"Ngambeknya udahan ya? Aku tidak kuat lama-lama kamu diamkan."
Niswah mendongak terperangah. Menghentikan kunyahannya. Woy, Pak. Ini diam bukan karena ngambek, tapi grogi! Masak gak bisa bedain sih.Niswah masih tak percaya dengan perlakuan manis Arjun di toko tadi. Arjun yang biasanya dingin dan menyebalkan itu membuat dirinya salah tingkah di hadapan pemilik toko dan pengunjung. Adegan itu terlalu romantis untuk digambarkan. Ditambah, mendapati cincin yang melingkar di jari manis sang pria. Sejak kapan? Ah, salahnya sendiri yang tidak teliti pada suaminya sendiri. Niswah menggigit bibir bawahnya saat ingat cincinnya dia tinggal di rumah. Mengambil air putih dan meneguknya pelan."Em, itu ... Ini hari terakhir kita disini. Kamu, ada tempat yang mau dikunjungi?" Netra teduh itu menyorot. Sepertinya sesi makan siang ini dirinya harus siap menjaga jantungnya. Menyahuti tawaran Arjun, Niswah menggeleng singkat."Yakin? Tidak ada tempat yang mau dikunMenuruti saran Liza, Arjun dengan setia menunggu kembalinya sang wanita. Meluluhkan egonya yang kebat kebit menahan cemburu. Tapi saran Liza benar, tak seharusnya dia cemburu buta dan malah merusak semuanya. Karena, ini juga bagian dari kesalahannya. Andai, dia dari awal lebih terbuka, dan menjelaskan secara detail siapa itu Liza, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Liza pun, sudah pergi sedari tadi. Perempuan itu ada urusan pribadi katanya. Tanpa bertanya kepo, Arjun mengiyakan. Kini, tinggal dia di kantor dengan beberapa dosen yang lain.Dan, saat wanita itu baru nampak, bersama Jefri tentunya, senyum merekah meluncur di bibirnya. Tapi, jangan ditanya bagaimana dengan hatinya. Panas. Persis seperti sauna."Sudah selesai?" Niswah menatap aneh dengan ucapan lembut Arjun. Ditambah, senyam senyum di bibirnya. Sangat kontras dengan julukan yang terlanjur dia berikan pada pria itu, yaitu, 'dosen galak'.Niswah melengos, dan lebih memilih ikut
Arjun mendongak. Wajah mereka hanya tersisa beberapa senti saja. Sementara tangannya tetap bekerja. "Selesai."Tanpa menjawab perkataan Niswah, Arjun memundurkan tubuhnya. Ternyata dia hanya memasangkan sabuk pengaman untuk gadis itu. Karena dia perhatikan, sepertinya gadis itu masih asyik melamun, dan tidak ingat untuk memasang sabuk pengamannya.Melihat apa yang dilakukan pria itu, wajah Niswah memerah. Dia malu. Dia pikir, Arjun akan melakukan yang tidak-tidak. Ternyata hanya memasangkan sabuk pengaman. Duh, rasanya ingin membuang wajahnya ke samudra Atlantik saking malunya. Kotor sekali otaknya yang sudah mikir yang tidak-tidak.Mobil berjalan pelan meninggalkan halaman kampus. Barulah, setelah di jalan raya, kecepatan bertambah. Arjun melirik gadis disampingnya, sepertinya gadis itu masih menahan malunya. Arjun memecah keheningan dengan menawarkan sesuatu. "Ingin mendengarkan musik?""Terserah bapak saja." Arjun mengangguk. Menyodorkan p
"Iya deh. Gue bakal doain yang terbaik. Buat lo, selaku sahabat gue," ucapnya dengan menekankan kata sahabat. Rautnya berubah datar. "Dan juga buat pak Arjun, selaku dosen favorit gue." "Kalau kalian sama-sama gak bahagia, kenapa harus bertahan? Menikah bukan permainan, bukan bahan jajak rasa. Gue rasa harusnya lo paham. Lo bukan anak smp, atau anak sekolah dasar yang maunya main cinta-cintaan, lo udah dewasa untuk berfikir. Kalau emang lo gak suka sama pak Arjun, semoga aja pak Arjun nemuin yang lebih baik, yang bisa membalas perasaan beliau. Gue gak tega beliau harus jatuh cinta sendiri. Banyak loh yang ngarepin pak Arjun. Entah itu dari kalangan mahasiswi, ataupun dari dosen, itu pasti juga ada. Pak Arjun itu pinter, ganteng, harus dapat yang sepadan."Napas Syifa tersengal. Sepertinya dia terlalu mengeluarkan kekesalannya. Niswah bungkam. Sorot sinis Syifa yang membuatnya begitu."Gue laper. Gue mau buat mie. Nitip gak?" Menawarkan tapi nadanya ketus. "Gak usah
