š
"Siapa yang belum masukin baju ke mesin cuciii!" teriak Gendis dari belakang rumah, tepatnya tempat jemuran dan cuci baju.
Nanda lompat dari atas kasur, ia buka keranjang baju kotor. Sudah kosong. Aman .... Ia lantas membuka pintu kamar, masuk tanpa mengetuk ke kamar Raffa.
"Bang Raffa! Baju lo!" pelotot Nanda.
"Udah kaleee, lo lihat noh keranjang baju, kosong. Bang Daffa kayaknya, langganan bikin alarm Ibu bunyi." Raffa sedang bermain gitar akustik sambil duduk di depan meja belajarnya.
"Okeh!" Nanda berjalan ke keranjang baju kotor lainnya masih di kamar Raffa karena Daffa satu kamar dengan adiknya itu.
"Bener, Bang. Abang lo keterlaluan. Sekarang kemana Bang Daffa?!" Nanda bersiap membawa keranjang baju kotor ke belakang.
"Ke rumah Yasmin. Eh, Nda, bilang Ibu ... restuin aja Abang kita, Bang Daffa juga udah karyawan tetap kan. Feeling gue nggak enak."
"Maksudnya?" Nanda membopong keranjang baju kotor dengan tenang.
"Intinya, Bang Daffa bego kalau udah bucin. Kirana kemana?"
"Kakak kan lagi dinas empat hari di Palembang. Besok pulang."
"Oh iya. Lo nggak pergi, Nda? Malem minggu di rumah aja lo," ledek Raffa.
"Ck! Nyindirrr," dumal Nanda. Raffa tergelak. "Lo juga di rumah aja, pacaran sama gitar!" judes Nanda.
"Eits, nanti jam tujuh gue ngapel lah ke rumah cewek gue."
"Oh, oke lah." Nanda keluar kamar Raffa. Setahun lagi pria itu lulus kuliah, usia Daffa dan Raffa hanya beda satu tahun, sedangkan Daffa dan Kirana dua tahun. Namun, Kirana sudah kerja tetap karena dijalankan sambil kuliah.
Kirana kuliah jurusan ekonomi, kerja di rumah produksi milik artis ternama sebagai staf pengembangan bisnis, ide-idenya selalu fresh jadi ia dipercaya menjabat sebagai koordinator di sana. Belum wisuda, masih dua tahunan lagi, tapi semua bisa dijalani Kirana dengan lancar.
Sedangkan Nanda masih SMA kelas 12, jurusan IPA, rencananya mau masuk kampus negeri jurusan kedokteran dengan jalur beasiswa jika dapat, jika tidak ya bayar, Gendis dan Agung mampu karena sudah disiapkan jauh hari.
"Bu, baju Bang Daffa, nih." Nanda meletakkan keranjang di lantai. Mbak Inong mendekat, ia masukkan pakaian kotor Daffa ke mesin cuci.
"Nda, bisa bantuin Ibu kupasin wortel sama kentang, setelah itu kamu cuci dan kukus ya," perintah Gendis.
"Iya, Bu."
Nanda mengambil alih pisau dari tangan ibunya.
"Bu Gendis, Bu," lirih Inong.
"Apa, Nong?" sahut Gendis mendekat. Inong dengan ragu memberikan celana boxer Daffa ke Gendis lalu celana jeans juga. Gendis menoleh ke Nanda dahulu, memastikan anaknya tidak mendekat.
Gendis mengendus boxer putranya, lalu merogoh kantong celana jeans.
"Kantong belakang, Bu?" bisik Inong. Gendis merogoh. Ia memegang sesuatu dan langsung terpejam kedua matanya.
"Bu ...," panggil Inong. Gendis ke dalam rumah membawa dua celana tadi. Lalu terdengar pintu kamar tertutup kencang.
Gendis duduk dengan pandangan lurus ke arah jendela. Agung masuk, suaminya baru selesai menjamu tamu dari kelurahan, langsung sadar ada yang tak beres dengan raut wajah istrinya.
"Bu, ada apa?" Agung mendekat. Gendis menoleh pelan, ia menghela napas panjang lantas memberikan dua celana dan satu benda tadi.
"Apa iya feeling Raffa bener, Yah?"
"Udah, jangan gitu. Kita minta Daffa pulang sekarang juga. Biar Ayah yang telepon, ya." Agung meraih ponsel di atas meja kecil, sementara Gendis langsung berpikir keras bagaimana jika terjadi kemungkinan terburuk.
