“Bunda, kepalaku sakit.” Suara Melody terdengar lirih, meringis sambil memegangi kepalanya.
Aku beranjak meninggalkan sofa, memberikan air pada Melody. Semarah-marahnya aku, tidak mungkin membiarkannya sendirian dalam keadaan seperti ini.“Pengen muntah,” rengeknya.Kupapah dia menuju kamar mandi.Tadi malam saja Melody dua kali muntah, sampai aku meminta pihak hotel menghubungi dokter. Terlalu banyak mengonsumsi minuman keras, penjelasan dari dokter. Melody memiliki kondisi lambung yang tidak sehat, diberikan wine tentu saja tubuhnya akan beraksi seperti ini. Aku sempat takut, berpikir jika dia hamil ternyata hanya karena efek minum wine.“Perut aku sakit, Bun.”“Badan aku lemas.”“Kepala pusing.”Berulang-ulang dia mengucapkan itu, tanpa membicarakan apa yang terjadi tadi malam aku lebih fokus merawatnya. Melody harus pulih dulu baru akan kutanya soal kebenaran hubungannya dan juga Nino.Sepertinya dia juga tidak menyadari bagaimana bisa kembali ke kamar ini. Dalam kondisi sakit mana mungkin berpikir hal lain, anak ini begitu manja.Liburan yang berharap bisa membuat bahagia malah berakhir petaka. Mungkin memang sudah jalannya seperti ini, menangis darah pun tidak akan bisa mengubah apapun.Saat ini yang bisa kulakukan hanya ikhlas menerima takdir yang ada meski rasanya sakit dan berat. Aku tidak mempermasalahkan pengkhianatan Nino tapi yang menjadi masalah besar bagiku adalah hal terlarang yang sudah dilakukan Melody dan Nino berperan di dalamnya.Setelah makan dan minum obat, Melody kembali terlelap.Hatiku perih melihatnya seperti ini. Bukan sepenuhnya salah Melody, aku sebagai ibu juga tidak becus mendidiknya hingga dia terjerumus begitu jauh dan aku tidak menyadari.Bel berbunyi. Aku beranjak untuk melihat karena tadi aku memesan makanan untuk Maura, dia tidak mau makan bubur instan yang kusiapkan.“Pesanan Anda, Bu.”Aku membuka pintu lebar-lebar agar pelayan itu masuk membawa semua makanan itu, namun netraku menangkap sosok yang duduk memeluk lutut di dekat pintu. Kuperhatikan dari dekat.Nino. Apa yang dia lakukan? Apa semalaman dia di situ?Ah, apa peduliku. Dia sudah menghancurkan segalanya, apapun yang akan dilakukannya tidak akan bisa mengambil hatiku.“Mbak, tolong panggil security untuk mengusir orang ini.”“Saat datang orang ini sudah ada di sini, Bu. Apa dia mengganggu Ibu?”Aku mengangguk, “Tolong panggil petugas keamanan.”Kembali kututup pintu sebelum Nino terbangun. Aku masih ingat tadi malam dia tidak berhenti mengetuk dan membunyikan bel, memanggil-manggil namaku. Entah berapa lama dia melakukan itu, aku pun tidak memperhatikan meski saat itu mataku sama sekali tidak terpejam. Dalam situasi seperti ini tidak ada keinginanku untuk tidur meski hanya untuk sekejap.Setelah memastikan kondisi aman, Melody juga sudah lebih baik. Kuputuskan untuk pulang karena di sana tempat yang paling aman saat ini. Aku tidak ingin lagi bertemu apalagi berhubungan dengan Nino.“Bunda, kenapa pulang?” Maura tampak tidak rela karena liburannya harus terganggu, baru saja kemarin sampai dan hari ini harus kembali lagi.“Kakak sakit jadi harus pulang. Lain kali saja ya?”“Bunda ....” Maura merengek.“Adek ‘kan pintar, kasihan kakak. Tidak apa-apa ya.”Maura mengangguk lemas, “Mata Bunda seperti mata panda.” Dia menunjuk ke arah wajahku.Wajar saja semalaman aku menangis dan tidak bisa tidur, hasilnya seperti ini. Masa bodo dengan penampilan, itu bukan hal penting untuk saat ini.***Tiga hari berlalu, sudah kupastikan Melody benar-benar pulih. Karena kondisi lambungnya yang buruk, efek minum wine itu lumayan lama.