š
"Siapa yang belum masukin baju ke mesin cuciii!" teriak Gendis dari belakang rumah, tepatnya tempat jemuran dan cuci baju.
Nanda lompat dari atas kasur, ia buka keranjang baju kotor. Sudah kosong. Aman .... Ia lantas membuka pintu kamar, masuk tanpa mengetuk ke kamar Raffa.
"Bang Raffa! Baju lo!" pelotot Nanda.
"Udah kaleee, lo lihat noh keranjang baju, kosong. Bang Daffa kayaknya, langganan bikin alarm Ibu bunyi." Raffa sedang bermain gitar akustik sambil duduk di depan meja belajarnya.
"Okeh!" Nanda berjalan ke keranjang baju kotor lainnya masih di kamar Raffa karena Daffa satu kamar dengan adiknya itu.
"Bener, Bang. Abang lo keterlaluan. Sekarang kemana Bang Daffa?!" Nanda bersiap membawa keranjang baju kotor ke belakang.
"Ke rumah Yasmin. Eh, Nda, bilang Ibu ... restuin aja Abang kita, Bang Daffa juga udah karyawan tetap kan. Feeling gue nggak enak."
"Maksudnya?" Nanda membopong keranjang baju kotor dengan tenang.
"Intinya, Bang Daffa bego kalau udah bucin. Kirana kemana?"
"Kakak kan lagi dinas empat hari di Palembang. Besok pulang."
"Oh iya. Lo nggak pergi, Nda? Malem minggu di rumah aja lo," ledek Raffa.
"Ck! Nyindirrr," dumal Nanda. Raffa tergelak. "Lo juga di rumah aja, pacaran sama gitar!" judes Nanda.
"Eits, nanti jam tujuh gue ngapel lah ke rumah cewek gue."
"Oh, oke lah." Nanda keluar kamar Raffa. Setahun lagi pria itu lulus kuliah, usia Daffa dan Raffa hanya beda satu tahun, sedangkan Daffa dan Kirana dua tahun. Namun, Kirana sudah kerja tetap karena dijalankan sambil kuliah.
Kirana kuliah jurusan ekonomi, kerja di rumah produksi milik artis ternama sebagai staf pengembangan bisnis, ide-idenya selalu fresh jadi ia dipercaya menjabat sebagai koordinator di sana. Belum wisuda, masih dua tahunan lagi, tapi semua bisa dijalani Kirana dengan lancar.
Sedangkan Nanda masih SMA kelas 12, jurusan IPA, rencananya mau masuk kampus negeri jurusan kedokteran dengan jalur beasiswa jika dapat, jika tidak ya bayar, Gendis dan Agung mampu karena sudah disiapkan jauh hari.
"Bu, baju Bang Daffa, nih." Nanda meletakkan keranjang di lantai. Mbak Inong mendekat, ia masukkan pakaian kotor Daffa ke mesin cuci.
"Nda, bisa bantuin Ibu kupasin wortel sama kentang, setelah itu kamu cuci dan kukus ya," perintah Gendis.
"Iya, Bu."
Nanda mengambil alih pisau dari tangan ibunya.
"Bu Gendis, Bu," lirih Inong.
"Apa, Nong?" sahut Gendis mendekat. Inong dengan ragu memberikan celana boxer Daffa ke Gendis lalu celana jeans juga. Gendis menoleh ke Nanda dahulu, memastikan anaknya tidak mendekat.
Gendis mengendus boxer putranya, lalu merogoh kantong celana jeans.
"Kantong belakang, Bu?" bisik Inong. Gendis merogoh. Ia memegang sesuatu dan langsung terpejam kedua matanya.
"Bu ...," panggil Inong. Gendis ke dalam rumah membawa dua celana tadi. Lalu terdengar pintu kamar tertutup kencang.
Gendis duduk dengan pandangan lurus ke arah jendela. Agung masuk, suaminya baru selesai menjamu tamu dari kelurahan, langsung sadar ada yang tak beres dengan raut wajah istrinya.
"Bu, ada apa?" Agung mendekat. Gendis menoleh pelan, ia menghela napas panjang lantas memberikan dua celana dan satu benda tadi.
"Apa iya feeling Raffa bener, Yah?"
"Udah, jangan gitu. Kita minta Daffa pulang sekarang juga. Biar Ayah yang telepon, ya." Agung meraih ponsel di atas meja kecil, sementara Gendis langsung berpikir keras bagaimana jika terjadi kemungkinan terburuk.
