Share

Bab 3

Penulis: Archaengela
last update Terakhir Diperbarui: 2021-01-14 16:25:18

Angkot yang aku naiki melaju kencang pagi ini. Memang agak sepi jalanan, agak beda dari hari biasanya. Sampai persimpangan Kebonjati - Pasirkaliki dari rumahku yang di jalan Rajawali Barat, hanya butuh 15 menit. Padahal biasanya macet di dekat Pasar Andir.  

Mungkin gara-gara waktu subuh hujan, jadi orang-orang agak malas keluar rumah. Udara yang dingin ditambah jalanan yang tergenang benar-benar bukan situasi ideal untuk keluar rumah. Lebih nyaman kalau bergelung di balik selimut. Sayang kemewahan seperti itu tidak ada di hari kerja. Deru kendaraan yang membelah jalanan terdengar seperti musik di telinga aku. Belum lagi petrikor, aroma tanah yang menguar sehabis hujan, terasa menenangkan hati. 

Aku turun di persimpangan. Menyeberang, lalu menunggu angkot berikutnya untuk ke Cipaganti. Lima menit kemudian, angkot yang aku tunggu datang juga. Angkotnya agak penuh. Tinggal kursi di depan di sebelah supir yang kosong. Buru-buru aku membuka pintu dan duduk di situ. Kursi langsung melesak begitu diduduki. 

Euleuh-euleuh, Neng Geulis,” kata supir itu. Artinya kurang lebih, “Wah, wah, Nona Cantik.”

Seharusnya itu pujian, sayangnya nadanya terdengar agak sedikit menyindir. Setidaknya itu yang tertangkap telingaku. Entah, mungkin juga aku masih agak sensitif pagi ini gara-gara kejadian mengecewakan di Jakarta tadi malam.

Sesudah dua puluh menit melaju, sampailah angkot itu di pertengahan jalan Cipaganti. Aku segera turun sesudah membayar. Dari sana aku menyeberang, lalu berjalan lima menit lagi menuju kantor di Cihampelas. 

Kantor tempatku bekerja dari luar seperti bangunan rumah biasa yang besar. Begitu masuk ke dalam, baru terlihat bangunan kantornya. Kantor kami itu mengurusi pabrik tekstil yang ada di Cimahi. Sehari-hari aku di situ, kecuali akhir tahun. Di akhir tahun biasanya ada stock opname, menghitung dan memeriksa persediaan, di gudang yang ada di Cimahi. 

“Met pagi, Ester,” sapa Sisil yang berpapasan denganku di pintu gerbang. “Gimana hasilnya kemaren? Juara?”

Aku buru-buru menarik tangan Sisil, menuntunnya untuk mengikutiku ke kantin di belakang. Sesampainya di sana, kantin masih sepi. Hanya ada kami berdua di sana. 

“Sisil, huhuhuhu. Boro-boro juara, nama gua malah nggak ada di daftar finalis. Udah habis 350 ribu buat pergi ke Jakarta. Buang-buang uang aja.”

“Lho, kok bisa gitu, sih, Es? Gimana ceritanya tuh?”

Aku mulai cerita sampai selesai. Tanpa terasa tanggul di mataku kembali bobol. Sambil bercerita, aku berulang kali menyusut mata dengan tisu. Beberapa karyawan mulai datang ke kantin. Aku menarik napas panjang, berusaha mengendalikan diri supaya berhenti menangis. 

“Mestinya lu marah-marah ke panitianya, Es! Kok nggak profesional amat!” maki Sisil sambil menggebrak meja. 

Beberapa karyawan yang baru datang itu jadi menoleh ke arah kami. Mungkin kaget, mungkin juga penasaran ingin tahu. 

“Ssssh, jangan keras-keras! Malu kalau kedengaran yang lain,” bisikku. 

“Kenapa harus malu? Mana ada udah diumumin finalis, terus bisa-bisanya nama lu ga ada di daftar? Kalau mau, lu bisa menuntut!” 

Menuntut?  

