“Tidak ada apa-apa, Mas.”
“Serra!”“Ini masalah perempuan.”“Tapi dia putriku, Serra.”“Percaya padaku, tidak ada apa-apa. Ini hanya masalah anak gadismu dan kekasihnya jadi aku masih bisa menangani, tenang saja.” Aku melangkah keluar meninggalkan Mas Tian yang masih berada di kamar Melody.Malu jika pagi-pagi sudah ribut begini apalagi di depan Rianti. Sebenarnya dia itu wanita baik tapi tetap saja wanita yang berlabel ibu tiri itu buruk di mata Melody.Hari ini sengaja aku tidak masuk ke kantor, pekerjaanku pun sudah selesai kemarin. Masalah ini jelas sangat penting.“Bunda, hari ini adek tidak mau sekolah ya,” ujar Maura saat aku ikut bergabung di meja makan.“Kenapa?”“Mau jalan-jalan bersama Ayah.”Selalu seperti ini, saat ayahnya datang bukan di hari libur maka Maura akan meliburkan dirinya sendiri. Tidak masalah toh dia masih di taman kanak-kanak, jarang juga bertemu dengan ayahnya.“Ti, nanti aku titip Maura ya. Mau antar Melody ke sekolah.” Aku hanya menghabiskan segelas susu sedangkan Melody sudah berjalan keluar.“Iya, Mbak.”Aku langsung menyusul Melody keluar.“Bunda antar.”“Tidak usah, aku pesan ojol.”“Masuk!” Aku lebih dulu membuka pintu mobil untuknya.Dia menghela nafas panjang lalu masuk ke dalam mobil.“Kenapa ada ibu tiri di rumah?” pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari Melody dengan nada ketus.“Jangan memanggilnya seperti itu. Panggil lebih sopan, kalau tidak mau memanggil ibu panggil namanya, Tante Rianti.”“Siapa yang peduli.”Orang bilang Melody sama sepertiku, keras kepala. Dan aku merasakan sulitnya menghadapi anak ini, mungkin dulu ibu mengalami hal yang sama. Bedanya ibu ditemani ayah sedangkan aku sendiri menghadapi Melody.Karena Melody pula aku lebih bisa menekan ego dan lunak sedikit karena dia lebih keras dariku.“Nanti pulangnya Bunda jemput.”“Bunda tidak bekerja?”“Bunda libur.”Melody tidak menyahut lagi dan fokus pada ponselnya.Apa dia tidak curiga soal ponselnya yang kubuka, aku ingat tidak sempat menutup jendela percakapan itu. Semoga saja tidak karena Melody tampak biasa saja.Aku mengantarnya sampai di depan gerbang. Dia turun setelah mencium tanganku.Seorang laki-laki menghampiri Melody dan merangkul pundaknya dengan mesra. Apa itu kekasihnya? Laki-laki yang meninggalkan celana dalam di kamar Melody.Aku langsung turun dan memanggil Melody. Karena dia tidak kunjung mendekat, aku yang menghampiri. Menghempaskan tangan pemuda itu dari pundak Melody.Pemuda itu tidak terima dan sepertinya ingin marah.“Jangan pegang-pegang anak, saya!”“Bunda apa-apaan sih! Bikin malu.” Melody mencebik kesal.Pemuda itu kini tersenyum lebar, “Halo, Tante. Saya Edwin, pacarnya Melody.” Dia memperkenalkan diri dan perutnya langsung disikut oleh Melody.“Bohong, Bun. Kami hanya berteman saja, mana mungkin aku berani pacaran,” sangkal Melody.Berulang kali aku memberitahu Melody untuk tidak menjalin kasih di usianya yang masih remaja ini karena memang belum waktunya.“Sana kamu masuk duluan.” Aku menahan Melody membiarkan anak bernama Edwin lebih dulu masuk ke dalam kelasnya.“Bunda membuatku malu,” desis Melody. “Aku bukan anak kecil yang harus terus dipantau, Bun.” Setelah menghempaskan tanganku dia pergi begitu saja.Aku mengurut pangkal hidung yang terasa berdenyut, satu anak seperti Melody saja sudah membuat kepalaku rasanya ingin pecah. Mungkin jika anak lain didesak untuk jujur pasti akan ketakutan dan langsung jujur tapi Melody tidak, dia tidak sama makanya harus dengan cara lain.Setelah mengambil cctv dan alat penyadap aku langsung pulang. Hanya ada Bi Asih di rumah.“Bi, tolong belikan kelapa muda ya.”