Aku ternganga di tempat. Kenaikan dua kali lipat? Ini mimpi? “Bos, kamu yakin? Double ini maksudnya aku kerjakan pekerjaan sebagai sekretaris kamu dan juga sebagai akuntan?”
“Sebentar, aku ada keperluan. Nanti kita lanjutkan.” Edward menutup teleponnya.
Aku kembali mencari berkas data yang dibutuhkan untuk menyusun laporan keuangan bulan lalu. Beberapa saat kemudian, saking terlalu terhanyut dalam kesibukan, tahu-tahu saja Edward sudah duduk di depanku.
“Menjawab pertanyaan kamu terakhir, aku meminta kamu jadi sekretarisku sepenuhnya. Pekerjaan sebagai akuntan dikerjakan oleh staf yang lain saja. Jadi kamu bisa fokus. Mau, ya?”
Tanpa pikir panjang lagi aku mengangguk. Ini mimpi yang jadi kenyataan. Dari tahun lalu aku berharap-harap dapat kenaikan gaji. Ternyata sekarang terwujud, dua kali lipat lagi! Siapa yang tidak mau?
***
Sudah pukul lima sore. Cepat sekali waktu berjalan. Tumpukan kerjaan yang cukup banyak dari pagi, sudah diselesaikan satu per satu. Baru saja mau beres-beres, aku lihat Edward mendekati mejaku.
“Sudah selesai? Pulang, yuk?” ajaknya.
“Iya, tinggal save dan print dokumen aja. Gimana kalau kamu duluan aja, Bos? Ketemu di tempat parkir?”
Dia menggeleng. “Jangan, aku tunggu kamu saja. Tidak lama, kan?” Dia malah duduk di kursi dan menungguku selesai.
“I-iya, sedikit lagi.” Buru-buru aku rapikan meja dan tas.
Kamu tahu? Susah konsentrasi rasanya kalau dipandangi oleh laki-laki ganteng dalam jarak kurang dari satu meter. Hanya tinggal klik beberapa tombol dan masukkan kertas ke printer saja membuatku gugup. Dua menit kemudian selesai juga pekerjaan yang tersisa.
“Done?”
“Iya, udah selesai,” sahutku sambil mengembuskan napas lega.
“Bagus! Ayo!” Digandengnya tanganku.
Begitu kami lewat, Trio Kwek-kwek memperhatikan kami dari kejauhan. Buru-buru aku menarik tanganku. Aku lihat mereka kasak-kusuk lagi.
Sesudah dekat mobilnya, Ferrari hitam mengilat, Edward segera membukakan pintu untukku. “Silakan masuk.”
“Makasih.”
Aku terpana melihat interior mobilnya. Ini yang namanya mewah! Dashboard, pelapis kursi, sampai setir, semua warna hitam. Benar-benar mencerminkan aura maskulin. Persis seperti pemiliknya. Kabinnya luas, sangat leluasa untuk duduk nyaman.
“Atapnya tidak usah dibuka, ya? Sepertinya agak mendung. Jangan sampai kamu kehujanan,” ujarnya sambil tersenyum hangat.
Gelagapan aku menjawab, “Eh, iya, nggak usah dibuka.” Tertangkap basah karena kedapatan terpukau memperhatikan interior mobilnya. Sudah duduk beberapa saat di dalam pun, aku masih tercengang-cengang.
Sepanjang perjalanan, aku menjadi sangat sadar diri. Banyak pengendara motor dan mobil, apalagi pejalan kaki yang asyik memperhatikan mobil Edward.
Edward mengulurkan tangannya untuk menyalakan CD Player. Sedetik kemudian terdengar lagu lembut. Lagu Tanpamu Sepi, lagu yang dinyanyikan Gigi.
Entah aku yang terlalu lama sendiri (enam tahun jomblo termasuk lama, kan?) atau ada cukup dasar untuk sedikit (atau banyak?) GR (gede rasa). Apa mungkin memang Edward cuma mau berbaik hati saja? Aku sekretarisnya. Kalau hubungan baik terjaga, jelas kami bisa bekerja lebih baik. Dalam hati aku membuat mental note untuk tidak GR. Sengaja aku tepuk-tepuk pipi untuk menyadarkan diri dari serangan rasa GR yang meluap.
Di satu perempatan, saat lampu lalu lintas menyala merah, dia menoleh ke arahku. “Kenapa, Ester? Dingin?”
“Eh, enggak kok. Cuma supaya nggak ngantuk aja, Bos.” Pura-pura aku memaksa mata untuk membuka lebih besar.
“Oh, aku kira kamu kedinginan.” Sambil tetap melihat ke arah depan, dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir, mengikuti irama lagu.
“Lagunya asyik,” ujarku, mencoba memecah keheningan.
“Iya, aku suka lagu ini. Ini lagu kenanganku dengan seseorang.”
Seperti terhempas ke bumi, sesudah barusan melayang-layang di langit. “Oh gitu, ya?”
“Ya,” jawabnya singkat.
Aku kira dia tidak akan melanjutkan pembicaraan. Jadi aku diam saja. Lampu lalu lintas berubah jadi hijau. Mobil melaju menembus lalu lintas sore.
Tiba-tiba Edward mengembuskan napas panjang. “Dia tidak bisa memaafkan waktu sekali aku terpeleset....”
“Terpeleset?”
“Membuat kesalahan, selingkuh. Aku dulu masih muda. Waktu ada seorang perempuan yang super menarik mendekat, aku tidak menolak. Waktu itu hanya untuk senang-senang saja.” Dia terdiam beberapa saat. “...tapi ternyata Linda tahu.... Semuanya berakhir....”