Tak lama, Sisil menggoyang-goyang bahuku. “Es, Ester! Kok malah ngelamun?” 

“Soalnya lu malah saranin nuntut panitianya. Nggak mungkin bangetlah! Lagian nggak bakal mengubah apa-apa juga.” Aku menghela napas panjang. “Eh, tinggal setengah jam lagi masuk, nih. Mau sarapan apa?”

“Gua mau bubur ayam. Lu mau apa?”

Aku menggeleng. “Nggak mau apa-apa. Gua nggak lapar, Sil.”

“Jangan gitu. Biar bete, makan harus jalan terus!”

“Tapi gua memang lagi nggak nafsu makan,” sahutku lesu, lagi-lagi sambil menyusut air mata yang sudah terlanjur menitik. 

“Gua traktir bubur ayam, ya? Seudah makan, lu pasti ngerasa lebih baik.”

Akhirnya aku menyerah. Membiarkan Sisil membelikanku bubur ayam. Sesudah bubur pesanan datang, kami makan dengan cepat. 

Ternyata benar! Perut kenyang dan hati yang agak lega sesudah bercerita ke Sisil, membuatku merasa lebih baik. Makanan enak dan curhat itu obat terbaik yang setiap perempuan butuhkan. Mungkin laki-laki juga?

Sisil itu selain teman kerja, juga sahabatku yang paling baik. Dia benar-benar mengerti aku. Kenal dia dari masih SMA. Makanya aku girang bukan main bisa kerja di tempat yang sama dengan dia. 

“Ayo masuk. Jangan sampai telat! Nanti ditegur Bu Dwi lagi, lho.” Bu Dwi itu bagian Personalia di kantor kami. 

“Iya, makasih, ya, Sil. Lu memang temen gua yang paling baik!” Aku peluk dia erat-erat.

“Jelas! Sisil gitu, lho!” ujarnya, sambil mengedipkan sebelah matanya, lalu tertawa pongah.  

Tawa Sisil menular. Aku ikut tertawa juga. Kami masuk ke kantor dengan bergandengan tangan. Sisil lebih dulu ke tempat absensi, lalu melambaikan tangannya. “Gua duluan, ya? Harus ngejar laporan bulan lalu, nih!”

Aku mengangguk, lalu melambai ke arahnya. Sesudah memasukkan kartu kehadiran ke mesin ceklok (alat pencatat kehadiran, yang kami beri nama begitu semata karena bunyi 'klok' yang dikeluarkannya setiap kali kartu kehadiran dimasukkan ke dalamnya), kumasukkan kartu itu kembali ke tas.  

***

Selama beberapa hari, tidak ada kejadian yang luar biasa. Satu hari, aku agak kesiangan masuk kantor. Gara-gara angkot yang kunaiki ngetem, alias menepi di pinggir jalan untuk menunggu penumpang, terlalu lama. 

Sampai kantor, waktu bergegas ke mesin ceklok, wangi parfum yang segar menyapa rongga hidungku. Belum sempat berbalik untuk melihat si pemakainya, suara seorang laki-laki, yang terdengar percaya diri dan tegas, menyapaku, “Selamat pagi! 

Sambil berbalik, aku balas menyapa, “Selamat pagi!” Selanjutnya, terpakulah aku di tempat. 

Seorang laki-laki, yang tingginya sekepala lebih tinggi dariku, sedang tersenyum. Senyumnya hangat, mungkin bisa melumerkan mentega. Dia mirip seorang pria foto model Indonesia terkenal. Putih, tinggi, dengan alis tebal. Juga dilengkapi senyum yang memikat.  

Anehnya ekspresinya terlihat agak kaget waktu melihatku. Tanpa sadar aku mengusap pipi. Ada noda di wajahku? Refleks selanjutnya aku mengusap tangan ke baju. Jangan-jangan ada yang salah dengan pakaianku?

Gerakanku terhenti gara-gara si ganteng menyapaku lagi. “Maaf, sudah selesai?”

