Sejak pemasangan cctv, belum ada sesuatu yang aneh terlihat. Melody tampak anteng dengan ponselnya, menggilir video-video di sosial media. Ada chat masuk pun hanya dari grup teman sekolahnya saja.
Kenapa saat aku sudah menyiapkan semua ini, malah tidak ada hal aneh yang terjadi.“Bunda adek juga mau nonton.”Aku terhenyak saat Maura membuka pintu kamar, dengan cepat mengalihkan ke layar utama. Meski tak kulihat, rekaman akan tetap tersimpan secara otomatis.“Sini.”“Bunda, nanti liburan sekolah kita mau ke mana?”“Adek mau ke mana?”“Mau ke pantai, Bunda.”“Iya, nanti kita ke sana.”Minggu depan sudah libur sekolah. Dan aku baru ingat jika laki-laki itu mengatakan akan datang ke rumah ini di minggu depan tapi dia tidak menyebutkan hari apa.Aku ingin tahu apakah Melody akan ikut saat kuajak atau memilih tetap di rumah dan bertemu dengan lelaki itu.Tiga hari sudah aku menunggu dan tidak ada yang mencurigakan. Aku jadi kesal sendiri, tidak mungkin Melody tahu aku memasang cctv di kamarnya. Bahkan alat penyadap yang kupasang pun tidak menunjukkan Melody pergi kemanapun, dari sekolah dia langsung pulang. Obrolan antara dia dan teman-temannya pun seputar obrolan anak remaja.“Kak, bereskan bajunya. Kita berangkat sekarang.”“Kemana, Bun?”“Liburan lah, kemana lagi. Memang kamu tidak mau ikut?”“Mau dong. Ya sudah, aku siap-siap.""Untuk satu minggu ya.”“Iya.” Melody menyahut dari dalam kamarnya.Aku dibuat heran karena dia terlihat biasa saja, apa dia sudah berpisah dengan laki-laki itu makanya tidak ada lagi yang terlihat mencurigakan? Tapi aku tidak boleh lengah, tetap harus waspada.Kami pergi bertiga. Liburan yang berbeda dari sebelumnya karena ada beban pikiran yang masih belum ada titik temu sampai saat ini.Sampai di tempat tujuan, kami hanya istirahat sebentar lalu bermain di pesisir pantai sambil menikmati sunset. Meski merasa belum puas, kami harus beranjak karena angin sudah semakin kencang.Melody mandi lebih dulu bersama Maura. Sengaja aku memesan satu kamar agar lebih mudah mengawasinya.Ting![Sayang, selesai pekerjaanku ini aku ingin menemui orang tuamu. Mami ingin aku segera menikahimu. Soal kedua putrimu, aku yakin bisa mengambil hati mereka.]Entah aku harus bahagia atau bagaimana, saat ini kepercayaanku padanya berkurang. Aku belum bisa mengambil keputusan apapun apalagi masalah hubungan yang lebih serius.Aku hanya menatap pesan itu tanpa berniat membalasnya. Kedua orang tua Nino memang mengenalku, bahkan tahu aku sudah pernah menikah dan memiliki dua anak. Tapi hal itu tidak membuat mereka lantas tak memberikan restu.[Kenapa pesanku hanya dibaca? Apa kamu belum siap?]Saat seperti ini aku tidak ingin buru-buru membalas pesan, lebih baik kubiarkan dulu. Setelah pikiranku tenang baru kubalas pesannya. Dia pasti mengerti kalau memang benar-benar peka padaku.“Bunda, aku mau beli dulu cemilan di bawah,” ujar Melody setelah selesai mandi dan berganti pakaian.“Tunggu Bunda. Jangan dulu keluar.”Melody menghempaskan tubuhnya di kasur tanpa berkata apa-apa.“Awas saja kalau sampai keluar tanpa Bunda.” Aku beralih pada Maura, “Adek, kalau kakak keluar teriak panggil Bunda ya.”