Sejak didaulat jadi sekretaris bos baru, hidupku jadi lebih berwarna. Tiap hari, aku disuguhi pemandangan indah: figur si ganteng! Edward sebagai atasan juga baik. Tidak banyak tuntutan yang tidak masuk akal. Intinya asalkan aku kerjakan sesuai yang diminta, dia tidak banyak ribut. Benar-benar atasan idaman.
Sudah seminggu, tepatnya lima hari, aku jadi sekretarisnya. Hari Jumat siang, waktu menemani Edward makan siang ke kantin, aku mendengar omongan-omongan tidak enak. Siapa lagi? Pasti Trio Kwek-kwek, julukan yang aku dan teman-teman berikan pada mereka. Trio Kwek-kwek itu kumpulan tiga orang perempuan di bagian Marketing: Yusni, Mira, dan Titin, yang hobinya menggosip di kantor.
“Tuh, Bos Ganteng dan Miss Montok. Aku kok bener-bener nggak habis pikir. Bisa-bisanya si Bos minat sama dia, ya?” ujar Yusni.
“Hush, jangan sembarangan ngomong. Kalau kedengeran Bos, bisa bahaya!” suara Mira berkasak-kusuk.
“Lho, emang kenyataan. Kemaren Parmin bilang ke gue, katanya Bos kita mandangin Miss Montok lama-lama pas lagi kerja,” timpal Titin.
“Heh? Beneran? Gileee! Canggih bener, ya, peletnya si Ester! Ke dukun mana? Aku juga mau tuh kalau emang bisa ngegaet bos-bos muda, ganteng, udah gitu kaya lagi!” balas Yusni. Tawa tertahan mereka terdengar di telingaku. Maklum mereka duduk hanya 2 meja dari mejaku.
Rasanya panas tiba-tiba. Pasti mukaku pasti sudah merah padam. Sentuhan lembut di tanganku membuatku mengangkat wajah.
“Ester, kamu tidak apa-apa? Tidak usah didengarkan. Omongan orang kurang kerjaan itu,” ujar Edward perlahan.
“Eh..., iya. Aku nggak apa-apa, kok.” Aku memaksakan senyum kecil.
“Kalau kamu benar-benar terganggu, aku bisa datangi mereka supaya tutup mulut.”
“Jangan, Pak! Eh, maksud aku, Edward.” Tanpa sadar, aku menyentuh punggung tangannya untuk mencegahnya mendatangi Trio Kwek-kwek. Begitu sadar, aku buru-buru menarik tangan ke posisi semula. “Nanti mereka tambah santer bicara yang enggak-enggak.” Aku mendesah sebelum menggumam, “Nanti juga berhenti sendiri, kalau mereka udah bosen atau dapat bahan gosip yang baru. Tentunya yang lebih panas.”
“Gosip baru? Lebih panas?” Tiba-tiba Edward mengedip ke aku, lalu bicara dengan suara keras. Saking kerasnya, mungkin satu kantin bisa dengar. “Aku pikir semua perlu tahu, membicarakan orang di belakangnya dengan hal-hal yang tidak benar dilakukan orang itu sangat tidak berbudaya.”
Aku ternganga. Sekejap suasana di kantin langsung hening. Sepertinya kalau ada jarum jatuh pun, bisa terdengar. Sadar barusan membuka mulut terlalu lebar, buru-buru aku mengatupkan mulut.
Edward malah terlihat sangat menikmati yang dilakukannya. Dia kembali bicara dengan suara menggelegarnya. “Kalau orang sempat menggosip, berarti kurang kerjaan. Mungkin aku perlu tambah beban kerja. Sepertinya di sini terlalu santai!”
Aku curi-curi pandang ke arah Trio Kwek-kwek. Wajah mereka agak pucat. Tak lama, satu demi satu meninggalkan kantin, lalu kembali ke ruangan mereka. Rasain!
