Sepeninggal Revel, Edward menatapku dengan mata menyipit. “Kamu janjian apa dengan dia?" ujarnya dengan suara meninggi.
“Eh? Aku mau traktir dia karena udah bantuin kita."
“Kapan kamu mau traktir dia?" tanyanya lagi.
“Minggu ini sepertinya, tapi belum janjian tempat dan waktu pastinya. Kenapa?"
Berikutnya dia membuat aku benar-benar tercengang. “Aku ikut, ya?" pintanya.
“Ha? Memangnya kenapa?"
Kekasihku itu mengepalkan tangannya. Ekspresi wajahnya tampak keras. “Aku tidak percaya dia. Aku tidak mau dia merebut kamu dari aku."
Aku tertawa. “Ya ampun, Edward. Revel itu cuma anggap aku temen
Aku mencoba mengingat-ingat dari sejak pertama bertemu dengan dia. Sepertinya belum ada tindakan atau kata-katanya yang menyakiti aku. Mungkin aku memang harus memberi dirinya, juga diriku sendiri kesempatan. Bagi Edward, untuk memastikan bahwa yang dicintainya memang aku, bukan Linda. Bagi aku, untuk keluar dari rasa tidak aman dan tidak layak yang terlalu kental, yang memang sudah aku rasakan dari dulu, bukan hanya sekarang ini saja dengan Edward.Aku tersentak. Mengapa jadi teringat pada masalah lama yang aku kira sudah selesai? Masalah merasa tertolak karena perlakuan mama yang menyiratkan seolah aku tidak pernah cukup baik?Ternyata, ini PR lama yang belum aku selesaikan: membentuk rasa percaya diri dan rasa layak. Mungkin pokok masalahnya itu di aku, bukan di Edward. Mungkin Edward hanya sebagai pemicu isu lama yang aku punya, yang memang harus ditu
Di kamar kecil aku buru-buru mencuci wajah dengan banyak air dingin supaya menenangkan pikiran. Sesudah melihat ke cermin dan berusaha tersenyum, aku menarik napas panjang.Edward sepertinya memang benar-benar menyayangi aku. Apa mungkin aku yang membesar-besarkan masalah? Akan tetapi, aku pikir-pikir lagi, mungkin waktu menjauh darinya untuk sementara waktu ini baik juga. Setidaknya kami bisa menilai dan mengukur perasaan masing-masing.Sesudah keluar, aku menampilkan senyum kecil padanya. “Ayo, aku dah siap."Dia menatapku dengan tatapan yang terlihat prihatin. “Kamu baik-baik saja?"Aku mengangguk pelan. “Makasih karena baik banget ke aku."Dia mengusap anak rambutku, menyelipkannya ke balik t
“Jadi begitu?"Begitu aku membalikkan badan, ternyata Edward berdiri di dekat pagar rumahku! Astaga! Ekspresinya kelihatan keruh.“Edward? Kapan datang?"“Aku sudah dari tiga jam yang lalu. Benar yang aku bilang, kan?"Aku tidak menjawab, lalu masuk ke rumah melewati dirinya. “Aku ganti baju dulu. Terus kita bicara, ya?"Dia tidak menyahut.Aku buru-buru ke kamar. Sesudah ganti baju dan menenangkan diri, baru aku turun dan ke ruang tamu lagi.“Edward ..., hm ..., iya, bener yang kamu bilang. Revel ternyata memang suka aku dari dulu."Dia
“Dan berikut adalah nama sepuluh finalis secara acak!”Berdebar-debar waktu menunggu namaku dipanggil panitia penyelenggara Literatur Fiksi
Aku tidak menjawab dan terus menangis. Terlalu emosional untuk menjawab, sambil tersedu sedan, kuketikkan sesuatu di ponsel dan menyodorkannya ke Annie.Annie membacakan ketikanku barusan. “Aku nggak menang. Boro-boro menang. Namak
Angkot yang aku naiki melaju kencang pagi ini. Memang agak sepi jalanan, agak beda dari hari biasanya. Sampai persimpangan Kebonjati - Pasirkaliki dari rumahku yang di jalan Rajawali Barat, hanya butuh 15 menit. Padahal biasanya macet di dekat Pasar Andir.
Menurut kabar sebelumnya yang aku dengar, Edward lulusan Boston. Dari bulan lalu sudah santer berita kedatangannya. Maklumlah, kantor kami ini mayoritas perempuan. Apalagi kurang lebih 50%-nya masih lajang. Dari yang pernah melihat fotonya di meja Pak Susilo, Edward itu ganteng! Ada lagi tambahan beritanya, dia belum punya pacar! Katanya, entah kabar itu benar atau tidak.
Sejak didaulat jadi sekretaris bos baru, hidupku jadi lebih berwarna. Tiap hari, aku disuguhi pemandangan indah: figur si ganteng! Edward sebagai atasan juga baik. Tidak banyak tuntutan yang tidak masuk akal. Intinya asalkan aku kerjakan sesuai yang diminta, dia tidak banyak ribut. Benar-benar atasan idaman.