“Iya.” Maura mengangguk patuh.Aku melangkah masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh yang terasa tidak nyaman. Tidak menghabiskan waktu lama karena memang sudah lelah dan ingin langsung istirahat.“Loh. Dek, kakak mana?” Aku tidak mendapati Melody di sana.Hanya Maura yang sedang cekikikan sambil menonton televisi. Pintar sekali Melody mengalihkan perhatian adiknya itu.Buru-buru aku berpakaian, takut sekali jika Melody pergi ke pub. Bisa saja ‘kan karena tadi dia bertemu dengan teman sekolahnya yang juga sedang liburan.Kutinggalkan Maura sebentar. Berbekal petunjuk dari ponsel, aku bisa tahu keberadaan Melody saat ini. Tidak sia-sia aku membayar untuk mendapatkan aplikasi semacam ini yang tidak semua orang bisa mengaksesnya.Keningku berkerut, dia masih berada di gedung ini. Kutelusuri lagi ternyata ada di lantai yang sama. Kakiku melangkah mengikuti petunjuk arah dalam layar hingga berhenti di sebuah kamar hanya berjarak sepuluh kamar dari tempatku.Semoga saja ini kamar milik temannya bukan milik Edwin atau laki-laki mana pun.Kutarik nafas dalam-dalam lalu menekan bel.Cklek!Pintu terbuka.Deg!“Sayang? Kamu tahu aku di sini?”Aku terpaku, kenapa harus Nino yang ada di hadapanku.Tanpa memperdulikan ucapannya aku menerobos masuk untuk mencari Melody.“Mel-” ucapan dan langkahku berhenti bersamaan saat melihat Melody terkapar di sofa.Bersambung ….Kancing kemeja yang dikenakan Melody sudah terbuka. Tanda merah di dadanya membuat kepalaku langsung mendidih.Tidak hanya Nino dan Melody yang ada di ruangan ini, tapi ada tiga orang lainnya, satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.Di meja terlihat botol-botol wine yang sebagian sudah kosong.“Sayang, karena kebetulan ada di sini. Sekalian kuperkenalkan pada teman-temanku.”Tanganku mengepal di kedua sisi tubuh, berbalik menatap Nino.“Mereka teman-temanmu?” tanyaku dengan dada bergemuruh.“Iya. Sebelum menemuimu aku bertemu dengan mereka karena kamu bilang mau berlibur bersama dengan anak-anakmu, aku tidak mau ganggu. Tapi ternyata kita berlibur di tempat yang sama.”“Siapa gadis itu?” Tanganku mengarah pada Melody.“Dia temanku juga? Jangan berpikir macam-macam, sayang. Aku di sini tidak sendiri.”“Apa yang terjadi padanya sampai terkapar begitu?”“Dia meminum wine satu gelas dengan sekali teguk jadi langsung tepar. Tapi aku tidak minum, sungguh. Aku sudah berjanji padamu.”N
“Bunda, kepalaku sakit.” Suara Melody terdengar lirih, meringis sambil memegangi kepalanya.Aku beranjak meninggalkan sofa, memberikan air pada Melody. Semarah-marahnya aku, tidak mungkin membiarkannya sendirian dalam keadaan seperti ini.“Pengen muntah,” rengeknya.Kupapah dia menuju kamar mandi.Tadi malam saja Melody dua kali muntah, sampai aku meminta pihak hotel menghubungi dokter. Terlalu banyak mengonsumsi minuman keras, penjelasan dari dokter. Melody memiliki kondisi lambung yang tidak sehat, diberikan wine tentu saja tubuhnya akan beraksi seperti ini. Aku sempat takut, berpikir jika dia hamil ternyata hanya karena efek minum wine.“Perut aku sakit, Bun.”“Badan aku lemas.”“Kepala pusing.”Berulang-ulang dia mengucapkan itu, tanpa membicarakan apa yang terjadi tadi malam aku lebih fokus merawatnya. Melody harus pulih dulu baru akan kutanya soal kebenaran hubungannya dan juga Nino.Sepertinya dia juga tidak menyadari bagaimana bisa kembali ke kamar ini. Dalam kondisi sakit man
