Share

Bahan gosip

Penulis: Rianievy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-07 11:32:12

💐

"Makanya, saya juga kaget. Kok mendadak banget tau-tau siraman si Daffa." Bu Sukun, warga di ujung jalan yang memang doyan ghibahin tetangga berbisik-bisik dengan temannya saat berjalan kaki hendak menuju ke rumah Gendis.

Kurang dari satu bulan persiapan selesai. Tentu saja buru-buru sebelum perut Yasmin nantinya semakin membesar.

Gendis sangat menjaga nama baik keluarganya. Tak mengapa ia dan Agung menanggung semua biaya pernikahan.

Tenda terpasang apik nuansa warna abu-abu muda dan putih. Di depan rumah ada janur kuning hingga hiasan anyaman dari daun kelapa.

Tetangga satu RT diundang acara siraman. Esok hari akad nikah lalu resepsi siang harinya.

Seragam keluarga dipilih Gendis warna ungu tua. Gendis begitu cantik dengan sanggul khas jawa, dua anak perempuannya juga berdandan yang sama.

Daffa sudah bersiap keluar dari dalam rumah menuju ke tempat siraman yang ada di halaman rumah.

Pemandu acara mulai memandu, Daffa berjalan keluar dari dalam rumah didamping ketiga adiknya. Ia tampak bahagia, tersenyum lebar padahal ada Gendis yang kecewa. Rasanya kalau bisa kutuk anak sendiri, sudah ia kutuk jadi pinokio saja.

Seharusnya, ada acara midodareni, tapi berhubung Gendis kesal dengan keluarga Yasmin, ia batalkan. Enak aja mau semua adat jawa tapi memberatkan biaya ke pihak lelaki, ya ikuti kemauan Gendis lah kalau begitu.

Acara utama selesai, dilanjut ramah tamah. Gendis memesan catering service dari kenalannya di dunia bisnis makanan. Ia tak pelit, karena malas sampai dibahas warga jika makanan kurang banyak atau kurang enak.

"Bu Agung, terima kasih undangannya," ucap Bu Sukun.

"Eh, Bu Sukun, makasih sudah datang." Keduanya bercipika cipiki.

"Kami kaget, lho. Kok tau-tau Daffa nikah. Siapa calonnya?" sambung Bu Sukun.

"Calonnya anak manusia, kok. Besok dateng ya, nggak usah siapin amplop, dateng aja ke hotelnya ya. Bawa undangan aja, karena tamunya didata pakai barcode, tau kan maksud saya?" Gendis sengaja. Ia tau Bu Sukun itu suka mancing-mancing bahasan, sekalian aja direndahkan Gendis tanpa ragu.

"Paham, dong," tawa Bu Sukun dengan terpaksa. Ia kipas wajahnya dengan cepat, lalu diam.

Gendis menyapa tamu lainnya, tak kesusahan berjalan walau memakai kebaya lengkap dengan sanggul tradisional.

Sementara Agung berbicara dengan Daffa dan Raffa di kamar saat putra sulungnya berganti baju setelah siraman.

"Ayah mau ngomong sama kamu, Bang," tukas Agung mulai bersuara. Daffa yang sudah rapi, duduk di hadapan ayahnya.

Agung mengatur napas lebih dulu sebelum bicara. "Kamu tau sudah bikin orang tuamu kecewa?"

"Iya, Yah." Daffa seketika sendu.

"Ayah bisa minta tolong ke kamu untuk berubah lebih serius? Jangan lelet, malas, apa-apa harus diingetin. Sebentar lagi sudah ada istrimu yang seharusnya bisa lakuin itu, buat Ibumu lagi." Agung menjeda. Raffa hanya diam menyimak sambil bersandar pada lemari pakaian.

"Ayah sudah siapkan rumah untuk kalian tinggali, barang-barang semua lengkap. Kalian tinggal masuk aja. Tidak semua orang tua mampu menyiapkan ini, Bang. Ayah minta kamu hargai pengorbanan kami dengan jadi suami dan Ayah yang baik. Serius lah bekerja, ada dua anak manusia yang jadi tanggung jawab penuh kamu, Bang."

