Share

Bab 4

Author: Archaengela
last update Last Updated: 2021-01-14 16:28:30

Menurut kabar sebelumnya yang aku dengar, Edward lulusan Boston. Dari bulan lalu sudah santer berita kedatangannya. Maklumlah, kantor kami ini mayoritas perempuan. Apalagi kurang lebih 50%-nya masih lajang. Dari yang pernah melihat fotonya di meja Pak Susilo, Edward itu ganteng! Ada lagi tambahan beritanya, dia belum punya pacar! Katanya, entah kabar itu benar atau tidak.

Melihat sendiri sosok Edward, rasanya ganteng saja tidak cukup. Maskulin, menawan, percaya diri, ramah, tidak sombong. Ah! Mirip jargon untuk pria ideal. Informasi yang satunya lagi agak meragukan kebenarannya. Edward mestinya mudah saja cari pacar. Bahkan kalau mau ganti pacar setiap hari, pasti banyak yang bersedia mengisi posisi itu.

Tiga bulan lalu, Pak Susilo terkena stroke. Rencana awal Pak Susilo yang diberitahukan pada kami dulu, masih lima tahun lagi Edward baru akan ditarik kembali ke Bandung. Selama ini, Edward mengatur kantor perusahaan di New York. 

Suara dehaman kecil memutus lamunanku barusan. Segera aku kembali ke realita. Buru-buru aku menarik tangan yang terlalu lama menggenggam tangannya. 

Dia tersenyum lagi. Lesung pipinya muncul, seakan Tuhan belum puas mendandani makhluk menawan yang satu ini.  

Segera aku masukkan kartu kehadirannya ke mesin ceklok. Sedetik, lalu aku tarik. “Nah, selesai. Tinggal begitu aja, kok.”

“Ah, I see! [1] Terima kasih ya, Ester.” 

“Sama-sama. Aku duluan, Pak.”

“Panggil Edward saja. Tidak usah formalitas, apalagi sepertinya kamu seumur denganku.” Senyum patennya keluar lagi. 

Aku tersenyum balik. Hampir saja tersandung gara-gara terlalu salah tingkah. Setengah berlari aku masuk ke ruangan. Begitu duduk aku baru sadar, Edward ternyata mengekor masuk ke ruangan ku!

“Nanti siang, bisa temani aku makan siang, Ester? Ada beberapa hal yang aku mau tanyakan. Aku perlu guide di kantor ini.”

“Bi-bisa. Na-nanti aku temani,” sahutku, lagi-lagi tergagap. Rasa-rasanya jantungku seperti kena gempa bumi. 

“Terima kasih banyak, ya.” Lagi-lagi dia melempar senyumnya, yang lebih legit dari cheesecake favoritku.

Sesudah Edward keluar, aku segera dikerubuti Sisil, Anna, dan Jenny. Di kantor, selain dengan Sisil, aku lumayan dekat dengan Anna dan Jenny. Awal kedekatan kami karena dua alasan. Pertama, karena kami bekerja di bagian yang sama. Kedua, karena sering makan siang sama-sama. Ternyata kami cocok bergaul. Sampai sekarang sudah 3-4 tahun kami berteman, mengingat Anna dan Jenny masuk ke kantor ini sesudah aku dan Sisil.

“Itu Edward?” tanya Sisil sambil bersiul nyaring. 

Mataku menerawang ke arah pintu. “Iya, itu Edward. Ganteng, ya?” 

“Itu sih bukan cuma ganteng, tapi ganteng buangettttttt!” timpal Jenny. “Kok dia bisa nempel gitu sama lu sih, Ester? Apa rahasianya?”

Aku mengangkat bahu. “Nggak ada rahasia apa-apa. Ketemu di mesin ceklok aja. Tahu-tahu dia malah minta bantuan. Katanya nggak pernah pakai yang kayak gitu.”

Jenny menepuk bahuku. “Udah ganteng, wangi lagi. Hebat, Es! Kalau lu bisa gaet bos baru kita, gue traktir all you can eat. Gimana?”