“Bunda akan menghargai kejujuran kamu.” Kutatap Melody yang kini duduk di hadapanku.“Kejujuran apa, Bun? Memang Bunda bertanya apa?”Aku menghela nafas panjang, mencoba mengontrol diri agar tidak emosi.“Kamu bukan anak kecil ‘kan, kamu tahu maksud Bunda. Selama ini Bunda pura-pura tidak peduli soal celana dalam, kontrasepsi, tanda merah di lehermu dan cara berjalanmu yang tidak wajar itu. Dan terakhir ... kamu yang mendatangi seorang laki-laki di kamar hotel. Apa Bunda sebodoh itu di mata kamu sampai kamu berpikir Bunda bisa dibohongi?” Aku bicara tanpa nada tinggi namun penuh penekanan.“Bun ... itu ....”“Apa?” Dadaku bergemuruh saat kembali mengingat kilasan kejadian beruntun yang menghancurkan hidupku.“Maaf ....”Mataku memanas, satu kata itu sudah mewakili semuanya. Kugigit bibir untuk menahan isak tangis agar tidak pecah.“Apa kamu diancam sampai berani melakukan itu?” Aku masih berpikir Melody tidak akan mungkin melakukannya dengan sukarela, bisa saja diancam seperti kasus-kasus yang marak terjadi di masyarakat.Melody menggeleng, “Kami saling mencintai, Bun.”Deg!Rasanya jantung ini seperti disayat belati, perih.“Cinta? Cinta kamu bilang?” Tawaku pecah, tawa pedih dengan air mata yang berderai, “itu namanya nafsu yang mengatasnamakan cinta. Tidak ada namanya cinta merusak, Melody. Cinta itu menjaga. Apa kamu tidak berpikir setelah melakukan hal itu dia bisa saja pergi meninggalkanmu hah?” Emosi tidak mampu kubendung, akhirnya pecah. Berteriak di depan wajahnya.Aku bukan orang yang bisa berlama-lama menahan kemarahan seperti ini. Bukan perkara kecil yang saat ini ada di depanku.“Dia tidak akan meninggalkanku, Bun. Dia janji akan menikahiku.”Dengan kasar kuusap air mata yang membasahi pipi, “Apa kamu tidak pernah berpikir sebelum bertindak? Tidak hanya hidupmu yang hancur, Bunda juga hancur melihatmu seperti ini. Kamu yang Bunda jaga setulus hati malah dirusak dengan seenaknya oleh lelaki brengsek itu! Apa kamu tidak memikirkan perasaan Bunda dan ayah?”Melody berdiri membuat kursi berdecit keras, “Untuk apa? Bunda dan Ayah juga tidak pernah memikirkan perasaanku!” teriaknya. Matanya memerah, “saat aku minta, memohon kalian untuk tidak berpisah apa kalian mendengarkanku? Memikirkan perasaanku? Tidak! Kalian egois, hanya memikirkan diri kalian sendiri tanpa peduli padaku!”Tangisnya pecah, bisa kulihat sorot matanya yang memancarkan luka. Dia bahkan menjambak rambutnya sendiri. Aku langsung mendekat dan berhambur memeluknya.Hatiku mencelos. Ternyata perpisahanku dan Mas Tian berdampak begitu besar pada Melody.Sekarang semuanya sudah terjadi, penyesalanku pun tak berarti. Semuanya memang berawal dari keegoisanku dan Mas Tian sebagai orang tua. Melody tidak sepenuhnya salah, kami yang tidak becus menjadi orang tua.“Bunda minta maaf, Bunda tidak tahu kamu begitu terpukul ka-”Melody melepaskan diri dari pelukanku dan berdiri menjauh.“Aku tidak mendapatkan kasih sayang dari Ayah, dan aku merasa disayangi saat bersama dia, Bun. Dia membuatku merasa nyaman, dia yang selalu ada untukku saat aku sedih. Bunda dan Ayah tidak pernah peduli, selalu sibuk dengan urusan sendiri!”“Cukup! Tidak usah lagi kamu membahas lelaki itu, tinggalkan dia. Dia bukan lelaki baik, Melody!”Aku tidak rela Melody mendapatkan pasangan seorang lelaki bajingan yang suka bermain wanita. Aku tidak ingin hidup Melody nantinya tersiksa.