***
"Nda, ikut Bang Raffa yok!" ajaknya mendadak. Nanda sedang membaca komik di atas ranjang.
"Kemana? Bukannya lo ama cewek lo?" tegur Nanda.
"Nggak jadi, dia pergi sama ortunya. Ayo, temenin gue makan." Raffa menarik tangan adiknya.
Di ruang keluarga, sudah ada Gendis, Agung dan Daffa yang duduk berseberangan.
"Bu, Yah ... mau ngomong apa?" Daffa masih santai. Gendis dan Agung tetap diam. Hingga Raffa dan Nanda pamit ke mal, seketika raut wajah Gendis berubah mengeras.
Celana jeans, boxer dan benda lain yang ditemukan, dilempar Gendis ke wajah Daffa dengan kencang.
"Bilang sama Ibu kamu ngapain sama Yasmin, hah!" bentaknya. Daffa gelagapan, ia panik.
"Daffa. Jawab Ibumu!" sambung Agung.
"Kamu pikir Ibu dan Ayah bodoh! Bilang sekarang!" Gendis menggebrak meja. Daffa menunduk, ia lalu menangis.
Agung mengepalkan tangan erat. "Kurang ajar kamu, Bang!" geramnya.
"Astaghfirullah, ya Allah ...," lirih lemas Gendis sambil duduk bersandar.
"Nggak mungkin sekali kalian begini, kan?!" Agung bernada keras saat bicara.
"Ayah maaf," isak Daffa. "Abang dan Yasmin, sama-sama ...." Gendis menampar keras wajah putra sulungnya.
"Ibu dan Ayah mendidik anak-anak kami semua bukan untuk bergaya hidup bebas! Mau alasan kalian suka sama suka, kek! Kebablasan ikut nafsu setan, kek! Ibu nggak peduli!" jeda Gendis. "Kok bisa kamu sampai lakuin hal ini, Bang? Ibu yakin kalian sering begini sampai kamu lupa buang barang buktinya, kan?!"
Daffa masih menunduk dalam. Ia terisak.
"Ngapain nangis, hah! Ngapain!" bentak Gendis. "Lihat kami, Bang!" Daffa mendongak. Wajahnya sembab, napasnya sesenggukkan. "Sepintar apapun kalian, anak-anak Ibu dan Ayah tutupi suatu kesalahan, akan kami tau. Allah kasih jalan tanpa kami minta. Kamu--" tunjuk Gendis. "Antar Ayah dan Ibu ke rumah orang tua Yasmin sekarang!"
"Bu! Nggak bisa! Kalau orang tua Yasmin tau--"
"Abang denger, ya! Jangan jadi pengecut!" pelotot Gendis. Agung beranjak ke arah kamar disusul Gendis, sedangkan Daffa menyesali kelakuannya sampai menjambak rambutnya sendiri.
***
Gendis terus mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu rumah orang tua Yasmin. Agung mencolek bahu Gendis hingga sang istri menoleh.
"Stop. Nggak sopan kamu," bisik Agung.
"Kata siapa, Yah? Ibu jadi tau sekarang kenapa Yasmin kejar-kejar Daffa," balas Gendis.
"Maaf lama menunggu, ada apa ini, orang tua Daffa datang ke rumah kami," ujar ramah ibunya Yasmin.
"Boleh panggil Yasminnya juga, Bu?" pinta Gendis.
"Sudah. Lagi ganti baju. Kenapa mendadak, kalau beritahu dulu kami bisa--"
"Anak kita berdua sudah membuat kesalahan. Kami datang ke sini mau mendengar penjelasan dari Yasmin juga," tegas Gendis.
"Maksudnya?" sanggah ayah Yasmin. Kemudian Yasmin muncul, wajahnya pucat pasi dengan kepala tertunduk.
"Yasmin, ada apa, Nak?" tegur ayahnya.
"Daffa. Bilang sekarang." Perintah Gendis tegas.
Daffa menjelaskan, Yasmin menangis meminta maaf ke kedua orang tuanya. Ayah Yasmin bahkan menangis tergugu.
"Yasmin, maaf Tante mau tanya. Apa sering kalian melakukan hal tersebut?"
"Bu," lirih Daffa tak nyaman.
"Yasmin, bisa jawab Tante," lanjut Gendis tak peduli.
"Bu, saya pikir, kita tidak perlu--"
"Perlu, Bu. Saya pribadi harus meluruskan banyak hal. Jangan sampai ada kebohongan dari Daffa maupun Yasmin." Lirikan Gendis tajam, jangan harap ia mengalah.
