Aku tidak menjawab dan terus menangis. Terlalu emosional untuk menjawab, sambil tersedu sedan, kuketikkan sesuatu di ponsel dan menyodorkannya ke Annie.
Annie membacakan ketikanku barusan. “Aku nggak menang. Boro-boro menang. Namaku malah nggak ada dalam daftar finalis. Nggak tahu kenapa bisa gitu.”
Semua kembali hening. Mama lalu memelukku. Tangisanku semakin kencang. Papa menyuruh yang lainnya untuk pulang. Aku segera lari ke kamar yang ada di tingkat dua. Masih kudengar sayup-sayup suara beberapa orang saat itu.
“Kurang ajar banget ya, panitianya! Kok bisa-bisanya udah kirim pemberitahuan malah ngubah hasilnya di hari H?” gerutu Om Farrel, ayah Annie.
“Mungkin Kak Ester sengaja dikirim e-mail supaya dia datang. Jadi biar yang datang ke acaranya banyak. Biar acaranya rame.” Itu suara Rava.
“Kok kamu bisa duga gitu, Va?” Ini suara Tante Olin.
“Ya, soalnya temennya Rava pernah ngalami juga, Ma. Dikirimin e-mail dibilang menang undian. Boro-boro menang undian. Kirim kuponnya aja nggak pernah!”
“Lha, itu beda duduk persoalannya, Rava. Kalau itu kan memang penipuan. Kalau kasus Ester kita belum tahu persisnya. Jadi, nggak bisa kita pukul rata begitu,” sahut Tante Olin lagi.
Sesudah beberapa saat, akhirnya suasana benar-benar senyap. Keluarga besarku sudah pulang. Papa dan Mama membiarkanku sendiri untuk menenangkan diri. Mereka memintaku meniup lilin kue ulang tahun kalau sudah lebih tenang. Demi aku, mereka siap menunggu.
Hari ulang tahunku yang ke-28, yang seharusnya jadi hari yang paling membahagiakan dan membanggakan, berubah jadi hari bencana yang tidak akan pernah aku lupakan. Diberi 'kejutan' (baca: dipermalukan di depan keluarga besar). Benar-benar 'hadiah' ulang tahun yang sangat luar biasa!
Capek menangis di kamar, setengah jam kemudian aku ke ruang makan. Mama dan Papa menunggu di sana untuk merayakan ulang tahunku. Di atas meja makan, sebuah kue tar warna merah muda, berhias bunga-bunga coklat sudah tersedia. Lengkap dengan lilin dan tulisan 'Happy birthday, Ester'.
“Nggak usah dipikirin lagi. Menang atau nggak, buat Mama, Ester juaranya.”
Aku tidak menyahut. Masih terlalu emosional untuk menjawab. Kupandangi kue ulang tahun di meja dengan perasaan campur aduk. Lilin berbentuk angka 28 terlihat jelas di sana. Rasanya baru kemarin waktu aku merayakan sweet seventeen.
Papa ikut bergabung, lalu menyalakan lilin di kue aku. “Mungkin hari ini kamu kecewa. Sedih boleh, tapi jangan lama-lama.” Papa menepuk-nepuk pelan punggungku.
Aku mengangguk lemah, lagi-lagi tanpa menjawab.
“Ester,” panggil Papa.
“Ya, Pa?” jawabku lirih.
“Ayo tiup dulu lilinnya. Sambil berdoa buat minta permohonan tahun ini.”
Kembali aku mengangguk, sambil mencoba tersenyum walau terpaksa. Kupejamkan mata, lalu mengucapkan permohonan dalam hati. Cinta. Sejenak aku tertegun sesudah sadar akan permintaan barusan.
Kenapa tiba-tiba aku minta cinta? Sampai sekarang, bisa dihitung dengan sebelah jari tangan, laki-laki yang dekat denganku. Itu pun cuma sebagai teman atau rekan kerja. Sebagai pacar? Aduh, mimpi!
Begitu membuka mata, Papa tengah memandangiku sambil tersenyum. “Papa doakan yang Ester inginkan terkabul.”
Mataku mulai memanas lagi. “Makasih, Pa,” sahutku pelan, langsung mengalihkan pandangan ke kue. Takut kalau memandang mata Papa, air mataku bisa kembali menetes.
“Ayo dimakan kuenya,” kata Mama sambil membawa pisau, piring, dan garpu.
Sesudah memotong kue untuk papa dan mama, aku memotong irisan tipis untuk diri sendiri.
“Tumben makannya sedikit. Makan yang banyak, Ester!” komentar Mama.
“Nggak nafsu makan, Ma. Besok aja Ester makan lagi.”
Sesudah itu, aku buru-buru minta diri untuk ke kamar. Butuh sendirian untuk memuaskan berjuta “kalau saja” yang mulai lagi bercokol di pikiran. Sesuatu yang aku tahu sia-sia untuk dipikirkan, tapi tak pelak terus menghantui.
Selain masalah nama finalis yang berubah, aku juga memikirkan hal lain. Permohonan tahun ini yang tercetus barusan. Kalau saja cinta itu datang tahun ini.
Waktu berusia 22 tahun dan mengalami patah hati untuk pertama kali, aku mulai makan gila-gilaan. Alasannya sederhana. Lewat makan, aku menemukan rasa nyaman dan penghiburan sementara.
Waktu badanku mulai melar dan pipi membulat, mulailah mama panik. “Gendut! Kurangi makannya, Ester!”