Daffa mengangguk paham.

"Bang, kamu tau Ibumu yang paling terluka dengan hal ini, kan? Jangan bikin Ibumu sedih lagi." Agung menyeka air matanya. Daffa mengangguk lagi.

"Bang," panggil Raffa. Daffa mendongak menatap adiknya.

"Jadi laki jangan gampang turuti semua mau istrinya. Gue tau lo bakal royal banget sama istri lo, tapi lo inget, Bang. Lo tetep bagian keluarga ini. Inget Ibu dan adek-adek lo. Bukan royal duit, ya, tapi ke perhatian dan peduli."

Kening Daffa mengernyit, "maksudnya, bini gue nanti bakal larang gue ke sini, ya nggak bisa, lah! Enak aja." Daffa terdengar mematahkan asumsi Raffa.

"Ya kali aja, Bang. Yaudah, Yah, kita keluar lagi, ketemu tamu. Kasihan Ibu yang temui mereka." Raffa membuka pintu kamar, ia berjalan keluar lalu tersenyum menyapa sepupu-sepupunya. Agung menepuk bahu Daffa, keduanya keluarga kamar bersama-sama.

***

Acara pernikahan digelar cukup mewah, semua hal dari A sampai Z, pihak Daffa yang atur. Ya, dong, komitmen karena pihak perempuan maunya terima beres.

Gendis asik berfoto dengan teman-teman sesama pengusaha makanan juga ketiga bestienya.

"Dis, kamu hebat, bisa kuat tutupi semuanya. Sabar, ya," bisik Yuni salah satu bestienya.

"Harus, gimana juga nggak mau aku kalau sampai jadi bahan gossip. Apalagi si Sukun, tuh, dari acara siraman kemarin, terus cari tau alasan Daffa nikahnya cepet banget," balas Gendis berbisik ke Yuni.

"Halah! Si sukun emang minta dicabein mulutnya. Kalau sampai kamu digosipin, gue naikin harga tagihan sampah dan keamanan ke dia." Yuni merupakan bendahara RT, jadi semua keuangan RT dia yang atur juga urus.

"Siapa? Sukun?" sambar Soraya. Ia berbisik namun matanya langsung memperhatikan bu Sukun yang makan dengan lahap.

"Iya, seneng banget rumpiin tetangga sendiri. Heran," keluh Gendis.

"Nggak rumpi nggak happy, Dis. Diemin aja, lah. Kalau resek gue suruh laki gue bikin surat peringatan ke dia." Suami Soraya ketua RT, boleh lah sombong dikit.

"Iya, lah, ya. Selama nggak keterlauan bodo amat. Eh, iya, Nanda mana, ya?" Gendis celingukan mencari keberadaan putri bungsunya. "Aku samperin Nanda dulu, ya, bye ...," pamitnya seraya melambaikan tangan.

"Nda! Nanda!" panggil Gendis. Nanda menoleh, ia sedang makan puding.

"Apa, Bu? Mau puding?" tawar Nanda.

"Nggak. Ibu nanti aja makannya di tempat VIP. Eh, Ibu lupa, tagihan catering ini sama sewa ballroomnya udah beres, kan?" bisik Gendis.

"Udah, Bu. Kak Kirana sama aku yang bayar pagi tadi sebelum akad. Kenapa?" Nanda mencondongkan tubuh ke arah Gendis.

"Bener sisanya hampir dua ratus juta?" bisik Gendis.

"Iya, Bu. Bukti bayarnya ada di Kakak. Kakak mana, ya?" Kepala Nanda mengarah ke kanan dan kiri.

"Udah biar, Ibu cuma mau mastiin. Ibu ke pelaminan lagi, deh," ujar Gendis yang memang tak betah berdiri lama-lama, senengnya menghampiri tamu undangan.

Selesai acara pikir Gendis semua aman terkendali, tapi semua berbeda saat Kirana bertanggung jawab mengurus isi kotak di meja tamu.

