Share

Miss Montok
Miss Montok
Author: Archaengela

Bab 1

Author: Archaengela
last update Last Updated: 2021-01-13 22:07:53

“Dan berikut adalah nama sepuluh finalis secara acak!”

Berdebar-debar waktu menunggu namaku dipanggil panitia penyelenggara Literatur Fiksi 2020. Nama demi nama dipanggil, sampai akhirnya tinggal nama finalis terakhir...

“Finalis terakhir, Esenia Adelia! Tepuk tangan!”

Tepuk tangan membahana memenuhi hall JCC.  Sontak hatiku jadi kecut. Seharusnya namaku dipanggil. Dua minggu lalu ada pemberitahuan dari panitia. Namaku, bersama sembilan finalis lainnya, sebagai sepuluh orang finalis yang akan mendapat penghargaan malam itu. 

Pengumuman pemenang mulai dibacakan, aku sudah tidak peduli lagi. Menenggelamkan diri di kursi, alih-alih bersemangat seperti para finalis dan para pendukungnya, aku hanya meringkuk sedih. Menatap kosong pada wajah-wajah penuh kegirangan di depan sana. Riuh rendah suara memenuhi ruangan luas yang dipadati oleh cukup banyak peserta dan pendukungnya.

Semua tanda tanya mulai muncul di pikiranku. Kenapa namaku tidak ada? Apakah panitia salah kirim e-mail? Bagaimana ini bisa terjadi? Mataku memanas. Air mata mulai mengancam untuk turun. Mati-matian kutahan.  

Finalis Literatur Fiksi 2020 mendapat kesempatan untuk berkunjung ke London selama seminggu. Karya pemenangnya bahkan akan diterbitkan oleh penerbit buku terkenal. Sudah pasti siapa pun yang jadi pemenang akan langsung mengorbit. 

Dari tadi aku perhatikan, sejumlah lampu blitz terus menyala. Sepertinya banyak yang mengabadikan acara ini. Lampu kamera video tampak menyorot ke sana-sini, tanda acara itu diliput dan akan disiarkan dalam salah satu segmen acara di televisi tiga hari lagi. Setidaknya itu yang sudah diberitahukan dalam mailing list para peserta sebelumnya. Entah kalau itu bohong juga.

Akhirnya acaranya selesai juga. Segera berjalan cepat menuju arah lobi, sepuluh menit lalu aku sudah pesan taksi menuju ke Gambir. Pikiranku kosong. Hal yang kuinginkan saat ini hanya pulang. Menjauh sesegera mungkin dari tempat terkutuk ini.   

Sebelum mencapai lobi, Nana, salah seorang peserta yang datang dan juga tidak menang, melihat aku. “Ester, kok buru-buru pulang?” sapanya. 

“Ehm, iya aku kurang enak badan, nih. Sampai ketemu lain kali, ya, Na.” Sesudah cipika-cipiki, aku bergegas keluar. Untunglah tak lama menunggu, taksi yang kupesan datang. 

“Mbak Ester Aprianti, ya?” tanya supir taksi itu.

“Iya, betul. Ke Gambir, ya, Pak,” kataku, sambil mengempaskan diri ke kursi taksi. 

Sesudah duduk, pikiranku bolak-balik kembali ke dua minggu lalu. E-mail terkutuk itu yang menyebabkan semua penderitaan ini! Bayangkan, betapa akan sangat malu hari Senin besok. Teman kerja, yang juga sahabatku, Sisil, ikut membaca e-mail itu waktu aku membukanya. Malahan aku sudah janji akan mentraktirnya makan hari Senin besok. Belum lagi aku sudah mengabari keluarga juga. 

Tahu sendiri keluarga itu seperti apa? Satu orang dapat kabar gembira, satu keluarga besar tahu semua. Sekarang bukan kabar gembira yang ada, tapi kabar nahas. Harus di mana kutaruh muka ini? 