***
"Nda, ikut Bang Raffa yok!" ajaknya mendadak. Nanda sedang membaca komik di atas ranjang.
"Kemana? Bukannya lo ama cewek lo?" tegur Nanda.
"Nggak jadi, dia pergi sama ortunya. Ayo, temenin gue makan." Raffa menarik tangan adiknya.
Di ruang keluarga, sudah ada Gendis, Agung dan Daffa yang duduk berseberangan.
"Bu, Yah ... mau ngomong apa?" Daffa masih santai. Gendis dan Agung tetap diam. Hingga Raffa dan Nanda pamit ke mal, seketika raut wajah Gendis berubah mengeras.
Celana jeans, boxer dan benda lain yang ditemukan, dilempar Gendis ke wajah Daffa dengan kencang.
"Bilang sama Ibu kamu ngapain sama Yasmin, hah!" bentaknya. Daffa gelagapan, ia panik.
"Daffa. Jawab Ibumu!" sambung Agung.
"Kamu pikir Ibu dan Ayah bodoh! Bilang sekarang!" Gendis menggebrak meja. Daffa menunduk, ia lalu menangis.
Agung mengepalkan tangan erat. "Kurang ajar kamu, Bang!" geramnya.
"Astaghfirullah, ya Allah ...," lirih lemas Gendis sambil duduk bersandar.
"Nggak mungkin sekali kalian begini, kan?!" Agung bernada keras saat bicara.
"Ayah maaf," isak Daffa. "Abang dan Yasmin, sama-sama ...." Gendis menampar keras wajah putra sulungnya.
"Ibu dan Ayah mendidik anak-anak kami semua bukan untuk bergaya hidup bebas! Mau alasan kalian suka sama suka, kek! Kebablasan ikut nafsu setan, kek! Ibu nggak peduli!" jeda Gendis. "Kok bisa kamu sampai lakuin hal ini, Bang? Ibu yakin kalian sering begini sampai kamu lupa buang barang buktinya, kan?!"
Daffa masih menunduk dalam. Ia terisak.
"Ngapain nangis, hah! Ngapain!" bentak Gendis. "Lihat kami, Bang!" Daffa mendongak. Wajahnya sembab, napasnya sesenggukkan. "Sepintar apapun kalian, anak-anak Ibu dan Ayah tutupi suatu kesalahan, akan kami tau. Allah kasih jalan tanpa kami minta. Kamu--" tunjuk Gendis. "Antar Ayah dan Ibu ke rumah orang tua Yasmin sekarang!"
"Bu! Nggak bisa! Kalau orang tua Yasmin tau--"
"Abang denger, ya! Jangan jadi pengecut!" pelotot Gendis. Agung beranjak ke arah kamar disusul Gendis, sedangkan Daffa menyesali kelakuannya sampai menjambak rambutnya sendiri.
***
Gendis terus mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu rumah orang tua Yasmin. Agung mencolek bahu Gendis hingga sang istri menoleh.
"Stop. Nggak sopan kamu," bisik Agung.
"Kata siapa, Yah? Ibu jadi tau sekarang kenapa Yasmin kejar-kejar Daffa," balas Gendis.
"Maaf lama menunggu, ada apa ini, orang tua Daffa datang ke rumah kami," ujar ramah ibunya Yasmin.
"Boleh panggil Yasminnya juga, Bu?" pinta Gendis.
"Sudah. Lagi ganti baju. Kenapa mendadak, kalau beritahu dulu kami bisa--"
"Anak kita berdua sudah membuat kesalahan. Kami datang ke sini mau mendengar penjelasan dari Yasmin juga," tegas Gendis.
"Maksudnya?" sanggah ayah Yasmin. Kemudian Yasmin muncul, wajahnya pucat pasi dengan kepala tertunduk.
"Yasmin, ada apa, Nak?" tegur ayahnya.
"Daffa. Bilang sekarang." Perintah Gendis tegas.
Daffa menjelaskan, Yasmin menangis meminta maaf ke kedua orang tuanya. Ayah Yasmin bahkan menangis tergugu.
"Yasmin, maaf Tante mau tanya. Apa sering kalian melakukan hal tersebut?"
"Bu," lirih Daffa tak nyaman.
"Yasmin, bisa jawab Tante," lanjut Gendis tak peduli.
"Bu, saya pikir, kita tidak perlu--"
"Perlu, Bu. Saya pribadi harus meluruskan banyak hal. Jangan sampai ada kebohongan dari Daffa maupun Yasmin." Lirikan Gendis tajam, jangan harap ia mengalah.