"I-iya, Tante ... kami ... Yasmin minta maaf, Tante," isaknya lagi.
Gendis menghela napas panjang, ia duduk bersandar pada sofa. "Kalian harus menikah." Gendis ketuk palu. Semua mata menatap ke arah wanita itu.
"Kamu hamil, kan, Yasmin?" Kalimat Gendis membuat Yasmin meremas ibu jarinya. "Tante tau Daffa seperti apa, walau dia teledor, tapi dia nggak akan membahayakan orang lain. Apalagi janin di dalam kandungan kamu. Kondom bekas pakai Daffa, Tante temuin di celana jeans yang kemarin lusa dia pakai. Hari kamis malam, Daffa pulang kerja jam satu malam. Nggak mungkin lembur karena Tante ke kantor Daffa. Ke hotel mana kalian?"
Bagaikan granat meledak, semua ucapan Gendis tak ada yang salah sasaran.
"Daffa. Mbanking kamu, Ibu mau lihat. Cepetan kasih HP kamu!" Di depan orang tua Yasmin, Gendis menunjukkan tipe orang tua seperti apa dirinya.
"Bu," tolak Daffa memelas. Pria cepak berkacamata itu enggan memberikan.
"Kenapa? Takut ketahuan, kan?" tantang Gendis.
Daffa menyerah. "Yasmin hamil dua bulan," jawabnya pelan.
Gendis memejamkan kedua matanya erat sebelum kembali bicara.
"Mau tidak mau, pernikahan dipercepat. Saya tidak mau, kacamata orang lain melihat keluarga kami buruk." Gendis menatap mata Yasmin lekat.
"Maaf, Bu. Setelah anak-anak kita menikah, mereka tinggal di mana? Tidak mungkin di sini karena ada adik dan kakak perempuan Yasmin, lalu di rumah Ibu--"
"Urusan Daffa. Dia harus berpikir." Gendis menyela lagi.
"Tapi, Bu Gendis. Tidak bisa dong, anak saya hamil, jika tinggal ditempat yang tidak nyaman akan berpengaruh ke kandungannya. Kasihan," melas ibunya Yasmin.
"Maksud Ibu?" Kening Gendis berkerut.
"Ya, kalian kan keluarga sukses, apa tidak bisa siapkan satu rumah atau apartemen, demi calon cucu."
Gendis tertawa sinis. Ia sudah bisa tebak seperti apa jalan pikiran calon besannya. Tak ada kalimat apapun yang panjang kecuali Gendis dan Agung akan siapkan rumah di komplek lain yang searah dengan kantor Daffa.
***
"Kurang ajar," umpat Gendis saat bersiap tidur. Ia mengoleskan lotion ke tangannya.
"Bu, kata temen Ayah, ada rumahnya. Di sewain tapi, bukan jual."
"Sewain aja, Yah, dua tahun. Bayarin tunai."
Agung mengetik pesan ke temannya.
"Kamu tadi denger lagi, nggak waktu kita mau pulang? Keluarga kita yang nanggung biaya pernikahannya. Semua?! Aji mumpung banget itu orang." Gendis marah-marah.
"Bu, Ayah sedih. Daffa kenapa begini."
Gendis menoleh. Ia langsung merapat ke suaminya, keduanya berpelukan. Akhirnya, air mata kecewa orang tua pecah, Gendis sampai sesenggukkan.
Di luar, Raffa melotot ke arah Daffa yang salah tingkah ditatap seperti itu oleh adiknya.
"Sinting lo, Bang!" Raffa duduk mendekat. Dengan santai ia memukul wajah ganteng kakaknya.
"Abang!" teriak Nanda. Ia memeluk Daffa. "Yaudah, sih, Bang! Mukul bukan solusi. Intinya Bang Daffa harus tanggung jawab!"
"Paham gue! Paham! Masalahnya ini orang nggak mikir panjang, Nda! Lo ke kamar Ibu, dengerin Ibu nangis sesenggukan!" Raffa menunjuk ke arah pintu kamar.
"Iya, Bang Raffa, gue tau ... tapi tolong lah, Bang, kita saudara, jangan ribut begini. Bang Daffa udah tau kesalahannya dan memang mau nikah sama Kak Yasmin, kan? Cuma jalannya aja salah. Udah, ya, Bang, jangan pukul Bang Daffa lagi."
Suara pintu mobil tertutup membuat kakak beradik itu menoleh. Hak sepatu wanita terdengar semakin dekat.
