Di dalam kamarnya, tangis Della benar-benar meledak. Bukan sekedar penumpahan emosi, melainkan juga perasaan bersalah. Seumur-umur, tidak pernah dia membantah apalagi membentak orang tuanya. Ternyata rasanya lebih menyakitkan daripada rasa sakit itu sendiri.
Suara ketukan di pintu, dia abaikan. Pintunya memang tidak dia kunci, tapi jika itu bibinya, maka pintu itu tetap tidak akan dibuka tanpa izin darinya. Nyatanya, terdengar pintu didorong pelan, Della menutup wajahnya dengan bantal. Bayangkan betapa engapnya disaat dada terasa sesak menahan emosi yang menguras, juga hidung mampet karena menangis. Tapi, peduli apa dengan engap. Dia hanya tak mau memperlihatkan wajah sembabnya."Nduk ..."Salah! Ini bibinya. Bibi nya tetap masuk meski belum dua izinkan."Maafkan bulek, karena masuk tanpa permisi."Della tak menyahut. Menahan isaknya supaya tidak terlalu keras. Belain lembut terasa di lengannya."Bulek tahu, bagaimana perasaanmu."Hembusan napasTempat bicara paling nyaman masih la dipegang oleh caffe. Dimana tempatnya tidak terlalu ramai, juga bukan tempat yang sepi. Ditambah ditemani alunan musik syahdu. Dan, begitu pula yang menjadi tujuan Zul dan Haidar. Meski Zul harus menempuh perjalanan yang lumayan demi menuju tempat tujuan.Sampai di lokasi, netra Zul bergerilya mencari lokasi duduk Haidar. Tadi katanya Haidar sudah datang lebih dulu. Sudah memesan tempat untuk mereka. Dirinya tinggal datang saja. Yup! Itu dia. Sudut bibirnya terangkat menangkap keberadaan Haidar diantara pengunjung caffe yang lain. Namun, ada yang membuat alis Zul berkerut. Haidar tidak datang sendiri. Melainkan dengan anak kecil. Bocah yang dia tahu adalah anak dari suami Niswah."Sory, bawa bocil," sambut Haidar begitu melihat kedatangan sahabatnya, tersenyum tipis. Zul mengangguk. Berhigh five dengan Haidar, juga mengusak kepala bocah anteng itu. Deka hanya mendongak selintas, dan menoleh bingung."Om Zul. Lupa?" tukas Hai
"Btw, thanks. Perasaan gue udah mendingan sekarang.""Hem. Jangan cuma didengarkan. Tapi jalankan juga misinya."Zul mengangguk. "Pasti. Gue udah sadar. Gue emang gak bisa jauh dari Della. Gue benar-benar menginginkan dia yang menjadi pasangan hidup gue."Gantian Haidar yang menahan tawa. Tapi tidak sampai lolos. Rasanya memang lucu mendengar orang bucin bicara. Persislah, sepertinya dirinya. Kata-katanya mendadak bijak."Oh, ya ... Berapa hari Niswah sama suaminya pergi?"Haidar menyesap minumannya. "Seminggu. Suaminya dapat tugas mewakili kampus untuk studi banding di kampus tetangga." Zul mengangguk paham. Tuh kan, Niswah saja bisa hidup bahagia dengan pilihannya, kenapa dulu dia sempat berharap coba? Ah, dari awal juga perasaannya memang salah. Dia memang terlambat menyadarinya, tapi tak ada kata terlambat untuk memperbaikinya bukan?Mereka berada disana untuk beberapa saat lagi. Mengalihkan obrolan pada tema pembahasan yang lebih ringan. T
Kamar hotel yang mereka sewa adalah double bed, dua ranjang berbeda dalam satu kamar. Beruntung, Arjun dari kampus berangkat sendiri. Jadi, tidak akan ada masalah dengan yang lain. Sengaja juga dia membuat mereka satu kamar untuk memudahkan mengawasi gadis itu. Bagaimanapun juga, dia khawatir membiarkan gadis itu berada di kamar sendiri.Pulang dari tempat tugasnya, pria itu membuka pintu. Mendapati masih ada sosok di dalam. "Loh, gak jadi keluar?" terang saja Arjun bertanya seperti itu, karena jarak dia memberi izin dan kepulangan tidak lama. Maka melihat Niswah yang malah rebahan di kasur membuatnya terheran. "Males ah. Disuruh keluar, tapi gak dikasih duit. Emang mau ngiler aja gitu, gak beli apa-apa?" sahutnya malas."Ah! Iya ... Sory, aku lupa," kekeh Arjun. Meletakkan tas kerjanya di atas meja. Melonggarkan dasi dari kerahnya. Sedangkan Niswah malah hanya memandangi gerak gerik si pria."Bagaimana kalau nanti malam saja, kita keluar?" tawar Arjun.