“Baik, Bu.”Masuk ke dalam kamar Melody, aku langsung memasang cctv itu didekat fotonya yang tertempel di dinding. Dia tidak akan mungkin menyadari karena cctv ini bentuknya sangat kecil, bentuknya tidak sesuai dengan harga yang menguras kantong. Kupasang di beberapa sudut sedangkan alat penyadap akan kutaruh di tas sekolah Melody.Kutarik nafas dalam-dalam, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Kejadian kemarin berkelebat dalam benak.Melirik lemari Melody yang sedikit terbuka, niat ingin menutupnya tapi tanganku malah menggeser pintu lemari itu lebih lebar. Sebuah kotak berukuran lumayan besar menarik perhatian, kutarik keluar dan membukanya.Deg!Lingerie.Tubuhku lemas seketika. Benda ini memperkuat jika memang Melody tidak sepolos usianya. Bahkan aku tidak menemukan lagi celana dalam dan bekas kontrasepsi itu, Bi Asih juga tidak membuangnya. Melody paling jijik jika ada barang orang lain di kamarnya tapi dia membuang dua benda itu dengan tangannya sendiri.Bersambung ....Sejak pemasangan cctv, belum ada sesuatu yang aneh terlihat. Melody tampak anteng dengan ponselnya, menggilir video-video di sosial media. Ada chat masuk pun hanya dari grup teman sekolahnya saja.Kenapa saat aku sudah menyiapkan semua ini, malah tidak ada hal aneh yang terjadi.“Bunda adek juga mau nonton.”Aku terhenyak saat Maura membuka pintu kamar, dengan cepat mengalihkan ke layar utama. Meski tak kulihat, rekaman akan tetap tersimpan secara otomatis.“Sini.”“Bunda, nanti liburan sekolah kita mau ke mana?”“Adek mau ke mana?”“Mau ke pantai, Bunda.”“Iya, nanti kita ke sana.”Minggu depan sudah libur sekolah. Dan aku baru ingat jika laki-laki itu mengatakan akan datang ke rumah ini di minggu depan tapi dia tidak menyebutkan hari apa.Aku ingin tahu apakah Melody akan ikut saat kuajak atau memilih tetap di rumah dan bertemu dengan lelaki itu.Tiga hari sudah aku menunggu dan tidak ada yang mencurigakan. Aku jadi kesal sendiri, tidak mungkin Melody tahu aku memasang cctv di kamar
Kancing kemeja yang dikenakan Melody sudah terbuka. Tanda merah di dadanya membuat kepalaku langsung mendidih.Tidak hanya Nino dan Melody yang ada di ruangan ini, tapi ada tiga orang lainnya, satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.Di meja terlihat botol-botol wine yang sebagian sudah kosong.“Sayang, karena kebetulan ada di sini. Sekalian kuperkenalkan pada teman-temanku.”Tanganku mengepal di kedua sisi tubuh, berbalik menatap Nino.“Mereka teman-temanmu?” tanyaku dengan dada bergemuruh.“Iya. Sebelum menemuimu aku bertemu dengan mereka karena kamu bilang mau berlibur bersama dengan anak-anakmu, aku tidak mau ganggu. Tapi ternyata kita berlibur di tempat yang sama.”“Siapa gadis itu?” Tanganku mengarah pada Melody.“Dia temanku juga? Jangan berpikir macam-macam, sayang. Aku di sini tidak sendiri.”“Apa yang terjadi padanya sampai terkapar begitu?”“Dia meminum wine satu gelas dengan sekali teguk jadi langsung tepar. Tapi aku tidak minum, sungguh. Aku sudah berjanji padamu.”N
“Bunda, kepalaku sakit.” Suara Melody terdengar lirih, meringis sambil memegangi kepalanya.Aku beranjak meninggalkan sofa, memberikan air pada Melody. Semarah-marahnya aku, tidak mungkin membiarkannya sendirian dalam keadaan seperti ini.“Pengen muntah,” rengeknya.Kupapah dia menuju kamar mandi.Tadi malam saja Melody dua kali muntah, sampai aku meminta pihak hotel menghubungi dokter. Terlalu banyak mengonsumsi minuman keras, penjelasan dari dokter. Melody memiliki kondisi lambung yang tidak sehat, diberikan wine tentu saja tubuhnya akan beraksi seperti ini. Aku sempat takut, berpikir jika dia hamil ternyata hanya karena efek minum wine.“Perut aku sakit, Bun.”“Badan aku lemas.”“Kepala pusing.”Berulang-ulang dia mengucapkan itu, tanpa membicarakan apa yang terjadi tadi malam aku lebih fokus merawatnya. Melody harus pulih dulu baru akan kutanya soal kebenaran hubungannya dan juga Nino.Sepertinya dia juga tidak menyadari bagaimana bisa kembali ke kamar ini. Dalam kondisi sakit man