"Bang Daffa!" teriak Kirana. Ia lepas sepatu lantas melemparkan ke arah Daffa yang bisa menghindar dengan memeluk Nanda. "Kakak macam apa lo! Brengsek! Bikin malu keluarga!" Kirana di peluk Raffa. Air mata Kirana luruh. "Elo idola gue, Bang, kenapa kecewain gue begini?!" isaknya begitu sesak.
Daffa beranjak. Ia memeluk Raffa dan Kirana, lalu Nanda ikut memeluk juga. Keempat saudara kandung itu sama-sama menangis.
Kirana ternyata pulang lebih cepat. Saat ia minta dijemput Raffa, kakaknya itu malah menceritakan apa yang terjadi. Langsung saja Kirana naik taksi dari bandara untuk pulang.
"Maafin gue, ya, maafin gue," isak Daffa. Mereka berempat masih terus berpelukkan dengan posisi berdiri di ruang tamu rumah.
bersambung,
š"Makanya, saya juga kaget. Kok mendadak banget tau-tau siraman si Daffa." Bu Sukun, warga di ujung jalan yang memang doyan ghibahin tetangga berbisik-bisik dengan temannya saat berjalan kaki hendak menuju ke rumah Gendis.Kurang dari satu bulan persiapan selesai. Tentu saja buru-buru sebelum perut Yasmin nantinya semakin membesar.Gendis sangat menjaga nama baik keluarganya. Tak mengapa ia dan Agung menanggung semua biaya pernikahan.Tenda terpasang apik nuansa warna abu-abu muda dan putih. Di depan rumah ada janur kuning hingga hiasan anyaman dari daun kelapa.Tetangga satu RT diundang acara siraman. Esok hari akad nikah lalu resepsi siang harinya.Seragam keluarga dipilih Gendis warna ungu tua. Gendis begitu cantik dengan sanggul khas jawa, dua anak perempuannya juga berdandan yang sama.Daffa sudah bersiap keluar dari dalam rumah menuju ke tempat siraman yang ada di halaman rumah.Pemandu acara mulai memandu, Daffa berjalan keluar dari dalam rumah didamping ketiga adiknya. Ia ta
š6 bulan setelah Daffa menikah, putra sulungnya itu jarang ke rumah Gendis. Hanya dua kali dan itu membuat Gendis mulai gemas."Yah, aku mau ke rumah Daffa," pamitnya saat Agung hendak berangkat kerja."Mau ngapain?" Agung sudah berjalan ke teras rumah diikuti Gendis yang tampak rapi."Pingin aja." Jawaban Gendis tak bisa meruntuhkan kecurigaan Agung. Kedua mata menyipit ke arah sang istri. "Iya, iya ... mau cek aja apa mereka baik-baik aja. Kandungan Yasmin juga udah delapan bulan, kan? Dari acara nujuh bulanan kemarin, nggak ada kabar. Mana kita nggak diundang," geram Gendis."Yaudah, lah, Bu ... mungkin Yasmin mau sama keluarganya." Agung membuka pintu mobil."Ya nggak bisa, lah. Itu kan juga cucuku!" protes Gendis tersinggung."Terus kamu ke sana naik apa?" Agung sudah bersiap menghidupkan mesin mobil."Taksi aja, biar cepet. Dari sana mampir ke toko, mau meeting launching menu baru." Gendis menyalim punggung tangan Agung, dibalas Agung mencium kening istrinya."Hati-hati, Yah!"