"I-iya, Tante ... kami ... Yasmin minta maaf, Tante," isaknya lagi.
Gendis menghela napas panjang, ia duduk bersandar pada sofa. "Kalian harus menikah." Gendis ketuk palu. Semua mata menatap ke arah wanita itu.
"Kamu hamil, kan, Yasmin?" Kalimat Gendis membuat Yasmin meremas ibu jarinya. "Tante tau Daffa seperti apa, walau dia teledor, tapi dia nggak akan membahayakan orang lain. Apalagi janin di dalam kandungan kamu. Kondom bekas pakai Daffa, Tante temuin di celana jeans yang kemarin lusa dia pakai. Hari kamis malam, Daffa pulang kerja jam satu malam. Nggak mungkin lembur karena Tante ke kantor Daffa. Ke hotel mana kalian?"
Bagaikan granat meledak, semua ucapan Gendis tak ada yang salah sasaran.
"Daffa. Mbanking kamu, Ibu mau lihat. Cepetan kasih HP kamu!" Di depan orang tua Yasmin, Gendis menunjukkan tipe orang tua seperti apa dirinya.
"Bu," tolak Daffa memelas. Pria cepak berkacamata itu enggan memberikan.
"Kenapa? Takut ketahuan, kan?" tantang Gendis.
Daffa menyerah. "Yasmin hamil dua bulan," jawabnya pelan.
Gendis memejamkan kedua matanya erat sebelum kembali bicara.
"Mau tidak mau, pernikahan dipercepat. Saya tidak mau, kacamata orang lain melihat keluarga kami buruk." Gendis menatap mata Yasmin lekat.
"Maaf, Bu. Setelah anak-anak kita menikah, mereka tinggal di mana? Tidak mungkin di sini karena ada adik dan kakak perempuan Yasmin, lalu di rumah Ibu--"
"Urusan Daffa. Dia harus berpikir." Gendis menyela lagi.
"Tapi, Bu Gendis. Tidak bisa dong, anak saya hamil, jika tinggal ditempat yang tidak nyaman akan berpengaruh ke kandungannya. Kasihan," melas ibunya Yasmin.
"Maksud Ibu?" Kening Gendis berkerut.
"Ya, kalian kan keluarga sukses, apa tidak bisa siapkan satu rumah atau apartemen, demi calon cucu."
Gendis tertawa sinis. Ia sudah bisa tebak seperti apa jalan pikiran calon besannya. Tak ada kalimat apapun yang panjang kecuali Gendis dan Agung akan siapkan rumah di komplek lain yang searah dengan kantor Daffa.
***
"Kurang ajar," umpat Gendis saat bersiap tidur. Ia mengoleskan lotion ke tangannya.
"Bu, kata temen Ayah, ada rumahnya. Di sewain tapi, bukan jual."
"Sewain aja, Yah, dua tahun. Bayarin tunai."
Agung mengetik pesan ke temannya.
"Kamu tadi denger lagi, nggak waktu kita mau pulang? Keluarga kita yang nanggung biaya pernikahannya. Semua?! Aji mumpung banget itu orang." Gendis marah-marah.
"Bu, Ayah sedih. Daffa kenapa begini."
Gendis menoleh. Ia langsung merapat ke suaminya, keduanya berpelukan. Akhirnya, air mata kecewa orang tua pecah, Gendis sampai sesenggukkan.
Di luar, Raffa melotot ke arah Daffa yang salah tingkah ditatap seperti itu oleh adiknya.
"Sinting lo, Bang!" Raffa duduk mendekat. Dengan santai ia memukul wajah ganteng kakaknya.
"Abang!" teriak Nanda. Ia memeluk Daffa. "Yaudah, sih, Bang! Mukul bukan solusi. Intinya Bang Daffa harus tanggung jawab!"
"Paham gue! Paham! Masalahnya ini orang nggak mikir panjang, Nda! Lo ke kamar Ibu, dengerin Ibu nangis sesenggukan!" Raffa menunjuk ke arah pintu kamar.
"Iya, Bang Raffa, gue tau ... tapi tolong lah, Bang, kita saudara, jangan ribut begini. Bang Daffa udah tau kesalahannya dan memang mau nikah sama Kak Yasmin, kan? Cuma jalannya aja salah. Udah, ya, Bang, jangan pukul Bang Daffa lagi."
Suara pintu mobil tertutup membuat kakak beradik itu menoleh. Hak sepatu wanita terdengar semakin dekat.
