"Kan ... Apa aku bilang ... Kamu sih, ngeyel," ujar Dinda, berbisik. Terang saja dia malu. Apalagi dengan posisi mereka yang kelewat dekat tadi. Haidar malah tertawa. Seakan bukan masalah besar baginya. Menyambut pasangan yang entah sejak kapan datang itu. "Wah, romantis sekali pasangan lama ini," celetuk Arjun. Dia menggandeng tangan Niswah, meski mendapat tatapan kaget dari sang gadis. "Haha. Pastinya dong. Kalian sendiri bagaimana? Pasangan muda, pastinya lebih romantis 'kan?" Arjun tertawa kecil. Meletakkan plastik berisi kotak pizza ke atas meja. Huh! Pembahasan macam apa ini? Niswah langsung melepas tautan jemari Arjun. Mengambil tempat duduk paling pojok, bersama Deka."Maaf, Mas. Bukannya bertamu ke rumah, malah ke kantor," basa basinya."Iya, kalian ini memang sok sibuk sekali. Lupa ya, kalau punya kakak?"Niswah memalingkan wajahnya. Dia tahu, Haidar menyindirnya. Tapi, yah memang begitulah. Niswah masih ngambek perkara perjodohan paksa itu. Dia
Nasib sial bagi Della. Pamannya meminta padanya supaya numpang pada Zul setiap berangkat kerja. Dan Zul juga iya-iya saja. Setuju tanpa penolakan. Ini gara-gara Della pernah jatuh dari motor, dia trauma. Sampai sekarang tidak berani naik motor. Berangkat kerja pun dia memilih memesan grab atau dengan Kevin, kalau kebetulan anak itu menjemputnya tiba-tiba. Dan, gara-gara itu pula pamannya, menceletukkan permintaan konyol itu. Ah, tahu begini, mobilnya tidak dia jual. Tapi sudah terlanjur. Mau tak mau, terpaksa harus mau."Kenapa sih, lo kudu muncul lagi," decaknya kesal. Mereka dalam perjalanan ke tempat kerja. Della dengan seragam kerjanya, sedangkan Zul, menutupi seragamnya dengan jaket. Itulah kenapa di rumah makan kemarin tidak ada yang tahu kalau dia anggota polisi.Zul menoleh tipis, tersenyum."Aku dipindah tugaskan disini."Della mendengkus. Sayangnya, itu benar. Pertanyaannya yang konyol. "Lagipula, aku tidak pernah pergi. Jadi, rasanya kurang pas k
"Besok aku libur. Bagaimana kalau kita jalan?"Della menatap dengan lirikan aneh. Tidak salahkah dia dengar? Zul mengajaknya jalan, setelah hubungan mereka yang gak jelas itu tidak ada titik terang."Gue sibuk," sahutnya ketus, membuka pintu mobil."Tapi, kata pak Yogi, setiap hari minggu, kamu jatah libur?"Pria ini, keras kepala sekali. Della mengurungkan gerakannya."Libur atau tidak, bukan urusan lo, 'kan? Gue mau istirahat."Zul mengulas senyum tipis. Memandangi gadis yang melangkah menjauh. Oke. Tidak masalah. Masih ada hari lain. Mungkin, dia harus berusaha lebih keras lagi. Katanya, mengembalikan kepercayaan yang terlanjur rusak itu memang sulit.Zul melajukan mobilnya beberapa meter lajuan lagi. Dan berhenti tepat di halamannya. Pria muda berbadan tegap itu melirik sebentar ke rumah samping. Barulah membuka kunci rumah. Kembali ke tempat ternyamannya...Malam menjelang. Zul tengah berkutat dengan ponselnya. Tepatnya, ada yang t
Karena tak mau terlibat perdebatan panjang, dan tidak mau ketinggalan yang lain, mau tak mau, Della akhirnya mau saja. Dan, pria itu membawanya ke mobilnya. Tak lupa, senyum kemenangan tersungging lebar. Mengejek penuh pada Kevin yang tak bersalah. Justru Della yang merasa tak enak pada Kevin yang jauh-jauh datang menjemputnya."Sory, Vin ..." ujarnya tak enak hati.Pemuda yang lebih muda itu tersenyum."Gak papa, Mbak. Malah gak dingin kok." Fake sekali senyum itu. Pasti ada kecewa, meski sedikit."Sudah, biarkan saja. Coba saja kamu lebih dulu bilang padaku, pasti dia tidak perlu repot-repot kesini."Della mendengkus. Dasar egois. Padahal, rasanya dulu Zul tidak seegois ini. Kecuali untuk urusan kejelasan hubungan mereka. Sisanya, Zul tidak semenyebalkan ini.Della menoleh ke belakang. Ada Kevin yang mengikuti dari belakang. Pemuda itu bahkan tidak melajukan motornya dengan cepat. Seolah, masih menjaganya dari pria yang tiba-tiba datang mengaku-ng