š"Ibu kamu kenapa sampai begini ke aku, Daf? Apa hidup kita selalu diawasi Ibu?" Keluh kesah dilontarkan Yasmin. Keduanya berdiri berhadapan."Niat Ibu baik, Yasmin. Cuma memang Ibu orangnya begitu, kamu juga nggak mau coba dekati Ibu, kan? Padahal semua ini Ibu yang siapin."Yasmin tertawa miris, "jadi karena Ibu udah fasilitasi semua, sampai urusan di dalam kamar diatur juga?! Ya nggak gitu, Daf. Aku nggak mau, ya, Ibu ke sini lagi. Terserah kamu mau marah apa nggak. Aku lama-lama kesel sama Ibu!" Nada bicara Yasmin meninggi. Ia masuk ke dalam kamar, meninggalkan Daffa dalam kebingungan.Kenapa Yasmin begini setelah nikah? Apa karena hormon ibu hamil? batin Daffa seraya menundukkan kepala.Perkara besok harus bayar cicilan kartu kredit saja ia masih tak tau bayar dari uang apa. Ditambah Yasmin merajuk seperti itu.Daffa berjalan ke arah meja makan, di atas meja sudah ada masakan ibunya. Walau hanya gulai daging sapi dan tumis sayur selada air.Senyum Daffa merekah, ia ambil piring
šBulan yang ditunggu tiba, Daffa menghubungi Gendis jika Yasmin akan melahirkan. Mereka sudah di rumah sakit sejak siang hari."Bu, ayo ke sana," ajak Agung yang tampak tak sabaran."Iya, tunggu dong, Yah, masih rapihin rambut. Bagusan di jepit tengah apa di cepol terus kasih jepitan?" Gendis bersolek di depan cermin meja rias."Apa aja Ibu selalu cantik," puji Agung."Halah gombal." Gendis menahan senyum. Ia cepol rambutnya, lantas menyematkan jepitan rambut bentuk bunga. "Oke siap. Dressku bagus juga kan, Yah, nggak norak warnanya?""Nggak, ayo buruan. Kasihan Daffa pasti nungguin kita.""Nungguin buat apa? Minta dibayarin biaya lahirannya? Mbel gedes, maaf ya, nggak, deh." Gendis lalu menenteng tas tangan yang berisi macam-macam, dari tisu kering, tisu basah, minyak angin, lengkap pokoknya.Agung mendengkus, Gendis benar-benar akan memberi pelajaran sendiri untuk anaknya.Nanda dijemput di tempat les, masih memakai seragam sekolah, remaja itu masuk ke dalam mobil. Ia menyapa kedu
šGendis tak peduli jika ia dibenci Yasmin, bodo amat. Apalagi ia yang biayai persalinan sampai pulang ke rumah, bahkan aqiqah pun, Gendis yang biayai atas dasar sedekah ke cucu.Seharusnya jadi urusan Daffa, tetapi karena uang Daffa tak cukup, jadilah Gendis dan Agung lagi yang biayai.Kedua orang tua Yasmin ya petantang petenteng saja, seolah ikut terlibat. Bahkan saat acara aqiqah satu pekan setelah Yasmin melahirnya, keluarga ibunya Yasmin banyak diundang hadir.Gendis yang peka, dengan santai memesan semua urusan aqiqah di tempat kenalannya juga. Jadi tak ada keluarga yang rewel minta jatah bungkus makanan.Yuni, Endah, Soraya turun tangan membantu Gendis mengatur acara.Kirana asik duduk sambil menggendong keponakannya saat acara aqiqah selesai. Di sampingnya sang kekasih hati memperhatikan sambil tersenyum."Buruan resmiin," celoteh Daffa, ia duduk di dekat Kirana."Bang Raffa dulu, lah. Masa gue lompatin Kakak sendiri." Kirana mengusap pelan pipi bayi tampan itu."Nggak papa
šWarung makan khas sunda ramai sekali saat akhir pekan. Gendis berada di sana sejak pagi bahkan saat belum buka. Ia sibuk di dapur membantu anak buahnya menyiapkan banyak hal."Tik! Meja sepuluh tanyain, pesanannya udah semua belum?" perintah Gendis."Baik, Bu!" sahut semangat Tika. Gendis menuju meja prasmanan berisi wadah-wadah delapan jenis sambal yang digratiskan."Jo, Jojo," panggilnya sambil melambaikan tangan. Jojo mendekat. "Sambal mangganya tinggal setengah, ambil di dapur, isi ya. Jangan sampai begini," bisiknya."Iya, Bu Gendis," tukas Jojo seraya berlari. Warung itu bersuansa putih dan hijau muda. Kapasitas bisa menambung seratus orang lebih, dengan konsep kekeluargaan, menu yang disediakan Gendis bahkan ada yang khusus untuk anak-anak dengan paket menarik juga porsi yang pas, jadi tidak terbuang makanannya.Prinsip jualanannya begitu, jika tidak habis makanan yang dipesan, kena denda tiga puluh persen. Tidak takut pengunjung lari? Oh, tidak. Justru ia mau mengajarkan pe
