Tinggalah Niswah dalam keterasingan. Asing, karena jelas saja, dia berada di ruang dosen kampus lain. Kampusnya saja dia masih sering canggung, apalagi kampus negara lain. Ditambah, Niswah buta terhadap bahasa disini. Padahal, bahasanya terbilang mudah karena masih serumpun.
Demi menutupi kegugupannya, Niswah memilih memainkan ponselnya. Dan, saat pemuda yang bernama Jufri itu menghampirinya, Niswah salah tingkah."Akak ini, adiknya Bang Arjun?""I-iya."Kaku sekali. Ditambah dirinya tak terbiasa dengan bahasa Melayu tersebut..."Ahaha! Kok bisa sih? Sumpah, ngakak."Yang semula kaku, lama-lama pecah juga. Ternyata, keterbatasan bahasa bukan penghalang. Meski terkadang Niswah harus berfikir sejenak demi menangkap perkataan Jufri. Tapi tak masalah, lama-lama dia terbiasa. Saking asyiknya, sampai mereka tak menyadari ada sosok yang menatap tak suka ke arah mereka."Adik anda, cocok juga dengan Jufri."Dengkusan kasar terdengar."Nis, tunggu ...."Arjun berniat mengejar Niswah yang melangkah cepat menjauh. Tentunya bersama Jefri. Tapi, tangannya ditahan Liza."Biarkan dulu, Pak."Arjun menoleh kesal. Jika dulu dia bisa menahan, kali ini Arjun makin kesal. Bagaimana bisa Liza menyuruhnya membiarkan istrinya yang sedang marah. Padahal, mereka baru saja berbaikan dengan mengungkapkan perasaan yang terpendam."Maksudmu apa? Kau tak lihat Niswah pergi, hah!" Saking paniknya, sampai Arjun tak sengaja mengeraskan suaranya. Liza terlihat terkejut, tak menyangka akan mendapat bentakan seperti itu. Tapi, dia segera menguasai diri. Mengulas senyum menenangkan."Benar. Saya lihat. Tapi, kita harus segera ke ruang rapat. Ini hari terakhir bapak disini. Apa bapak ingin mengacaukannya?"Arjun tertegun. Benar. Dirinya disini untuk mengemban tugas. Dia tidak bisa mengutamakan masalah pribadinya diatas tugasnya. Kenapa pula, dia lupa kalau ponselnya kemarin dia titipkan pada Liza,
"Ngambeknya udahan ya? Aku tidak kuat lama-lama kamu diamkan."Niswah mendongak terperangah. Menghentikan kunyahannya. Woy, Pak. Ini diam bukan karena ngambek, tapi grogi! Masak gak bisa bedain sih.Niswah masih tak percaya dengan perlakuan manis Arjun di toko tadi. Arjun yang biasanya dingin dan menyebalkan itu membuat dirinya salah tingkah di hadapan pemilik toko dan pengunjung. Adegan itu terlalu romantis untuk digambarkan. Ditambah, mendapati cincin yang melingkar di jari manis sang pria. Sejak kapan? Ah, salahnya sendiri yang tidak teliti pada suaminya sendiri. Niswah menggigit bibir bawahnya saat ingat cincinnya dia tinggal di rumah. Mengambil air putih dan meneguknya pelan."Em, itu ... Ini hari terakhir kita disini. Kamu, ada tempat yang mau dikunjungi?" Netra teduh itu menyorot. Sepertinya sesi makan siang ini dirinya harus siap menjaga jantungnya. Menyahuti tawaran Arjun, Niswah menggeleng singkat."Yakin? Tidak ada tempat yang mau dikun
Menuruti saran Liza, Arjun dengan setia menunggu kembalinya sang wanita. Meluluhkan egonya yang kebat kebit menahan cemburu. Tapi saran Liza benar, tak seharusnya dia cemburu buta dan malah merusak semuanya. Karena, ini juga bagian dari kesalahannya. Andai, dia dari awal lebih terbuka, dan menjelaskan secara detail siapa itu Liza, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Liza pun, sudah pergi sedari tadi. Perempuan itu ada urusan pribadi katanya. Tanpa bertanya kepo, Arjun mengiyakan. Kini, tinggal dia di kantor dengan beberapa dosen yang lain.Dan, saat wanita itu baru nampak, bersama Jefri tentunya, senyum merekah meluncur di bibirnya. Tapi, jangan ditanya bagaimana dengan hatinya. Panas. Persis seperti sauna."Sudah selesai?" Niswah menatap aneh dengan ucapan lembut Arjun. Ditambah, senyam senyum di bibirnya. Sangat kontras dengan julukan yang terlanjur dia berikan pada pria itu, yaitu, 'dosen galak'.Niswah melengos, dan lebih memilih ikut
