Arjun mendongak. Wajah mereka hanya tersisa beberapa senti saja. Sementara tangannya tetap bekerja.
"Selesai."Tanpa menjawab perkataan Niswah, Arjun memundurkan tubuhnya. Ternyata dia hanya memasangkan sabuk pengaman untuk gadis itu. Karena dia perhatikan, sepertinya gadis itu masih asyik melamun, dan tidak ingat untuk memasang sabuk pengamannya.Melihat apa yang dilakukan pria itu, wajah Niswah memerah. Dia malu. Dia pikir, Arjun akan melakukan yang tidak-tidak. Ternyata hanya memasangkan sabuk pengaman. Duh, rasanya ingin membuang wajahnya ke samudra Atlantik saking malunya. Kotor sekali otaknya yang sudah mikir yang tidak-tidak.Mobil berjalan pelan meninggalkan halaman kampus. Barulah, setelah di jalan raya, kecepatan bertambah. Arjun melirik gadis disampingnya, sepertinya gadis itu masih menahan malunya. Arjun memecah keheningan dengan menawarkan sesuatu. "Ingin mendengarkan musik?""Terserah bapak saja."Arjun mengangguk. Menyodorkan p"Iya deh. Gue bakal doain yang terbaik. Buat lo, selaku sahabat gue," ucapnya dengan menekankan kata sahabat. Rautnya berubah datar. "Dan juga buat pak Arjun, selaku dosen favorit gue." "Kalau kalian sama-sama gak bahagia, kenapa harus bertahan? Menikah bukan permainan, bukan bahan jajak rasa. Gue rasa harusnya lo paham. Lo bukan anak smp, atau anak sekolah dasar yang maunya main cinta-cintaan, lo udah dewasa untuk berfikir. Kalau emang lo gak suka sama pak Arjun, semoga aja pak Arjun nemuin yang lebih baik, yang bisa membalas perasaan beliau. Gue gak tega beliau harus jatuh cinta sendiri. Banyak loh yang ngarepin pak Arjun. Entah itu dari kalangan mahasiswi, ataupun dari dosen, itu pasti juga ada. Pak Arjun itu pinter, ganteng, harus dapat yang sepadan."Napas Syifa tersengal. Sepertinya dia terlalu mengeluarkan kekesalannya. Niswah bungkam. Sorot sinis Syifa yang membuatnya begitu."Gue laper. Gue mau buat mie. Nitip gak?" Menawarkan tapi nadanya ketus. "Gak usah
Tergesa Niswah berlari ke lorong rumah sakit. Wajahnya masih sembab dan menangis. Perasaan takut menggelayuti dirinya. Beruntung, ini rumah sakit. Menemukan orang menangis, atau meraung sekalipun hal biasa. Jarang terlihat adanya raut bahagia disana. Jadi, tak akan ada yang peduli dengan keadaannya yang kacau. Jilbab seadanya, juga kaos panjang rumahan karena tak sempat mandi. Wajah yang semula berkeringat, kini berubah menjadi lautan air mata. Kabar yang disampaikan Syifa tadi mampu meluluh lantakkan ego yang semula terpagar tinggi. Tanpa berganti pakaian, apalagi mandi, Niswah langsung mencari taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit."Keadaan pak Arjun parah banget, Nis. Gue bingung, gak ada keluarga beliau yang bisa gue hubungin. Gue tahunya cuma tahu elo," ucap Syifa saat menjelaskan alasannya terus menerus menelpon dirinya. Niswah sudah tak sanggup berkata-kata lagi, dia syok. Lalu, bagaimana ceritanya Arjun bisa terlibat kecelakaan? Harusnya pria itu sudah ada di
Kepalang basah, lebih baik mundur saja. Namun sebelum Niswah keluar, Arjun menahannya."Tunggu dulu."Terdengar derita ranjang. Sepertinya pria itu turun dari ranjangnya. Niswah tak berani menoleh. Dia sungguh malu. Merutuki kebodohannya yang gampang tertipu. Awas saja kau, Syifa! ancamnya dalam hati."Bagaimana kamu tahu saya disini?"Suara itu dekat sekali. Nampaknya Arjun ada di belakangnya."Seseorang mengatakan anda disini. Tapi, saya rasa, anda baik-baik saja. Sepertinya saya dibohongi," sahut Niswah kaku. Dia masih tak berani menoleh."Dibohongi? Memang dia mengatakan apa?""Bukan apa-apa, tapi saya rasa anda ..." Niswah terkejut saat tubuhnya ditarik berputar. Lebih terkejut lagi saat melihat keadaan Arjun."Siapa bilang saya baik-baik saja. Kau tidak lihat, kakiku diperban?" Niswah mengarahkan pandangan ke bawah. Jadi, kecelakaan itu benar. Meski, lebih banyak didramatisir oleh Syifa. Karena nyatanya, hanya perban kecil. Mungkin seb
