Share

Dya dan Sayna

Author: Vinnara
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Hari Jumat yang entah kenapa Danish tunggu-tunggu, bukan karena kedatangan Pramudya ya, hanya saja Jumat berarti hari terakhir dari seluruh kegiatannya. Danish akan bekerja dengan semangat serta ke kampus lebih awal dibanding hari-hari biasa karena Jumat adalah hari terakhir tiap minggunya untuk menyambut Sabtu yang berharga.

Saat ini dia tengah menyetir dengan panggilan video menyala dari seseorang yang begitu dicintainya, Sayna. Gadis itu punya waktu senggang sebelum masuk ke kelas tutorial pukul dua siang, jadi mereka berbincang selama Danish di perjalanan pulang.

“Nish, cakep banget pake baju koko habis Jumatan,” goda Sayna sambil mengedip-ngedipkan mata, melihat kekasihnya mengenakan setelan putih berkancing dengan kerah rendah. “Jadi pengen—”

“Pengen apa?” potong Danish segera, tahu Sayna akan mengatakan yang bukan-bukan, mengganggu konsentrasinya berkendara.

“Pengen ketemu lah, pengen peluk, pengen cium, terus...”

“Kok nggak diterusin?” Danish terkekeh, fokusnya masih ke kemudi tapi telinganya awas mendengarkan Sayna. “Jam berapa selesai kelasnya?”

“Uh... jangan tanya.” Sayna membuat suara yang manja. “Nanti gue nggak fokus belajarnya, nungguin lo datang sekarang.”

“Geer, siapa yang mau ke sana sekarang? Besok aja, jadwal pacaran kita kan hari Sabtu, malam minggu.”

Sayna tertawa renyah. Sepertinya dia sedang di tempat yang sepi, tidak ada siapa-siapa di dekatnya. “Minggu lalu kita cuma ketemu sebentar,” rujuknya pada tragedi kurang menyenangkan waktu itu. “Gue pengen ganti yang belum sempat gue kasih, Nish.”

Danish merona malu. “Sabar ya, hari ini gue mau nugas dulu.”

Sayna mengangguk setuju. “Lo tahu nggak, Nish, trigonometri?”

“Hm?” Danish mengernyitkan dahi. “Sin, cos, tangen?”

Sayna mengangguk. “Tahu apa artinya?”

Kenapa Sayna tiba-tiba memberinya soal matematika? Dia tidak ingat ya pacarnya kurang cerdas dan pelupa?

“Sin, cos, tangen itu artinya, sini ke kos, gue kangen. Hahaha.”

“Dih, ngelawak!” Danish tergelak, dia lega seketika karena terbebas dari soal matematika. “Nggak lucu, Sayna.”

“Nggak lucu tapi ketawa.” Sayna tersenyum di seberang sana, dan senyumnya sangat cantik, membuat Danish makin tergila-gila. “Gue tunggu pokoknya, ya? Ada yang mau gue mintain tolong juga.”

“Apa?” tanya Danish peka.

“Jadi volunteer buat bahan praktikum gue mau nggak, Nish?”

“Ngapain memang?”

“Minta sperma.” Sayna berbisik pelan, dia tersenyum malu, wajahnya merona. “Mau, ya? Nanti gue bantu.”

Danish ingin tersedak, tapi dia tidak bisa. “Gi...gimana caranya?” Sayna jelas tahu, Danish tidak mahir memakai karet pengaman, tapi benda itu yang tampaknya paling masuk akal untuk menampung cairannya.

“Gampang, nanti gue cari cara. Mau, ya? Ya? Ya? Ya?”

Sebenarnya, untuk Sayna apa sih yang tidak?

“Hm, oke.” Danish memutuskan untuk memberi kekasihnya bantuan, daripada Sayna minta ke Gio, itu kan bahaya. Danish tidak sanggup membayangkannya.

“Mau nugas ke mana? Di rumah apa ke ruang belajar?”