"Bang Daffa!" teriak Kirana. Ia lepas sepatu lantas melemparkan ke arah Daffa yang bisa menghindar dengan memeluk Nanda. "Kakak macam apa lo! Brengsek! Bikin malu keluarga!" Kirana di peluk Raffa. Air mata Kirana luruh. "Elo idola gue, Bang, kenapa kecewain gue begini?!" isaknya begitu sesak.
Daffa beranjak. Ia memeluk Raffa dan Kirana, lalu Nanda ikut memeluk juga. Keempat saudara kandung itu sama-sama menangis.
Kirana ternyata pulang lebih cepat. Saat ia minta dijemput Raffa, kakaknya itu malah menceritakan apa yang terjadi. Langsung saja Kirana naik taksi dari bandara untuk pulang.
"Maafin gue, ya, maafin gue," isak Daffa. Mereka berempat masih terus berpelukkan dengan posisi berdiri di ruang tamu rumah.
bersambung,
š"Makanya, saya juga kaget. Kok mendadak banget tau-tau siraman si Daffa." Bu Sukun, warga di ujung jalan yang memang doyan ghibahin tetangga berbisik-bisik dengan temannya saat berjalan kaki hendak menuju ke rumah Gendis.Kurang dari satu bulan persiapan selesai. Tentu saja buru-buru sebelum perut Yasmin nantinya semakin membesar.Gendis sangat menjaga nama baik keluarganya. Tak mengapa ia dan Agung menanggung semua biaya pernikahan.Tenda terpasang apik nuansa warna abu-abu muda dan putih. Di depan rumah ada janur kuning hingga hiasan anyaman dari daun kelapa.Tetangga satu RT diundang acara siraman. Esok hari akad nikah lalu resepsi siang harinya.Seragam keluarga dipilih Gendis warna ungu tua. Gendis begitu cantik dengan sanggul khas jawa, dua anak perempuannya juga berdandan yang sama.Daffa sudah bersiap keluar dari dalam rumah menuju ke tempat siraman yang ada di halaman rumah.Pemandu acara mulai memandu, Daffa berjalan keluar dari dalam rumah didamping ketiga adiknya. Ia ta
š6 bulan setelah Daffa menikah, putra sulungnya itu jarang ke rumah Gendis. Hanya dua kali dan itu membuat Gendis mulai gemas."Yah, aku mau ke rumah Daffa," pamitnya saat Agung hendak berangkat kerja."Mau ngapain?" Agung sudah berjalan ke teras rumah diikuti Gendis yang tampak rapi."Pingin aja." Jawaban Gendis tak bisa meruntuhkan kecurigaan Agung. Kedua mata menyipit ke arah sang istri. "Iya, iya ... mau cek aja apa mereka baik-baik aja. Kandungan Yasmin juga udah delapan bulan, kan? Dari acara nujuh bulanan kemarin, nggak ada kabar. Mana kita nggak diundang," geram Gendis."Yaudah, lah, Bu ... mungkin Yasmin mau sama keluarganya." Agung membuka pintu mobil."Ya nggak bisa, lah. Itu kan juga cucuku!" protes Gendis tersinggung."Terus kamu ke sana naik apa?" Agung sudah bersiap menghidupkan mesin mobil."Taksi aja, biar cepet. Dari sana mampir ke toko, mau meeting launching menu baru." Gendis menyalim punggung tangan Agung, dibalas Agung mencium kening istrinya."Hati-hati, Yah!"