Sisil ikut menimpali, “Iya, Es, gua traktir lu di steak house. Lu kan paling hobi steak. Gimana?”

“Tadi itu cuma kebetulan. Nggak ada apa-apa sama sekali.” Aku pura-pura cemberut. Sengaja untuk menyembunyikan debar jantung yang menggila. “Kenal juga enggak. Kok udah kejauhan gitu mikirnya sampai mau traktir kalau bisa jadian sama dia? Ada-ada aja!”

“Lha, apa salahnya, Ester? Dia kan kabarnya single. Kamu juga, kan? Jadi tunggu apa lagi?” Anna malah mengompori aku. 

“Bener tuh kata Anna. Masa yang high quality gitu di depan mata nggak mau dikejar, Es?” Jenny mengedipkan sebelah matanya. 

Obrolan kami terputus karena Edward masuk lagi ke ruangan kami. “Ester, bisa ikut sebentar ke ruanganku?” Lagi-lagi senyum mautnya diarahkan ke aku. 

Aduh, senyum di wajah seganteng itu rasanya seperti kejahatan. Soalnya bisa membuat hampir semua perempuan lupa daratan dan mau lakukan apa saja hanya karena disenyumi. 

“I-iya. Aku datang.”

Kerumunan kami langsung bubar. Masih bisa aku dengar bisik-bisik di belakang aku. “Mantap Ester, bisa deket bos baru kita.” Suara Anna kedengaran sayup-sayup.

“Ester memang manis, kok. Nggak heranlah kalau si bos suka.” Ini suara Jenny.

“Doi juga pinter. Temen gua gitu, lho!” Nah kalau ini, suara Sisil. 

Duh, kalau aku masih bisa dengar suara mereka, mestinya Edward juga. Pipiku menghangat. Aku tidak sempat melamun berlama-lama, karena sudah masuk ke ruangan Edward. 

Ruangannya luas. Meja dan lemari besar dari kayu jati dominan menghiasi ruangan itu. Ada beberapa potret di atas mejanya, juga komputer. Ada rak pajangan dari kaca di samping, masih dalam keadaan kosong. 

Aku segera duduk di kursi yang ada di mejanya. Edward sudah duduk lebih dulu. “Ehem, maaf yang tadi, Pak. Teman-temanku cuma asal ngomong aja,” ujarku pelan sambil menunduk. Pipiku masih terasa panas dari tadi. 

Di luar dugaan, Edward malah tergelak. Aku mengangkat kepala untuk menatapnya. Matanya terlihat berbinar. 

“Kalau betulan juga tidak masalah. Aku pikir omongan mereka memang ada benarnya. Banyak benarnya!”

Aku tertegun. Sepertinya aku salah dengar omongannya. “Eh? Maksud Bapak?”

Edward tidak menjawab. Lagi-lagi dia tersenyum. “Coba ya, jangan panggil aku 'Bapak'. Aku belum jadi Bapak-bapak.” 

“Maaf, Pak. Eh, maksud aku, maaf, Edward.”

“Nah, begitu lebih baik. Boleh aku tahu, kamu bagian apa, Ester?” Ditatapnya aku dengan tatapan tak putus-putus. 

“A-aku bagian Akuntansi, Pak, eh-eh, maksud aku, Edward.” Dalam hati aku memaki diri sendiri yang tergagap lagi.

“Begini, aku butuh sekretaris. Apa kamu bisa bantu aku sementara? Selagi menunggu sekretaris baru. Kamu bantu aku, ya?”

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Eh, tapi..., tapi..., aku belum pernah jadi sekretaris.”

“Tidak masalah, setidaknya kamu sudah agak lama di sini, kan?”

“A-aku sudah 5 tahun kerja di sini, sih.”

Perfect! Jadi kamu bisa membantuku menjelaskan hal-hal yang aku belum tahu.” 

“Uhm....” Aku bergerak-gerak gelisah di kursi aku. “Kenapa aku?”

“Seorang sekretaris akan selalu berada di dekatku. Aku merasa kamu cocok untuk membantu menjalankan kewajiban baruku di sini. Tolong, ya? Please?” Matanya tampak memohon. 