Tanpa terasa air mataku mengalir. Berkali-kali kuseka mata dengan tisu. Satu plastik kecil tisu habis dengan cepat. Menit-menit dari JCC ke Gambir jadi perjalanan paling menyebalkan seumur hidupku. Untuk pertama kalinya aku menangis di dekat orang asing, supir taksi yang sama sekali tidak tahu-menahu alasanku menangis. 

Waktu akhirnya sampai di Gambir, buru-buru aku membayar. 

“Mbak, ini kembaliannya,” ujar supir taksi menyodorkan uang kembalian.

Aku menggeleng. “Nggak usah, Pak. Buat Bapak aja.”

“Makasih banyak, ya, Mbak,” sahut supir itu sambil tersenyum girang. 

Aku bergegas masuk ke dalam stasiun. Masih cukup ramai lalu-lalang calon penumpang maupun pengantar. Sesudah melewati pos pemeriksaan tiket, buru-buru aku masuk ke peron, lalu mencari kereta sesuai yang tertera di tiket. Ah, itu di sana! Untung tidak terlambat! 

Begitu menemukan tempat duduk, aku langsung mengatur posisi yang pas. Pura-pura tidur. Terlalu lelah secara emosional, bahkan untuk hanya sekadar melakukan pembicaraan ringan basa-basi dengan orang asing. Tak lama kursi sebelahku terisi. Aku membuka sebelah mata untuk lima detik. Seorang bapak paruh baya. Bapak itu juga tertidur tak lama sesudah menyandarkan punggungnya di kepala kursi. 

Sekitar lima atau sepuluh menit kemudian, kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun Gambir. Bunyi gesekan roda kereta dengan rel seperti menjadi lagu pengantar tidur. Aku pun tertidur. 

Lonjakan kereta yang tiba-tiba membuatku terjaga. Begitu melirik jam tangan di pergelangan kiri, pukul sebelas malam. Lewat jendela yang tidak ditutup kain gorden, aku mencoba melihat keadaan luar kereta. Terlalu gelap. Para penumpang lain mulai sibuk membereskan barang-barang bawaan mereka. Aku pun ikut menyiapkan tas. Sepertinya sudah dekat ke stasiun.  

Sesudah tiga jam perjalanan, pukul 23.20 kereta akhirnya sampai di Stasiun Bandung. Aku buru-buru turun. Beberapa portir menawarkan untuk mengangkat tasku. Sesudah menggeleng, bergegas aku menjauh. Banyak supir taksi yang masih menunggu di stasiun menawari taksinya. Aku mengiyakan salah seorang di antaranya. 

Pukul 11.45 sampai juga aku di rumah. Rumah besar bercat putih dengan pintu dan jendela dari kayu bercat coklat gelap, itulah rumahku. Satu pohon pepaya menjulang tinggi di kebun kecil yang ada di depan rumah. Kumasukkan kunci ke gembok yang terpasang di pagar yang berwarna abu-abu tua. Sesudah membuka pintu pagar dan menutupnya lagi, aku menarik napas panjang. Suasana sepi sekali. Sepertinya Papa dan Mama sudah tidur. Lagi-lagi aku menarik napas panjang. Kali ini dengan lega. Setidaknya aku bisa menenangkan diri dulu malam ini.

Dengan perlahan aku memutar kunci di pintu depan. Baru saja mendorong pintu, tiba-tiba lampu menyala terang.

Surprise! Selamat ulang tahun!” teriakan dari dalam rumah terdengar serempak.

Ternyata dugaanku salah! Hari ini belum selesai. Om, Tante, bahkan sepupu-sepupu ada di sini! Astaga!

“Selamat ya, Ester! Gimana hasil akhirnya?” tanya Tante Olin. 

Rava, sepupu aku, anak Tante Olin, ikut menyeletuk, “Wah, pas banget ya? Pas ulang tahun, pas dapat kado keren banget!”