“Ke kafe sih, udah ditungguin sama Pramudya.”

“Dya?” Sayna tidak percaya pada pendengarannya. Danish terang-terangan—di depan hidungnya, akan bertemu dengan Pramudya?

“Iya, Dya.” Dia dengan santainya mengemudi mobil dan tidak tampak merasa bersalah pada Sayna. “Dia jauh-jauh terbang dari Surabaya, seenggaknya gue temuin sebentar, kan? Paling ngajak makan.”

Sayna tergamam, dia ingin bilang tidak boleh, tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat. Sayna ingat, dulu Danish pernah ada di posisi ini, saat dia akan pergi ke suatu tempat dan Gio orang yang akan menemaninya. Danish jauh, dia ingin melarang, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, pun tidak bisa membantunya.

“Kok diem, kenapa?” tanya Danish peka.

“Kenapa Dya, Nish?” tanya Sayna pelan. Kenapa tidak mengerjakan tugas dengan teman kampusnya? Sayna sekarang sudah tidak apa-apa kalau Danish pergi kerja kelompok ke rumah Lianka, atau siapa pun itu namanya, asal jangan Pramudya.

“Ya, karena Dya yang ngajak gue main hari ini,” jawab Danish dengan tampang polosnya. “Kalau lo di sini, pasti lo yang gue ajak pergi.”

Demi Tuhan, Sayna pernah bilang begitu pada Danish saat dia ingin jajan seblak dengan Giovani ke Banjaran, jauh dari kosan.

“Ya udah,” ucap Sayna pelan. “Jangan pulang malam-malam, ya? Sampai ketemu besok.”

Danish tersenyum tipis. “Sampai ketemu, Sayang...”

Panggilan itu terputus, Danish meneruskan perjalanannya ke tempat Dya yang sedang menunggu sejak dua jam lalu. Sebuah kafe bergaya Prancis dengan nama Anyelir di kawasan Kebayoran, dari luar Danish sudah melihat Pramudya dengan gelas jus, kue-kue kering dan buku di tangan. Dia memang gemar membaca, Dya kuliah jurusan sastra.

“Gue cuma telat dua jam,” sapa Danish kali pertama mereka bertatap muka. “Maksudnya, lo baru shareloc dua jam yang lalu dan gue udah di sini sekarang.” Danish mengeluarkan laptop dari tas dan berencana untuk mengerjakan tugas.

Biasanya Danish baru datang 5 hingga 8 jam kemudian atau tidak datang sama sekali, membiarkan gadis itu menunggunya sendirian hingga lumutan.

Ekor matanya melirik Pramudya, gadis itu kembali fokus membaca bukunya. Hanya saja, beberapa menit kemudian segelas es karamel kopi terhidang di sisi kiri Danish. Pramudya sudah cukup mengenalnya hingga tahu apa minuman yang Danish suka.

“Tugas kuliah?” tanya gadis itu, suaranya baru terdengar sejak beberapa menit yang lalu, walau matanya masih fokus ke buku.

Benar, dia memang tidak menunggu Danish datang. Danish hanya bahan iseng-isengnya, yang dia jatah tiap hari Jumat saja, tanpa diperlakukan istimewa.

“Iyalah, gue gini-gini sibuk, Dya. Lo kayaknya nggak pernah nugas, ya? Kelihatan enjoy banget kuliahnya.”

“Hm, yang paling sibuk memang cuma anak kedokteran sama manajemen aja, gue kuliah modal rebahan tahu-tahu lulus jadi sarjana.”

Kenapa itu terdengar sarkas, ya?

“Lo tiap hari sibuk ngebagi waktu dan jatah pacaran, makanya gue bilang gitu.” Danish merasa Pramudya tersinggung, entah kenapa, padahal biasanya dia tidak apa-apa. “Semua cowok lo orang luar kota?”

