Danish punya jam biologis yang membuatnya bangun di pukul 5 setiap pagi. Kebiasaan baik memang, tapi akhir-akhir ini terasa merugikan, terlebih jika malamnya dia bergadang dulu maka bangun pagi justru membuat Danish kurang bersemangat, pun dia tidak bisa kembali tidur.
Jadi sepagi ini Danish sudah bangun, berkunjung ke tempat gym di hotel Ranajaya—dia menginap di sana, lalu akan berenang setelahnya, sarapan, kemudian bertolak ke kosan Sayna. Gadis itu selalu menitipkan kunci di lobi gedung saat Danish ada di Bandung, membuatnya leluasa untuk berkunjung. Akhir minggu biasanya cucian Sayna menumpuk, beberapa sudut kamar juga perlu dibersihkan, dan Danish terbiasa mengurus semua itu.
Pradnya : Nish, titipan dari gue udah sampai belum? Gue titip ke Bu Melia, mana makasihnya?
Sudut bibirnya terangkat ketika pesan dari Anya muncul sepagi ini.
Danish: Makasih, Anya.
Pradnya: Anya apa?
Pradnya: Anya can...
Danish tidak membalasnya, dia sengaja.
Pradnya: tik (emoticon kesal)
Pradnya: Kasihin ke Sayna yang size woman, ya. Tapi jangan bilang dari gue, atau kita kena bencana hahaha.
Danish hanya menyengir setelah membaca pesan itu, tidak lagi membalas, dia terlalu malas. Hubungannya dengan Pradnya sedikit lebih dekat dan baik dibanding dengan Pramudya. Anya—adik kembar Dya, sangat amat royal. Dia senang belanja dan membelanjakan Danish semena-mena. Tidak terhitung berapa banyak sepatu, baju hingga jam tangan yang dihadiahkan oleh gadis itu untuknya.
Dengar-dengar Anya menjalin hubungan dengan anak salah satu petinggi Keraton Solo, mereka kaya raya, dan dia bebas berbelanja atau liburan ke mana-mana. Hampir tiap minggu Anya jalan-jalan keliling Asia sampai Eropa. Bukan hal aneh ketika mendengar kabar bahwa gadis itu ada di Singapura pagi ini tapi sudah berada di Anyelir malam harinya. Sejak kenal dengan si kembar, Danish benar-benar seperti membuka jendela untuk melihat dunia baru yang jauh berbeda.
Omong-omong soal si kembar, Danish jadi teringat pada saudari Pradnya. Apakah gadis itu tetap di kafe hingga tengah malam menyadari Danish tidak datang mengunjunginya?
Pramudya [02.43 PM]
Pramudya : *shared location*
Dya mengirim lokasi terakhirnya pukul 2 pagi dan sudah kembali ke kediaman Ranajaya di Surabaya.
Menyadari hal itu, sudut bibir Danish sedikit terangkat. Entah kenapa ada lega menyelimuti sekaligus geli karena berhasil mengelabuhi gadis itu kali ini. Pramudya sampai dengan selamat di rumahnya, itu informasi penting yang bisa Danish tangkap, jadi dia merasa baik-baik saja meski sudah berbuat sedikit jahil dan kekanakan.
Sayna – sayangku : Nish, di mana? Gue baru mau mulai nih, doain ya. Asdosnya kenal sih lumayan mengurangi ketegangan. Lo mau nunggu di kosan apa jemput ke kampus aja?
Danish : Semangat, ya!
Danish : Gue jemput, Tuan Putri tunggu aja. Gue ke kosan dulu beres-beres sama anter cucian, lo fokus ujian. Oke?
Sayna – sayangku : Oke!
Danish : Oke apa?
Sayna – sayangku : Oke, Sayang! (kiss)
Seperti mendapat amunisi, berbalas pesan dengan Sayna sepagi ini membuat semangat Danish kembali terisi, dia buru-buru membersihkan diri usai berolahraga dan makan pagi. Ada tugas-tugas menunggu di kediaman kekasihnya hari ini.
****
Mengisi perut adalah apa yang Sayna lakukan ketika berhasil keluar dari ruang ujian kompetensinya yang menegangkan. Dia nyaris berlarian ke kantin untuk memesan menu paling cepat saji layaknya semangkuk bubur yang ada di hadapannya saat ini. Sayna makan terburu-buru setelah lebih dulu mengaduk buburnya hingga tercampur jadi satu.
Dia ingat kalau Danish akan datang sebentar lagi, dan mungkin mereka akan melakukan sesuatu, jadi menumpuk kalori setelah habis tersedot karena ujian tadi adalah hal paling tepat saat ini. Danish akan memberinya makan tentu saja, tapi sebelum atau sesudahnya—
“Sayna!”