Arjun mendongak. Wajah mereka hanya tersisa beberapa senti saja. Sementara tangannya tetap bekerja. "Selesai."Tanpa menjawab perkataan Niswah, Arjun memundurkan tubuhnya. Ternyata dia hanya memasangkan sabuk pengaman untuk gadis itu. Karena dia perhatikan, sepertinya gadis itu masih asyik melamun, dan tidak ingat untuk memasang sabuk pengamannya.Melihat apa yang dilakukan pria itu, wajah Niswah memerah. Dia malu. Dia pikir, Arjun akan melakukan yang tidak-tidak. Ternyata hanya memasangkan sabuk pengaman. Duh, rasanya ingin membuang wajahnya ke samudra Atlantik saking malunya. Kotor sekali otaknya yang sudah mikir yang tidak-tidak.Mobil berjalan pelan meninggalkan halaman kampus. Barulah, setelah di jalan raya, kecepatan bertambah. Arjun melirik gadis disampingnya, sepertinya gadis itu masih menahan malunya. Arjun memecah keheningan dengan menawarkan sesuatu. "Ingin mendengarkan musik?""Terserah bapak saja." Arjun mengangguk. Menyodorkan p
"Iya deh. Gue bakal doain yang terbaik. Buat lo, selaku sahabat gue," ucapnya dengan menekankan kata sahabat. Rautnya berubah datar. "Dan juga buat pak Arjun, selaku dosen favorit gue." "Kalau kalian sama-sama gak bahagia, kenapa harus bertahan? Menikah bukan permainan, bukan bahan jajak rasa. Gue rasa harusnya lo paham. Lo bukan anak smp, atau anak sekolah dasar yang maunya main cinta-cintaan, lo udah dewasa untuk berfikir. Kalau emang lo gak suka sama pak Arjun, semoga aja pak Arjun nemuin yang lebih baik, yang bisa membalas perasaan beliau. Gue gak tega beliau harus jatuh cinta sendiri. Banyak loh yang ngarepin pak Arjun. Entah itu dari kalangan mahasiswi, ataupun dari dosen, itu pasti juga ada. Pak Arjun itu pinter, ganteng, harus dapat yang sepadan."Napas Syifa tersengal. Sepertinya dia terlalu mengeluarkan kekesalannya. Niswah bungkam. Sorot sinis Syifa yang membuatnya begitu."Gue laper. Gue mau buat mie. Nitip gak?" Menawarkan tapi nadanya ketus. "Gak usah
Tergesa Niswah berlari ke lorong rumah sakit. Wajahnya masih sembab dan menangis. Perasaan takut menggelayuti dirinya. Beruntung, ini rumah sakit. Menemukan orang menangis, atau meraung sekalipun hal biasa. Jarang terlihat adanya raut bahagia disana. Jadi, tak akan ada yang peduli dengan keadaannya yang kacau. Jilbab seadanya, juga kaos panjang rumahan karena tak sempat mandi. Wajah yang semula berkeringat, kini berubah menjadi lautan air mata. Kabar yang disampaikan Syifa tadi mampu meluluh lantakkan ego yang semula terpagar tinggi. Tanpa berganti pakaian, apalagi mandi, Niswah langsung mencari taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit."Keadaan pak Arjun parah banget, Nis. Gue bingung, gak ada keluarga beliau yang bisa gue hubungin. Gue tahunya cuma tahu elo," ucap Syifa saat menjelaskan alasannya terus menerus menelpon dirinya. Niswah sudah tak sanggup berkata-kata lagi, dia syok. Lalu, bagaimana ceritanya Arjun bisa terlibat kecelakaan? Harusnya pria itu sudah ada di