“Nggak semua,” jawabnya. Dia tetap membaca.

“Yang waktu itu? Gumelar,” tanya Danish pelan.

“Orang Sambikerep, tapi nugas di Sidoarjo.”

Danish membulatkan mulutnya, Sidoarjo ke Surabaya tidak begitu jauh sepertinya. “Terus yang lain di mana?”

“Surabaya.” Pramudya menutup buku yang dia baca, lalu meletakkannya di atas meja. “Cuma lo yang di Jakarta, yang paling jauh dan yang paling gue suka.”

Danish terbatuk, dia tersedak napasnya sendiri. Di hadapannya Pramudya tersenyum miring, mirip dengan kuntilanak di film Pee Mak. Menyeramkan sekali.

“Ka-kata Anya, lo sakit waktu itu.” Danish ingat tujuan awalnya menemui Pramudya hari ini. Selain memberi Sayna pelajaran, dia juga perlu mendengar penjelasan. “Waktu baru balik dari Bandung,” sambungnya.

“Ah, itu.” Pramudya tersenyum kecil. “Cuma jetlag biasa.”

“Dibawa ke UGD?” Danish tak langsung percaya.

“Lo tahu lah ibu gue,” ucapnya. “Suka melebih-lebihkan.”

Benar, apa yang dikatakan Pramudya memang kenyataan. Bahkan gadis itu harus terbang ke Singapura atau Jepang demi melakukan vaksin, padahal di Indonesia pun sudah ada. Papsmear dan vaksin HPV banyak tersedia di dokter kandungan biasa. Ibu angkatnya sangat berlebihan pada kesehatan.

“Syukur kalau lo nggak kenapa-kenapa.” Kali ini Danish tidak mau terlalu jahat, dia ingin Pramudya tahu kalau dirinya lega. “Sebelum ke sini tadi, gue bilang sama Sayna kalau kita mau ketemu.”

Tapi dia tidak bilang alasannya, bahwa Danish merasa bersalah pada Pramudya.

“Dia nggak nanya apa-apa atau pun marah kayak biasanya.” Danish menyambung obrolan karena Dya diam saja. “Mungkin ini ada kaitannya sama kejadian minggu lalu waktu dia dicium sama katingnya itu.”

Pramudya mengangkat bahu.

Baginya bahkan tidak masalah jika Danish sama sekali tidak datang, seperti waktu itu.

“Lo nugas apa?”

“Akuntansi. Bikin laporan keuangan jasa.”

“Laundry Melia.”

Danish terkikik, saran Pramudya boleh juga. Itu terdengar brilian. “Dya,” panggilnya. “Kalau tugas gue bisa disalin dari laporan keuangan beneran sih gue cuma tinggal copas aja. Sekarang main, yuk! Gue mau berterima kasih karena minggu lalu lo udah baik dan nemenin gue di Bandung.”

Pramudya mengangguk setuju.

“Dya,” panggil Danish sekali lagi dan gadis itu berhenti. “Jumat lalu... gue datang.” Entah kenapa Danish tiba-tiba ingin mengatakan kejujurannya, karena dia tidak bisa mengucap maaf pada Pramudya. “Gue lihat lo dari luar terus gue pergi, langsung ke Bandung malamnya.”

Dya tidak menjawab apa-apa.

“Sekarang... kita bisa temenan, kan?” tanya Danish memastikan. Tidak ada salahnya memperbaiki hubungan.

“Boleh, tapi temenannya sampai nikah, ya?”

“Dasar gila.” Danish tertawa. “Serius, Dya...”

“Gue serius,” ucapnya sambil menatap Danish lurus-lurus.

“Kesempatan lo sangat tipis untuk itu.” Danish melipat tangan di dada. “Hampir nggak ada malah, pesona lo ketutup sama Sayna.”

Mereka berdua tertawa.

“Ya udah kalau gitu.” Pramudya tidak ambil pusing, mungkin sebenarnya dia tidak benar-benar suka pada Danish, hanya ingin dekat saja.