"Mama Yasmin, maaf, Kirana nggak tau pasti, ya. Kirana cuma diperintahin Ibu buat bawa dua wadah ini ke rumah." Kirana meminta pacarnya membawa isi kotak uang di dalam kain warna hitam.

"Oh, begitu ya," ringis mama Yasmin. "Mama pikir, nantinya dibagi dua keluarga. Jadi Mama bisa ambil satu."

"Maaf, perintah Ibuku ini, Ma. Permisi, ya," pamit Kirana. Langkahnya terhenti karena bahunya ditepuk mama Yasmin lagi. "Ya, ada apa?" ujar Kirana.

"Kalau ada amplop dari pihak Yasmin, boleh, dong buat saya?" paksanya.

"Nggak bisa, besan," sambar Gendis. "Kan semua biaya pihak Daffa yang tanggung, jadi amplop buat kami." Wajah Gendis langsung tersenyum sinis.

"Lho, kok gitu, ada hak juga dong pihak Yasmin," protes mamanya.

"Maaf, nggak bisa besan," tolak Gendis lagi. Tak lama Yasmin muncul, sudah ganti baju. Berjalan digandeng Daffa. Hal itu akhirnya diketahui Yasmin, ia hanya bisa menyabarkan mamanya karena memang ini perjanjiannya.

Dengan hati dongkol, wanita itu berjalan keluar area ballroom. Gendis melirik Yasmin dan Daffa. "Kalian mau jalan-jalan kemana jadinya? Inget, kamu lagi hamil, Yasmin," tutur Gendis.

"Iya, Bu, nggak jadi kemana-mana. Bu, masalah rumah, apa--"

"Udah beres, kok, kunci udah dikasih Ayah ke Daffa. Yang rukun ya berumah tangga. Kalian jangan gampang saling emosian, Ibu titip urus Daffa, ya, udah jadi tanggung jawabmu." Gendis tersenyum walau hatinya sedih. Yasmin hanya mengangguk patuh.

Raffa datang mendekat, ia menggandeng perempuan cantik memakai kebaya warna merah.

"Bu," sapa Raffa.

"Tante," sapa perempuan itu menyalim tangan Gendis.

"Eh, iya ... hai," sapa Gendis bingung. "Siapa, Raf?"

"Pacar, lah! Abang udah tau." Raffa merangkul bahu Daffa.

"Serius? Kok bisa? Kuliah atau kerja?" Gendis menyambut ramah.

"Kerja, Tante. Satu gedung sama Raffa, tapi saya di perusahaan lain."

"Oh, gitu ... siapa namanya?" Gendis mulai menilai dari sorot mata pacar Raffa.

"Adinda, Tante."

Gendis melirik Raffa yang senyam senyum. "Udah lama sama Raffa?"

"Mmm, baru tiga bulan, Tante," jawab Adinda malu-malu.

Gendis mengernyit, Raffa tau-tau bawa pacar. Bisa aja anaknya memperkenalkan dimomen Gendis tak bisa banyak introgasi.

"Bu, kita pamit langsung pulang, ya." Ucapan Daffa memecah lamunan Gendis.

"Oh, iya ... iya, Bang. Yaudah, kalian hati-hati, ya." Gendis mengulurkan tangan karena Daffa dan Yasmin mencium punggung tangannya.

Raffa menggandeng tangan Adinda yang terlihat malu, apalagi Gendis terus menatap.

"Kerja apa, Adinda?" Eh lanjut, biasa lah ya, ibu-ibu.

"Saya dokter gigi di klinik yang memang kami buka praktek di gedung itu, Tante."

Gendis seketika senang, bukan karena dokter giginya, tapi Adinda menunjukkan jika wanita bisa mandiri juga dengan membuka usaha.

"Wah, bagus itu. Orang tua kamu?"

Adinda tersenyum. "Mama Papa kebetulan praktek di rumah sakit umum. Papa dokter spesialis anak, kalau Mama dokter spesialis kandungan."

Gendis haru dan bangga, bisa-bisanya Raffa dapat pacar dengan bibit bebet bobot yang baik. Kirana pun sama, Gendis sudah kenal dengan orang tua kekasih Kirana.