š"Kamu kenapa bohong sama Yasmin, Bang. Ke Bali kok bilangnya ke Surabaya. Pantesan dia minta pesenin tiket kereta." Gendis mengantar Daffa sampai ke terminal bis bandara."Kesel, Bu. Bu, nggak apa-apa Ibu urus bayi?" Daffa menoleh ke baby car seat di jok belakang, anaknya tidur pulas."Emang kamu pikir, empat anak Ibu siapa yang urus?! Sembarangan. Kamu kerja aja, fokus. Istrimu biar di rumah sendirian. Biar mikir. Itu juga kalau punya pikiran. Hati-hati, ya, Bang," pesan Gendis. Daffa menyalim lalu mencium pipi ibunya. Daffa juga mencium putranya sejenak sebelum mengambil koper di bagasi."Hati-hati, Nak!" teriak Gendis lalu melambaikan tangan. Ia tancap gas pulang ke rumah, sebelumnya sudah menelpon Nanda untuk belikan pampers juga sabun bayi."Ibumu gendeng, urus kamu nggak becus. Maaf ya, Nini harus ngomong gini," gumam Gendis tak kuasa menahan rasa kesal. Ia mengemudi dengan hati-hati karena membawa cucunya.Di rumah, semua menyambut senang apalagi Raffa dan calon istrinya. Ca
š"Aku nggak peduli ya, warga semua akhirnya gosipin keluargaku karena Raja sekarang tinggal di rumah. Cucuku harus di selamatkan dari Ibunya yang sak wudele dewe." Sambil menyuguhkan minuman, Gendis ngedumel ke ketiga temannya yang berkunjung."Jujur, Ndis, kamu jadi mertua emang saklek. Kalau udah A ya, A. Punya standarisasi sendiri demi semua berjalan seusai arahan." Yuni duduk memangku bantal sofa.Hari itu mereka bisa bertemu karena waktu lowong bersamaan sekaligus Gendis mau membahas seragam untuk nikahan Raffa."Aku begini karena faktanya emang ngeselin, Yun.""Terus sekarang, Yasmin gimana? Udah seminggu Raja di sini, kan?" Soraya membuka toples berisi kue kacang."Bener, kan. Nggak ada tanya-tanya tentang Raja. Dia katanya sibuk ngelamar kerja. Itu juga Daffa yang kasih tau aku kemarin." Gendis sebenarnya tak mau rumah tangga anaknya sampai ribet begini, tapi Yasmin memang kebangetan.Sedangkan di rumah Daffa. Pria itu merapikan laptop yang tertinggal di kamar. Ia terpaksa p
šMengubah sifat manusia itu tidak akan semudah diharapkan. Tiga bulan tinggal bersama mertua, Aisyah dan Daffa masih berada di kondisi yang sama. Ditambah lagi Gendis setiap saat bisa dikatakan selalu bawel tentang banyak hal yang membuat Aisyah mulai tak bisa bergerak bebas. Pagi itu ia bangun lebih awal karena harus mandi besar setelah melayani Daffa malamnya. Daffa tidak kasar atau tergesa-gesa sehingga kandungan Aisyah aman-aman saja. Masih memakai handuk di kepala untuk mengeringkan rambut, Aisyah ingin memasak bekal Daffa kerja. Sedangkan untuk sarapan suaminya terbiasa hanya menikmati bubur gandum, susu dan roti selai kacang karena tak ada waktu jika sarapan berat. Ia harus naik kereta paling pagi sampai ke Bogor. Hal itu sudah dilakukan tiga bulan ini semenjak masa dinas di kota itu entah kepastian berakhirnya kapan. Aisyah menuang air panas ke dalam mangkuk berisi bubuk gandum, diaduk sebentar sebelum ditambah madu dan potongan buah pisang. Setelahnya diletakkan di mej
šKadar hemoglobin Aisyah rendah, hal itu yang menyebabkan ia jatuh pingsan. Hamil muda memang seringnya banyak yang mendadak darah rendah. Infusan dipasang di punggung tangan sebelah kiri. Aisyah masuk kamar rawat bersebelahan dengan kamar Adinda. Perlahan, ia membuka mata. Didapati Daffa duduk di samping ranjang sedang menatapnya intens. "A-ku, pingsan?" lirihnya parau. Daffa hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Oh," sambungnya lirih, lantas membuang pandangan ke arah lain. Ditatap seperti itu oleh Daffa rasanya hati Aisyah ketar ketir. "Hemoglobin kamu rendah, masa sampai enam. Kamu nggak minum vitamin dari dokter?" tegur Daffa. "Minum, kok. Kamu aja yang nggak pernah tau." Aisyah menjawab dengan takut-takut tapi jujur. "Semua marahin aku, Syah." Hela napas panjang terdengar, membuat Aisyah mau tak mau menoleh ke arah suaminya. "Mereka bilang aku nggak becus jadi suami, cuek ke kamu."Emang gitu, kan? Baru sadar kamu! batin Aisyah dongkol. "Ibu Laras tau kamu dirawat. Ibu