š"Ibu kamu kenapa sampai begini ke aku, Daf? Apa hidup kita selalu diawasi Ibu?" Keluh kesah dilontarkan Yasmin. Keduanya berdiri berhadapan."Niat Ibu baik, Yasmin. Cuma memang Ibu orangnya begitu, kamu juga nggak mau coba dekati Ibu, kan? Padahal semua ini Ibu yang siapin."Yasmin tertawa miris, "jadi karena Ibu udah fasilitasi semua, sampai urusan di dalam kamar diatur juga?! Ya nggak gitu, Daf. Aku nggak mau, ya, Ibu ke sini lagi. Terserah kamu mau marah apa nggak. Aku lama-lama kesel sama Ibu!" Nada bicara Yasmin meninggi. Ia masuk ke dalam kamar, meninggalkan Daffa dalam kebingungan.Kenapa Yasmin begini setelah nikah? Apa karena hormon ibu hamil? batin Daffa seraya menundukkan kepala.Perkara besok harus bayar cicilan kartu kredit saja ia masih tak tau bayar dari uang apa. Ditambah Yasmin merajuk seperti itu.Daffa berjalan ke arah meja makan, di atas meja sudah ada masakan ibunya. Walau hanya gulai daging sapi dan tumis sayur selada air.Senyum Daffa merekah, ia ambil piring
šBulan yang ditunggu tiba, Daffa menghubungi Gendis jika Yasmin akan melahirkan. Mereka sudah di rumah sakit sejak siang hari."Bu, ayo ke sana," ajak Agung yang tampak tak sabaran."Iya, tunggu dong, Yah, masih rapihin rambut. Bagusan di jepit tengah apa di cepol terus kasih jepitan?" Gendis bersolek di depan cermin meja rias."Apa aja Ibu selalu cantik," puji Agung."Halah gombal." Gendis menahan senyum. Ia cepol rambutnya, lantas menyematkan jepitan rambut bentuk bunga. "Oke siap. Dressku bagus juga kan, Yah, nggak norak warnanya?""Nggak, ayo buruan. Kasihan Daffa pasti nungguin kita.""Nungguin buat apa? Minta dibayarin biaya lahirannya? Mbel gedes, maaf ya, nggak, deh." Gendis lalu menenteng tas tangan yang berisi macam-macam, dari tisu kering, tisu basah, minyak angin, lengkap pokoknya.Agung mendengkus, Gendis benar-benar akan memberi pelajaran sendiri untuk anaknya.Nanda dijemput di tempat les, masih memakai seragam sekolah, remaja itu masuk ke dalam mobil. Ia menyapa kedu
šGendis tak peduli jika ia dibenci Yasmin, bodo amat. Apalagi ia yang biayai persalinan sampai pulang ke rumah, bahkan aqiqah pun, Gendis yang biayai atas dasar sedekah ke cucu.Seharusnya jadi urusan Daffa, tetapi karena uang Daffa tak cukup, jadilah Gendis dan Agung lagi yang biayai.Kedua orang tua Yasmin ya petantang petenteng saja, seolah ikut terlibat. Bahkan saat acara aqiqah satu pekan setelah Yasmin melahirnya, keluarga ibunya Yasmin banyak diundang hadir.Gendis yang peka, dengan santai memesan semua urusan aqiqah di tempat kenalannya juga. Jadi tak ada keluarga yang rewel minta jatah bungkus makanan.Yuni, Endah, Soraya turun tangan membantu Gendis mengatur acara.Kirana asik duduk sambil menggendong keponakannya saat acara aqiqah selesai. Di sampingnya sang kekasih hati memperhatikan sambil tersenyum."Buruan resmiin," celoteh Daffa, ia duduk di dekat Kirana."Bang Raffa dulu, lah. Masa gue lompatin Kakak sendiri." Kirana mengusap pelan pipi bayi tampan itu."Nggak papa
šWarung makan khas sunda ramai sekali saat akhir pekan. Gendis berada di sana sejak pagi bahkan saat belum buka. Ia sibuk di dapur membantu anak buahnya menyiapkan banyak hal."Tik! Meja sepuluh tanyain, pesanannya udah semua belum?" perintah Gendis."Baik, Bu!" sahut semangat Tika. Gendis menuju meja prasmanan berisi wadah-wadah delapan jenis sambal yang digratiskan."Jo, Jojo," panggilnya sambil melambaikan tangan. Jojo mendekat. "Sambal mangganya tinggal setengah, ambil di dapur, isi ya. Jangan sampai begini," bisiknya."Iya, Bu Gendis," tukas Jojo seraya berlari. Warung itu bersuansa putih dan hijau muda. Kapasitas bisa menambung seratus orang lebih, dengan konsep kekeluargaan, menu yang disediakan Gendis bahkan ada yang khusus untuk anak-anak dengan paket menarik juga porsi yang pas, jadi tidak terbuang makanannya.Prinsip jualanannya begitu, jika tidak habis makanan yang dipesan, kena denda tiga puluh persen. Tidak takut pengunjung lari? Oh, tidak. Justru ia mau mengajarkan pe