Kamu tahu? Kalau seorang laki-laki ganteng memohon begitu, rasanya hati ini langsung lumer. Jadi aku cuma bisa mengangguk. 

Excellent! Hari ini kamu langsung mulai, ya? Aku sudah minta OB untuk siapkan meja dan kursi buat kamu di ruanganku. Jadi aku tidak usah repot-repot kalau mau cari kamu.” Dia menekan beberapa nomor di teleponnya. “Pak Ruslan, bisa bawa masuk sekarang, Pak. Terima kasih!”

Tak lama, beberapa OB mengetuk pintu. Mereka membawa masuk meja dan kursi ke dalam. Sesudah meminta arahan Edward tentang posisi meja dan kursi itu, mereka mengaturnya, lalu pamit.

Aku memperhatikan itu dengan tanpa sadar berdecak. Sepertinya dia yakin sekali kalau aku pasti setuju dengan permintaannya. 

“Kenapa, sepertinya kamu tidak puas?” tanyanya.

Aku tertawa kecil, setengah dipaksakan. “Kok Bapak sepertinya yakin banget aku bakal jawab 'iya'?”

Feeling. Aku cukup yakin kita akan bekerja sama dengan baik. Satu lagi, aku ulang untuk ketiga kalinya. Jangan panggil aku 'Pak',” katanya sambil terkekeh.

Aku berdeham. Salah tingkah. “Baik, Pak, eh, Edward. Memang kenapa? Kok aku tidak boleh panggil begitu?”

“Aku tidak mau jadi lebih tua dengan dipanggil 'Pak'. Jadi get use to it, okay?sahutnya lagi memintaku untuk terbiasa dengan permintaannya untuk tidak dipanggil "Pak".

Aku mengangkat bahu dengan pasrah. 

Related chapters

  • Miss Montok   Bab 5

    Sejak didaulat jadi sekretaris bos baru, hidupku jadi lebih berwarna. Tiap hari, aku disuguhi pemandangan indah: figur si ganteng! Edward sebagai atasan juga baik. Tidak banyak tuntutan yang tidak masuk akal. Intinya asalkan aku kerjakan sesuai yang diminta, dia tidak banyak ribut. Benar-benar atasan idaman.

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 6

    Aku ternganga di tempat. Kenaikan dua kali lipat? Ini mimpi? “Bos, kamu yakin? Double ini maksudnya aku kerjakan pekerjaan

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 7

    Besoknya, waktu aku siap-siap, Mama memulai interogasinya. “Mau pergi, Ester? Sama siapa? Mama kenal nggak orangnya?”“Sama bos baru Ester, Ma. Orangnya baik,” jawabku standar. Sudah terlalu biasa dengan rentetan pertan

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 8

    “Hidup, mati, jodoh, semua di tangan Tuhan. Kita, manusia, cuma bisa jalani. Kamu tahu, kalau hari itu memang belum waktunya Linda meninggal, biarpun ada kecelakaan parah, dia bakal tetap hidup.”“Mungkin....” Suara Edw

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 9

    Aku diam saja. Menunggu dirinya melanjutkan lagi ceritanya.Lagi-lagi dia menghela napas panjang. “Kamu tahu, begitu Profesorku komentar seperti itu, malamnya aku tidak bisa tidur. Kecewa, sedih, dan kesal rasanya. Bahkan untuk menjalani

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 10

    Perjalanan pulang memakan waktu lebih cepat dibandingkan perginya. Kami sudah sampai di depan rumahku.“Mampir?” ajakku, walau agak ragu dia mau masuk ke dalam, berharap juga dia mau. Aku terlalu menikmati bersamanya sampai-sampai

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 11

    Dua bulan sudah berlalu dari sejak aku kencan dengan Edward. Di kantor maupun di luar kantor kami semakin akrab. Edward malah setiap hari mengantarkanku pulang. Desas-desus kami pacaran makin santer terdengar. Memang hubungan dekat antara atasan dan bawahan itu bahan gosip yang paling empuk.