"Tante punya usaha rumah makan sunda sama toko kue, ya? Boleh Adinda main ke sana?"

"Boleh, dong! Raffa nanti antar. Dinda, kamu nggak didukunin anak Tante, kan? Kok bisa sih, sama Raffa." Gendis tergelak.

"Bu, hadehhh," keluh Raffa seraya mengusap pelipisnya.

"Nggak Tante, kebetulan kita satu SMA, satu angkatan. Cuma baru deket setelah sama-sama kerja." Jawaban yang membuat Gendis berbunga-bunga.

"Yasudah, Tante pamit pulang, ya, Om udah nungguin di depan. Raffa, kamu antar Adinda pulang, ya. Eh tapi naik motor, nggak apa-apa?" Perasaan Gendis jadi kurang nyaman. Pasalnya Adinda tampak cantik menawan.

"Nggak apa-apa, Tante, Adinda bawa jaket, kok. Tante sehat-sehat, ya, kapan-kapan Adinda main." Adinda menyalim tangan Gendis. Dengan hangat Gendis menyambut. Sementara Raffa mencium kening ibunya lama.

"Bu, approved, kan?" bisik Raffa.

"Nggak tau, deh," goda Gendis lantas tertawa pelan. Ia berjalan ke parkiran mobil sambil tersenyum lebar.

"Ibuku begitu, agak judes tapi aslinya baik banget." Raffa berjalan menggandeng tangan Adinda dengan lembut.

"Nggak apa-apa, lagian aku jadi diri sendiri, Ibu juga pasti bisa nilai, kan?"

Raffa menoleh cepat. "Emang siap serius?" goda Raffa.

"Ya kamunya gimana? Aku kan cewek," balas Adinda dengan tatapan kesal.

"Serius, lah! Tapi kayaknya aku nggak bisa kayak Bang Daffa yang udah disiapin rumah. Mobil aja belum ada."

"Ck! Sewa rumah atau apartemen aja, lah, yang sederhana. Kayak gitu aja ribet."

"Emang orang tua kamu nggak masalah?" Raffa sampai berhenti berjalan.

"Nggak. Kamu belum tau aja Mama Papaku tipe orang tua yang terserah anaknya, asal apapun itu baik dan nggak rugiin orang lain. Mbak Novita, Kakakku, emang kamu pikir hidup enak habis nikah? Susah dulu dia. Mana suaminya dokter di IGD yang harus sering stand by, untung aja Mbak Novita nggak kerja, full IRT jadi bisa atur semua sampe akhirnya bisa KPR rumah."

Raffa menggenggam erat jemari tangan Adinda. "Yaudah, serius, ya. Aku ketemu Papa Mama kamu kalau gitu."

"Beneran, Raf?"

"Iya. Ngapain bercanda sama hal kayak gini. Kamu yakin sama aku, aku juga yakin sama kamu, apa lagi, kan?" Raffa mengedipkan sebelah matanya menggoda Adinda yang baru mulai membuka klinik perawatan gigi dua bulan kebelakang. Ia rintis bersama dua teman lainnya setelah selesai tugas praktek di puskesmas daerah.

Modal Adinda pinjam dari orang tuanya yang percaya anaknya bisa mandiri, bertemu Raffa yang isi kepalanya mau sukses dengan usaha sendiri juga.

Gendis terus tersenyum selama perjalan pulang ke rumah. Agung yang melihat menjadi heran.

"Kenapa, Bu?" tukasnya.

"Hah ... seenggaknya, anak kita yang lain nggak kayak Daffa, Yah. Ini buah manis dari rasa kecewa kita kayaknya," tatap Gendis ke suaminya.

"Kak Adinda, ya, Bu?" sambar Nanda.

"Iya, kamu kenal?" Kepala Gendis menoleh ke belakang, jok tengah.

"Kenal biasa aja. Cuma inget dulu waktu Bang Raffa SMA, ada yang ke rumah anter kue sama salad buah pas Bang Raffa tipes, itu Kak Adinda. Dia jago masak juga tau, Bu. Cocok, lah sama Ibu."