Bunyi mangkuk bergambar ayam yang beradu dengan meja kayu di depan Sayna cukup mengganggu. Suara familier itu terdengar dekat bersamaan dengan sosok pemiliknya. Pemuda itu—Giovanni, duduk di sebelah Sayna dan memesan menu yang sama, bubur ayam Mang Kacun, bubur paling legendaris di kampus ini.
“Gimana ujiannya?” Gio bertanya dengan senyum menawan di wajahnya.
Ayolah, jarang sekali ada seorang calon dokter yang penampilannya tidak sepadan. Giovanni sebagai dokter muda yang tengah coass di rumah sakit fakultas mereka sudah sepenuhnya menjelma menjadi sosok impian itu. Dia tampan, Sayna mengakuinya.
“Aku bisa,” jawab gadis itu sambil berusaha tersenyum ceria. “Berkat latihan sama Kakak, makasih ya.”
Gio tersenyum, mulutnya penuh bubur. “Kamu tim bubur diaduk?” tanya pemuda itu dan Sayna mengangguk. “Oh, kalau gitu kakak harus coba juga,” ujarnya lalu mulai mengaduk bubur di mangkuk.
“Nggak jijik, ya?” Sayna sedikit meringis, biasanya Danish akan jengkel sekali melihat bubur diaduk-aduk seperti itu. Katanya mirip dengan muntahan kucing.
“Mau coba hal baru.” Gio tampak ceria, seperti biasa. “Ternyata enak juga, ya. Bumbunya jadi merata.”
Gadis itu mengalihkan tatap dan fokus ke mangkuk buburnya. “Kalau nggak doyan jangan dipaksa, Kak.”
“Demi kamu apa sih yang enggak?” Dia tergelak. “Khanif bantuin kamu kan tadi?”
“Bantu.” Sayna mengangguk. “Makasih udah titipin aku ke Kak Khanif, nanti aku traktir seblak deh.”
“Khanif aja.” Gio tersenyum centil. “Soalnya kakak mau yang lain.”
“Apa?”
“Jidat kamu.”
Sayna menegang untuk beberapa detik ketika merasakan hangat sekaligus lembab dan lembut menyapu permukaan kulit dahinya. Dia mematung saat merasakan elusan di kepala dan kata-kata penuh motivasi dari Giovanni sebelum pemuda itu melesat pergi. Sayna tidak mendengar apa-apa. Dia tidak tahu Gio bilang apa setelah selesai mendaratkan kecupan di dahinya.
Dia pasti sudah gila.
Giovanni sudah gila.
Gadis itu mengusap dahinya pelan dan tidak lagi berselera menelan sisa bubur di mangkuknya.
Saat ujian memang ada beberapa peraturan yang diterapkan termasuk mengubah sedikit penampilan, menyingkirkan poni depan yang sudah dia miliki sejak kelas 4 SD dengan menyisir helaiannya ke samping lalu menjepitnya agar tidak terurai. Hari ini penampilan Sayna pasti sedikit berbeda dibanding biasanya.
“Sayna, ada yang nyari nih!”
Dia kenal suara itu bahkan tanpa harus menoleh untuk memastikan. Rafika yang mengantree di depan kios dimsum melambai sambil memekik ketika menemukan Danish berjalan celingukan demi mencari keberadaannya.
Dari kejauhan, Sayna bisa melihat Danish tersenyum. Lesung pipinya muncul, kerutan di hidungnya begitu menggemaskan, dia tampak ceria, dan Sayna sangat menyukainya.
“Cantik banget pacarnya Danish hari ini.” Usapan di kepala adalah sapaan pertama dari kekasihnya, itu pasti karena dahi Sayna yang terbuka tanpa poninya. “Mau dong bubur ayam.”
“Ah... Oh, wait gue pes—”
“Nggak usah, biar gue aja.”
Danish kembali beranjak menuju kios bubur yang tidak terlalu ramai. Akhir minggu tidak seperti hari-hari biasa, tidak semua angkatan datang ke kampus untuk ujian, beberapa jenis hanya berkumpul untuk melakukan organisasi, tapi Sayna tidak. Dia cukup sibuk tanpa ikut kegiatan apa-apa.
Biasanya di awal-awal para junior akan terlibat berbagai organisasi agar aktif dan punya sarana untuk dekat dengan senior mereka. Itu penting, sebab beberapa mata kuliah hingga trik ujian dan menghadapi dosen hanya didapat dari orang berpengalaman, senior adalah kuncinya. Untung saja sejak jadi mahasiswa baru Sayna bertemu dengan Gio, dia tidak perlu ikut ini itu hanya demi melakukan pendekatan.