“Tahu apa Bunda soal dia hah? Bunda saja tidak mengenalnya. Aku paling tahu dia seperti apa, dia sangat baik, dia lelaki bertanggung jawab-”“Tidak ada lelaki bertanggung jawab yang akan merusak, Melody. Jangan pernah menyanjungnya hanya karena kamu terbuai kata-kata manis dari mulutnya yang berbisa itu! Jangan menggantungkan harapan terlalu tinggi, kamu akan sakit sendiri nantinya saat dia meninggalkanmu!”Melody tertawa hambar, “Bunda memang tidak pernah mau melihatku bahagia, aku ingin bersama lelaki yang aku cintai saja Bunda halangi.”“Kamu harus tahu kalau lelaki itu-”“Lelaki itu kenapa?”Sontak aku menoleh ke sumber suara, mataku terbelalak, “I-ibu ....”“Lelaki itu harus tanggung jawab karena sudah menghamili Melody!”Bersambung ....Aku menggeleng, “Melody tidak hamil, Bu. Saat dokter memeriksa saja mengatakan Melody mual dan muntah bukan karena hamil.”Ibu menghela nafas panjang, mengeluarkan testpack dengan dua garis dan juga sebuah amplop putih. Ditaruhnya kedua benda itu di meja.“Buka,” titah Ibu.Aku mendongak, “Bu-”“Buka, Serra!”Dengan tangan gemetar aku mengambil amplop itu dan membukanya. Lututku lemas, tubuh ini luruh ke lantai saat membaca hasil yang menegaskan jika memang saat ini Melody tengah berbadan dua.“Bu, ini pasti tidak benar. Melody selalu berada di rumah, dia-”“Kemarin saat kamu tidak di rumah, diam-diam dia datang menemui Ibu dan minta diantar ke rumah sakit, Ibu pikir dia sakit tapi ternyata ....” Bibir Ibu tampak bergetar dengan mata yang berkaca-kaca.Kepalaku terasa berdenyut hebat mendengar kabar yang tidak diharapkan ini.Penderitaanku masih berlanjut, kenapa ini harus terjadi? Kenapa harus ujian seperti ini yang aku hadapi?Air mata kembali mengalir dengan derasnya. Dengan sisa t
“Jangan gila kamu.” Aku menepis tangannya dengan keras hingga serpihan itu jatuh ke karpet, “untuk apa mati sedangkan dia yang menghancurkanmu bisa hidup bahagia! Jangan konyol, pakai dengan baik otak cerdasmu itu!”Tangis Melody pecah, “aku tidak mau ditinggalkan dia, Bun. Aku juga tidak mau dia dimiliki orang lain, dia hanya milikku.”Tanpa kata, aku mengambil ponsel Melody dari tangan Mas Tian. Diam-diam membuka aplikasi pesan namun tidak ada riwayat chat selain grup-grup. Apa Melody sudah menghapusnya?Menghubungi Nino dari ponselku, karena tidak bisa dengan nomor dari ponsel Melody. Terpaksa aku membuka blokiran nomor Nino. Melody saja mengatakan jika Nino yang menghamilinya bukan Edwin.Kutarik nafas dalam-dalam saat menunggu panggilan tersambung.“Sayang, akhirnya kamu menghubungiku. Aku khawatir, aku minta maaf. Aku bisa menjelaskan semuanya. Kamu salah paham.”Hatiku kembali perih padahal hanya suaranya yang kudengar. De
“Jangan pernah bicara apa pun pada Melody soal hubungan kita!” Kuhempaskan tangannya lalu menghampiri Melody yang dibawa Mas Tian ke kamar.Kalau sampai Nino tetap kuekeh, maka akan sulit. Melody tidak ingin melepaskan dan Nino tidak ingin menikahi.Tapi apa yang tadi diucapkannya memenuhi benakku. Tidak, aku tidak akan termakan omongannya. Orang yang bersalah pasti tidak akan mengakui kesalahannya, hanya orang pengecut yang melakukan hal itu.“Laki-laki itu harus menikahi Melody sekarang juga!” ujar Mas Tian lalu keluar dari kamar setelah membaringkan Melody.“Susul dia, jangan sampai mereka ribut. Biar Melody, ibu dan Asih yang urus.”“Tapi, Bu-”“Pergi, Ra. Tidak enak kalau sampai didengar tetangga, nantinya semakin banyak orang yang tahu!”Ibu benar. Dampaknya akan sangat buruk kalau sampai ada orang luar yang tahu soal masalah ini. Aku mengikuti Mas Tian keluar dari kamar.“Mas! Jangan memakai kekerasan lagi!” Aku mencegah Mas Tian yang akan menghajar Nino lagi.Meski sebenarnya