Selama ini aku tidak pernah bisa membela diri di depan mereka. Jadi digosipkan begini-begitu, terima saja. Begini ternyata rasanya dibela, apalagi yang membela atasan yang berpengaruh.
Dia mencolek bahuku. “Besok, bisa temani aku makan malam di The Peak, Ester? Aku dengar-dengar tempatnya romantis.”
Aku terlalu kaget sampai tidak bisa menjawab.
Melihat aku diam saja, Edward bertanya lagi dengan suara yang agak keras, “Ester, jadi gimana? Mau, kan? Jam tujuh, ya?”
“I-iya, aku mau.” Jantungku berdebar kencang. Jangan-jangan Edward bisa dengar detak jantungku.
“Aku jemput kamu ya?” Kali ini nada suaranya sudah kembali normal.
“Eh, itu? Ehm....” Aku bergerak-gerak resah.
“Kenapa? Tidak boleh?”
“Bo-boleh, tapi....”
“Tapi apa?”
“Kita bicaranya nanti sesudah jam kantor, ya, Pak?” sahutku, dengan sengaja menekankan kata 'Pak'.
Dia tersenyum, lagi-lagi membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. “Okay! Ayo, kerja lagi! Jam makan siang sudah habis.”
Baru saja mau bangkit dari tempat duduk, Edward kembali mengagetkan aku.
“Aku serius dengan ajakan tadi. Nanti sore aku antar pulang, ya? Supaya aku tahu persis alamat kamu.” Dia lalu berbisik di dekat telingaku, “Besok malam kencan sungguhan.”
Untunglah aku tidak punya sakit jantung. Karena kalau tidak, pasti kumat waktu Edward menggamit tanganku. Mau lepaskan tangannya? Rasanya tidak sopan. Bergandengan tangan? Di kantor? Rasa-rasanya juga tidak pantas.
Akhirnya, aku biarkan saja tangannya menggandeng tanganku sampai masuk ke ruangan kami. Jantungku semakin menggila debarnya. Detaknya terdengar terlalu kencang, setidaknya di telinga sendiri. Untunglah Edward, sesudah mengantarku masuk ruangan, lantas ke luar ruangan.
Begitu mengempaskan diri di kursi, segera aku rasakan getar-getar dari ponsel. Begitu kuintip, ternyata ada tujuh sms. Tiga dari Sisil, masing-masing dua dari Anna dan Jenny.
Sisil: Gileeeeee! You are the girl! Canggih amat, seminggu berhasil, Non!
Anna: Selamat! Ditunggu makan-makannya!
Sisil: Traktirannya jangan lupa! Gua tunggu lho!
Jenny: Wah, jadi bingung gue. Jadi gue yang mesti traktir atau lu, ya? Congrats ya, Bu!
Anna: Eh, Sisil titip buat bilang, 'Apa jadi impas ya?' Soalnya dia janji traktir, tapi kan kamu yang jadian. Kalau saling nraktir, berarti impas dong?
Sisil: Sinyal Hp gua jelek tadi. Lu kok ga pake cerita-cerita ke gua, sih, Es? Duileh, sahabat terbaik gua deket sama Bos, pake ga bilang-bilang sama gua! Jangan lupa ntar harus cerita komplit! Ga mau tahu!
Jenny: Jangan-jangan di antara kita berempat, lu duluan yang melepas masa lajang, Non. Pokoknya jangan lupa ngundang-ngundang!
Aku langsung menepuk-nepuk pipi. Kenapa jadi heboh begini? Akhirnya aku menjawab dengan satu sms yang dikirim ke mereka bertiga. Itu tadi Edward cuma acting. Gua dan dia nggak ada apa-apa kok. Suerrrr! Sesudah itu segera aku masukkan lagi ponselku ke tas. Pasti akan ada sms susulan yang tidak habis-habisnya kalau aku ladeni terus.