“Oh, hai pacarnya Sayna! Lo mau apa ke sini?”
Mata Sayna melebar dan lehernya memutar ketika suara Gio terdengar.
“Ngapelin cewek gue lah, emangnya apa lagi?” Danish menyengir aneh saat Gio mendekat dan menepuk bahunya. “Lo ngapain, Bang? Udah tua masih kuliah aja.”
Kalau kalian lupa, Gio adalah senior mereka di SMA Nusantara Satu dulu.
“Gue mampir ke kampus bentar, habis ini jaga kok di sebelah,” tunjuknya mengisyaratkan gedung tinggi di seberang fakultas. “Mau makan bubur lo?”
Danish mengangguk. Di depan Gio dia bisa terlihat biasa-biasa saja.
“Have fun, gue cabut dulu. Buburnya biar gue yang bayar, lo pesen aja.”
“Makasih, Bang.” Danish tersenyum kecut melihat Giovanni mengeluarkan lembaran uang dari dompetnya yang tidak seberapa.
“Cewek lo banyak yang suka.” Gio menyeringai. “Lo harus usaha ekstra buat jagain dia.” Pemuda itu pergi setelah menepuk-nepuk lengan atasnya.
Danish mencoba untuk tidak ambil pusing, dia tahu kalau Sayna cantik dan banyak yang suka, jadi biar saja. Orang lain boleh mengagumi pacarnya, tapi Danish yakin dia sudah memiliki Sayna, menggenggam hatinya dan tidak mungkin gadis itu bisa direbut dengan mudah darinya. Tidak mungkin. Danish amat yakin.
Sementara itu di tempat duduknya, Sayna menahan getar dan debar. Dia merasa jantungnya bisa melompat keluar andai Danish dan Gio masih melakukan dialog yang bahkan tidak bisa dia dengar. Sayna takut jiwa barbar Danish kembali keluar, dia ngeri membayangkan Gio dihajar.
“Habis ini kita ke mana?” tanya Danish setelah sampai dengan semangkuk bubur ayam di tangan kanan. “Mau ke Lembang nggak, Say?”
“Hah?” Sayna terperangah, dia kehilangan fokus dan pendengaran. “Apa, Nish?”
“Main ke Lembang,” kata Danish. Menekankan tiap kata sambil menyuap bubur tidak diaduknya besar-besar. “Mau?”
“Oh, oke. Ayo aja sih gue, nginep di sana, kan?”
“Iya.”
“Ke kosan dulu ganti baju.” Sayna merasa aneh berpakaian seperti sekarang lalu jalan-jalan dengan pacarnya yang nyaris selalu memakai merek Balenciaga.
“Ngapain?” Danish bertanya dengan dahi mengkerut. “Gini aja udah cantik.”
“Lo nggak salah?”
Sayna tertawa, Danish pasti sudah gila karena memujinya dengan penampilan aneh seperti ini. Percayalah, kampusnya menerapkan peraturan untuk mahasiswi jurusan kedokteran, yang mana beberapa jenis pakaian dan model boleh dikenakan. Dan meski tidak suka, Sayna harus melakukannya. Kemeja berkancing yang sederhana, serta rok bahan yang sopan dan elegan. Sama sekali bukan gayanya.
“Lo tahu, nggak? Ini style lo yang paling cantik menurut gue.” Danish masih suka menggombal dan memujinya, meski mereka sudah berpacaran lama. “Makin hari, damage-nya makin berasa. Sayna Lalisa udah bukan remaja, sebentar lagi jadi dokter muda.”
Mereka tertawa.
“Gue juga suka jidat lo dibuka.” Danish mengusap dahinya, lupakan soal orang-orang, dunia hanya milik mereka sekarang. “Cantik.”
Sayna merona.
“Eh, ini apa?” Jari Danish mengambil sesuatu dari dahinya. “Ada bulu mata.”
Hah? Bulu mata siapa?
“I... itu bukan bulu matanya Kak Gio kok, Nish. Gue nggak dicium sama dia tadi, sumpah!”
Sayna tolol.
Sayna adalah gadis paling tolol di dunia ini.
“Oh...” Danish merasai. Rasanya patah bertubi-tubi mendengar pernyataan itu saat dia sedang gencar-gencarnya mencintai. “Gue anggap nggak denger apa-apa tadi.”
“Nish...”
“Ayo pergi.”
To be continued.