“Akhirnyaaaa! Selamat ya, Kak! Nggak sia-sia usaha Kakak selama ini!” ujar Annie, salah seorang sepupuku yang lain, menyelamati. 

“Kak, jangan lupa kalau buku Kakak terbit, aku dikabari. Aku kan mau pamer ke teman-temanku.” Vinda, adiknya Rava, ikut menyelamatiku.

Beberapa Om dan Tanteku yang lain ikut menepuk bahu dan menyalamiku. 

Aku berdeham beberapa kali. Mencoba berbicara, tapi kata-kata yang mau kuucapkan tidak juga muncul. Malah satu butir air mata bergulir ke pipiku. Dari satu, menyusul satu lagi. Tahu-tahu pipiku sudah basah. 

Semua langsung terdiam. Suasana hening itu tidak bertahan lama. Beberapa detik berlalu, mereka mulai berlomba-lomba menanyaiku.

“Ada apa, Ester?”

“Kak, kok malah nangis?”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Archaengela
Terima kasih, Kak🤗♥.
goodnovel comment avatar
GLASSESHY
ikut sedih merasakan perasaannya Ester😭
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Miss Montok   Bab 2

    Aku tidak menjawab dan terus menangis. Terlalu emosional untuk menjawab, sambil tersedu sedan, kuketikkan sesuatu di ponsel dan menyodorkannya ke Annie.Annie membacakan ketikanku barusan. “Aku nggak menang. Boro-boro menang. Namak

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 3

    Angkot yang aku naiki melaju kencang pagi ini. Memang agak sepi jalanan, agak beda dari hari biasanya. Sampai persimpangan Kebonjati - Pasirkaliki dari rumahku yang di jalan Rajawali Barat, hanya butuh 15 menit. Padahal biasanya macet di dekat Pasar Andir.

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 4

    Menurut kabar sebelumnya yang aku dengar, Edward lulusan Boston. Dari bulan lalu sudah santer berita kedatangannya. Maklumlah, kantor kami ini mayoritas perempuan. Apalagi kurang lebih 50%-nya masih lajang. Dari yang pernah melihat fotonya di meja Pak Susilo, Edward itu ganteng! Ada lagi tambahan beritanya, dia belum punya pacar! Katanya, entah kabar itu benar atau tidak.

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 5

    Sejak didaulat jadi sekretaris bos baru, hidupku jadi lebih berwarna. Tiap hari, aku disuguhi pemandangan indah: figur si ganteng! Edward sebagai atasan juga baik. Tidak banyak tuntutan yang tidak masuk akal. Intinya asalkan aku kerjakan sesuai yang diminta, dia tidak banyak ribut. Benar-benar atasan idaman.

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 6

    Aku ternganga di tempat. Kenaikan dua kali lipat? Ini mimpi? “Bos, kamu yakin? Double ini maksudnya aku kerjakan pekerjaan

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 7

    Besoknya, waktu aku siap-siap, Mama memulai interogasinya. “Mau pergi, Ester? Sama siapa? Mama kenal nggak orangnya?”“Sama bos baru Ester, Ma. Orangnya baik,” jawabku standar. Sudah terlalu biasa dengan rentetan pertan

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 8

    “Hidup, mati, jodoh, semua di tangan Tuhan. Kita, manusia, cuma bisa jalani. Kamu tahu, kalau hari itu memang belum waktunya Linda meninggal, biarpun ada kecelakaan parah, dia bakal tetap hidup.”“Mungkin....” Suara Edw

    Last Updated : 2021-01-14
  • Miss Montok   Bab 9

    Aku diam saja. Menunggu dirinya melanjutkan lagi ceritanya.Lagi-lagi dia menghela napas panjang. “Kamu tahu, begitu Profesorku komentar seperti itu, malamnya aku tidak bisa tidur. Kecewa, sedih, dan kesal rasanya. Bahkan untuk menjalani