“Mas Tian.” Mataku terbelalak melihat Mas Tian berdiri di sana.Nino masih betah di posisinya seolah tidak peduli pada orang lain.“Biarkan dia tahu kalau aku ini calon suamimu, sayang,” ujar Nino dengan santainya.Tubuh Nino ditarik dari belakang.Bugh!Aku meringis melihat Mas Tian kembali melayangkan kepalan tangannya mengenai wajah Nino.“Kau ingin menikah dengan Serra tapi meniduri anaknya? Bangs*t!”Nino menyeka sudut bibirnya yang kini dua-duanya mengeluarkan darah, dia mundur beberapa langkah.Bugh!Dengan cepat tangannya melayangkan bogem mentah membuat Mas Tian terjatuh bahkan keluar darah dari hidungnya. Bisa kupastikan itu sangat keras, lebih keras daripada saat Mas Tian menghajar Nino tadi.“Cukup!” Aku menahan Nino yang menarik kerah baju Mas Tian. Melepaskan paksa tangan lelaki itu.“Dari tadi aku diam, tapi aku tidak suka seperti ini,” geram Nino.“Kau memang pantas, bahkan aku belum puas memukulimu!” teriak Mas Tian.“Hentikan! Jangan seperti anak kecil. Pertengkaran
“Kau pelakunya ‘kan?” Nino mencengkeram pundak Edwin.Edwin langsung mengangkat tangannya, “Wah, aku mana mungkin berani menyentuh Melody. Dia ‘kan cinta mati padamu, Bang. Aku tidak akan berani menyentuh milikmu.”Mataku membulat mendengar itu. Apa benar yang dikatakan Edwin kalau Melody sangat mencintai Nino?“Jangan sembarangan bicara kau itu! Apa yang kau katakan membuat semuanya semakin rumit!”“Abang tidak mau tanggung jawab?”Semua mata langsung tertuju pada sosok Melody yang berjalan mendekat dengan berderai air mata.“Untuk apa? Bukan aku yang menghamilimu.” Nino tetap teguh dengan apa yang diakuinya.Melody menggeleng, “Abang menganggap aku wanita murahan yang bisa ditinggalkan begitu saja setelah apa yang sudah kita lakukan?”“Memang apa sih yang sudah aku lakukan padamu? Bertemu saja baru dua kali tapi lagakmu seperti kita punya hubungan!”“Mel, bicara yang sebenarnya. Tidak usah takut, katakan siapa laki-laki itu?” Aku menghampiri Melody yang kini tangisnya sudah pecah.“
“Edwin kabur, Bu.”“Apa?” Ibu juga tampak kaget.“Tadi Mas Tian menelponku, dia berpikir tesnya sudah selesai.” Rasanya lemas sekali lututku.Apa yang dilakukan Edwin malah mempertegas jika dirinya memang ada hubungannya atau mungkin dia yang membuat Melody hamil makanya tidak berani untuk melakukan tes DNA.“Biarkan saja, Bun. Toh ayah bayiku itu Bang Nino bukan Edwin.”Ini yang membuat kepalaku seperti ingin pecah, Melody malah terus bicara dan mengatakan Nino pelakunya sedangkan di sini gelagat Edwin yang mencurigakan. Nino bahkan terlihat santai dan tidak merasa diintimidasi“Bunda tidak akan percaya pada siapapun, Bunda hanya akan percaya pada hasil tes yang dilakukan barusan. Kalau memang Edwin kabur berarti dia pelakunya.”“Bukan Edwin, Bun!” Melody berdecak sambil mengentakkan kakinya kesal.“Kenapa kamu malah membela Edwin? Sikapnya itu sangat mencurigakan.”“Sudah, Bun!” Nino mengelus pundakku
“Dok, apa hasil tes Edwin memang cocok?” Aku juga harus melihat hasilnya.Dokter membuka amplop yang kedua dan membacanya, seperti tadi memperlihatkan kertas itu pada kami.“Hasil tesnya cocok.”“Tidak mungkin!” Melody malah menjerit histeris, “Ed, ini tidak benar ‘kan? Kamu bilang-”“Kita bicara di rumah saja.” Aku membawa Melody keluar dari ruangan dokter.Tidak mungkin membicarakan hal pribadi di rumah sakit apalagi dengan reaksi Melody seperti ini. Ada yang masih mengganjal dalam hatiku meski tidak bisa dipungkiri kalau memang aku merasa lega karena bukan Nino yang melakukannya.Soal hubunganku dan Nino masih bisa dibicarakan di waktu yang lain karena untuk sekarang yang terpenting adalah urusan Melody selesai.Di belakang mobilku, mobil Nino mengikuti, Edwin juga di sana.“Bunda. Hasil tesnya pasti salah, mungkin keliru.”“Mel. Tolong jangan membuat Bunda semakin pusing. Apa kamu tadi tidak mendeng