Tergesa Niswah berlari ke lorong rumah sakit. Wajahnya masih sembab dan menangis. Perasaan takut menggelayuti dirinya. Beruntung, ini rumah sakit. Menemukan orang menangis, atau meraung sekalipun hal biasa. Jarang terlihat adanya raut bahagia disana. Jadi, tak akan ada yang peduli dengan keadaannya yang kacau. Jilbab seadanya, juga kaos panjang rumahan karena tak sempat mandi. Wajah yang semula berkeringat, kini berubah menjadi lautan air mata. Kabar yang disampaikan Syifa tadi mampu meluluh lantakkan ego yang semula terpagar tinggi. Tanpa berganti pakaian, apalagi mandi, Niswah langsung mencari taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit."Keadaan pak Arjun parah banget, Nis. Gue bingung, gak ada keluarga beliau yang bisa gue hubungin. Gue tahunya cuma tahu elo," ucap Syifa saat menjelaskan alasannya terus menerus menelpon dirinya. Niswah sudah tak sanggup berkata-kata lagi, dia syok. Lalu, bagaimana ceritanya Arjun bisa terlibat kecelakaan? Harusnya pria itu sudah ada di
Kepalang basah, lebih baik mundur saja. Namun sebelum Niswah keluar, Arjun menahannya."Tunggu dulu."Terdengar derita ranjang. Sepertinya pria itu turun dari ranjangnya. Niswah tak berani menoleh. Dia sungguh malu. Merutuki kebodohannya yang gampang tertipu. Awas saja kau, Syifa! ancamnya dalam hati."Bagaimana kamu tahu saya disini?"Suara itu dekat sekali. Nampaknya Arjun ada di belakangnya."Seseorang mengatakan anda disini. Tapi, saya rasa, anda baik-baik saja. Sepertinya saya dibohongi," sahut Niswah kaku. Dia masih tak berani menoleh."Dibohongi? Memang dia mengatakan apa?""Bukan apa-apa, tapi saya rasa anda ..." Niswah terkejut saat tubuhnya ditarik berputar. Lebih terkejut lagi saat melihat keadaan Arjun."Siapa bilang saya baik-baik saja. Kau tidak lihat, kakiku diperban?" Niswah mengarahkan pandangan ke bawah. Jadi, kecelakaan itu benar. Meski, lebih banyak didramatisir oleh Syifa. Karena nyatanya, hanya perban kecil. Mungkin seb
Hari ini, Arjun dan Niswah hendak menjemput Deka. Pulang kerja, keduanya sama-sama menuju rumah Haidar. "Mau pulang hari ini, atau ikut menginap dulu?" tawar Arjun. Hubungan mereka tidak secanggung sebelumnya. Niswah membuang egonya ke lautan sana. Masa bodoh dengan gengsi, atau apa itu. Dia tidak mau kehilangan seseorang yang dicintainya. Yang penting, turuti bagaimana perasaanmu."Emm ... Pulang saja, Pak. Nanti malah menggangu mas Haidar sama mbak Dinda.""Baiklah." Mengusap puncak kepala Niswah. Lalu merangkul pinggang sang istri, membimbing keluar dari kamar. Awalnya Niswah merasa geli dengan sentuhan fisik itu. Tapi lama-lama nyaman juga. "Kemarin rekan-rekan dosen ke rumah sakit.""Kapan? Kok kita gak papasan?"Arjun tertawa kecil. "Mereka datang selesai wisuda. Mungkin mereka pikir, lukaku parah," tawanya."Mereka kebingungan karena ruangan sudah kosong. Untung saja ada yang memberitahu.""Itu kerjaan temenmu itu. Dia yang men
"Haha. Dia memang begitu, bar-bar. Tapi terlepas dari itu, pengalamannya dengan yang namanya laki-laki, nol besar. Asal kamu tahu, Jun. Dia belum pernah pacaran. Sehari-harinya dihabiskan buat ngebucin siapa itu, orang Korea. Tapi gak papa sih. Malah gak ketularan pergaulan bebas."Arjun mengangguk paham. Dia paham akan hobi Niswah tersebut. Dia sendiri tidak mempermasalahkan. Setiap orang punya kesenangan masing-masing. Tak berhak memaksakan kehendak. Sama seperti ketika dirinya yang pecinta bola, tak mungkin memaksa Niswah untuk menjadi penggemar klub bola seperti dirinya."Berarti, kalau dia suka sama saya, apa mungkin wajah saya mirip orang Korea ya, Bang?" celetuknya. Haidar malah tertawa."Wajahmu itu cenderung ke-Arab-an, Jun. Lihat saja alis tebalmu itu."Arjun mengangguk, terkekeh kecil. Sudah biasa bagi dirinya mendapat celetukan itu. Alis tebal, hidungnya juga lebih tinggi dari rata-rata standar orang Indonesia. Rahang tegas dan sorot mata t
Untuk pertama kalinya, Niswah tidak takut berangkat bersama Arjun. Bahkan, dia tidak menolak saat Arjun tidak memarkirkan mobilnya di area parkir dalam seperti biasanya."Maaf, sepertinya di dalam sudah penuh. Kita parkir disini saja ya?" Niswah mengangguk tipis. "Em, kau bisa keluar nanti, kalau sudah agak sepi. Untuk terlambat, kamu bisa pura-pura izin sama saya.""Tidak apa, Pak. Bareng saja.""Hmm? Kau serius?" Arjun otomatis mengerutkan dahinya. Apa gadis itu tidak masalah, hubungan mereka akan ketahuan. Namun gadis itu mengangguk, mantap."Meski bapak suami saya, tapi jangan sampai saya mendapat keistimewaan. Kalau saya terlambat, katakan saja terlambat."Arjun mengulas senyum. Mengusap kepala istrinya, bangga. Sebenarnya, dia juga tidak mau bersikap berat sebelah. Namun rupanya Niswah bisa menyikapinya dengan dewasa."Kalau begitu ....""Kita keluar bersama-sama."Senyum Arjun makin lebar. Ah, akhirnya, dia tak perlu menyembunyik