“Lo bahkan nggak punya potensi buat gue jadiin orang kedua, Dya.”

“Gue juga nggak mau jadi yang kedua,” sanggah gadis itu buru-buru. “Gue mau jadi yang pertama dan satu-satunya, tapi ini belum saatnya.”

“Pede banget gila!” Danish terkekeh mendengarnya. “Yang pertama dan satu-satunya buat gue cuma Sayna.”

“Nggak papa. Buat gue, lo yang kelima.”

Itu karena Danish dijatah tiap Jumat saja? Wah, kenapa harga dirinya sangat terluka, ya? “Tapi meskipun urutan kelima dalam jadwal mingguan, gue tetep yang paling lo suka, kan?”

Pramudya tertawa, dia kalah berdebat rupanya.

“Oke deh, lo yang kedua setelah Sayna. Tapi kita temenan, ya?” Danish menjulurkan sebelah tangan, mengajak gadis itu bersamalan. “Eh, kita saudaraan juga, Dya.”

“Gue mau jadi yang kedua, asal yang pertamanya Bu Melia, gimana?”

“Ngelunjak lo lama-lama.”

Mereka keluar dari tempat itu setelah Dya membayar bill tagihan. Danish tidak pernah mengeluarkan uang saat dia sedang bersama Pramudya, karena... mereka dapat jatah jajan dari orang yang sama. Arya Ranajaya—kakak iparnya, memberi Danish 30 juta sebulan secara cuma-cuma, rata dengan jatah Pradnya dan Pramudya. Tetapi dua gadis itu masih punya banyak sumber dana lainnya. Yang terbanyak dari ayah kandung mereka, seorang keturunan keraton Cirebon dengan kekayaan melimpah hasil tambang batubara.

Jadi 30 juta jatah dari Arya rasanya seperti recehan saja.

“Ke rumah aja, yuk! Mama pengen ketemu sama lo juga, udah lama.”

Pramudya setuju, mobil Danish melaju di jalanan Jakarta yang ramai siang itu. Dya memang sudah lama tidak berjumpa dengan Melia, Anya yang lebih sering ke Jakarta untuk membagikan oleh-oleh tiap dia kembali dari plesiran.

Diam-diam Pramudya melirik pemuda di sebelahnya, tampak lebih kalem dengan kemeja putih berkerah rendah dan dua kancing atas terbuka. Dia pasti baru pulang dari rumah ibadah.

“Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu? Mau gue colok, ya? Heran, nggak ada bosennya,” komentar Danish kejam, seperti biasa.

“Gue nggak bosen, kan lo ganteng.”

Danish memutar mata, dia sudah malas mendengar alasan Pramudya.

“Habis jumatan, ya?” tanyanya. Danish melirik sedikit. “Gue pengen salim aja bawaannya liat cowok pake baju koko.”

“Sinting!” Danish mengumpat sambil tergelak kecil. “Tapi mendingan sih, Sayna liat gue pake baju koko langsung horny.”

Pramudya tertawa keras, dia kaget sekali mendengar kalimat Danish barusan.

“Lo ya, ibadah sama maksiat balance, sama-sama jalan.”

Danish mencebikkan bibir. “Nggak papa, biar Rakib – Atid sama-sama kerja, nggak ada yang makan gaji buta.”

“Lo berdosa banget, Nish!”

“Bodo amat, yang penting gue nggak solimi.”

Tidak ada yang bersuara saat Danish membelokkan mobilnya ke tempat pengisian bahan bakar. Kebetulan kartu Dya yang tempo hari itu masih tersimpan utuh, dia harus membantu gadis itu menghabiskan isinya untuk biaya akomodasi seperti ini.