Soal keyakinan memang sensitif, aku jadi serba salah di sini. Edwin harus tanggung jawab tapi di sisi lain tidak mungkin aku memaksanya untuk pindah keyakinan meski Edwin sendiri mengatakan bersedia jika memang orang tuanya mengizinkan Edwin menikah dengan MelodyAku pikir setelah tahu hasil tes DNA, semuanya akan selesai tapi malah ada masalah yang lebih besar lagi. Aku sudah membicarakan hal ini dengan Mas Hadi, dia juga kaget karena ternyata pelakunya bukan orang yang selama ini kita tuduh, memalukan memang dan kasihan Nino tapi namanya juga semua bukti terarah padanya jadi aku percaya saja.Hari ini aku akan menemui orang tua Edwin, seorang diri. Mas Tian masih sibuk dengan pekerjaannya sedangkan aku tidak ingin Nino ikut campur dalam urusan keluargaku, sudah cukup kemarin dia dituduh dan dijadikan tersangka. Aku tidak ingin menyusahkannya lagi.“Bu, Non Mel belum makan dari kemarin,” ujar Bi Asih.“Sudah biarkan saja, Bi. Nanti juga kalau lap
“Kenapa?”Aku memaksakan senyum agar papa tidak curiga.“Tidak apa-apa, Pa. Edwin bilang sebentar lagi sampai, papa pulang saja. Kasihan Bunda sendirian.”“Benar tidak apa-apa papa pulang?”“Iya, Pa. Zea juga sudah diberi obat, demamnya pasti sebentar lagi turun.”“Ya sudah. Kalau ada apa-apa langsung kabari papa ya?”“Eh, Papa pulang pakai apa?”Papa meringis, “Pinjam motornya Edwin. Besok dikembalikan.”Aku mengangguk, “Sebentar, aku ambil dulu jas hujannya.”Setelah Papa pulang pun Edwin tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya membuatku semakin gelisah.“Apa mungkin dia ….”Aku menggeleng, menepis semua pikiran buruk itu. Tidak akan mungkin Edwin melakukan itu, orang yang mengirimkan pesan pasti hanya orang iseng saja. Tapi Edwin pergi kemana sampai belum pulang, ini sudah sangat larut.Tidak ada yang bisa kutanyai teman kantornya karena memang tidak ada yang kukenal.Apa aku tanya saja pada wanita itu ya. Dia teman kerjanya Edwin. Tapi aku takut malah nanti Edwin malah dipanda
POV Melody“Kalau tidak tertukar di toko itu sendiri, berarti di kantor. Aku hanya ke dua tempat itu saja. Saat jam makan siang curi-curi waktu kesana untuk membelikan hadiah eh malah tertukar.”Edwin bicara dengan santai. Tidak terlihat mencurigakan.Aku percaya Edwin bukan lelaki seperti itu.“Sudah, tidak apa-apa. Kita lanjut makan ya, aku sudah lapar.” Senyumku masih tersungging.Tidak mau membuatnya malah tidak enak karena hadiah tertukar ini.Aku berpikir malah ada yang sengaja sudah menukarnya. Tapi tidak tahu orang itu siapa. Tidak seharusnya aku memikirkan masalah seperti ini, malah membuat pikiran buruk semakin berkembang.Selesai makan, kami kembali ke kamar. Duduk di sofa yang menghadap jendela, memandang rintik hujan yang belum ada tanda-tanda reda.Kusandarkan kepala di pundak Edwin.“Bagaimana pekerjaanmu hari ini?”“Lumayan melelahkan. Maaf ya, aku malah terlambat datang. Kamu sampai ketiduran tadi.”“Tak masalah, aku mengerti.”“Nanti tunggu libur panjang baru aku aka
