Perjalanan pulang memakan waktu lebih cepat dibandingkan perginya. Kami sudah sampai di depan rumahku.
“Mampir?” ajakku, walau agak ragu dia mau masuk ke dalam, berharap juga dia mau. Aku terlalu menikmati bersamanya sampai-sampai
Dua bulan sudah berlalu dari sejak aku kencan dengan Edward. Di kantor maupun di luar kantor kami semakin akrab. Edward malah setiap hari mengantarkanku pulang. Desas-desus kami pacaran makin santer terdengar. Memang hubungan dekat antara atasan dan bawahan itu bahan gosip yang paling empuk.
Aku buru-buru pergi ke kamar kecil untuk mengecek penampilan. Minyak dan debu tampak menghiasi wajah. Buru-buru aku mencuci muka, pakai foundation, bedak, lipstick, eye-shadow,
Giliran aku yang mencubit pinggangnya sekarang. Mendengar dia mengaduh, aku tersenyum puas.“Ternyata, manis-manis lu sadis juga, Booo!" gerutu Sisil sambil mengusap-usap pinggangnya.
Sesudah mencatat dan mengulangi pesanan kami untuk konfirmasi pesanan, waiter itu pergi untuk memberitahukan pesanan kami.
Beberapa saat sesudah itu, aku masih bersandar di bahu Edward. Bersantai dan menikmati kedekatan kami siang itu. Aku kira dia sudah lupa dengan pertanyaannya sebelum kami pergi ke CiWalk.Tahu-tahu dia menjatuhkan bomnya lagi. “Jad
“Iya,” bisikku lirih. Air mata sudah mulai mengumpul di pelupuk mata, mengancam untuk turun dengan derasnya.Edward termenung sejenak, lalu segera menyetir. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Aku berusaha menenangkan
Edward menggeleng cepat. “Aku sengaja tidak membawa mereka, supaya kita bisa bergerak lebih leluasa. Lagipula hanya presentasi perusahaan dan produk kita, tidak perlu terlalu banyak orang supaya efisiensi biaya.”“Aku kok aga
Jawaban Edward ternyata membuatku terkejut. “Harus buat jebakan. Tidak ada cara lain. Aku butuh bantuan kamu.”