šMenyambut kelahiran cucu pasti keluarga senang, ya walau ada juga keluarga yang menganggap hal itu biasa saja. Gendis menyuruh suami bibi yang bekerja di rumah memindahkan barang Kirana ke kamar Nanda, lalu mengganti dengan beberapa barang kepunyaan Aisyah dan Daffa yang dibawa dari apartemen. "Bu, hari ini nggak masak, kan?" tukas bibi. "Nggak usah, Bi. Beli aja atau nanti saya minta karyawan rumah makan antar. Bibi lihat Aisyah kemana?" Sedari tadi Gendis memang tak lihat menantunya itu. "Aisyah ke rumah lama, katanya mau lihat aja."Gendis menghela napas panjang, ia tau Aisyah sedih karena rumah itu sudah dibeli orang lain. Laras minta menetap di kota pelajar bersama Nilam, lebih tenang katanya. "Mau saya susulin, Bu?" usul bibi. "Nggak usah. Biarin aja." Gendis memantau suami bibi menggeser meja rias sedangkan bibi merapikan pakaian Daffa dan Aisyah ke dalam lemari. Kirana yang kini tinggal di rumah Henggar bersama kedua mertuanya terlihat disambut dengan baik. Kirana te
š"Yakin mau ikut pindah?" Saat berjalan kaki dengan menenteng bubur ketan hitam, Daffa kembali memastikan kesiapan Aisyah. "Aku bisa aja lama di sana." Aisyah menoleh sejenak sebelum kembali menatap jalanan sepi di depannya. "Mas Daffa nggak suka aku ikut? Bukannya istri harus setia temani suaminya dinas kemanapun? Ya, kecuali kalau kamunya emang nggak mau karena bisa bebas.""Bebas maksudnya?" Daffa menghentikan langkah kakinya. Aisyah memijat pelipisnya sejenak sebelum berkata-kata. "Gini, Mas. Kita sama-sama tau kalau pernikahan ini karena Ibu. Bukan karena perasaan masing-masing kita. Mas Daffa sikapnya juga aneh, punya istri kayak nggak punya. Oke nggak apa-apa kalau emang kamu belum ada perasaan ke aku, tapi kenapa kamu hamilin aku?" tatap nanar Aisyah. Daffa diam saja. "Nggak bisa jawab apa nggak mau jawab apa emang aku dijadiin pelampiasan aja?" Aisyah lanjut berjalan, meninggalkan Daffa yang masih diam mematung. "Syah, aku juga bingung sama perasaan aku!" ujar Daffa sed
šPernikahan Kirana dan Henggar tinggal menghitung hari. Keluarga Daffa masih tidak tau jika Aisyah hamil. Rahasia itu tetap tersimpan rapat padahal Kirana gatal ingin membeberkan. "Mas Daffa, besok bisa temenin cek kandungan?" Aisyah menatap penuh kepasrahan. Sorot matanya sayu karena tau jawabannya Daffa apa. "Yah, besok, ya. Aku harus urus cuti dan kerjaan mau nggak mau dikejar. Kamu sendiri aja kayak biasanya bisa, kan? Aku transfer uangnya." Daffa meraih ponsel yang tergeletak di meja makan apartemen, tapi gerakannya ditahan Aisyah dengan tangan. "Nggak usah, Mas. Masih banyak uang dari kamu. Cukup. Mmm, kalau sekarang temenin aku beli makan malam sate padang di depan, mau?" Aisyah mencoba lagi. Daffa menatap sendu lalu menunjuk laptop yang menyala. "Oh, banyak ya kerjaannya. Yaudah nggak apa-apa, aku beli sendiri. Tadi Yasmin telepon, kasih tau kalau Raja nanti langsung ke tempat acara Kirana aja. Nggak bisa kalau nginep karena ada les piano sama renang." Aisyah meraih dom