“Nih.” Bahkan belum apa-apa, Dya sudah mengeluarkan kartu yang lainnya, kali ini berwarna merah. Tapi Danish mengacungkan kartu birunya ke udara. “Masih ada isinya, ya? Habisin semua, Nish, terus buang kartunya.”

Si Rovi bisa meledak kalau diisi bahan bakar sampai 3 juta.

“Nanti ke hotel sebentar.” Dya meminta sesuatu, tidak biasanya. “Gue mau ganti pembalut.”

“Lagi haid?” tanya Danish kaget. Sejak dia pacaran dengan Sayna selama dua tahun, mendadak Danish sangat respek pada wanita datang bulan. Dia ngeri membayangkan track record-nya dengan Sayna. “Dya, nggak sakit?”

Kenapa Pramudya tidak marah-marah seperti Sayna, ya?

“Ya, sakit. Tapi ya udah, emangnya harus gimana? Tiap bulan juga dapet.”

Tidak ada suara di sana. Hotel Singosari masih 3 kilometer dari sini, sementara rumah Danish sekitar 9 kilometer, masih jauh sekali ditambah kemacetan yang menguji kesabaran. Pramudya dan Danish diam untuk waktu yang lama, tidak ada obrolan lagi di sana, sampai akhirnya ponsel Danish berdering dan dia langsung bersemangat begitu melihat siapa pemanggilnya.

“Say?”

“Dosennya nggak ada!” Suara gadis itu terdengar riang di ujung sana. “Ke sini sekarang, bisa? Gue siapin yang spesial.”

“Yang spesial?” Danish tidak bisa menahan senyumnya. “Kayak Indomie pake telor dua, ya?”

“Iya, telor dua kayak punya—”

“Oke, cukup.” Dia buru-buru menghentikan pacarnya mengoceh, sebab ada Pramudya di sebelahnya, Danish agak segan. “Gue ke sana sekarang,” ucapnya segera.

“Gue tunggu, ya? Jangan ganti baju dulu, pengen peluk dan ketemu cowok gue pake baju yang tadi. Yang masih ada bau asem-asemnya.”

Danish merona, susah payah dia mengulum senyumnya. “Siap-siap, ya. Gue langsung ke sana.”

“Gue bakal pakai parfum yang paling lo suka, jangan lama-lama di jalannya, ya!”

Sambungan terputus bersamaan dengan Danish yang menepikan mobilnya ke sisi kiri. Orang di sebelahnya ahli sekali menjadi tuli dan seolah tidak mendengar apa-apa, Danish sudah biasa. Jadi jangan merasa tidak enak padanya.

“Turun, Dya.” Pemuda itu bicara karena Dya tidak mengerti kode sederhana. “Gue harus puter balik, tol di belakang, mau ke Bandung sekarang.”

Dya melongo untuk sesaat, ini bahkan belum sampai di hotel milik keluarganya. Dia melirik GPS dan melihat masih 2,7 kilometer lagi ke hotel Singosari dari tempat mereka sekarang.

“Mau gue bantu bukain pintu?” tanya Danish basa-basi, agar Dya segera mengerti.

“Nggak usah, gue turun sendiri.” Pramudya mengemas tas dan barang bawaannya. “Jangan check-in di hotel Bapak,” ujarnya seraya menyerahkan kartu merah pada Danish dengan maksud meminta pemuda itu membayar sewa hotel yang lain saja.

Danish berdecak. “Gue juga ngerti kali, Dya. Nggak bakal gue maksiat di hotel keluarga. Udah buruan, turun sana!”

Kendati Danish tidak menerima kartunya, Pramudya meletakkan benda itu di kursi penumpang lalu dia keluar dan melihat Danish memutar arah untuk menuju tol ke Bandung. Sekarang dia bingung sendiri karena tidak punya uang tunai, berdiri kepanasan di tepi jalan untuk meminta bantuan Mas Edwas atau mengunduh aplikasi transportasi yang biasa dipakai orang-orang.