"Lo kenapa sih? Bisa gak enyah dari hadapan gue?" Ucapan yang ingin Della lontarkan setiap kali bayangan masalalu menyedihkan itu datang. Namun, mulutnya bungkam kalah dengan perasaannya sendiri. Nyatanya, Della malah semakin tak bisa menolak setiap ajakan pria itu. Meski diawali dengan omelan terlebih dahulu."Nduk."Lamunan Della buyar. Dia tengah menyiram bunga di depan. Mumpung libur, jadi dia manfaatkan untuk merefreshkan pikirannya. Salah satunya berkutat dengan bebungaan di pekarangan.Wanita itu menoleh, menampilkan raut tanya pada pamannya yang sudah berpenampilan rapi, lengkap dengan jaket. Pelengkap untuk mengendarai motor."Kata bulekmu, ibumu nelpon dari tadi malam, ndak kamu angkat."Della terdiam. Pasti itu lagi yang akan dibahas. Pertanyaan sama yang tak pernah berubah. Pertanyaan yang membuatnya muak untuk kesekian kalinya. 'Kapan nikah?' 'Umurmu sudah tua, mau jadi perawan tua?', 'Mbok jangan karir saja yang dipikirkan, pikir
"Ini mas Zul, polisi muda yang tinggal di samping rumah kita. Yang bapak ceritain itu, loh, Buk," jelas pak Yogi pada wanita disampingnya yang ternyata istrinya."Ooo ... Maaf ya, Mas Zul. Ibu ndak tahu. Kemarin kebetulan sedang pergi, ada urusan," sapa Wati, istri pak Yogi, menyalami ramah Zul."Tidak apa, Bu," sahutnya tak kalah ramah. Padahal aslinya dia sedang malu. Malu kepergok nongkrong di depan rumah yang notabene rumahnya kepala kampung. Mana cuma pakai kolor dan kaos oblong.Wanita lain yang sepertinya baru selesai urusan dengan tukang ojek itu ikut mendekat. Terlihat kesulitan membawa barang bawaannya. Perawakannya lebih tua dari bu Wati. Gurat lelah terlihat jelas di wajahnya yang mengeriput. Reflektifitas Zul langsung tergerak membantu, namun wanita itu melihatnya bingung."Itu siapa? Yang bantu-bantu di rumahmu, Ti?" tanyanya, setelah membiarkan tasnya dibawakan Zul. Sepertinya beliau ini tidak menyimak pembicaraan pak Yogi dan bu Wati. Dalam
Di dalam kamarnya, tangis Della benar-benar meledak. Bukan sekedar penumpahan emosi, melainkan juga perasaan bersalah. Seumur-umur, tidak pernah dia membantah apalagi membentak orang tuanya. Ternyata rasanya lebih menyakitkan daripada rasa sakit itu sendiri.Suara ketukan di pintu, dia abaikan. Pintunya memang tidak dia kunci, tapi jika itu bibinya, maka pintu itu tetap tidak akan dibuka tanpa izin darinya. Nyatanya, terdengar pintu didorong pelan, Della menutup wajahnya dengan bantal. Bayangkan betapa engapnya disaat dada terasa sesak menahan emosi yang menguras, juga hidung mampet karena menangis. Tapi, peduli apa dengan engap. Dia hanya tak mau memperlihatkan wajah sembabnya."Nduk ..."Salah! Ini bibinya. Bibi nya tetap masuk meski belum dua izinkan."Maafkan bulek, karena masuk tanpa permisi."Della tak menyahut. Menahan isaknya supaya tidak terlalu keras. Belain lembut terasa di lengannya."Bulek tahu, bagaimana perasaanmu."Hembusan napas
Tempat bicara paling nyaman masih la dipegang oleh caffe. Dimana tempatnya tidak terlalu ramai, juga bukan tempat yang sepi. Ditambah ditemani alunan musik syahdu. Dan, begitu pula yang menjadi tujuan Zul dan Haidar. Meski Zul harus menempuh perjalanan yang lumayan demi menuju tempat tujuan.Sampai di lokasi, netra Zul bergerilya mencari lokasi duduk Haidar. Tadi katanya Haidar sudah datang lebih dulu. Sudah memesan tempat untuk mereka. Dirinya tinggal datang saja. Yup! Itu dia. Sudut bibirnya terangkat menangkap keberadaan Haidar diantara pengunjung caffe yang lain. Namun, ada yang membuat alis Zul berkerut. Haidar tidak datang sendiri. Melainkan dengan anak kecil. Bocah yang dia tahu adalah anak dari suami Niswah."Sory, bawa bocil," sambut Haidar begitu melihat kedatangan sahabatnya, tersenyum tipis. Zul mengangguk. Berhigh five dengan Haidar, juga mengusak kepala bocah anteng itu. Deka hanya mendongak selintas, dan menoleh bingung."Om Zul. Lupa?" tukas Hai