Aku menggeleng, “Melody tidak hamil, Bu. Saat dokter memeriksa saja mengatakan Melody mual dan muntah bukan karena hamil.”Ibu menghela nafas panjang, mengeluarkan testpack dengan dua garis dan juga sebuah amplop putih. Ditaruhnya kedua benda itu di meja.“Buka,” titah Ibu.Aku mendongak, “Bu-”“Buka, Serra!”Dengan tangan gemetar aku mengambil amplop itu dan membukanya. Lututku lemas, tubuh ini luruh ke lantai saat membaca hasil yang menegaskan jika memang saat ini Melody tengah berbadan dua.“Bu, ini pasti tidak benar. Melody selalu berada di rumah, dia-”“Kemarin saat kamu tidak di rumah, diam-diam dia datang menemui Ibu dan minta diantar ke rumah sakit, Ibu pikir dia sakit tapi ternyata ....” Bibir Ibu tampak bergetar dengan mata yang berkaca-kaca.Kepalaku terasa berdenyut hebat mendengar kabar yang tidak diharapkan ini.Penderitaanku masih berlanjut, kenapa ini harus terjadi? Kenapa harus ujian seperti ini yang aku hadapi?Air mata kembali mengalir dengan derasnya. Dengan sisa t
“Jangan gila kamu.” Aku menepis tangannya dengan keras hingga serpihan itu jatuh ke karpet, “untuk apa mati sedangkan dia yang menghancurkanmu bisa hidup bahagia! Jangan konyol, pakai dengan baik otak cerdasmu itu!”Tangis Melody pecah, “aku tidak mau ditinggalkan dia, Bun. Aku juga tidak mau dia dimiliki orang lain, dia hanya milikku.”Tanpa kata, aku mengambil ponsel Melody dari tangan Mas Tian. Diam-diam membuka aplikasi pesan namun tidak ada riwayat chat selain grup-grup. Apa Melody sudah menghapusnya?Menghubungi Nino dari ponselku, karena tidak bisa dengan nomor dari ponsel Melody. Terpaksa aku membuka blokiran nomor Nino. Melody saja mengatakan jika Nino yang menghamilinya bukan Edwin.Kutarik nafas dalam-dalam saat menunggu panggilan tersambung.“Sayang, akhirnya kamu menghubungiku. Aku khawatir, aku minta maaf. Aku bisa menjelaskan semuanya. Kamu salah paham.”Hatiku kembali perih padahal hanya suaranya yang kudengar. De
“Jangan pernah bicara apa pun pada Melody soal hubungan kita!” Kuhempaskan tangannya lalu menghampiri Melody yang dibawa Mas Tian ke kamar.Kalau sampai Nino tetap kuekeh, maka akan sulit. Melody tidak ingin melepaskan dan Nino tidak ingin menikahi.Tapi apa yang tadi diucapkannya memenuhi benakku. Tidak, aku tidak akan termakan omongannya. Orang yang bersalah pasti tidak akan mengakui kesalahannya, hanya orang pengecut yang melakukan hal itu.“Laki-laki itu harus menikahi Melody sekarang juga!” ujar Mas Tian lalu keluar dari kamar setelah membaringkan Melody.“Susul dia, jangan sampai mereka ribut. Biar Melody, ibu dan Asih yang urus.”“Tapi, Bu-”“Pergi, Ra. Tidak enak kalau sampai didengar tetangga, nantinya semakin banyak orang yang tahu!”Ibu benar. Dampaknya akan sangat buruk kalau sampai ada orang luar yang tahu soal masalah ini. Aku mengikuti Mas Tian keluar dari kamar.“Mas! Jangan memakai kekerasan lagi!” Aku mencegah Mas Tian yang akan menghajar Nino lagi.Meski sebenarnya
“Mas Tian.” Mataku terbelalak melihat Mas Tian berdiri di sana.Nino masih betah di posisinya seolah tidak peduli pada orang lain.“Biarkan dia tahu kalau aku ini calon suamimu, sayang,” ujar Nino dengan santainya.Tubuh Nino ditarik dari belakang.Bugh!Aku meringis melihat Mas Tian kembali melayangkan kepalan tangannya mengenai wajah Nino.“Kau ingin menikah dengan Serra tapi meniduri anaknya? Bangs*t!”Nino menyeka sudut bibirnya yang kini dua-duanya mengeluarkan darah, dia mundur beberapa langkah.Bugh!Dengan cepat tangannya melayangkan bogem mentah membuat Mas Tian terjatuh bahkan keluar darah dari hidungnya. Bisa kupastikan itu sangat keras, lebih keras daripada saat Mas Tian menghajar Nino tadi.“Cukup!” Aku menahan Nino yang menarik kerah baju Mas Tian. Melepaskan paksa tangan lelaki itu.“Dari tadi aku diam, tapi aku tidak suka seperti ini,” geram Nino.“Kau memang pantas, bahkan aku belum puas memukulimu!” teriak Mas Tian.“Hentikan! Jangan seperti anak kecil. Pertengkaran