Anehnya semakin dilarang, semakin banyak aku makan. Mungkin karena sudah jadi kebiasaan. Bisa juga itu bentuk pemberontakan secara kecil-kecilan. Perlahan tapi pasti, beratku bertambah terus. Dengan tinggi 160 cm dan berat 70 kg, itu jelas-jelas sudah lebih dari normal. Waktu akhirnya sadar kalau berat badanku sudah berlebihan, sudah agak susah buat menguranginya.
Belum lagi mama terus mengoceh tiap hari. “Jadi perempuan itu jangan gendut-gendut! Nanti nggak ada yang mau, Ester! Aduh, kalau udah gendut, susah banget mau kurus lagi. Ayo diet!” Seperti menambah kayu bakar di tungku perapian, menambah penderitaanku saat itu.
Masalahnya waktu aku berusaha mulai diet, mama ribut lagi. “Ya ampun, makan dikit banget, sih? Nanti kalau kamu sakit gimana? Makan yang wajar aja, deh.”
Tuh, bagaimana bisa kurus? Makan banyak diteriaki 'gendut'. Makan sedikit dikhawatirkan sakit. Intinya serba salah. Sudah terlanjur, sekalian terjun saja. Toh, ketimbang aku lakukan yang tidak-tidak, seperti mabuk-mabukan atau pakai narkoba misalnya, lebih baik aku makan.
Sayangnya makan supaya nyaman itu seperti lingkaran setan. Semakin gemuk, semakin sempit baju-bajuku. Akhirnya aku harus merogoh kocek dalam-dalam buat beli baju baru. Pengeluaran yang seharusnya tidak perlu. Padahal aku hanya staf di bagian akuntansi, dengan gaji yang tidak berlebih banyak.
Di tempat kerja kadang-kadang ada kasak-kusuk dan bisik-bisik jahat di belakang aku. “Tuh, lihat deh, Miss Montok datang. Subur banget, ya, Doi?” Kalau masih belum puas menyiksa diri, aku suka dengarkan timpalan selanjutnya. “Makanya kalau bawa makanan, jangan ditawarin terus ke dia. Ntar tambah bulet!”
Rasanya mau marah, tapi memang kenyataan. Kalau mau berpikir positif, masih untung aku dijuluki 'Miss Montok'. Soalnya konotasi 'montok' lebih cenderung ke padat berisi, daripada 'gendut' yang terkesan melecehkan.
Gemuk membuat aku minder. Dulu aku lebih mudah dapat pacar. Sejak putus enam tahun lalu, aku jomblo sampai sekarang. Mungkin tumpukan lemakku mengintimidasi laki-laki. Padahal aku bukan pacar yang posesif dan cemburuan.
Kadang aku mencoba membuat pembenaran diri. Kalau sampai ada yang mau jadi pacarku, berarti dia benar-benar melihat inner beauty-ku. Bukankah kecantikan luar itu juga tidak bertahan lama? Jadi buat apa sibuk urusi kecantikan luar, kalau dalamnya bobrok?
Sayangnya pembenaran diri semacam itu tidak membuatku senang. Jauh di dalam hati, aku sering berharap supaya bisa kurus lagi. Rasanya senang juga kalau bisa jadi diriku yang dulu, yang kurus dan menarik.
Angkot yang aku naiki melaju kencang pagi ini. Memang agak sepi jalanan, agak beda dari hari biasanya. Sampai persimpangan Kebonjati - Pasirkaliki dari rumahku yang di jalan Rajawali Barat, hanya butuh 15 menit. Padahal biasanya macet di dekat Pasar Andir.
Menurut kabar sebelumnya yang aku dengar, Edward lulusan Boston. Dari bulan lalu sudah santer berita kedatangannya. Maklumlah, kantor kami ini mayoritas perempuan. Apalagi kurang lebih 50%-nya masih lajang. Dari yang pernah melihat fotonya di meja Pak Susilo, Edward itu ganteng! Ada lagi tambahan beritanya, dia belum punya pacar! Katanya, entah kabar itu benar atau tidak.
Sejak didaulat jadi sekretaris bos baru, hidupku jadi lebih berwarna. Tiap hari, aku disuguhi pemandangan indah: figur si ganteng! Edward sebagai atasan juga baik. Tidak banyak tuntutan yang tidak masuk akal. Intinya asalkan aku kerjakan sesuai yang diminta, dia tidak banyak ribut. Benar-benar atasan idaman.
Aku ternganga di tempat. Kenaikan dua kali lipat? Ini mimpi? “Bos, kamu yakin? Double ini maksudnya aku kerjakan pekerjaan
Besoknya, waktu aku siap-siap, Mama memulai interogasinya. “Mau pergi, Ester? Sama siapa? Mama kenal nggak orangnya?”“Sama bos baru Ester, Ma. Orangnya baik,” jawabku standar. Sudah terlalu biasa dengan rentetan pertan
“Hidup, mati, jodoh, semua di tangan Tuhan. Kita, manusia, cuma bisa jalani. Kamu tahu, kalau hari itu memang belum waktunya Linda meninggal, biarpun ada kecelakaan parah, dia bakal tetap hidup.”“Mungkin....” Suara Edw
Aku diam saja. Menunggu dirinya melanjutkan lagi ceritanya.Lagi-lagi dia menghela napas panjang. “Kamu tahu, begitu Profesorku komentar seperti itu, malamnya aku tidak bisa tidur. Kecewa, sedih, dan kesal rasanya. Bahkan untuk menjalani
Perjalanan pulang memakan waktu lebih cepat dibandingkan perginya. Kami sudah sampai di depan rumahku.“Mampir?” ajakku, walau agak ragu dia mau masuk ke dalam, berharap juga dia mau. Aku terlalu menikmati bersamanya sampai-sampai