Ditinggalkan Danish bukan kali pertama untuknya, diminta tiba-tiba turun seperti sekarang juga bukan kali ini saja, Pramudya sudah hafal tabiatnya.

Terdengar bodoh memang, tapi dia pernah diperlakukan lebih parah, jadi ini tidak ada apa-apanya. Belum seberapa.

Hari Jumat adalah hari yang didedikasikannya untuk Danish, pemuda yang dia suka. Tak peduli Danish akan datang atau tidak, senang atau marah, Pramudya tidak mengubah keputusan. Dya tetap pergi, tiap selesai kelas, terbang dari Surabaya ke Jakarta menunggu Danish, walau kadang pemuda itu tidak datang.

Baginya tak masalah Danish sekadar muncul beberapa detik menampakkan batang hidung, asal mereka bertemu, Pramudya lega dan bisa kembali pulang.

Namun jika Danish tidak datang seperti waktu itu, dia akan menunggu, di tempat yang sama sejak kali terakhir dia mengirimkan lokasinya pada Danish agar mudah ditemui. Dya menunggu sampai lewat tengah malam, sampai hari Jumat benar-benar habis, karena hari setelahnya bukan lagi untuk Danish.

Dya menyukainya, sebanyak itu, tapi kenapa Danish seolah tidak percaya? Memangnya cara Dya menunjukkan rasa sukanya tidak kelihatan, ya?

Related chapters

  • Miss Antagonist    Quality Time

    “Nish, tahan....” Sayna mendengar suara erangan tertahan dari kekasihnya yang dalam hitungan detik akan menjemput bola. Ini sudah kali kedua mereka mencoba, Danish bahkan minum obat penguat agar bisa kembali bermain setelah mendapatkan jatah wajib tiap minggunya. “Nish, angkat!” “Argh!” Danish berhenti bergerak, napasnya tersengal-sengal, kakinya nyeri, nyaris kram. Sayna ingin dia orgasme dua kali dalam kurun waktu beberapa jam. Mungkin bisa, nafsunya masih membara, tapi tubuh Danish lelah. Dia belum istirahat sejak menyetir dari Jakarta ke Bandung, malah langsung bersenang-senang. “Capek?” tanya Sayna pelan. Jemarinya menyusuri punggung dengan kulit yang amat lembut, wangi parfum Danish bercampur keringat membuat Sayna berdebar-debar. Padahal ini bukan kali pertama untuk mereka. “Sebentar.” Danish berbisik pelan di telinga gadisnya. Dia suka kegiatan ini, hal yang dinanti-nanti tiap jadwal kencan mereka seminggu sekali. Tapi Da

  • Miss Antagonist    Quality Time 2

    Danish melamun saat mengingat kembali percakapannya dengan Sayna tadi malam. Aneh sekali rasanya mendengar gadis itu bicara begitu. Meminta yang tidak-tidak, seolah dia akan melakukan sesuatu. Semoga saja tidak, semoga itu hanya perasaannya.“Gue tahu kok, kalau gue egois banget selama ini. Maaf, ya? Mulai sekarang kita main adil, lo juga bisa berlaku sama ke gue, Nish. Maaf karena gue terlalu mencekik lo selama ini.”Berlaku adil itu, bagaimana? Danish tidak punya orang yang membuatnya bergantung seperti Gio pada Sayna. Dan dia memakai istilah mencekik, bukan lagi mengekang atau mengukung. Sayna menyadari bagaimana kerasnya hubungan dan peraturan mereka selama ini. Dia bilang, ajaib sekali Danish bisa bertahan selama itu. Dia pasti tidak tahu sebesar apa Danish menyukainya.Lalu maksud Sayna itu apa?Kalau Sayna mau Danish memperlakukannya sama seperti dia memperlakukan Danish selama ini, sudah pasti hubungan mereka tidak akan bertahan lama.