Aku terlongong. “Uhm?”

“Pakai mesin kehadirannya maksudku.”

“Eh, i-iya. Maaf jadi ngehalangin. Silakan.” Gelagapan aku menjawab. Segera bergeser untuk memberinya ruang. 

Baru berjalan dua, tiga langkah dari mesin ceklok, tiba-tiba si ganteng memanggilku. “Maaf, bisa tolong aku?”

Aku berbalik, lalu berjalan kembali ke arah mesin ceklok. “I-iya? Gimana?” Aduh! Kenapa aku jadi terbata-bata begini? 

“Aku belum pernah pakai yang seperti ini. Bisa bantu aku untuk daftar kehadiran? Oh ya, nama aku Edward. Kamu?” Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Es-Ester.” 

Ternyata, ini atasan baru kami! Aku yakin kantor kami pasti bakal ramai dengan adanya bos baru muda dan ganteng ini. Atasan baru kami itu anaknya Pak Susilo, bos besar kami.

Bab terkait

  • Miss Montok   Bab 4

    Menurut kabar sebelumnya yang aku dengar, Edward lulusan Boston. Dari bulan lalu sudah santer berita kedatangannya. Maklumlah, kantor kami ini mayoritas perempuan. Apalagi kurang lebih 50%-nya masih lajang. Dari yang pernah melihat fotonya di meja Pak Susilo, Edward itu ganteng! Ada lagi tambahan beritanya, dia belum punya pacar! Katanya, entah kabar itu benar atau tidak.

    Terakhir Diperbarui : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 5

    Sejak didaulat jadi sekretaris bos baru, hidupku jadi lebih berwarna. Tiap hari, aku disuguhi pemandangan indah: figur si ganteng! Edward sebagai atasan juga baik. Tidak banyak tuntutan yang tidak masuk akal. Intinya asalkan aku kerjakan sesuai yang diminta, dia tidak banyak ribut. Benar-benar atasan idaman.

    Terakhir Diperbarui : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 6

    Aku ternganga di tempat. Kenaikan dua kali lipat? Ini mimpi? “Bos, kamu yakin? Double ini maksudnya aku kerjakan pekerjaan

    Terakhir Diperbarui : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 7

    Besoknya, waktu aku siap-siap, Mama memulai interogasinya. “Mau pergi, Ester? Sama siapa? Mama kenal nggak orangnya?”“Sama bos baru Ester, Ma. Orangnya baik,” jawabku standar. Sudah terlalu biasa dengan rentetan pertan

    Terakhir Diperbarui : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 8

    “Hidup, mati, jodoh, semua di tangan Tuhan. Kita, manusia, cuma bisa jalani. Kamu tahu, kalau hari itu memang belum waktunya Linda meninggal, biarpun ada kecelakaan parah, dia bakal tetap hidup.”“Mungkin....” Suara Edw

    Terakhir Diperbarui : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 9

    Aku diam saja. Menunggu dirinya melanjutkan lagi ceritanya.Lagi-lagi dia menghela napas panjang. “Kamu tahu, begitu Profesorku komentar seperti itu, malamnya aku tidak bisa tidur. Kecewa, sedih, dan kesal rasanya. Bahkan untuk menjalani

    Terakhir Diperbarui : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 10

    Perjalanan pulang memakan waktu lebih cepat dibandingkan perginya. Kami sudah sampai di depan rumahku.“Mampir?” ajakku, walau agak ragu dia mau masuk ke dalam, berharap juga dia mau. Aku terlalu menikmati bersamanya sampai-sampai

    Terakhir Diperbarui : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 11

    Dua bulan sudah berlalu dari sejak aku kencan dengan Edward. Di kantor maupun di luar kantor kami semakin akrab. Edward malah setiap hari mengantarkanku pulang. Desas-desus kami pacaran makin santer terdengar. Memang hubungan dekat antara atasan dan bawahan itu bahan gosip yang paling empuk.