Pramudya: *shared location*Danish membuang napas ketika yang didapatinya begitu ponsel berdenting adalah pesan dari Pramudya. Gadis itu membalas pesannya berjam-jam yang lalu sejak Danish dan Sayna memutuskan tidak pergi ke mana-mana. Mereka sepakat untuk kembali ke tempat masing-masing, Danish ke hotel dan Sayna ke kosnya sendiri. Lupakan soal rencana kencan romantis di Lembang, Danish sudah tidak ingin membahasnya.Sejak mendengar bahwa tragedi bulu mata di dahi Sayna adalah jejak Giovanni menyapukan bibir kurang ajarnya di sana, Danish sudah tidak berselera. Dia juga tidak dalam mood yang baik untuk mendengar Sayna bicara, memberi penjelasan, minta maaf dan minta kesempatan. Perasaan dan pikirannya tidak keruan. Danish mengantarnya pulang ke kosan, sementara dia sendiri tidur di hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengirimkan lokasi pada Pramudya.Apa sih yang sudah dia lakukan?Membalas perbuatan Sayna dengan memanci
Sayna merebahkan diri di tempat tidur dan menatap langit-langit kamarnya yang berwarna abu-abu. Dia tahu kalau Danish marah besar dan tengah merasa cemburu, kekasihnya butuh waktu. Pun Sayna tidak punya alasan apalagi pembelaan. Dia jelas salah, Sayna bersalah pada kekasihnya, dia tidak memungkiri itu. Padahal Danish banyak sekali mengalah.Namun dirinya bisa apa? Ciuman Gio mendarat tiba-tiba di dahinya tanpa bisa dicegah. Sayna bahkan tidak punya cukup waktu untuk marah, dia terlalu kaget dan lengah. Dan menjelaskan pada Danish sungguh tidak berguna, dia sedang tidak ingin mendengar apa-apa.Apa yang dilakukannya sekarang? Apa Danish sedang tidur siang? Atau dia langsung pulang ke Jakarta? Apa dia main ke tempat Arvin? Jalan-jalan ke Lembang? Sayna ingin sekali bertanya, tapi dia tahu itu tidak bisa. Jangan sekarang, jangan saat ini.“Nish, maaf...” Sayna bergumam lirih, merasakan hatinya pun ikut perih.Memposisikan diri andai mendengar kek
Semua orang memandanginya, dan itu tidak dalam artian yang baik. Sayna melirik gadis-gadis di sekeliling dengan mata setengah menyipit. Mereka sudah berjuang sejak semester awal, bersama-sama, belajar di kelas yang sama, satu angkatan penuh. Jadi jelas dia hidup dalam ruang lingkup keluarga besar.Masalahnya sekarang mereka mempunyai tugas dari dosen Patologi Klinis yang artinya tengah mempelajari bagian sumber penyakit pada manusia dengan analisis dan identifikasi melalui media cairan. Para mahasiswa itu harus membawa berbagai cairan ke laboratorium untuk diteliti, dan jenisnya beragam sekali. Mulai dari darah, urin, cairan tinja, air mata, ludah, dahak, nanah, cairan sendi, cairan sumsum tulang belakang, cerebrosfinal fluid hingga.... sperma.Ya, cairan sumber kehidupan itu pun tak luput dari bahan penelitian.“Itu nggak dibenarkan.” Rosma berapi-api ketika mendengar Ayuna mengatakan bahwa mereka bisa membeli bahan praktikum tadi ke seorang makelar
Hari Jumat yang entah kenapa Danish tunggu-tunggu, bukan karena kedatangan Pramudya ya, hanya saja Jumat berarti hari terakhir dari seluruh kegiatannya. Danish akan bekerja dengan semangat serta ke kampus lebih awal dibanding hari-hari biasa karena Jumat adalah hari terakhir tiap minggunya untuk menyambut Sabtu yang berharga.Saat ini dia tengah menyetir dengan panggilan video menyala dari seseorang yang begitu dicintainya, Sayna. Gadis itu punya waktu senggang sebelum masuk ke kelas tutorial pukul dua siang, jadi mereka berbincang selama Danish di perjalanan pulang.“Nish, cakep banget pake baju koko habis Jumatan,” goda Sayna sambil mengedip-ngedipkan mata, melihat kekasihnya mengenakan setelan putih berkancing dengan kerah rendah. “Jadi pengen—”“Pengen apa?” potong Danish segera, tahu Sayna akan mengatakan yang bukan-bukan, mengganggu konsentrasinya berkendara.“Pengen ketemu lah, pengen peluk, pengen ci