    Last Updated : 2021-01-14

Latest chapter

  • Miss Montok    Bab 32

    “Jadi begitu?"Begitu aku membalikkan badan, ternyata Edward berdiri di dekat pagar rumahku! Astaga! Ekspresinya kelihatan keruh.“Edward? Kapan datang?"“Aku sudah dari tiga jam yang lalu. Benar yang aku bilang, kan?"Aku tidak menjawab, lalu masuk ke rumah melewati dirinya. “Aku ganti baju dulu. Terus kita bicara, ya?"Dia tidak menyahut.Aku buru-buru ke kamar. Sesudah ganti baju dan menenangkan diri, baru aku turun dan ke ruang tamu lagi.“Edward ..., hm ..., iya, bener yang kamu bilang. Revel ternyata memang suka aku dari dulu."Dia

  • Miss Montok   Bab 31

    Di kamar kecil aku buru-buru mencuci wajah dengan banyak air dingin supaya menenangkan pikiran. Sesudah melihat ke cermin dan berusaha tersenyum, aku menarik napas panjang.Edward sepertinya memang benar-benar menyayangi aku. Apa mungkin aku yang membesar-besarkan masalah? Akan tetapi, aku pikir-pikir lagi, mungkin waktu menjauh darinya untuk sementara waktu ini baik juga. Setidaknya kami bisa menilai dan mengukur perasaan masing-masing.Sesudah keluar, aku menampilkan senyum kecil padanya. “Ayo, aku dah siap."Dia menatapku dengan tatapan yang terlihat prihatin. “Kamu baik-baik saja?"Aku mengangguk pelan. “Makasih karena baik banget ke aku."Dia mengusap anak rambutku, menyelipkannya ke balik t

  • Miss Montok   Bab 30

    Aku mencoba mengingat-ingat dari sejak pertama bertemu dengan dia. Sepertinya belum ada tindakan atau kata-katanya yang menyakiti aku. Mungkin aku memang harus memberi dirinya, juga diriku sendiri kesempatan. Bagi Edward, untuk memastikan bahwa yang dicintainya memang aku, bukan Linda. Bagi aku, untuk keluar dari rasa tidak aman dan tidak layak yang terlalu kental, yang memang sudah aku rasakan dari dulu, bukan hanya sekarang ini saja dengan Edward.Aku tersentak. Mengapa jadi teringat pada masalah lama yang aku kira sudah selesai? Masalah merasa tertolak karena perlakuan mama yang menyiratkan seolah aku tidak pernah cukup baik?Ternyata, ini PR lama yang belum aku selesaikan: membentuk rasa percaya diri dan rasa layak. Mungkin pokok masalahnya itu di aku, bukan di Edward. Mungkin Edward hanya sebagai pemicu isu lama yang aku punya, yang memang harus ditu

  • Miss Montok   Bab 29

    Sepeninggal Revel, Edward menatapku dengan mata menyipit. “Kamu janjian apa dengan dia?" ujarnya dengan suara meninggi.“Eh? Aku mau traktir dia karena udah bantuin kita."“Kapan kamu mau traktir dia?" tanyanya lagi.“Minggu ini sepertinya, tapi belum janjian tempat dan waktu pastinya. Kenapa?"Berikutnya dia membuat aku benar-benar tercengang. “Aku ikut, ya?" pintanya.“Ha? Memangnya kenapa?"Kekasihku itu mengepalkan tangannya. Ekspresi wajahnya tampak keras. “Aku tidak percaya dia. Aku tidak mau dia merebut kamu dari aku."Aku tertawa. “Ya ampun, Edward. Revel itu cuma anggap aku temen

  • Miss Montok   Bab 28

    Aku tersenyum sambil mengangguk. Sepeninggal Edward, aku asyik memperhatikan kamarnya, terutama foto-fotonya. Ada fotonya waktu kecil, remaja, dan juga dewasa. Saat Edward kecil, dia terlihat menggemaskan. Menginjak remaja, dia terlihat mulai serius. Begitu dewasa, ekspresinya tampak formal dan serius. Aku tersenyum-senyum sambil memperhatikan foto demi foto.Langkahku terhenti waktu melihat satu foto. Aku memperhatikan foto itu dengan saksama. Siapa ini?Tiba-tiba pintu kamar terbuka. “Sudah jam sembilan, Sweetheart. Walaupun ingin berlama-lama dengan kamu, aku sudah janji ke papa dan mama kamu untuk mengantar kamu pulang."“Oh, iya. Terlalu asyik di sini sampai lupa waktu. Untung kamu ingetin."