  • Miss Antagonist    Ganjil yang Mengganjal

    Minggu berlalu dengan cepat setelah pagi-pagi sekali Danish dan Sayna harus pulang dari Lembang. Sementara kekasihnya meneruskan perjalanan hingga ke Jakarta, Sayna berada di kamar kosnya. Sejak sampai hingga malam hari dia tidur nyenyak sekali. Sudah jelas kecapaian, karena kegiatan yang dihabiskan dengan Danish bukan main. Sayna kelelahan.Kendati yang, em.... lebih banyak bergerak adalah pemuda itu, tetap saja sebagai objek yang dituju Sayna pun merasa capek, lemas dan letih. Berat badan Danish sepertinya naik akhir-akhir ini, dia makin berat saja saat bertumpu di atasnya.Ibunda: Teh, jangan lupa sarapan, ya. Ibu doakan apa pun yang Teteh jalani hari ini lancar.Sayna melihat ke luar jendela kamarnya, masih gelap, dia yakin ibunda pasti baru selesai beribadah dan langsung menghubunginya di awal minggu ini. Tidak ada drama bangun kesiangan Senin pagi karena minggunya Sayna tidur nyenyak sekali. Dia menggeliat bangun, memotret dirinya sendiri lalu mengirim fot

  • Miss Antagonist    Ganjil yang Mengganjal 2

    “Gue pengen pergi,” gumam pemuda itu pelan dengan kelopak mata yang terbuka perlahan. “Gue nggak suka dia ada di sini.”Danish melirik ke samping, Pramudya duduk seperti patung hidup di sebelahnya, tidak memberi reaksi apa-apa.“Tiap dia ada, gue nggak mau pulang.” Danish menambahkan, kendati Pramudya mungkin tidak mengerti apa maksudnya. “Tapi Mama suka banget sama orang itu, Dya.”Dan perasaan ibunya tidak bisa dicampuri, Danish tahu dengan pasti.“Dya...”“Ayo pergi!”“Gue nggak betah kalau dia ada di rumah.”“Jangan pulang.”Entah kenapa, meski itu terdengar tidak baik, Danish tersenyum dibuatnya. Dya memberikan hal-hal yang ingin Danish dengar. Sejujurnya, Danish tahu dia harus bagaimana, bersikap seperti apa, menerima keadaan dan membiarkan ibunya bahagia. Tapi nanti. Saat ini, dia hanya ingin dibenarkan oleh seseorang, dibela,

  • Miss Antagonist    Awal dan Akhir

    Hujan deras mengguyur siang menuju sore hari itu. Danish yang awalnya hanya berencana mengajak Pramudya membeli pakan Bolu terpaksa harus meneduh lebih dulu. Mereka pergi ke laundry Melia terdekat dari komplek perumahan, ada Hamam dan para pekerja di sana, mereka tidak berduaan selama menanti hujan. Danish memeriksa ponsel, tidak ada pesan dari Sayna seharian—selain tadi pagi untuk menyemangatinya.Dia rindu. Kenapa tetes hujan selalu membuat suasana menjadi sendu? Padahal baru kemarin mereka bertemu.“Bahasa Jawanya apa tuh? Kan kalau Sunda Neng, Dya maunya dipanggil apa?”Danish melirik Hamam yang suaranya sayup-sayup ditelan angin dan hujan di luar sana, deras sekali. Dia jadi membayangkan yang tidak-tidak, apa yang dilakukan ibunya bersama seorang pria di rumah? Danish jelas tahu kalau Melia rindu belaian dan sentuhan. Dia mengerti itu, usianya 20 tahun sekarang.“Dya aja.” Suara Pramudya baru terdengar kendati H