Aku menggeleng, “Melody tidak hamil, Bu. Saat dokter memeriksa saja mengatakan Melody mual dan muntah bukan karena hamil.”Ibu menghela nafas panjang, mengeluarkan testpack dengan dua garis dan juga sebuah amplop putih. Ditaruhnya kedua benda itu di meja.“Buka,” titah Ibu.Aku mendongak, “Bu-”“Buka, Serra!”Dengan tangan gemetar aku mengambil amplop itu dan membukanya. Lututku lemas, tubuh ini luruh ke lantai saat membaca hasil yang menegaskan jika memang saat ini Melody tengah berbadan dua.“Bu, ini pasti tidak benar. Melody selalu berada di rumah, dia-”“Kemarin saat kamu tidak di rumah, diam-diam dia datang menemui Ibu dan minta diantar ke rumah sakit, Ibu pikir dia sakit tapi ternyata ....” Bibir Ibu tampak bergetar dengan mata yang berkaca-kaca.Kepalaku terasa berdenyut hebat mendengar kabar yang tidak diharapkan ini.Penderitaanku masih berlanjut, kenapa ini harus terjadi? Kenapa harus ujian seperti ini yang aku hadapi?Air mata kembali mengalir dengan derasnya. Dengan sisa t
“Jangan gila kamu.” Aku menepis tangannya dengan keras hingga serpihan itu jatuh ke karpet, “untuk apa mati sedangkan dia yang menghancurkanmu bisa hidup bahagia! Jangan konyol, pakai dengan baik otak cerdasmu itu!”Tangis Melody pecah, “aku tidak mau ditinggalkan dia, Bun. Aku juga tidak mau dia dimiliki orang lain, dia hanya milikku.”Tanpa kata, aku mengambil ponsel Melody dari tangan Mas Tian. Diam-diam membuka aplikasi pesan namun tidak ada riwayat chat selain grup-grup. Apa Melody sudah menghapusnya?Menghubungi Nino dari ponselku, karena tidak bisa dengan nomor dari ponsel Melody. Terpaksa aku membuka blokiran nomor Nino. Melody saja mengatakan jika Nino yang menghamilinya bukan Edwin.Kutarik nafas dalam-dalam saat menunggu panggilan tersambung.“Sayang, akhirnya kamu menghubungiku. Aku khawatir, aku minta maaf. Aku bisa menjelaskan semuanya. Kamu salah paham.”Hatiku kembali perih padahal hanya suaranya yang kudengar. De
“Jangan pernah bicara apa pun pada Melody soal hubungan kita!” Kuhempaskan tangannya lalu menghampiri Melody yang dibawa Mas Tian ke kamar.Kalau sampai Nino tetap kuekeh, maka akan sulit. Melody tidak ingin melepaskan dan Nino tidak ingin menikahi.Tapi apa yang tadi diucapkannya memenuhi benakku. Tidak, aku tidak akan termakan omongannya. Orang yang bersalah pasti tidak akan mengakui kesalahannya, hanya orang pengecut yang melakukan hal itu.“Laki-laki itu harus menikahi Melody sekarang juga!” ujar Mas Tian lalu keluar dari kamar setelah membaringkan Melody.“Susul dia, jangan sampai mereka ribut. Biar Melody, ibu dan Asih yang urus.”“Tapi, Bu-”“Pergi, Ra. Tidak enak kalau sampai didengar tetangga, nantinya semakin banyak orang yang tahu!”Ibu benar. Dampaknya akan sangat buruk kalau sampai ada orang luar yang tahu soal masalah ini. Aku mengikuti Mas Tian keluar dari kamar.“Mas! Jangan memakai kekerasan lagi!” Aku mencegah Mas Tian yang akan menghajar Nino lagi.Meski sebenarnya