  • Miss Montok   Bab 27

    “Edward, Mama mau bicara. Biar papa ngobrol dulu dengan Ester."Edward mengangguk cepat. Digandengnya aku untuk duduk di sofa ruang tamu. “Aku bicara dulu dengan Mama, ya. Tenang! Semua pasti baik-baik saja," bisiknya sambil mengelus rambutku.Aku balas mengangguk, walau jantungku berdebar begitu cepatnya. Respons Tante Denia memang sesuai dengan yang aku sudah perkirakan.Tante Denia lalu keluar dari ruang tengah diikuti Edward. Aku tidak menunggu sendirian terlalu lama. Sekitar mungkin satu atau dua menit kemudian, Pak Susilo masuk ke ruang tengah.Begitu melihat Pak Susilo, aku segera berdiri dan menyalami beliau. “Selamat malam, Pak."Pak Susilo tersenyum. “Kalau di rumah, panggil 'Om' aja, Ester.

  • Miss Montok   Bab 26

    Begitu ada kesempatan untuk menarik napas, aku buru-buru mengajak Edward chat di H-messenger. Sengaja aku tidak bicara langsung supaya tidak ada yang mencuri dengar pembicaraan kami.Chubby-girl: Bos, tebak? Aku udah dapet orang buat bantu kita dengan urusan yang waktu itu.Boston-man: Oh, ya? Siapa? Secepat ini kamu sudah dapat? Hebat!Chubby-girl: Revel. Aku baru inget kalau dulu dia pinter banget urusan memata-matai dan prank orang.Boston-man: Kamu yakin dia bisa dipercaya?Chubby-girl: Iya, dia bisa diper

  • Miss Montok   Bab 25

    Paginya begitu sampai di Bandung, aku dan Edward langsung pulang ke rumahku. Mama langsung keluar sebelum aku membunyikan bel, sepertinya sudah menunggu kedatanganku dari tadi.“Ma, Ester pulang. Ini bawa oleh-oleh abon, dendeng, sama balsem pesanan Mama.” Aku mengeluarkan oleh-oleh itu dari dalam koper.“Edward, duduk dulu. Mau minum apa?” tawar Mama.“Tidak usah, Tante. Aku harus pulang. Mama aku ada di rumah hari ini.”Aku dan Mama mengantar Edward sampai ke pintu luar. “Salam buat mamanya, ya, Edward?” kata Mama.“Iya, Tante. Nanti aku sampaikan.” Edward lalu seperti teringat sesuatu. “Oh, ya, terima kasih banyak rotinya, Tante. Enak!”

  • Miss Montok   Bab 24

    Kami bersantai dan beristirahat sampai pukul empat sore. Edward mengajakku makan malam ke salah satu restoran terkenal di dekat hotel kami. Interior dari hotelnya dihiasi banyak lukisan. Konsep open kitchen membuat kami bisa melihat saat para chef mempersiapkan dan memasak hidangan yang kami pesan.Sambil makan, kami mendiskusikan tentang hal-hal yang harus disampaikan pada peserta pertemuan. Saat itu perhatian kami memang melulu mengenai urusan bisnis. Jadi aku tidak terlalu memperhatikan makanan yang dimakan barusan.Selesai makan, kami segera kembali ke hotel untuk mempersiapkan diri dalam pertemuan nanti malam. Sesudah mandi lagi dan beristirahat sejenak, kami datang 30 meni

DMCA.com Protection Status