“Kau pelakunya ‘kan?” Nino mencengkeram pundak Edwin.Edwin langsung mengangkat tangannya, “Wah, aku mana mungkin berani menyentuh Melody. Dia ‘kan cinta mati padamu, Bang. Aku tidak akan berani menyentuh milikmu.”Mataku membulat mendengar itu. Apa benar yang dikatakan Edwin kalau Melody sangat mencintai Nino?“Jangan sembarangan bicara kau itu! Apa yang kau katakan membuat semuanya semakin rumit!”“Abang tidak mau tanggung jawab?”Semua mata langsung tertuju pada sosok Melody yang berjalan mendekat dengan berderai air mata.“Untuk apa? Bukan aku yang menghamilimu.” Nino tetap teguh dengan apa yang diakuinya.Melody menggeleng, “Abang menganggap aku wanita murahan yang bisa ditinggalkan begitu saja setelah apa yang sudah kita lakukan?”“Memang apa sih yang sudah aku lakukan padamu? Bertemu saja baru dua kali tapi lagakmu seperti kita punya hubungan!”“Mel, bicara yang sebenarnya. Tidak usah takut, katakan siapa laki-laki itu?” Aku menghampiri Melody yang kini tangisnya sudah pecah.“
“Kenapa?”Aku memaksakan senyum agar papa tidak curiga.“Tidak apa-apa, Pa. Edwin bilang sebentar lagi sampai, papa pulang saja. Kasihan Bunda sendirian.”“Benar tidak apa-apa papa pulang?”“Iya, Pa. Zea juga sudah diberi obat, demamnya pasti sebentar lagi turun.”“Ya sudah. Kalau ada apa-apa langsung kabari papa ya?”“Eh, Papa pulang pakai apa?”Papa meringis, “Pinjam motornya Edwin. Besok dikembalikan.”Aku mengangguk, “Sebentar, aku ambil dulu jas hujannya.”Setelah Papa pulang pun Edwin tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya membuatku semakin gelisah.“Apa mungkin dia ….”Aku menggeleng, menepis semua pikiran buruk itu. Tidak akan mungkin Edwin melakukan itu, orang yang mengirimkan pesan pasti hanya orang iseng saja. Tapi Edwin pergi kemana sampai belum pulang, ini sudah sangat larut.Tidak ada yang bisa kutanyai teman kantornya karena memang tidak ada yang kukenal.Apa aku tanya saja pada wanita itu ya. Dia teman kerjanya Edwin. Tapi aku takut malah nanti Edwin malah dipanda
POV Melody“Kalau tidak tertukar di toko itu sendiri, berarti di kantor. Aku hanya ke dua tempat itu saja. Saat jam makan siang curi-curi waktu kesana untuk membelikan hadiah eh malah tertukar.”Edwin bicara dengan santai. Tidak terlihat mencurigakan.Aku percaya Edwin bukan lelaki seperti itu.“Sudah, tidak apa-apa. Kita lanjut makan ya, aku sudah lapar.” Senyumku masih tersungging.Tidak mau membuatnya malah tidak enak karena hadiah tertukar ini.Aku berpikir malah ada yang sengaja sudah menukarnya. Tapi tidak tahu orang itu siapa. Tidak seharusnya aku memikirkan masalah seperti ini, malah membuat pikiran buruk semakin berkembang.Selesai makan, kami kembali ke kamar. Duduk di sofa yang menghadap jendela, memandang rintik hujan yang belum ada tanda-tanda reda.Kusandarkan kepala di pundak Edwin.“Bagaimana pekerjaanmu hari ini?”“Lumayan melelahkan. Maaf ya, aku malah terlambat datang. Kamu sampai ketiduran tadi.”“Tak masalah, aku mengerti.”“Nanti tunggu libur panjang baru aku aka