Aku masih harus mengerjakan laporan keuangan yang jadi tugas bulan ini. Walaupun membantu Edward sebagai sekretarisnya, aku berusaha menyelesaikan juga kewajiban di bagian akuntansi dengan laporan-laporan yang ada. Toh, jadi sekretaris Edward cuma sementara. Kalau Edward sudah dapat pengganti, aku akan kembali ke posisi sebelumnya.
Waktu tenggelam dalam kesibukan membuat laporan, telepon di mejaku tiba-tiba berdering.
“Kerjaan kamu bagaimana? Sudah selesai?” Dari Edward ternyata.
“Udah selesai. Aku lagi kerjakan laporan keuangan bulan ini.”
“Wow! Kamu kerjakan double-job?”
“Iya, Pak, eh, Edward. Soalnya kan kewajibanku di bagian Akuntansi. Bantu jadi sekretaris cuma sementara, kan?”
“Are you sure, you can handle both?” Suaranya terdengar agak khawatir karena ingin memastikan bahwa aku bisa menangani kedua pekerjaan itu. Ah, tapi pasti itu cuma bayangan aku saja.
“Iya, aku usahakan.”
“Anyway, apa kamu senang jadi sekretaris aku?”
Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan itu. “Yah, senang sih, Bos. Kenapa?”
“Aku rasanya nyaman sekali bekerja dengan kamu. Aku ingin kamu seterusnya jadi sekretaris aku. What do you think?”
“Aku nggak tahu, Edward. Aku bukan sekretaris profesional. Sekarang ini yang aku urusi bukan yang perlu keahlian khusus. Kalau yang rumit-rumit, nggak tahu sanggup atau enggak.”
Tidak terdengar suara beberapa saat. “Let me tell you. Bagaimana kalau kamu kursus sekretaris? Kantor yang bayari. Jadi seterusnya kamu jadi sekretaris aku. Aku janji akan naikkan gaji kamu. Double?”
Aku ternganga di tempat. Kenaikan dua kali lipat? Ini mimpi? “Bos, kamu yakin? Double ini maksudnya aku kerjakan pekerjaan
Besoknya, waktu aku siap-siap, Mama memulai interogasinya. “Mau pergi, Ester? Sama siapa? Mama kenal nggak orangnya?”“Sama bos baru Ester, Ma. Orangnya baik,” jawabku standar. Sudah terlalu biasa dengan rentetan pertan
“Hidup, mati, jodoh, semua di tangan Tuhan. Kita, manusia, cuma bisa jalani. Kamu tahu, kalau hari itu memang belum waktunya Linda meninggal, biarpun ada kecelakaan parah, dia bakal tetap hidup.”“Mungkin....” Suara Edw
Aku diam saja. Menunggu dirinya melanjutkan lagi ceritanya.Lagi-lagi dia menghela napas panjang. “Kamu tahu, begitu Profesorku komentar seperti itu, malamnya aku tidak bisa tidur. Kecewa, sedih, dan kesal rasanya. Bahkan untuk menjalani
Perjalanan pulang memakan waktu lebih cepat dibandingkan perginya. Kami sudah sampai di depan rumahku.“Mampir?” ajakku, walau agak ragu dia mau masuk ke dalam, berharap juga dia mau. Aku terlalu menikmati bersamanya sampai-sampai
Dua bulan sudah berlalu dari sejak aku kencan dengan Edward. Di kantor maupun di luar kantor kami semakin akrab. Edward malah setiap hari mengantarkanku pulang. Desas-desus kami pacaran makin santer terdengar. Memang hubungan dekat antara atasan dan bawahan itu bahan gosip yang paling empuk.
Aku buru-buru pergi ke kamar kecil untuk mengecek penampilan. Minyak dan debu tampak menghiasi wajah. Buru-buru aku mencuci muka, pakai foundation, bedak, lipstick, eye-shadow,
Giliran aku yang mencubit pinggangnya sekarang. Mendengar dia mengaduh, aku tersenyum puas.“Ternyata, manis-manis lu sadis juga, Booo!" gerutu Sisil sambil mengusap-usap pinggangnya.