Kepalang basah, lebih baik mundur saja. Namun sebelum Niswah keluar, Arjun menahannya."Tunggu dulu."Terdengar derita ranjang. Sepertinya pria itu turun dari ranjangnya. Niswah tak berani menoleh. Dia sungguh malu. Merutuki kebodohannya yang gampang tertipu. Awas saja kau, Syifa! ancamnya dalam hati."Bagaimana kamu tahu saya disini?"Suara itu dekat sekali. Nampaknya Arjun ada di belakangnya."Seseorang mengatakan anda disini. Tapi, saya rasa, anda baik-baik saja. Sepertinya saya dibohongi," sahut Niswah kaku. Dia masih tak berani menoleh."Dibohongi? Memang dia mengatakan apa?""Bukan apa-apa, tapi saya rasa anda ..." Niswah terkejut saat tubuhnya ditarik berputar. Lebih terkejut lagi saat melihat keadaan Arjun."Siapa bilang saya baik-baik saja. Kau tidak lihat, kakiku diperban?" Niswah mengarahkan pandangan ke bawah. Jadi, kecelakaan itu benar. Meski, lebih banyak didramatisir oleh Syifa. Karena nyatanya, hanya perban kecil. Mungkin seb
Hari ini, Arjun dan Niswah hendak menjemput Deka. Pulang kerja, keduanya sama-sama menuju rumah Haidar. "Mau pulang hari ini, atau ikut menginap dulu?" tawar Arjun. Hubungan mereka tidak secanggung sebelumnya. Niswah membuang egonya ke lautan sana. Masa bodoh dengan gengsi, atau apa itu. Dia tidak mau kehilangan seseorang yang dicintainya. Yang penting, turuti bagaimana perasaanmu."Emm ... Pulang saja, Pak. Nanti malah menggangu mas Haidar sama mbak Dinda.""Baiklah." Mengusap puncak kepala Niswah. Lalu merangkul pinggang sang istri, membimbing keluar dari kamar. Awalnya Niswah merasa geli dengan sentuhan fisik itu. Tapi lama-lama nyaman juga. "Kemarin rekan-rekan dosen ke rumah sakit.""Kapan? Kok kita gak papasan?"Arjun tertawa kecil. "Mereka datang selesai wisuda. Mungkin mereka pikir, lukaku parah," tawanya."Mereka kebingungan karena ruangan sudah kosong. Untung saja ada yang memberitahu.""Itu kerjaan temenmu itu. Dia yang men
Zul dan Della rencananya akan tinggal sendiri. Sekarang, mereka masih bulan madu sambil menikmati Winter di Osaka. Setelah pulang, mereka tinggal di apartemen. Zul tengah menyiapkan rumah yang akan mereka tinggali nanti. Della sendiri, kembali bekerja di perusahaan Dinda. Tentu saja setelah Dinda memintanya dengan teramat. Lagipula, potensi Della di perusahaan memang besar. Jadi, tak bukan hanya atas dasar persahabatan semata. Zul juga sudah menceritakan sesuatu yang membuatnya mengganjal dulu. Tentang dia yang pernah tertarik ape Niswah. Awalnya Zul tidak mau cerita, karena takut Della cemburu. Tapi wanita itu memaksanya. Daripada memicu perang dunia di tengah pernikahan seumur jagung mereka, Zul mengalah. Della sempat kaget dan cemburu, tapi Zul berhasil meyakinkan bahwa itu hanya perasaan lewat. Cintanya pada Della lebih besar dan segalanya. Della masih cemburu, tapi dia percaya Zul. Zul sudah membuktikan bahwa perasaan pria itu sudah sepenuhnya tertuju padanya.Hari ini, mereka m
Niswah dan Arjun yang merencanakannya. Sepasang suami istri itu tidak tahan melihat hubungan dingin dua manusia dewasa itu. Satunya terlalu tinggi ego, dan satunya yang cenderung pasrah. Dan sangat kebetulan, bertepatan dengan itu, Zul mendapat promosi. Masa mutasinya dipercepat. Dia kembali mengabdi di kantor pusat. Kinerjanya memang bagus. Hanya sempat lalai karena patah hatinya.Sebenarnya, Zul mau berpamitan pada Della. Tapi Niswah melarangnya. Wanita yang sempat singgah di hatinya itu bilang, Zul harus tegas. Sesekali Della harus disentil egonya. Dengan cara menjauhinya. Seolah Zul sudah menyerah pada perasaannya. Awalnya Zul tidak setuju. Dia takut, Della justru semakin jauh darinya. Tapi Niswah juga tak kalah memaksa. Bagaimanapun juga, dia sesama wanita. Dia tahu, apa yang ditakutkan oleh kaum wanita keras kepala. Dia cinta, hanya saja ego tinggi mengalahkan perasaannya sendiri. Niswah bahkan berani menjamin, akan menebusnya seandainya rencananya gagal. Karena Niswah juga yak