“Anak-anak sudah tidur semua, Mas?”“Sudah. Sekarang giliran bundanya yang tidur.” Nino naik ke atas ranjang.Ia sudah memastikan jika anak-anaknya sudah tidur. Anak-anak memang sudah dibiasakan untuk tidur sendiri tapi tetap saja mereka memantau menggunakan monitor.Sebagai pasangan tentu mereka harus memiliki waktu berkualitas untuk berduaan, untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.“Aku masih belum ngantuk, kamu tidur saja kalau sudah mengantuk. Besok kerja ‘kan?” Serra menarik selimut dan membaringkan tubuhnya tanpa ada niat untuk tidur karena memang matanya belum merasa berat.“Aku akan menemanimu. Mana mungkin wanita secantik ini kubiarkan begadang sendirian.” Nino tersenyum lebar, ia berbaring miring menghadap sang istri.“Kapan kemampuan merayumu itu hilang?” Serra mencibir.“Saat ada di hadapan wanita lain.”Laki-laki yang orang pikir tidak akan setia malah sebaliknya. Nino memiliki segalanya, harta, popularitas dan juga tampang. Tapi dalam benaknya sama sekali tidak terpikir
Melody menghela napas panjang, melempar begitu saja ponsel ke sofa.“Siapa lagi yang menginginkan keretakan hubunganku dan Edwin?” gumamnya.Ya, ia baru saja melihat foto Edwin yang dipeluk oleh Sarah. Nomor tidak dikenal mengirimkannya pada Melody namun hal itu sama sekali tidak membuat Melody hilang akal dan melabrak ke kantor. Ini masih jam kantor dan Edwin pasti masih sibuk bekerja.Melody itu mantan orang jahat, bilang saja begitu karena dulu ia sama sekali tidak pernah peduli pada siapapun. Jadi ia tahu jelas apa yang terjadi sebenarnya adalah sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang mungkin pernah dirugikan baik oleh Melody atau pun Edwin.Ia mengira jika sudah menikah dengan Edwin maka tidak akan ada lagi masalah yang datang tapi ternyata salah. Tetap saja ada masalah yang menghadang karena sangat mustahil kehidupan berjalan tanpa sebuah masalah. Bahkan Serra dan Nino sekalipun yang hidupnya tampak sempurna pasti memiliki masalah dalam kehidupan mereka.“Me
“Kalau kau sudah tidak ada rasa, kembalikan aku dengan baik-baik pada orang tuaku.”Perkataan Melody sukses membuat Edwin terbelalak, tangan lelaki itu terangkat menyentuh kening Melody, “Tidak panas.”Melody mencebik, “Kau kira kau mengigau apa? Aku serius, Ed.”“Jangan bicara sesuatu yang mustahil begitu, Mel. Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu dalam situasi apapun, kita sudah sama-sama berjanji. Dulu kali pertama aku berjanji dan aku ingkar dan ini kali kedua aku tidak ingin mengingkari janjiku lagi.”Dulu Edwin memang berjanji untuk menjaga Melody dan juga mencintainya sepenuh hati namun karena keras hatinya wanita itu Edwin akhirnya harus mengalah dan melepaskannya meski akhirnya sekarang mereka kembali bersama.Edwin tidak sekedar berucap janji, tapi ia benar-benar akan membuktikannya. Sejauh ini Edwin memang sudah menjalankan perannya dengan baik, bukan hanya sekedar sebagai suami tapi juga ayah untuk Zea.“Isi hati orang tidak akan ada yang tahu, Ed. Aku hanya berpikir real
"Jangan, Ma. Mama di rumah, temani aku dan Zea di sini. Aku tidak akan membiarkan Mama pindah dari sini, aku tidak bisa tenang. Edwin juga pasti sama." Melody mencoba membujuk ibu mertuanya.Sebenarnya Bu Sanjaya terlanjur malu makanya ia tidak enak tinggal bersama dengan Melody dan Edwin, bukannya benci atau tidak suka. Mengingat apa yang sudah dilakukannya dulu membuat Bu Sanjaya malu setiap bertemu dengan Melody dan Edwin, dan di sini mereka bersama setiap hari.Bu Sanjaya sudah mengakui kesalahannya, ia sadar perbuatannya tidak pantas dan ingin memperbaiki semuanya. Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik. Meski mereka tinggal satu atap dengan keyakinan berbeda tapi itu sama sekali tidak merubah apapun."Mama malu" aku Bu Sanjaya.Melody mengerti apa maksud ibu mertuanya itu."Sudah ya, Ma. Jangan bahas masa lalu, aku pun malu dengan masa laluku sendiri. Sekarang kita jalani saja kehidupan sekarang. Sama-sama memperbaiki diri, kita sudah saling memaafkan bukan."