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 12

    Aku buru-buru pergi ke kamar kecil untuk mengecek penampilan. Minyak dan debu tampak menghiasi wajah. Buru-buru aku mencuci muka, pakai foundation, bedak, lipstick, eye-shadow,

    Last Updated : 2021-01-14

Latest chapter

  • Miss Montok    Bab 32

    “Jadi begitu?"Begitu aku membalikkan badan, ternyata Edward berdiri di dekat pagar rumahku! Astaga! Ekspresinya kelihatan keruh.“Edward? Kapan datang?"“Aku sudah dari tiga jam yang lalu. Benar yang aku bilang, kan?"Aku tidak menjawab, lalu masuk ke rumah melewati dirinya. “Aku ganti baju dulu. Terus kita bicara, ya?"Dia tidak menyahut.Aku buru-buru ke kamar. Sesudah ganti baju dan menenangkan diri, baru aku turun dan ke ruang tamu lagi.“Edward ..., hm ..., iya, bener yang kamu bilang. Revel ternyata memang suka aku dari dulu."Dia

  • Miss Montok   Bab 31

    Di kamar kecil aku buru-buru mencuci wajah dengan banyak air dingin supaya menenangkan pikiran. Sesudah melihat ke cermin dan berusaha tersenyum, aku menarik napas panjang.Edward sepertinya memang benar-benar menyayangi aku. Apa mungkin aku yang membesar-besarkan masalah? Akan tetapi, aku pikir-pikir lagi, mungkin waktu menjauh darinya untuk sementara waktu ini baik juga. Setidaknya kami bisa menilai dan mengukur perasaan masing-masing.Sesudah keluar, aku menampilkan senyum kecil padanya. “Ayo, aku dah siap."Dia menatapku dengan tatapan yang terlihat prihatin. “Kamu baik-baik saja?"Aku mengangguk pelan. “Makasih karena baik banget ke aku."Dia mengusap anak rambutku, menyelipkannya ke balik t

  • Miss Montok   Bab 30

    Aku mencoba mengingat-ingat dari sejak pertama bertemu dengan dia. Sepertinya belum ada tindakan atau kata-katanya yang menyakiti aku. Mungkin aku memang harus memberi dirinya, juga diriku sendiri kesempatan. Bagi Edward, untuk memastikan bahwa yang dicintainya memang aku, bukan Linda. Bagi aku, untuk keluar dari rasa tidak aman dan tidak layak yang terlalu kental, yang memang sudah aku rasakan dari dulu, bukan hanya sekarang ini saja dengan Edward.Aku tersentak. Mengapa jadi teringat pada masalah lama yang aku kira sudah selesai? Masalah merasa tertolak karena perlakuan mama yang menyiratkan seolah aku tidak pernah cukup baik?Ternyata, ini PR lama yang belum aku selesaikan: membentuk rasa percaya diri dan rasa layak. Mungkin pokok masalahnya itu di aku, bukan di Edward. Mungkin Edward hanya sebagai pemicu isu lama yang aku punya, yang memang harus ditu

  • Miss Montok   Bab 29

    Sepeninggal Revel, Edward menatapku dengan mata menyipit. “Kamu janjian apa dengan dia?" ujarnya dengan suara meninggi.“Eh? Aku mau traktir dia karena udah bantuin kita."“Kapan kamu mau traktir dia?" tanyanya lagi.“Minggu ini sepertinya, tapi belum janjian tempat dan waktu pastinya. Kenapa?"Berikutnya dia membuat aku benar-benar tercengang. “Aku ikut, ya?" pintanya.“Ha? Memangnya kenapa?"Kekasihku itu mengepalkan tangannya. Ekspresi wajahnya tampak keras. “Aku tidak percaya dia. Aku tidak mau dia merebut kamu dari aku."Aku tertawa. “Ya ampun, Edward. Revel itu cuma anggap aku temen