"Jangan pergi...."Jantung Della terasa berdegup kencang. Dia juga tidak ingin pergi. Tapi, keadaan sudah berbeda. Zul sudah bertunangan dengan wanitanya. Harusnya dia tak ada disini. Ini acara pentingnya.Della melepas pelukan Zul darinya. Menghindarkan wajahnya dari pandangan Zul."Pergilah," ucapnya lirih. Menahan isakan yang sebentar lagi kembali pecah."Kenapa? Kau tidak suka aku mendatangimu?" ucap Zul tanpa penekanan.Della menggeleng. Dia tidak berani menatap pandang Zul. Dia takut perasaannya semakin hancur saat sadar pria itu tidak bisa dia harapkan lagi."Kembalilah. Itu acaramu. Tak seharusnya kamu malah disini."Zul mengerutkan dahinya. Mencerna perkataan Della."Acaraku? Ini acara ki ..." Zul menghentikan ucapannya. Berdehem kecil. Lantas menarik tangan Della. Memaksa mengikuti langkah lebarnya."Zul, lepas. Kau mau membawaku kemana?" tolak Della. Zul bergeming. Dia justru mengeratkan genggamannya. Tak akan membiarkan wanita ini kabur lagi."Niatmu datang kesini untuk me
Perjalanan ke kota cukup menyita waktu. Terutama karena Della hanya menggunakan angkutan umum. Dari satu bis ke bis yang lain. Pikirannya kacau. Dia tak bisa berfikir jernih lagi. Di pikirannya hanya satu. Dia tak mau terlambat. Berharap perjodohan itu belum dilaksanakan.Sepanjang jalan Della menangis. Membuat penumpang lain melihatnya heran. Penampilannya lebih mirip gadis yang kabur dari rumah. Karena dia membawa ransel ukuran sedang untuk pakaiannya. Tak ada yang menanyainya, sungkan terlebih dahulu.Jika dipikir, Della seperti tak punya malu. Dulu, dia yang menarik ulur perasaan Zul. Sampai pria itu hanya bisa memendam lukanya dalam senyum perjuangan. Memang, Della berhak marah karena Zul yang dulu. Tapi, bukankah Zul sudah meminta maaf? Bukan hanya sekali dua kali. Bahkan sering. Zul juga menunjukkan tekad yang kuat. Bahwa dia serius dengan lamarannya untuk menikahi dirinya. Tapi egonya terlalu besar untuk memaafkan Zul. Membiarkan pria itu tersiksa dengan perasaannya. Sekarang,
Della tidak tahu, entah sampai kapan dia bisa bertahan dengan hubungan aneh ini. Dia cemburu setiap kali melihat kedekatan Zul dan Ika. Tapi dia sendiri sadar diri, yang juga dekat dengan Kevin. Egonya memang keterlaluan besarnya. Dan, ternyata itu tidak hanya berlaku untuk Ika semata. Nyatanya Della juga cemburu saat Zul dekat dengan para mahasiswi itu. Dia kesal hanya dengan melihat Zul tertawa renyah pada mereka. "Wow! Bang Zul keren!"Della mendecak. Hanya karena Zul mengangkat dua galon isi penuh secara bersamaan. Para mahasiswi itu tampak kagum. Padahal, wajar saja Zul kuat. Dia polisi yang terlatih secara fisik dan mentalnya.Della malas berada di situ. Beringsut ke belakang. Duduk di kursi kayu dekat kolam ikan. Melempar kerikil ke kolam. Yang langsung disambut para ikan, karena mengira itu makanan yang diberikan pada mereka. Yah, tipuan yang menyebalkan bagi kaum ikan."Kau tidak bermaksud membunuh mereka kan?"Della tersentak. Spontan menoleh. Kembali membuang wajah saat t