“Anak-anak sudah tidur semua, Mas?”“Sudah. Sekarang giliran bundanya yang tidur.” Nino naik ke atas ranjang.Ia sudah memastikan jika anak-anaknya sudah tidur. Anak-anak memang sudah dibiasakan untuk tidur sendiri tapi tetap saja mereka memantau menggunakan monitor.Sebagai pasangan tentu mereka harus memiliki waktu berkualitas untuk berduaan, untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.“Aku masih belum ngantuk, kamu tidur saja kalau sudah mengantuk. Besok kerja ‘kan?” Serra menarik selimut dan membaringkan tubuhnya tanpa ada niat untuk tidur karena memang matanya belum merasa berat.“Aku akan menemanimu. Mana mungkin wanita secantik ini kubiarkan begadang sendirian.” Nino tersenyum lebar, ia berbaring miring menghadap sang istri.“Kapan kemampuan merayumu itu hilang?” Serra mencibir.“Saat ada di hadapan wanita lain.”Laki-laki yang orang pikir tidak akan setia malah sebaliknya. Nino memiliki segalanya, harta, popularitas dan juga tampang. Tapi dalam benaknya sama sekali tidak terpikir
Melody menghela napas panjang, melempar begitu saja ponsel ke sofa.“Siapa lagi yang menginginkan keretakan hubunganku dan Edwin?” gumamnya.Ya, ia baru saja melihat foto Edwin yang dipeluk oleh Sarah. Nomor tidak dikenal mengirimkannya pada Melody namun hal itu sama sekali tidak membuat Melody hilang akal dan melabrak ke kantor. Ini masih jam kantor dan Edwin pasti masih sibuk bekerja.Melody itu mantan orang jahat, bilang saja begitu karena dulu ia sama sekali tidak pernah peduli pada siapapun. Jadi ia tahu jelas apa yang terjadi sebenarnya adalah sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang mungkin pernah dirugikan baik oleh Melody atau pun Edwin.Ia mengira jika sudah menikah dengan Edwin maka tidak akan ada lagi masalah yang datang tapi ternyata salah. Tetap saja ada masalah yang menghadang karena sangat mustahil kehidupan berjalan tanpa sebuah masalah. Bahkan Serra dan Nino sekalipun yang hidupnya tampak sempurna pasti memiliki masalah dalam kehidupan mereka.“Me
“Kalau kau sudah tidak ada rasa, kembalikan aku dengan baik-baik pada orang tuaku.”Perkataan Melody sukses membuat Edwin terbelalak, tangan lelaki itu terangkat menyentuh kening Melody, “Tidak panas.”Melody mencebik, “Kau kira kau mengigau apa? Aku serius, Ed.”“Jangan bicara sesuatu yang mustahil begitu, Mel. Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu dalam situasi apapun, kita sudah sama-sama berjanji. Dulu kali pertama aku berjanji dan aku ingkar dan ini kali kedua aku tidak ingin mengingkari janjiku lagi.”Dulu Edwin memang berjanji untuk menjaga Melody dan juga mencintainya sepenuh hati namun karena keras hatinya wanita itu Edwin akhirnya harus mengalah dan melepaskannya meski akhirnya sekarang mereka kembali bersama.Edwin tidak sekedar berucap janji, tapi ia benar-benar akan membuktikannya. Sejauh ini Edwin memang sudah menjalankan perannya dengan baik, bukan hanya sekedar sebagai suami tapi juga ayah untuk Zea.“Isi hati orang tidak akan ada yang tahu, Ed. Aku hanya berpikir real
"Jangan, Ma. Mama di rumah, temani aku dan Zea di sini. Aku tidak akan membiarkan Mama pindah dari sini, aku tidak bisa tenang. Edwin juga pasti sama." Melody mencoba membujuk ibu mertuanya.Sebenarnya Bu Sanjaya terlanjur malu makanya ia tidak enak tinggal bersama dengan Melody dan Edwin, bukannya benci atau tidak suka. Mengingat apa yang sudah dilakukannya dulu membuat Bu Sanjaya malu setiap bertemu dengan Melody dan Edwin, dan di sini mereka bersama setiap hari.Bu Sanjaya sudah mengakui kesalahannya, ia sadar perbuatannya tidak pantas dan ingin memperbaiki semuanya. Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik. Meski mereka tinggal satu atap dengan keyakinan berbeda tapi itu sama sekali tidak merubah apapun."Mama malu" aku Bu Sanjaya.Melody mengerti apa maksud ibu mertuanya itu."Sudah ya, Ma. Jangan bahas masa lalu, aku pun malu dengan masa laluku sendiri. Sekarang kita jalani saja kehidupan sekarang. Sama-sama memperbaiki diri, kita sudah saling memaafkan bukan."