    Terakhir Diperbarui : 2021-01-14

Bab terbaru

  • Miss Montok    Bab 32

    “Jadi begitu?"Begitu aku membalikkan badan, ternyata Edward berdiri di dekat pagar rumahku! Astaga! Ekspresinya kelihatan keruh.“Edward? Kapan datang?"“Aku sudah dari tiga jam yang lalu. Benar yang aku bilang, kan?"Aku tidak menjawab, lalu masuk ke rumah melewati dirinya. “Aku ganti baju dulu. Terus kita bicara, ya?"Dia tidak menyahut.Aku buru-buru ke kamar. Sesudah ganti baju dan menenangkan diri, baru aku turun dan ke ruang tamu lagi.“Edward ..., hm ..., iya, bener yang kamu bilang. Revel ternyata memang suka aku dari dulu."Dia

  • Miss Montok   Bab 31

    Di kamar kecil aku buru-buru mencuci wajah dengan banyak air dingin supaya menenangkan pikiran. Sesudah melihat ke cermin dan berusaha tersenyum, aku menarik napas panjang.Edward sepertinya memang benar-benar menyayangi aku. Apa mungkin aku yang membesar-besarkan masalah? Akan tetapi, aku pikir-pikir lagi, mungkin waktu menjauh darinya untuk sementara waktu ini baik juga. Setidaknya kami bisa menilai dan mengukur perasaan masing-masing.Sesudah keluar, aku menampilkan senyum kecil padanya. “Ayo, aku dah siap."Dia menatapku dengan tatapan yang terlihat prihatin. “Kamu baik-baik saja?"Aku mengangguk pelan. “Makasih karena baik banget ke aku."Dia mengusap anak rambutku, menyelipkannya ke balik t

  • Miss Montok   Bab 30

    Aku mencoba mengingat-ingat dari sejak pertama bertemu dengan dia. Sepertinya belum ada tindakan atau kata-katanya yang menyakiti aku. Mungkin aku memang harus memberi dirinya, juga diriku sendiri kesempatan. Bagi Edward, untuk memastikan bahwa yang dicintainya memang aku, bukan Linda. Bagi aku, untuk keluar dari rasa tidak aman dan tidak layak yang terlalu kental, yang memang sudah aku rasakan dari dulu, bukan hanya sekarang ini saja dengan Edward.Aku tersentak. Mengapa jadi teringat pada masalah lama yang aku kira sudah selesai? Masalah merasa tertolak karena perlakuan mama yang menyiratkan seolah aku tidak pernah cukup baik?Ternyata, ini PR lama yang belum aku selesaikan: membentuk rasa percaya diri dan rasa layak. Mungkin pokok masalahnya itu di aku, bukan di Edward. Mungkin Edward hanya sebagai pemicu isu lama yang aku punya, yang memang harus ditu

  • Miss Montok   Bab 29

    Sepeninggal Revel, Edward menatapku dengan mata menyipit. “Kamu janjian apa dengan dia?" ujarnya dengan suara meninggi.“Eh? Aku mau traktir dia karena udah bantuin kita."“Kapan kamu mau traktir dia?" tanyanya lagi.“Minggu ini sepertinya, tapi belum janjian tempat dan waktu pastinya. Kenapa?"Berikutnya dia membuat aku benar-benar tercengang. “Aku ikut, ya?" pintanya.“Ha? Memangnya kenapa?"Kekasihku itu mengepalkan tangannya. Ekspresi wajahnya tampak keras. “Aku tidak percaya dia. Aku tidak mau dia merebut kamu dari aku."Aku tertawa. “Ya ampun, Edward. Revel itu cuma anggap aku temen

  • Miss Montok   Bab 28

    Aku tersenyum sambil mengangguk. Sepeninggal Edward, aku asyik memperhatikan kamarnya, terutama foto-fotonya. Ada fotonya waktu kecil, remaja, dan juga dewasa. Saat Edward kecil, dia terlihat menggemaskan. Menginjak remaja, dia terlihat mulai serius. Begitu dewasa, ekspresinya tampak formal dan serius. Aku tersenyum-senyum sambil memperhatikan foto demi foto.Langkahku terhenti waktu melihat satu foto. Aku memperhatikan foto itu dengan saksama. Siapa ini?Tiba-tiba pintu kamar terbuka. “Sudah jam sembilan, Sweetheart. Walaupun ingin berlama-lama dengan kamu, aku sudah janji ke papa dan mama kamu untuk mengantar kamu pulang."“Oh, iya. Terlalu asyik di sini sampai lupa waktu. Untung kamu ingetin."