“Nish, tahan....” Sayna mendengar suara erangan tertahan dari kekasihnya yang dalam hitungan detik akan menjemput bola. Ini sudah kali kedua mereka mencoba, Danish bahkan minum obat penguat agar bisa kembali bermain setelah mendapatkan jatah wajib tiap minggunya. “Nish, angkat!” “Argh!” Danish berhenti bergerak, napasnya tersengal-sengal, kakinya nyeri, nyaris kram. Sayna ingin dia orgasme dua kali dalam kurun waktu beberapa jam. Mungkin bisa, nafsunya masih membara, tapi tubuh Danish lelah. Dia belum istirahat sejak menyetir dari Jakarta ke Bandung, malah langsung bersenang-senang. “Capek?” tanya Sayna pelan. Jemarinya menyusuri punggung dengan kulit yang amat lembut, wangi parfum Danish bercampur keringat membuat Sayna berdebar-debar. Padahal ini bukan kali pertama untuk mereka. “Sebentar.” Danish berbisik pelan di telinga gadisnya. Dia suka kegiatan ini, hal yang dinanti-nanti tiap jadwal kencan mereka seminggu sekali. Tapi Da
Danish melamun saat mengingat kembali percakapannya dengan Sayna tadi malam. Aneh sekali rasanya mendengar gadis itu bicara begitu. Meminta yang tidak-tidak, seolah dia akan melakukan sesuatu. Semoga saja tidak, semoga itu hanya perasaannya.“Gue tahu kok, kalau gue egois banget selama ini. Maaf, ya? Mulai sekarang kita main adil, lo juga bisa berlaku sama ke gue, Nish. Maaf karena gue terlalu mencekik lo selama ini.”Berlaku adil itu, bagaimana? Danish tidak punya orang yang membuatnya bergantung seperti Gio pada Sayna. Dan dia memakai istilah mencekik, bukan lagi mengekang atau mengukung. Sayna menyadari bagaimana kerasnya hubungan dan peraturan mereka selama ini. Dia bilang, ajaib sekali Danish bisa bertahan selama itu. Dia pasti tidak tahu sebesar apa Danish menyukainya.Lalu maksud Sayna itu apa?Kalau Sayna mau Danish memperlakukannya sama seperti dia memperlakukan Danish selama ini, sudah pasti hubungan mereka tidak akan bertahan lama.
Minggu berlalu dengan cepat setelah pagi-pagi sekali Danish dan Sayna harus pulang dari Lembang. Sementara kekasihnya meneruskan perjalanan hingga ke Jakarta, Sayna berada di kamar kosnya. Sejak sampai hingga malam hari dia tidur nyenyak sekali. Sudah jelas kecapaian, karena kegiatan yang dihabiskan dengan Danish bukan main. Sayna kelelahan.Kendati yang, em.... lebih banyak bergerak adalah pemuda itu, tetap saja sebagai objek yang dituju Sayna pun merasa capek, lemas dan letih. Berat badan Danish sepertinya naik akhir-akhir ini, dia makin berat saja saat bertumpu di atasnya.Ibunda: Teh, jangan lupa sarapan, ya. Ibu doakan apa pun yang Teteh jalani hari ini lancar.Sayna melihat ke luar jendela kamarnya, masih gelap, dia yakin ibunda pasti baru selesai beribadah dan langsung menghubunginya di awal minggu ini. Tidak ada drama bangun kesiangan Senin pagi karena minggunya Sayna tidur nyenyak sekali. Dia menggeliat bangun, memotret dirinya sendiri lalu mengirim fot
“Gue pengen pergi,” gumam pemuda itu pelan dengan kelopak mata yang terbuka perlahan. “Gue nggak suka dia ada di sini.”Danish melirik ke samping, Pramudya duduk seperti patung hidup di sebelahnya, tidak memberi reaksi apa-apa.“Tiap dia ada, gue nggak mau pulang.” Danish menambahkan, kendati Pramudya mungkin tidak mengerti apa maksudnya. “Tapi Mama suka banget sama orang itu, Dya.”Dan perasaan ibunya tidak bisa dicampuri, Danish tahu dengan pasti.“Dya...”“Ayo pergi!”“Gue nggak betah kalau dia ada di rumah.”“Jangan pulang.”Entah kenapa, meski itu terdengar tidak baik, Danish tersenyum dibuatnya. Dya memberikan hal-hal yang ingin Danish dengar. Sejujurnya, Danish tahu dia harus bagaimana, bersikap seperti apa, menerima keadaan dan membiarkan ibunya bahagia. Tapi nanti. Saat ini, dia hanya ingin dibenarkan oleh seseorang, dibela,
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se