"Oh, yaaaa?" Gendis menganga tak percaya.

"Iya. Kak Adinda kayaknya diem-diem emang naksir Bang Raffa yang cuek, nggak tau gimana malah sekarang jadian. Keceh, lah, Abangku itu." Nanda tertawa geli.

Gendis menghadap depan lagi, "mantu idamanku," gumamnya penuh harap.

bersambung,

Bab terkait

  • Mertua Masa Gini?   Sidak

    💐6 bulan setelah Daffa menikah, putra sulungnya itu jarang ke rumah Gendis. Hanya dua kali dan itu membuat Gendis mulai gemas."Yah, aku mau ke rumah Daffa," pamitnya saat Agung hendak berangkat kerja."Mau ngapain?" Agung sudah berjalan ke teras rumah diikuti Gendis yang tampak rapi."Pingin aja." Jawaban Gendis tak bisa meruntuhkan kecurigaan Agung. Kedua mata menyipit ke arah sang istri. "Iya, iya ... mau cek aja apa mereka baik-baik aja. Kandungan Yasmin juga udah delapan bulan, kan? Dari acara nujuh bulanan kemarin, nggak ada kabar. Mana kita nggak diundang," geram Gendis."Yaudah, lah, Bu ... mungkin Yasmin mau sama keluarganya." Agung membuka pintu mobil."Ya nggak bisa, lah. Itu kan juga cucuku!" protes Gendis tersinggung."Terus kamu ke sana naik apa?" Agung sudah bersiap menghidupkan mesin mobil."Taksi aja, biar cepet. Dari sana mampir ke toko, mau meeting launching menu baru." Gendis menyalim punggung tangan Agung, dibalas Agung mencium kening istrinya."Hati-hati, Yah!"

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Mertua Masa Gini?   Enggan membantu

    💐"Ibu kamu kenapa sampai begini ke aku, Daf? Apa hidup kita selalu diawasi Ibu?" Keluh kesah dilontarkan Yasmin. Keduanya berdiri berhadapan."Niat Ibu baik, Yasmin. Cuma memang Ibu orangnya begitu, kamu juga nggak mau coba dekati Ibu, kan? Padahal semua ini Ibu yang siapin."Yasmin tertawa miris, "jadi karena Ibu udah fasilitasi semua, sampai urusan di dalam kamar diatur juga?! Ya nggak gitu, Daf. Aku nggak mau, ya, Ibu ke sini lagi. Terserah kamu mau marah apa nggak. Aku lama-lama kesel sama Ibu!" Nada bicara Yasmin meninggi. Ia masuk ke dalam kamar, meninggalkan Daffa dalam kebingungan.Kenapa Yasmin begini setelah nikah? Apa karena hormon ibu hamil? batin Daffa seraya menundukkan kepala.Perkara besok harus bayar cicilan kartu kredit saja ia masih tak tau bayar dari uang apa. Ditambah Yasmin merajuk seperti itu.Daffa berjalan ke arah meja makan, di atas meja sudah ada masakan ibunya. Walau hanya gulai daging sapi dan tumis sayur selada air.Senyum Daffa merekah, ia ambil piring

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Mertua Masa Gini?   Mau nggak mau

    💐Bulan yang ditunggu tiba, Daffa menghubungi Gendis jika Yasmin akan melahirkan. Mereka sudah di rumah sakit sejak siang hari."Bu, ayo ke sana," ajak Agung yang tampak tak sabaran."Iya, tunggu dong, Yah, masih rapihin rambut. Bagusan di jepit tengah apa di cepol terus kasih jepitan?" Gendis bersolek di depan cermin meja rias."Apa aja Ibu selalu cantik," puji Agung."Halah gombal." Gendis menahan senyum. Ia cepol rambutnya, lantas menyematkan jepitan rambut bentuk bunga. "Oke siap. Dressku bagus juga kan, Yah, nggak norak warnanya?""Nggak, ayo buruan. Kasihan Daffa pasti nungguin kita.""Nungguin buat apa? Minta dibayarin biaya lahirannya? Mbel gedes, maaf ya, nggak, deh." Gendis lalu menenteng tas tangan yang berisi macam-macam, dari tisu kering, tisu basah, minyak angin, lengkap pokoknya.Agung mendengkus, Gendis benar-benar akan memberi pelajaran sendiri untuk anaknya.Nanda dijemput di tempat les, masih memakai seragam sekolah, remaja itu masuk ke dalam mobil. Ia menyapa kedu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Mertua Masa Gini?   Bu Sukun cari perkara