“Mas Tian.” Mataku terbelalak melihat Mas Tian berdiri di sana.Nino masih betah di posisinya seolah tidak peduli pada orang lain.“Biarkan dia tahu kalau aku ini calon suamimu, sayang,” ujar Nino dengan santainya.Tubuh Nino ditarik dari belakang.Bugh!Aku meringis melihat Mas Tian kembali melayangkan kepalan tangannya mengenai wajah Nino.“Kau ingin menikah dengan Serra tapi meniduri anaknya? Bangs*t!”Nino menyeka sudut bibirnya yang kini dua-duanya mengeluarkan darah, dia mundur beberapa langkah.Bugh!Dengan cepat tangannya melayangkan bogem mentah membuat Mas Tian terjatuh bahkan keluar darah dari hidungnya. Bisa kupastikan itu sangat keras, lebih keras daripada saat Mas Tian menghajar Nino tadi.“Cukup!” Aku menahan Nino yang menarik kerah baju Mas Tian. Melepaskan paksa tangan lelaki itu.“Dari tadi aku diam, tapi aku tidak suka seperti ini,” geram Nino.“Kau memang pantas, bahkan aku belum puas memukulimu!” teriak Mas Tian.“Hentikan! Jangan seperti anak kecil. Pertengkaran
“Kau pelakunya ‘kan?” Nino mencengkeram pundak Edwin.Edwin langsung mengangkat tangannya, “Wah, aku mana mungkin berani menyentuh Melody. Dia ‘kan cinta mati padamu, Bang. Aku tidak akan berani menyentuh milikmu.”Mataku membulat mendengar itu. Apa benar yang dikatakan Edwin kalau Melody sangat mencintai Nino?“Jangan sembarangan bicara kau itu! Apa yang kau katakan membuat semuanya semakin rumit!”“Abang tidak mau tanggung jawab?”Semua mata langsung tertuju pada sosok Melody yang berjalan mendekat dengan berderai air mata.“Untuk apa? Bukan aku yang menghamilimu.” Nino tetap teguh dengan apa yang diakuinya.Melody menggeleng, “Abang menganggap aku wanita murahan yang bisa ditinggalkan begitu saja setelah apa yang sudah kita lakukan?”“Memang apa sih yang sudah aku lakukan padamu? Bertemu saja baru dua kali tapi lagakmu seperti kita punya hubungan!”“Mel, bicara yang sebenarnya. Tidak usah takut, katakan siapa laki-laki itu?” Aku menghampiri Melody yang kini tangisnya sudah pecah.“
“Edwin kabur, Bu.”“Apa?” Ibu juga tampak kaget.“Tadi Mas Tian menelponku, dia berpikir tesnya sudah selesai.” Rasanya lemas sekali lututku.Apa yang dilakukan Edwin malah mempertegas jika dirinya memang ada hubungannya atau mungkin dia yang membuat Melody hamil makanya tidak berani untuk melakukan tes DNA.“Biarkan saja, Bun. Toh ayah bayiku itu Bang Nino bukan Edwin.”Ini yang membuat kepalaku seperti ingin pecah, Melody malah terus bicara dan mengatakan Nino pelakunya sedangkan di sini gelagat Edwin yang mencurigakan. Nino bahkan terlihat santai dan tidak merasa diintimidasi“Bunda tidak akan percaya pada siapapun, Bunda hanya akan percaya pada hasil tes yang dilakukan barusan. Kalau memang Edwin kabur berarti dia pelakunya.”“Bukan Edwin, Bun!” Melody berdecak sambil mengentakkan kakinya kesal.“Kenapa kamu malah membela Edwin? Sikapnya itu sangat mencurigakan.”“Sudah, Bun!” Nino mengelus pundakku