  • Miss Montok   Bab 28

    Aku tersenyum sambil mengangguk. Sepeninggal Edward, aku asyik memperhatikan kamarnya, terutama foto-fotonya. Ada fotonya waktu kecil, remaja, dan juga dewasa. Saat Edward kecil, dia terlihat menggemaskan. Menginjak remaja, dia terlihat mulai serius. Begitu dewasa, ekspresinya tampak formal dan serius. Aku tersenyum-senyum sambil memperhatikan foto demi foto.Langkahku terhenti waktu melihat satu foto. Aku memperhatikan foto itu dengan saksama. Siapa ini?Tiba-tiba pintu kamar terbuka. “Sudah jam sembilan, Sweetheart. Walaupun ingin berlama-lama dengan kamu, aku sudah janji ke papa dan mama kamu untuk mengantar kamu pulang."“Oh, iya. Terlalu asyik di sini sampai lupa waktu. Untung kamu ingetin."

  • Miss Montok   Bab 27

    “Edward, Mama mau bicara. Biar papa ngobrol dulu dengan Ester."Edward mengangguk cepat. Digandengnya aku untuk duduk di sofa ruang tamu. “Aku bicara dulu dengan Mama, ya. Tenang! Semua pasti baik-baik saja," bisiknya sambil mengelus rambutku.Aku balas mengangguk, walau jantungku berdebar begitu cepatnya. Respons Tante Denia memang sesuai dengan yang aku sudah perkirakan.Tante Denia lalu keluar dari ruang tengah diikuti Edward. Aku tidak menunggu sendirian terlalu lama. Sekitar mungkin satu atau dua menit kemudian, Pak Susilo masuk ke ruang tengah.Begitu melihat Pak Susilo, aku segera berdiri dan menyalami beliau. “Selamat malam, Pak."Pak Susilo tersenyum. “Kalau di rumah, panggil 'Om' aja, Ester.

  • Miss Montok   Bab 26

    Begitu ada kesempatan untuk menarik napas, aku buru-buru mengajak Edward chat di H-messenger. Sengaja aku tidak bicara langsung supaya tidak ada yang mencuri dengar pembicaraan kami.Chubby-girl: Bos, tebak? Aku udah dapet orang buat bantu kita dengan urusan yang waktu itu.Boston-man: Oh, ya? Siapa? Secepat ini kamu sudah dapat? Hebat!Chubby-girl: Revel. Aku baru inget kalau dulu dia pinter banget urusan memata-matai dan prank orang.Boston-man: Kamu yakin dia bisa dipercaya?Chubby-girl: Iya, dia bisa diper

  • Miss Montok   Bab 25

    Paginya begitu sampai di Bandung, aku dan Edward langsung pulang ke rumahku. Mama langsung keluar sebelum aku membunyikan bel, sepertinya sudah menunggu kedatanganku dari tadi.“Ma, Ester pulang. Ini bawa oleh-oleh abon, dendeng, sama balsem pesanan Mama.” Aku mengeluarkan oleh-oleh itu dari dalam koper.“Edward, duduk dulu. Mau minum apa?” tawar Mama.“Tidak usah, Tante. Aku harus pulang. Mama aku ada di rumah hari ini.”Aku dan Mama mengantar Edward sampai ke pintu luar. “Salam buat mamanya, ya, Edward?” kata Mama.“Iya, Tante. Nanti aku sampaikan.” Edward lalu seperti teringat sesuatu. “Oh, ya, terima kasih banyak rotinya, Tante. Enak!”

  • Miss Montok   Bab 24

    Kami bersantai dan beristirahat sampai pukul empat sore. Edward mengajakku makan malam ke salah satu restoran terkenal di dekat hotel kami. Interior dari hotelnya dihiasi banyak lukisan. Konsep open kitchen membuat kami bisa melihat saat para chef mempersiapkan dan memasak hidangan yang kami pesan.Sambil makan, kami mendiskusikan tentang hal-hal yang harus disampaikan pada peserta pertemuan. Saat itu perhatian kami memang melulu mengenai urusan bisnis. Jadi aku tidak terlalu memperhatikan makanan yang dimakan barusan.Selesai makan, kami segera kembali ke hotel untuk mempersiapkan diri dalam pertemuan nanti malam. Sesudah mandi lagi dan beristirahat sejenak, kami datang 30 meni

DMCA.com Protection Status