"Eih! Hati-hati!" Arjun takut sendiri kalau gadis itu tersandung. Tapi sayangnya tidak berlaku untuk Niswah. Dia menghiraukan teriakan Arjun, dan sampai di lokasi lebih dulu. Tertawa lebar."Yeay! Bapak kalah. Saya duluan yang nyampek."Manis. Arjun mengulum senyum seraya menggelengkan melihat tingkah gadis itu. Ah, memang benar. Tak peduli berapapun usianya, wanita adalah makhluk manja yang menggemaskan. Eh! Apa dia bilang tadi? Gadis itu menggemaskan? Huft... Sepertinya otaknya tidak beres akhir-akhir ini.Arjun meletakkan bobot tubuhnya, duduk di samping gadis itu. Sebelah tangannya membawa cup americano pesanannya."Kenapa harus disini, hmm? Bukannya di dalam sana lebih hangat?" Arjun tak menampik rasa penasarannya akan alasan gadis itu lebih memilih halte."Gak papa. Seru aja disini. Vibesnya mirip drakor. Kayak pasangan romantis.""Memangnya kita pasangan?""Iyalah. Bapak suaminya dan saya istri."Arjun menoleh. Tap
"Wah, ini kenapa kebetulan sekali ya? Bisa bertemu bapak disini. Haha."Niswah menatap risih pada perempuan muda yang nampak akrab dengan suaminya itu. Suami? Ya, memang itu kenyataannya 'kan? Dan, yang membuat dia semakin kesal, mereka terlihat akrab sekali, Arjun juga tersenyum lebar, menyambut baik kedatangan perempuan itu. Bahkan, Niswah yang nyaris seperti obat nyamuk disini. Gimana enggak, perempuan itu begitu turun dari mobil, tanpa basa basi membuatnya menyingkir di pojokan. Berasa menjadi anak buangan aja dia."Pak Arjun kenapa kok disini? Halte ini sudah lama tidak dipakai lo.""Oh, saya menemani dia." Akhirnya, kehadirannya dianggap juga. Setelah obrolan lama dua manusia itu, kehadirannya dipertanyakan juga. Perempuan muda itu menoleh pada Niswah, hanya sekilas. Sebenarnya sedari tadi juga melirik Niswah dengan tatapan curiganya. Tapi, entah kenapa dia seperti tidak berminat untuk membahas keberadaan Niswah disini. Kalau saja Arjun tidak menunjuknya,
Selesai mandi, Arjun bersiap untuk pergi ke kampus. Memakai kemeja navy dan dasi hitam. Sudut matanya melirik gadis yang sedang duduk di ranjang dan tampak asyik memainkan gawainya. Tatapan gadis itu tak lepas dari gawainya. Namun, ada yang tak biasa dalam tangkapan Arjun. Gadis itu tampak rapi. Bahkan aroma parfumnya menguar manis. Ditambah tas kecil berada di sisinya. Arjun mengancingkan kancing kemejanya, dengan sesekali tetap mencuri pandang."Kau mau pergi?" tanyanya menuntaskan penasaran. Yang disahuti dengan anggukan acuh."Kamu ada janjian? Kemana? Dengan siapa?" tanyanya beruntun. "Gak ada janjian," sahut Niswah singkat."Terus, pergi sendiri?" Terang saja Arjun penasaran. Karena biasanya Niswah memilih tetap di hotel. Ralat, dia juga yang melarangnya. Karena takut gadis itu nyasar."Ya sama bapak lah," ketus Niswah. Menghentikan kegiatannya dari berkutat dengan ponselnya. Tatapannya galak, seperti biasa."Ke kampus?""Iyalah. Emang kemana
Tinggalah Niswah dalam keterasingan. Asing, karena jelas saja, dia berada di ruang dosen kampus lain. Kampusnya saja dia masih sering canggung, apalagi kampus negara lain. Ditambah, Niswah buta terhadap bahasa disini. Padahal, bahasanya terbilang mudah karena masih serumpun.Demi menutupi kegugupannya, Niswah memilih memainkan ponselnya. Dan, saat pemuda yang bernama Jufri itu menghampirinya, Niswah salah tingkah."Akak ini, adiknya Bang Arjun?""I-iya."Kaku sekali. Ditambah dirinya tak terbiasa dengan bahasa Melayu tersebut..."Ahaha! Kok bisa sih? Sumpah, ngakak."Yang semula kaku, lama-lama pecah juga. Ternyata, keterbatasan bahasa bukan penghalang. Meski terkadang Niswah harus berfikir sejenak demi menangkap perkataan Jufri. Tapi tak masalah, lama-lama dia terbiasa. Saking asyiknya, sampai mereka tak menyadari ada sosok yang menatap tak suka ke arah mereka."Adik anda, cocok juga dengan Jufri."Dengkusan kasar terdengar.
"Nis, tunggu ...."Arjun berniat mengejar Niswah yang melangkah cepat menjauh. Tentunya bersama Jefri. Tapi, tangannya ditahan Liza."Biarkan dulu, Pak."Arjun menoleh kesal. Jika dulu dia bisa menahan, kali ini Arjun makin kesal. Bagaimana bisa Liza menyuruhnya membiarkan istrinya yang sedang marah. Padahal, mereka baru saja berbaikan dengan mengungkapkan perasaan yang terpendam."Maksudmu apa? Kau tak lihat Niswah pergi, hah!" Saking paniknya, sampai Arjun tak sengaja mengeraskan suaranya. Liza terlihat terkejut, tak menyangka akan mendapat bentakan seperti itu. Tapi, dia segera menguasai diri. Mengulas senyum menenangkan."Benar. Saya lihat. Tapi, kita harus segera ke ruang rapat. Ini hari terakhir bapak disini. Apa bapak ingin mengacaukannya?"Arjun tertegun. Benar. Dirinya disini untuk mengemban tugas. Dia tidak bisa mengutamakan masalah pribadinya diatas tugasnya. Kenapa pula, dia lupa kalau ponselnya kemarin dia titipkan pada Liza,