š Agung sampai hampir tersedak saat Gendis cerita keributannya dengan Bu Sukun di tempat penjual bahan brokat dan kain. Sambil membersihkan tetesan kopi yang jatuh di celana pendek santainya dengan tisu, Agung menatap takjub karena istrinya tampak tenang. "Bu, kamu sama Bu Sukun nggak bisa akur sebentar? Ya memang, warga tau siapa dia apalagi banyak yang bilang suka omongin tetangga melulu."Gendis berdecak, "akur sama orang yang lidahnya enteng buat omongin si A, B, C muter lagi begitu-begitu aja nggak bisa dong, Yah. Sesekali kasih pelajaran! " Kalimat penuh penekanan itu dirasa ada benarnya. "Aku udah pernah tegur Pak Sukun, tapi dia nggak bisa apa-apa kecuali pasrah."Gendia tertawa meremehkan. "Itulah, Yah. Kalau suami apa-apa iya aja ke istrinya. Cuma dipake buat jadi sapi perah. Bu Sukun kalau suaminya nggak kasih apa yang dia mau, kan, suka cerita ke Bu Bagiyo sambil melas-melas nangis kayak hidupnya paling menderita sejagad raya. Habis itu, Bu Bagiyo nanti kasih salam tem
šBukannya Aisyah tak suka rumah tangganya diketahui mertua, tapi rasanya ia mulai sedikit risih. Gendis baik, mertua yang sayang tanpa pandang bulu mau itu anak kandung atau menantu. Bahkan, kucing buluk tak terurus aja, Gendis bisa bawa ke petshop, dirawat sampai sehat setelah itu bebas diadopsi pencinta kucing tanpa minta dibayar apapun. Daffa sudah pernah bilang, urusan rumah tangganya biar urusan pribadi, jangan sampai orang tua tau. Maunya begitu, tapi tampaknya sinyal Gendis terlalu kuat. "Kok bengong?!" Kirana melambaikan tangan di depan wajah Aisyah. Aisyah menatap, "Kirana, boleh, ya, aku bener-bener minta ke kamu Ibu jangan tau kalau Mas Daffa begini dan aku hamil." "Iya, tapi kamu juga usaha terus sampai Bang Daffa luluh, Syah. Dia suamimu. Aku yakin Yasmin udah dia lupain, cuma emang Abangku itu lagi kedistraksi entah dengan apa. Bisa aja kerjaan. Dia pingin kejar karir." Kirana mencoba memberi pandangannya. Aisyah tersenyum tipis, ia patenkan untuk bisa membuat suam
Gendis bukannya ingin ikut campur tangan urusan anak dan menantu, hanya saja memang ia tak suka jika ada permasalahan tapi dirinya tak tau. Pada dasarnya, ia mau keluarganya selalu dalam keadaan baik-baik saja walau ia turut campur. "Bu, Dinda malah jadi repotin Ibu kalau begini," desah Adinda tak enak hati. Gendis menggeleng, ia bersikeras meminjamkan satu mobil miliknya untuk Raffa dan Adinda. "Mama Dinda mau bantu, Dinda tolak, Bu," lanjutnya. "Terserah. Pokoknya Ibu nggak mau menantu dan cucu Ibu kesusahan apalagi karena ulah anak Ibu. Raffa bikin emosi aja." Gendis memangku bantal sofa. Dari arah kamar, Agung keluar membawa kunci mobil dan STNK. "Ini, Raf," ujarnya meletakkan kunci mobil. "Jangan nyusahin istri dan anakmu. Niatmu baik tapi caramu salah. Bikin malu Ayah dan Ibu," ketus Agung tak kalah gregetan. Raffa setengah hati, tapi terpaksa menerima kunci mobil sedan merah milik Gendis, jika mobil Agung dipakai bekerja sehari-hari. "Nah, mumpung lagi kumpul. Kiran mau bah
"Kamu ngapain?" Raffa mengucek matanya karena baru bangun tidur. Ia mendapati Adinda duduk di meja makan, padahal masih jam empat subuh. Raffa biasa olahraga sebelum sholat, hanya olahraga kecil di teras depan rumah. "Mantau trafic orang-orang yang mau lihat mobilku. Siapa tau ada yang mau beli, Raf." Adinda meneguk susu hamil buatannya. Mug warna merah muda sudah beberapa waktu ini menjadi kesayangannya. "Kamu serius mau jual mobil?" Raffa tak percaya, dengan wajah bantal juga rambut acak-acakkan, ia duduk di kursi bersebelahan dengan istrinya yang lekat menatap laptop. Adinda menjawab dengan anggukan. "Harus cepat laku. Aku pusing sama semua tagihan-tagihan kamu." Raffa mendesah, bersandar lemah pada kursi meja makan yang diduduki. Ia jadi tak enak sendiri dengan istrinya, hadiah mobil itu Raffa berikan begitu ikhlas walau harus mencicil karena memang istrinya butuh dan suka. Akan tetapi baru beberapa bulan digunakan kini harus dijual. "Nggak usah, lah, sampai jual asset, Nda.