“Den Edwin, Tuan meninggal.”Hati Edwin mencelos mendengar kabar duka yang disampaikan oleh art di rumah orang tuanya. Lutut lelaki itu lemas seketika. Tanpa bisa dikomando cairan bening berjatuhan membasahi pipi. Ia manusia biasa yang bisa merasakan kesedihan apalagi ditinggal orang yang begitu disayanginya. Bukan ditinggalkan sementara tapi selamanya, mereka sudah beda alam dan tidak akan bisa bertemu lagi.Edwin dan Pak Sanjaya memang baru dekat akhir-akhir ini, saat hubungan mereka sudah membaik. Lelaki paruh baya itu malah pergi tanpa pamit dan menyisakan luka mendalam bagi mereka yang ditinggalkan.Beranjak menuju kamar untuk memanggil Melody. Ia tidak kuasa untuk mengatakan kabar duka ini. Padahal rencananya mereka akan pergi ke rumah Pak Sanjaya, namun takdir berkata lain. Sebelum mereka sampai ke sana, Pak Sanjaya pergi lebih dulu.Melody mengambil alih ponsel Edwin karena lelaki itu tidak kunjung berkata. Hanya air mata yang bicara.“Halo, Bi. Ada apa?” tanya Melody, kebetul
Apa yang sudah terjadi waktu itu berdampak buruk pada usaha Pak Sanjaya, meski memang wajah Edwin dan Melody tidak sampai tersorot tapi tetap saja nama baik tidak bisa dipulihkan. Edwin bahkan mulai mencari pekerjaan di tempat lain, meski bisa saja ia meminta pekerjaan pada Nino tapi Edwin ingin belajar mandiri agar tidak selalu bergantung pada siapapun.Edwin harus bisa bertanggung jawab.“Kita langsung pulang?” tanya Melody.“Iya. Kau mau beli sesuatu?”Melody menggeleng, “Aku ingin cepat sampai rumah dan rebahan.”Zea yang lelah bermain dengan Izel kini terlelap dalam dekapan sang ibu. Sampai di rumah, Zea langsung ditidurkan di kamarnya. Zea harus dibiasakan tidur di kamarnya sendiri. Anak ini sangat manja, mungkin jika sudah memiliki adik tidak akan semanja ini.“Lelah sekali?” Edwin melirik Melody yang tengah mengambil pakaian tidurnya.“Hm. Padahal hanya di rumah, tapi mengurus anak-anak membuatku lelah. Mereka nakal sekali.”Melody tidak hanya menjaga Zea saja tapi juga kedua
“Ini nomor Mamamu yang terdaftar, tapi bisa juga bukan Mamamu yang melakukannya. Tunggu saja sampai ada informasi lanjutan soal penyebar video itu. Jangan dulu hubungi Mamamu.” Nino menepuk pundak Edwin sebelum meninggalkan lelaki itu.Tangan Edwin mengepal, “Aku tidak tahu lagi harus seperti apa kalau memang itu Mama.”Dalam hati kecilnya Edwin berharap bukan sang ibu yang melakukannya. Meski hubungan mereka renggang tapi Edwin sama sekali tidak mengharapkan hal buruk pada Bu Sanjaya.Edwin menghampiri Melody di kamar sebelah. Serra yang menemani langsung keluar membiarkan Edwin yang menemani Melody. Karena tidak ingin Zea banyak bertanya jadi sementara Melody di kamar sebelah dulu.Sedangkan Serra menghampiri suaminya yang ada di ruang tengah, Nino tampak sibuk menatap layar ponselnya.“Mas.”Lelaki itu langsung mendongak saat dipanggil, “Kenapa, sayang.”“Sudah dapat?” tanyanya lalu menghempaskan bokongnya untuk duduk di samping Nino.Nino menggeleng, “Belum tapi nomor yang kirim p