š"Kamu kenapa bohong sama Yasmin, Bang. Ke Bali kok bilangnya ke Surabaya. Pantesan dia minta pesenin tiket kereta." Gendis mengantar Daffa sampai ke terminal bis bandara."Kesel, Bu. Bu, nggak apa-apa Ibu urus bayi?" Daffa menoleh ke baby car seat di jok belakang, anaknya tidur pulas."Emang kamu pikir, empat anak Ibu siapa yang urus?! Sembarangan. Kamu kerja aja, fokus. Istrimu biar di rumah sendirian. Biar mikir. Itu juga kalau punya pikiran. Hati-hati, ya, Bang," pesan Gendis. Daffa menyalim lalu mencium pipi ibunya. Daffa juga mencium putranya sejenak sebelum mengambil koper di bagasi."Hati-hati, Nak!" teriak Gendis lalu melambaikan tangan. Ia tancap gas pulang ke rumah, sebelumnya sudah menelpon Nanda untuk belikan pampers juga sabun bayi."Ibumu gendeng, urus kamu nggak becus. Maaf ya, Nini harus ngomong gini," gumam Gendis tak kuasa menahan rasa kesal. Ia mengemudi dengan hati-hati karena membawa cucunya.Di rumah, semua menyambut senang apalagi Raffa dan calon istrinya. Ca
š"Aku nggak peduli ya, warga semua akhirnya gosipin keluargaku karena Raja sekarang tinggal di rumah. Cucuku harus di selamatkan dari Ibunya yang sak wudele dewe." Sambil menyuguhkan minuman, Gendis ngedumel ke ketiga temannya yang berkunjung."Jujur, Ndis, kamu jadi mertua emang saklek. Kalau udah A ya, A. Punya standarisasi sendiri demi semua berjalan seusai arahan." Yuni duduk memangku bantal sofa.Hari itu mereka bisa bertemu karena waktu lowong bersamaan sekaligus Gendis mau membahas seragam untuk nikahan Raffa."Aku begini karena faktanya emang ngeselin, Yun.""Terus sekarang, Yasmin gimana? Udah seminggu Raja di sini, kan?" Soraya membuka toples berisi kue kacang."Bener, kan. Nggak ada tanya-tanya tentang Raja. Dia katanya sibuk ngelamar kerja. Itu juga Daffa yang kasih tau aku kemarin." Gendis sebenarnya tak mau rumah tangga anaknya sampai ribet begini, tapi Yasmin memang kebangetan.Sedangkan di rumah Daffa. Pria itu merapikan laptop yang tertinggal di kamar. Ia terpaksa p
šMobil sedan melaju pelan setelah mendekati satu bangunan ruko di kawasan perumahan kalangan menengah ke atas. Keempat wanita paruh baya saling melempar pandangan ke arah bangunan berlantai dua dengan desain modern minimalis mediterania. "Ini kantornya, Ndis?" celetuk Yunni. "Iya kayaknya," sahut Gendis seraya melongok ke arah luar dari balik kaca mobil. Tangannya masih memegang kemudi, tubuhnya condong ke depan juga. "Terus, kita ngapain? Ndis, kalau suami dan anakku tau, bisa diomelin aku? Pergi lama-lama," keluh Soraya. Gendis menoleh ke belakang. "Nanti aku yang ngomong sama suami dan anak-anakmu," sewotnya. Lain dengan Endah yang oke oke aja, apalagi jika izin perginya dengan Gendis, pasti semua aman terkendali. "Tujuan kamu apa sih, Ndis. Kalau emang Henggar tulus dan sayang sama Kirana, kenapa kamu nggak restuin?" Soraya mau memperjelas tujuan mereka memata-matai Henggar. Gendis menyandarkan tubuh pada jok mobil yang diduduki, jemarinya mengetuk kemudi seraya berpikir
šAisyah menyiapkan bekal untuk Raja, walau masih dua tahunan usianya lalu bersekolah, Daffa tetap meminta Raja bawa bekal sendiri. Kotak makan dimasukan ke dalam tas kecil berbentuk pesawat. Raja baru bangun tidur digendong Daffa yang hendak berangkat kerja. "Jumat besok ada kegiatan berkunjung ke sea world, aku cuti jadi bisa temani Daffa. Kamu di sini aja." Raja dipangku duduk di kursi meja makan. Aisyah mengangguk patuh, ia berdiri di dekat bak cuci piring. "Sarapan Raja mana?" Daffa melempar pandangan tajam. Aisyah lupa. Ia menepuk keningnya, lalu mengeluarkan bubur ayam buatannya dari microwave. Raja suka karena rasanya gurih kaldu sapi. Aisyah memasak sejak pukul tiga. "Ini, Mas." Aisyah meletakkan mangkuk bentuk anak singa warna orange. Raja pindah duduk di kursi kusus bayi, Daffa menyuapi Raja sambil menikmati sarapannya yang ia beli sendiri setiap malam. Aisyah bagaimana? Tetap berdiri memperhatikan, belum makan. Hanya minum teh. "Kamu bisa siapin baju Raja untuk hari