Hari ini, Arjun dan Niswah hendak menjemput Deka. Pulang kerja, keduanya sama-sama menuju rumah Haidar. "Mau pulang hari ini, atau ikut menginap dulu?" tawar Arjun. Hubungan mereka tidak secanggung sebelumnya. Niswah membuang egonya ke lautan sana. Masa bodoh dengan gengsi, atau apa itu. Dia tidak mau kehilangan seseorang yang dicintainya. Yang penting, turuti bagaimana perasaanmu."Emm ... Pulang saja, Pak. Nanti malah menggangu mas Haidar sama mbak Dinda.""Baiklah." Mengusap puncak kepala Niswah. Lalu merangkul pinggang sang istri, membimbing keluar dari kamar. Awalnya Niswah merasa geli dengan sentuhan fisik itu. Tapi lama-lama nyaman juga. "Kemarin rekan-rekan dosen ke rumah sakit.""Kapan? Kok kita gak papasan?"Arjun tertawa kecil. "Mereka datang selesai wisuda. Mungkin mereka pikir, lukaku parah," tawanya."Mereka kebingungan karena ruangan sudah kosong. Untung saja ada yang memberitahu.""Itu kerjaan temenmu itu. Dia yang men
"Haha. Dia memang begitu, bar-bar. Tapi terlepas dari itu, pengalamannya dengan yang namanya laki-laki, nol besar. Asal kamu tahu, Jun. Dia belum pernah pacaran. Sehari-harinya dihabiskan buat ngebucin siapa itu, orang Korea. Tapi gak papa sih. Malah gak ketularan pergaulan bebas."Arjun mengangguk paham. Dia paham akan hobi Niswah tersebut. Dia sendiri tidak mempermasalahkan. Setiap orang punya kesenangan masing-masing. Tak berhak memaksakan kehendak. Sama seperti ketika dirinya yang pecinta bola, tak mungkin memaksa Niswah untuk menjadi penggemar klub bola seperti dirinya."Berarti, kalau dia suka sama saya, apa mungkin wajah saya mirip orang Korea ya, Bang?" celetuknya. Haidar malah tertawa."Wajahmu itu cenderung ke-Arab-an, Jun. Lihat saja alis tebalmu itu."Arjun mengangguk, terkekeh kecil. Sudah biasa bagi dirinya mendapat celetukan itu. Alis tebal, hidungnya juga lebih tinggi dari rata-rata standar orang Indonesia. Rahang tegas dan sorot mata t
Untuk pertama kalinya, Niswah tidak takut berangkat bersama Arjun. Bahkan, dia tidak menolak saat Arjun tidak memarkirkan mobilnya di area parkir dalam seperti biasanya."Maaf, sepertinya di dalam sudah penuh. Kita parkir disini saja ya?" Niswah mengangguk tipis. "Em, kau bisa keluar nanti, kalau sudah agak sepi. Untuk terlambat, kamu bisa pura-pura izin sama saya.""Tidak apa, Pak. Bareng saja.""Hmm? Kau serius?" Arjun otomatis mengerutkan dahinya. Apa gadis itu tidak masalah, hubungan mereka akan ketahuan. Namun gadis itu mengangguk, mantap."Meski bapak suami saya, tapi jangan sampai saya mendapat keistimewaan. Kalau saya terlambat, katakan saja terlambat."Arjun mengulas senyum. Mengusap kepala istrinya, bangga. Sebenarnya, dia juga tidak mau bersikap berat sebelah. Namun rupanya Niswah bisa menyikapinya dengan dewasa."Kalau begitu ....""Kita keluar bersama-sama."Senyum Arjun makin lebar. Ah, akhirnya, dia tak perlu menyembunyik
"Pak, apa bapak sudah menikah?" celetuk salah satu mahasiswi yang duduk di pojok. Dona namanya. Celetukan yang mewakili banyak kepala. Arjun hanya tersenyum tipis. Lirikannya terpacu pada Niswah terlihat cuek dengan pertanyaan salah satu temannya. Dan malah tetap fokus pada jilbabnya."Masak, bapak beneran udah nikah sama Niswah, Pak?" celetuk yang lainnya."Kalau memang benar, memang kenapa?" sahut Arjun santai. Tatapannya masih tertuju pada Niswah. Yang kini balik menatapnya. Apa tidak apa-apa?"Ya ampun! Nis, lo kok gak ngundang kita sih?""Iya, astaga ... Jadi selama ini gue ngefans suami orang.""Gue juga, gila. Hampir jadi pelakor gue."Arjun tertawa kecil. Berbeda dengan Niswah yang malah memasang wajah tegang. Padahal, tadi dia biasa saja."Selamat pak Arjun, Niswah. Yeaay! Kelas kita yang beruntung dapetin pak Arjun," sorak mereka bersamaan. Jika sudah begini, memang terkadang mereka lupa kalau status mereka itu mahasiswa.
Sebagai pelaku utama penyebar gosip, maka Niswah menyuruh Syifa bertanggung jawab. Dengan cara, dia duluan yang datang demi bantu-bantu mempersiapkan segala sesuatunya. Arjun sendiri, masih di kampus. Meski hari sabtu, pria itu tetap ke kampus. Entah apa yang dikerjakannya."Pak Arjun mana?" Pertanyaan yang terlontar begitu menginjakkan kaki di halaman rumah sahabatnya. Untung saja dia berhasil membaca maps yang dikirim Niswah. Jadi, gak perlu ada drama nyasar dulu."Kampus. Biasalah. Sok sibuk dia."Syifa tergelak. "Dasar lo. Udah jadi suami aja masih durhaka lo sama beliau."Niswah mengulum senyum. Itu hanya berlaku kalau di belakang Arjun. Kalau di depan orangnya, sekarang dia tidak punya nyali. Bar-barnya menguap begitu saja."Jadi, lo di rumah sendirian?""H'em. Deka di rumah mas Haidar.Semenjak kehamilan kakak iparnya, Deka memang lebih sering disana. Sepertinya pembawaan kehamilan Dinda yang lagi senang-senangnya dengan anak kecil. Deka