“Den Edwin, Tuan meninggal.”Hati Edwin mencelos mendengar kabar duka yang disampaikan oleh art di rumah orang tuanya. Lutut lelaki itu lemas seketika. Tanpa bisa dikomando cairan bening berjatuhan membasahi pipi. Ia manusia biasa yang bisa merasakan kesedihan apalagi ditinggal orang yang begitu disayanginya. Bukan ditinggalkan sementara tapi selamanya, mereka sudah beda alam dan tidak akan bisa bertemu lagi.Edwin dan Pak Sanjaya memang baru dekat akhir-akhir ini, saat hubungan mereka sudah membaik. Lelaki paruh baya itu malah pergi tanpa pamit dan menyisakan luka mendalam bagi mereka yang ditinggalkan.Beranjak menuju kamar untuk memanggil Melody. Ia tidak kuasa untuk mengatakan kabar duka ini. Padahal rencananya mereka akan pergi ke rumah Pak Sanjaya, namun takdir berkata lain. Sebelum mereka sampai ke sana, Pak Sanjaya pergi lebih dulu.Melody mengambil alih ponsel Edwin karena lelaki itu tidak kunjung berkata. Hanya air mata yang bicara.“Halo, Bi. Ada apa?” tanya Melody, kebetul
Apa yang sudah terjadi waktu itu berdampak buruk pada usaha Pak Sanjaya, meski memang wajah Edwin dan Melody tidak sampai tersorot tapi tetap saja nama baik tidak bisa dipulihkan. Edwin bahkan mulai mencari pekerjaan di tempat lain, meski bisa saja ia meminta pekerjaan pada Nino tapi Edwin ingin belajar mandiri agar tidak selalu bergantung pada siapapun.Edwin harus bisa bertanggung jawab.“Kita langsung pulang?” tanya Melody.“Iya. Kau mau beli sesuatu?”Melody menggeleng, “Aku ingin cepat sampai rumah dan rebahan.”Zea yang lelah bermain dengan Izel kini terlelap dalam dekapan sang ibu. Sampai di rumah, Zea langsung ditidurkan di kamarnya. Zea harus dibiasakan tidur di kamarnya sendiri. Anak ini sangat manja, mungkin jika sudah memiliki adik tidak akan semanja ini.“Lelah sekali?” Edwin melirik Melody yang tengah mengambil pakaian tidurnya.“Hm. Padahal hanya di rumah, tapi mengurus anak-anak membuatku lelah. Mereka nakal sekali.”Melody tidak hanya menjaga Zea saja tapi juga kedua
“Ini nomor Mamamu yang terdaftar, tapi bisa juga bukan Mamamu yang melakukannya. Tunggu saja sampai ada informasi lanjutan soal penyebar video itu. Jangan dulu hubungi Mamamu.” Nino menepuk pundak Edwin sebelum meninggalkan lelaki itu.Tangan Edwin mengepal, “Aku tidak tahu lagi harus seperti apa kalau memang itu Mama.”Dalam hati kecilnya Edwin berharap bukan sang ibu yang melakukannya. Meski hubungan mereka renggang tapi Edwin sama sekali tidak mengharapkan hal buruk pada Bu Sanjaya.Edwin menghampiri Melody di kamar sebelah. Serra yang menemani langsung keluar membiarkan Edwin yang menemani Melody. Karena tidak ingin Zea banyak bertanya jadi sementara Melody di kamar sebelah dulu.Sedangkan Serra menghampiri suaminya yang ada di ruang tengah, Nino tampak sibuk menatap layar ponselnya.“Mas.”Lelaki itu langsung mendongak saat dipanggil, “Kenapa, sayang.”“Sudah dapat?” tanyanya lalu menghempaskan bokongnya untuk duduk di samping Nino.Nino menggeleng, “Belum tapi nomor yang kirim p