šMeja makan diisi Gendis, Agung dan dua anak gadisnya. Makan malam syahdu karena saling bercerita hal-hal ringan yang terjadi hari itu. Ikan bakar masakan Gendis selalu menjadi kesukaan Agung. Makan tak pilih-pilih, apa yang Gendis sajikan dilibas habis masuk ke perut. "Bu, pendapatan Ibu dari usaha macem-macem, udah berapa omset rata-rata sebulan?" tutur Kirana, ia nambah sambal matah yang super seger karena asam pedas. "Mau tau? Kenapa? Incer warisan?" judes Gendis. Kirana hanya menyipitkan kedua matanya ke arah sang ibu. "Nuduh melulu. Kiran punya gaji sendiri, Bu.""Oh, kirain. Ibu mau sumbangin warisan Ibu soalnya, kalian cari duit sendiri, ya," canda Gendis. Nanda dan Kirana hanya menggeleng pelan sambil terkekeh. "Emang kenapa, Kirana?" Gendis menjeda menikmati makan malamnya. Kirana menatap lekat kedua mata ibunya. "Bu, jangan kecapean. Masih ada Kirana dan Nanda yang belum nikah. Kami anak cewek, butuh Ibu untuk ajarin banyak hal. Ya soal anak, rumah tangga." Gendis
š"Alasan apapun, terserah kamu bilang ke Ibu apa kita pisah kamar." Daffa melepaskan setelan jas yang dikenakan untuk acara pernikahan. "Oke." Dengan santai Aisyah menjawab sambil duduk di sofa ruang tengah apartemen yang menyambung ke dapur juga meja makan kecil. Namanya diapartemen, apalagi Agung dan Gendis menyewakan yang tipe kecil. Niat hati supaya anak dan menantunya bisa mulai berkomunikasi lancar lalu muncul benih cinta, rupanya tak mudah. Ya ... yang penting sudah usaha. "Kamar kamu itu, karena saya sama Raja jadi yang agak besar," tunjuknya ke kamar yang lebih kecil. "Oke," tukas Aisyah simple. "Udah? Aku mau ganti baju dan mandi. Raja datang sama susternya sebentar lagi, kan?" "Raja datang tiga hari lagi, karena orang tua kita berpikir kita lagi bulan madu." Daffa masuk ke dalam kamar utama. Aisyah menjawab dengan satu kata 'oh.' Lalu masuk ke kamarnya. Detik jam terasa lama. Tak ada kegiatan pengantin baru yang dilakukan mereka. Daffa tidur lepas sholat Isya, sedan
šLaras menolak lamaran yang meminta Aisyah menjadi istri Daffa. Alasannya, Laras merasa tak pantas berbesan dengan Gendis, apalagi latar belakang kegagalan rumah tangga yang didera wanita itu pasti akan menjadi masalah suatu saat nanti. Laras lupa, yang ada dihadapannya adalah Gendis, wanita keras kepala yang punya insting tepat layaknya peramal tanpa pernah meleset. "Yang bikin kamu malu apa sebenernya? Kalau masalah tetangga omongin kamu, diemin aja, Ras." Gendis merapatkan duduknya ke arah Laras. "Namanya tinggal bertetangga, mau di gang sempit, komplet elit, komplek kayak kita, pasti akan ada gossip, Ras. Aku yakin Aisyah bisa jadi istri yang memang Daffa mau untuk seumur hidupnya. Anak itu aja masih gendeng, butuh obat dan itu ... Aisyah." Laras menggeleng tak yakin, "Ndis, Agung ... jangan jadikan anakku tersiksa menikah dengan Daffa. Mungkin Daffa butuh waktu untuk obati hatinya, tapi bukan dengan Aisyah." Laras tetap berusaha menolak. "Nggak, Ras. Aisyah paling pas. Aku n