“Aku ikut sedih.”
Dia menarik napas panjang. “Well, my mistake. Setidaknya dari kejadian itu, aku belajar untuk tidak main-main lagi. Gara-gara kebodohan itu aku kehilangan the love of my life.”
Aku termenung sesaat, sebelum memberanikan diri bertanya, “Apa dia sekarang udah menikah?”
“Siapa? Linda?”
“Iya, Linda,” jawabku sambil mengangguk.
Dia terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab, “Belum. Mungkin karena dia terlalu sakit hati.” Kembali terdengar helaan napasnya.
“Kalau begitu, kamu masih punya kesempatan untuk memperjuangkan dia. Selama dia masih sendiri, kesempatan itu masih ada.”
Dia menggeleng cepat. “Sudah setahun aku coba, tapi sepertinya lukanya terlalu dalam. Kami bahkan waktu itu sudah mempersiapkan pernikahan, tapi semuanya batal karena kebodohanku.”
“Kalau memang dia benar-benar berarti bagi kamu, jangan nyerah! Mungkin di dalam hatinya, dia masih berharap bisa kembali pada kamu.” Aku menelan ludah yang tiba-tiba terasa begitu pahit. “Siapa tahu satu saat nanti, Linda bisa maafin kamu, Bos.”
Edward menepikan mobil tiba-tiba. Digenggamnya tanganku. “Ester, terima kasih banyak, ya?”
“Buat apa? Aku nggak ngelakukan apa-apa, kok.”
Dia tersenyum kecil. “Kamu sekretaris, sekaligus sahabat baru yang aku punyai. Terima kasih!”
“Jadi, kalau gitu kita nggak jadi kencan besok?” Dalam hati rasanya ngilu. Sahabat? Ah, sebegitu aja?
Dia menatapku sedetik, lalu tertawa lepas. “Jadi, dong.”
Aku membelalakkan mata. “Lho? Kan kamu masih mau perjuangin Linda. Buat apa kencan sama aku?”
“Kamu orang yang menyambutku pertama kali waktu aku datang ke kantor. Mungkin aku superstitious ya, tapi rasanya kamu akan jadi orang yang penting di hidupku.” Maksudnya superstitious itu percaya tahayul.
Aku tertawa agak sumbang. “Aku? Ya, mudah-mudahan aja aku bisa jadi sekretaris yang baik.”
Sesudah itu perjalanan kami tempuh kembali dalam hening. Sepanjang jalan aku mencoba meredakan kekecewaan yang mencubit-cubit hati.
“Sudah sampai.” Suaranya memenuhi udara.
Memang beda kalau naik angkot dibandingkan Ferrari. Saking nyamannya, sampai-sampai tidak sadar sudah di tujuan. Aku tergagap. “Eh, eh, sudah sampai, ya? Makasih banyak, Bos. Apa mau mampir?”
“Sama-sama, Ester.” Dia menggeleng cepat. “Terima kasih, tapi aku ada satu urusan yang harus dikerjakan. Jadi besok saja aku mampir ke rumah kamu. Sekalian kenalan dengan orangtua kamu. Besok jam tujuh aku jemput, ya?”
“Siap, Bos!” Seulas senyum kecil aku paksakan tampil saat itu.
Edward lalu berlalu. Bibirku kembali datar. Senyum kecil terpaksa itu dengan cepat hilang. Diiringi helaan napas panjang, aku masuk ke rumah. Ternyata aku memang cuma GR.
Besoknya, waktu aku siap-siap, Mama memulai interogasinya. “Mau pergi, Ester? Sama siapa? Mama kenal nggak orangnya?”“Sama bos baru Ester, Ma. Orangnya baik,” jawabku standar. Sudah terlalu biasa dengan rentetan pertan
“Hidup, mati, jodoh, semua di tangan Tuhan. Kita, manusia, cuma bisa jalani. Kamu tahu, kalau hari itu memang belum waktunya Linda meninggal, biarpun ada kecelakaan parah, dia bakal tetap hidup.”“Mungkin....” Suara Edw
Aku diam saja. Menunggu dirinya melanjutkan lagi ceritanya.Lagi-lagi dia menghela napas panjang. “Kamu tahu, begitu Profesorku komentar seperti itu, malamnya aku tidak bisa tidur. Kecewa, sedih, dan kesal rasanya. Bahkan untuk menjalani
Perjalanan pulang memakan waktu lebih cepat dibandingkan perginya. Kami sudah sampai di depan rumahku.“Mampir?” ajakku, walau agak ragu dia mau masuk ke dalam, berharap juga dia mau. Aku terlalu menikmati bersamanya sampai-sampai
Dua bulan sudah berlalu dari sejak aku kencan dengan Edward. Di kantor maupun di luar kantor kami semakin akrab. Edward malah setiap hari mengantarkanku pulang. Desas-desus kami pacaran makin santer terdengar. Memang hubungan dekat antara atasan dan bawahan itu bahan gosip yang paling empuk.
Aku buru-buru pergi ke kamar kecil untuk mengecek penampilan. Minyak dan debu tampak menghiasi wajah. Buru-buru aku mencuci muka, pakai foundation, bedak, lipstick, eye-shadow,
Giliran aku yang mencubit pinggangnya sekarang. Mendengar dia mengaduh, aku tersenyum puas.“Ternyata, manis-manis lu sadis juga, Booo!" gerutu Sisil sambil mengusap-usap pinggangnya.
Sesudah mencatat dan mengulangi pesanan kami untuk konfirmasi pesanan, waiter itu pergi untuk memberitahukan pesanan kami.