Sungguh menarik perhatian. Itulah yang Niswah dan Arjun pikirkan melihat kejadian ganjil tadi pagi. Bagaimana bisa, Della dan Zul yang mereka kenal sebagai sepasang kekasih, tapi malah berangkat kerjanya dengan pasangan yang berbeda?"Lihat kan tadi?"Arjun mengangguk. Mereka sedang menghabiskan waktu berdua. Tidak ada yang protes. Ya kali mereka mau mendemo dosen sendiri. Taruhannya nilai, uy. Yah, meskipun Arjun juga tidak akan melakukan hal selicik itu."Aneh deh. Masak kalau cuma alesan tempat kerja yang beda, mereka berangkatnya pisah sih? Mana yang dibonceng lawan jenis lagi.""Perempuan tadi bukan polisi, Nis. Dari seragamnya dia karyawan biasa.""Iya, maksudku itulah, pokoknya. Aneh aja gitu. Apa, mereka lagi ada masalah ya? dilihat juga, bang Zul sama mbak Della kayak lagi jaga jarak kan?""Mereka emang lagi ada masalah. Cuma, aku kira sudah baikan. Ternyata belum toh.""Ih, jadi pengen deketin mereka lagi loh. Mereka kan pasangan serasi. Pacaran juga udah lama. Sayang kalau
Sampai di rumah, para mahasiswa itu sudah di depan. Ada yang menyapu, ada pula yang mencabuti rumput. Zul jadi malu sendiri dengan keadaan rumahnya yang memang tidak terawat. Tidak ada waktu, juga malas. Biasalah, pria lajang yang hidup sendiri, biasanya begitu. Zul ikut bergabung bersama mereka. Hari ini, dia berangkat agak siang saja.Selesai berberes, sarapan diadakan di rumah pak lurah. Tentunya sarapan kali ini lebih ramai dengan mereka yang baru datang...Pukul setengah delapan kurang sepuluh menit, Kevin datang menjemput. Merasa heran dengan keadaan ramai rumah Della. Dia sampai bengong dan tak berani memanggil. Mahasiswi muda yang sedang berkumpul di teras. Sepertinya mereka sedang musyawarah. Tapi, demi mendengar suara motor, mereka sontak menoleh. Membuat Kevin salah tingkah karena menjadi pusat perhatian."Cari siapa, Mas?" tanya mahasiswi berjilbab krem."Oh? S-saya? Saya nyari ... Em ... Mbak Della.""Oh. Mbak Della."Gadis berjilbab krem itu menjawil temannya. "Panggil
Jika pagi yang kemarin Zul hanya sendiri, maka pagi ini dia disambut dengan keriuhan. Para mahasiswa yang antre di kamar mandinya dengan wajah kusut khas bangun tidur."Pagi, Bang."Zul mengangguk. Duduk di salah satu kursi, ikut mengantri."Duluan saja, Bang."Zul mengibaskan tangannya, pertanda tidak perlu. Nertanya tak menangkap keberadaan Arjun diantara para mahasiswa itu."Dimana dosenmu?" tanya Zul dengan suara serak parau."Oh, pak Arjun sudah bangun dari tadi, bang. Kayaknya keluar tadi. Mungkin ke masjid," terang salah satu mahasiswa dengan dagu lancip. Yang kalau tidak salah namanya Ilham.Zul tertegun. Sangat berbeda dengan dirinya. Yang hanya ke masjid jika sempat saja. Zul menyadari, dibanding dirinya, Arjun memang lebih baik. Dan sangat cocok untuk Niswah yang mempunyai background agama kuat.Tidak Zul. Ingat dengan tekadmu. Cinta lama itu sudah hilang. Kini yang terpenting adalah mendapatkan kembali hati Della untuknya.Adzan subuh berkumandang. Syukurlah antrian tidak
Keseluruhan mahasiswa KKN ada enam belas. Enam laki-laki, dan sepuluh perempuan. Delapan tinggal di kediaman lurah Yogi, dan delapan yang lainnya tinggal di dusun sebelah. Karena kebetulan rumah dinas Zul dekat dengan kediaman pak Yogi, jadi, tiga laki-laki, ditambah Arjun, akhirnya tinggal di rumah dinas Zul. Supaya lebih menjaga para kaum hawa, itu kata Arjun. Padahal, aslinya dia tidak rela kalau istrinya tinggal seatap dengan teman prianya itu. Hal yang disetujui oleh Zul, dan yang lainnya. Tentunya, Zul dengan alasan yang sama. Tak mau Della kecantol dengan salah satu anak KKN itu, atau malah anak KKn yang kecantol Della."Mas Zul sudah lama disini?" Obrolan ringan kala malam hari. Yang lain sudah tidur, mungkin lelah setelah perjalanan panjang tadi siang."Hm. Lumayan. Sudah cukup lumayan lama sih."Arjun manggut-manggut. Menyeruput hot chocolate buatannya. Berhubung dia tidak suka kopi, jadi dia membawa sendiri susu cokelat dari rumah."Istrimu, sudah berapa bulan?" Maafkan Z