š"Cari istri kayak Ibumu, Bang," ucap Agung mencoba membuka pikiran anaknya. Sejak keputusan dibuat Gendis, Daffa langsung murung. "Nggak bisa, Yah. Jalan hidup kan beda-beda," kilah Daffa. "Siapa bilang?" jeda Agung terkekeh. "Ada doa. Kamu lupa?" sindirnya. Kursi teras menjadi saksi obrolan ayah dan anak itu hampir larut malam. Daffa masih tak bisa menerima keputusan Gendis, tapi tetap harus dijalankan. Esok hari. Gendis membahas rencana melamar Aisyah bersama Yuni, Endah dan Soraya. Semua mendukung, tinggal bicara ke Laras saja yang harus tepat waktu. Namun, setelah sepekan, Laras mendadak tak ada di rumah. Bahkan saat Gendis menemani Adinda operasi, masih menyempatkan diri ke rumah Laras, semua terkunci. Hanya lampu teras menyala. "Kemana si Laras? Aisyah juga nggak kerja dua hari ini?" gumamnya lantas mengarahkan kemudi ke arah rumah. "Kucing beranak!" lontarnya kaget karena sekuriti RT mendadak muncul sambil menghentikan laju mobilnya. "Bu Gendis, cari Bu Laras?" kata se
šSabtu pagi pekan itu, menjadi hari dilaksanakan kegiatan membersihkan lingkungan, menghias juga 'bedah rumah' kecil-kecilan untuk Laras. Wanita itu mendapatkan jadwal operasi dua minggu lagi, jadi masih bisa beraktifitas normal. Dari dalam rumah, ia membawa nampan berisi bakwan goreng buatannya, padahal Gendis sudah melarang. Ada kas RT yang digunakan untuk konsumsi anak muda yang merapikan rumah. Tak enak hati, Laras tetap membuatkan suguhan sederhana. Aisyah sendiri bekerja, pagi-pagi sekali sudah ke toko karena ada yang booking untuk acara sekolah. Ia harus menata tempat di lantai dua. "Bang Daffa, kamu bisa kayaknya ganti plafon. Udah lihat ke lantai atas rumah Tante Laras?" bisik Gendis saat Daffa baru datang dari rumah. "Belum detail, Bu. Yang lain aja, lah. Abang bersihin halaman aja," tolaknya. "Ih! Gitu amat. Badanmu tinggi gagah, kuat, nggak perlu naik tangga sampai ujung buat ganti plafon," gerutu Gendis. Daffa tetap tak mau, ia memilih membersihkan halaman rumah Ge
šAisyah menyiapkan makan malam untuk ibunya. Ia sendiri beralasan masih kenyang, jadi membiarkan ibunya makan yang banyak. "Syah, operasinya nanti berhasil nggak, ya?" tukas Laras pelan. "Berhasil. Yang penting Ibu jangan banyak pikiran. Bu ... tadi Isyah pulang diantar Kak Kirana, dia cerita katanya Mas Daffa cerai, padahal udah punya anak." Aisyah bertopang dagu. "Ya terus? Kamu kasihan?" Laras tersenyum tipis. "Nggak, sih. Cuma aneh aja. Ngapain nikah kalau akhirnya ce--" Aisyah diam. Ia tatap Laras yang ternyata menatapnya lekat. "Maaf, Bu, nggak maksud nyindir." Laras lanjut makan diiringi senyuman. "Cerai itu pilihan, Syah. Tergantung seberat apa masalahnya. Kalau orang tuamu ini, udah jelas apa masalahnya dan berat. Kalau Daffa, bisa aja sama-sama berat tapi buat dia, buat kita belum tentu. Jangan menilai perceraian selalu karena hal berat atau sepele ya, Syah. Semua kembali ke permasalahannya." Aisyah mengangguk. Hujan deras kembali turun. Aisyah meletakkan baskom dan
š"Bu," sapa Raffa setelah sampai. Ia menyalim punggung tangan Gendis lalu menghampiri Adinda yang masih sedikit pucat. "Kamu nggak apa-apa?" bisiknya. Adinda mengangguk. "Raf, kenapa nggak bilang Dinda mau operasi kista?!" Langsung semprot. Raffa berbalik badan perlahan mengarah pada Gendis. Raut wajahnya langsung berubah sendu. "Bukan gitu, Bu, Raffa cuma nggak mau Ibu pusing. Mikirin masalah Bang Daffa aja udah bikin Ibu naik tensi." "Sembarangan," protes Gendis seraya berkacak pinggang, ia juga memakai celemek karena sedang masak. "Urusan Bang Daffa udah Ibu serahin ke sang khalik! Terserah itu anak mau galau atau apalah. Yang penting cerai!" Gendis diam, menunggu sanggahan Raffa. "Yaudah, maaf, Bu. Ibu masak apa? Wangi amat?" Raffa mengeluarkan kemeja kerja dari dalam celana. Ia mendekat ke Gendis. "Sop ayam kampung. Kaldunya bagus buat kondisi Dinda, sama Ibu bikin tumis selada air pakai teri, biar sedep makannya. Ayahmu nanti ke sini juga." Gendis mengaduk sop ayam lagi.