  • Miss Antagonist    Eksekusi

    “Teh, Ibu nikah sama Ayah pas umur 30 tahun,” kata ibunya waktu itu. “Jadi punya anaknya agak telat, apalagi Ayah sebentar lagi pensiun. Ibu bakal sendirian bertempur buat biaya kuliah Teteh. Yang prihatin ya, Nak? Ibu mau Teteh menikah selesai kuliah profesi, biar ibu tenang, perjuangan ibu sama Ayah kelihatan hasilnya.”Tahun depan Ayah pensiun dari pekerjaannya, dan beberapa hal bisa jadi berbeda. Keluarga Sayna bukan pengusaha kaya atau keturunan konglomerat seperti Adiswara dan Ranajaya. Mereka bahkan tidak punya nama belakang yang keren, yang dipakai oleh seluruh keturunan generasi berikutnya. Keluarga Sayna hanya orang biasa, hidup berkecukupan, keduanya bekerja dan mengabdi pada negara.Namun masa abdi itu memiliki masa aktif, dan ketika tenaga serta abdinya tidak dibutuhkan lagi, beberapa kompensasi dicabut, tidak didapatkan lagi. Sayna bisa membayangkan bagaimana sulit dan beratnya Ibunda berjuang seorang diri membayar kuliah di kedokt

  • Miss Antagonist    Sekam dan Redam

    “Keterlaluan!”Sayna langsung menggigil ketika suara itu menyentak gendang telinganya. Bukan hanya kaget, dia juga ketakutan. Baru kali ini dia merasa sangat tersudut, tidak mampu membela diri sama sekali, tidak mau.“Lo nggak tahu apa aja yang udah gue lakuin buat bertahan, Sayna.” Pemuda itu terengah dengan wajah dan mata yang memerah. “Gue bahkan... saking nggak maunya ngasih Dya celah, sering jahat sama dia.” Napasnya terengah. “Demi lo,” lanjutnya. “Cuma lo satu-satunya.”Gadis itu semakin menundukkan kepala, dia kira menggigil hanya karena ketakutan, tapi ternyata Sayna juga sangat kedinginan, padahal tidak sedang hujan. Dia tentu ingat beberapa waktu yang lalu, saat keluarga Danish panik mencari keberadaan Pramudya usai ditinggal begitu saja demi segera menemui Sayna. Danish tidak hanya asal bicara, dia membuktikan dengan tindakan bahwa kesetiaannya tidak boleh diragukan.“Maaf, Nish

  • Miss Antagonist    Sekam dan Redam 2

    Jhare sopo aku nggak iso, jhare sopo aku nggak iso? Eyeliner-ku nggak roto lho, terus opo’o?Makeup-ku jan uaneh yet my friends say, hiiiii... apike!Raimu raiku do whatever you wanna doBuenci pol body shamming jan garai cryingGendat gendut kura kuru lambemu lambemuI love my body and... you should tooSiji loro telu Hi, all i love you!Suara Pradnya diiringi hentakan musik ketika menyanyikan kembali lirik andalan dalam lagu Pretty Real menggema di seluruh ruangan. Malam ini adalah pesta ulang tahun si kembar, suasana kediaman Ranajaya begitu meriah. Tamu sudah berdatangan sejak sore, sementara si empunya acara hanya terlihat salah satunya saja. Saudari kembarnya justru baru kembali dari halaman belakang rumah, lapangan golf pribadi keluarga, mengendarai Boogy, menerobos masuk ke ruang pesta, masih mengenakan pakaian kasualnya.

Latest chapter

  • Miss Antagonist    Ending Sayna

    Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit

  • Miss Antagonist    Harta, Takhta dan Duda Muda

    “Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung

  • Miss Antagonist    Arunika Yang Baru

    “Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar

  • Miss Antagonist    Memulai Hidup Baru

    Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m

  • Miss Antagonist    Zona Aman

    Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu

  • Miss Antagonist    Berhubungan Badan

    “Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga

  • Miss Antagonist    Pesta Perpisahan

    “Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a

  • Miss Antagonist    Memulai Hubungan Baru

    Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I

  • Miss Antagonist    Berjumpa Arunika

    “Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se

DMCA.com Protection Status