  • Miss Montok   Bab 27

    “Edward, Mama mau bicara. Biar papa ngobrol dulu dengan Ester."Edward mengangguk cepat. Digandengnya aku untuk duduk di sofa ruang tamu. “Aku bicara dulu dengan Mama, ya. Tenang! Semua pasti baik-baik saja," bisiknya sambil mengelus rambutku.Aku balas mengangguk, walau jantungku berdebar begitu cepatnya. Respons Tante Denia memang sesuai dengan yang aku sudah perkirakan.Tante Denia lalu keluar dari ruang tengah diikuti Edward. Aku tidak menunggu sendirian terlalu lama. Sekitar mungkin satu atau dua menit kemudian, Pak Susilo masuk ke ruang tengah.Begitu melihat Pak Susilo, aku segera berdiri dan menyalami beliau. “Selamat malam, Pak."Pak Susilo tersenyum. “Kalau di rumah, panggil 'Om' aja, Ester.

  • Miss Montok   Bab 26

    Begitu ada kesempatan untuk menarik napas, aku buru-buru mengajak Edward chat di H-messenger. Sengaja aku tidak bicara langsung supaya tidak ada yang mencuri dengar pembicaraan kami.Chubby-girl: Bos, tebak? Aku udah dapet orang buat bantu kita dengan urusan yang waktu itu.Boston-man: Oh, ya? Siapa? Secepat ini kamu sudah dapat? Hebat!Chubby-girl: Revel. Aku baru inget kalau dulu dia pinter banget urusan memata-matai dan prank orang.Boston-man: Kamu yakin dia bisa dipercaya?Chubby-girl: Iya, dia bisa diper

  • Miss Montok   Bab 25

    Paginya begitu sampai di Bandung, aku dan Edward langsung pulang ke rumahku. Mama langsung keluar sebelum aku membunyikan bel, sepertinya sudah menunggu kedatanganku dari tadi.“Ma, Ester pulang. Ini bawa oleh-oleh abon, dendeng, sama balsem pesanan Mama.” Aku mengeluarkan oleh-oleh itu dari dalam koper.“Edward, duduk dulu. Mau minum apa?” tawar Mama.“Tidak usah, Tante. Aku harus pulang. Mama aku ada di rumah hari ini.”Aku dan Mama mengantar Edward sampai ke pintu luar. “Salam buat mamanya, ya, Edward?” kata Mama.“Iya, Tante. Nanti aku sampaikan.” Edward lalu seperti teringat sesuatu. “Oh, ya, terima kasih banyak rotinya, Tante. Enak!”

  • Miss Montok   Bab 24

    Kami bersantai dan beristirahat sampai pukul empat sore. Edward mengajakku makan malam ke salah satu restoran terkenal di dekat hotel kami. Interior dari hotelnya dihiasi banyak lukisan. Konsep open kitchen membuat kami bisa melihat saat para chef mempersiapkan dan memasak hidangan yang kami pesan.Sambil makan, kami mendiskusikan tentang hal-hal yang harus disampaikan pada peserta pertemuan. Saat itu perhatian kami memang melulu mengenai urusan bisnis. Jadi aku tidak terlalu memperhatikan makanan yang dimakan barusan.Selesai makan, kami segera kembali ke hotel untuk mempersiapkan diri dalam pertemuan nanti malam. Sesudah mandi lagi dan beristirahat sejenak, kami datang 30 meni

DMCA.com Protection Status