! Tidak usah lagi kamu membahas lelaki itu, tinggalkan dia. Dia bukan lelaki baik, Melody!”

Aku tidak rela Melody mendapatkan pasangan seorang lelaki bajingan yang suka bermain wanita. Aku tidak ingin hidup Melody nantinya tersiksa.

“Tahu apa Bunda soal dia hah? Bunda saja tidak mengenalnya. Aku paling tahu dia seperti apa, dia sangat baik, dia lelaki bertanggung jawab-”

“Tidak ada lelaki bertanggung jawab yang akan merusak, Melody. Jangan pernah menyanjungnya hanya karena kamu terbuai kata-kata manis dari mulutnya yang berbisa itu! Jangan menggantungkan harapan terlalu tinggi, kamu akan sakit sendiri nantinya saat dia meninggalkanmu!”

Melody tertawa hambar, “Bunda memang tidak pernah mau melihatku bahagia, aku ingin bersama lelaki yang aku cintai saja Bunda halangi.”

“Kamu harus tahu kalau lelaki itu-”

“Lelaki itu kenapa?”

Sontak aku menoleh ke sumber suara, mataku terbelalak, “I-ibu ....”

“Lelaki itu harus tanggung jawab karena sudah menghamili Melody!”

Bersambung ....

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Atie
menarik ceritanya
goodnovel comment avatar
Umi Haykal
bagus dan menarik cerita nya bikin penasaran
goodnovel comment avatar
Aniza
bagus dan menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status