    💐Gendis tak peduli jika ia dibenci Yasmin, bodo amat. Apalagi ia yang biayai persalinan sampai pulang ke rumah, bahkan aqiqah pun, Gendis yang biayai atas dasar sedekah ke cucu.Seharusnya jadi urusan Daffa, tetapi karena uang Daffa tak cukup, jadilah Gendis dan Agung lagi yang biayai.Kedua orang tua Yasmin ya petantang petenteng saja, seolah ikut terlibat. Bahkan saat acara aqiqah satu pekan setelah Yasmin melahirnya, keluarga ibunya Yasmin banyak diundang hadir.Gendis yang peka, dengan santai memesan semua urusan aqiqah di tempat kenalannya juga. Jadi tak ada keluarga yang rewel minta jatah bungkus makanan.Yuni, Endah, Soraya turun tangan membantu Gendis mengatur acara.Kirana asik duduk sambil menggendong keponakannya saat acara aqiqah selesai. Di sampingnya sang kekasih hati memperhatikan sambil tersenyum."Buruan resmiin," celoteh Daffa, ia duduk di dekat Kirana."Bang Raffa dulu, lah. Masa gue lompatin Kakak sendiri." Kirana mengusap pelan pipi bayi tampan itu."Nggak papa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Mertua Masa Gini?   Yasmin keterlaluan

    💐Warung makan khas sunda ramai sekali saat akhir pekan. Gendis berada di sana sejak pagi bahkan saat belum buka. Ia sibuk di dapur membantu anak buahnya menyiapkan banyak hal."Tik! Meja sepuluh tanyain, pesanannya udah semua belum?" perintah Gendis."Baik, Bu!" sahut semangat Tika. Gendis menuju meja prasmanan berisi wadah-wadah delapan jenis sambal yang digratiskan."Jo, Jojo," panggilnya sambil melambaikan tangan. Jojo mendekat. "Sambal mangganya tinggal setengah, ambil di dapur, isi ya. Jangan sampai begini," bisiknya."Iya, Bu Gendis," tukas Jojo seraya berlari. Warung itu bersuansa putih dan hijau muda. Kapasitas bisa menambung seratus orang lebih, dengan konsep kekeluargaan, menu yang disediakan Gendis bahkan ada yang khusus untuk anak-anak dengan paket menarik juga porsi yang pas, jadi tidak terbuang makanannya.Prinsip jualanannya begitu, jika tidak habis makanan yang dipesan, kena denda tiga puluh persen. Tidak takut pengunjung lari? Oh, tidak. Justru ia mau mengajarkan pe

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Mertua Masa Gini?   Rebutan

    💐"Kamu kenapa bohong sama Yasmin, Bang. Ke Bali kok bilangnya ke Surabaya. Pantesan dia minta pesenin tiket kereta." Gendis mengantar Daffa sampai ke terminal bis bandara."Kesel, Bu. Bu, nggak apa-apa Ibu urus bayi?" Daffa menoleh ke baby car seat di jok belakang, anaknya tidur pulas."Emang kamu pikir, empat anak Ibu siapa yang urus?! Sembarangan. Kamu kerja aja, fokus. Istrimu biar di rumah sendirian. Biar mikir. Itu juga kalau punya pikiran. Hati-hati, ya, Bang," pesan Gendis. Daffa menyalim lalu mencium pipi ibunya. Daffa juga mencium putranya sejenak sebelum mengambil koper di bagasi."Hati-hati, Nak!" teriak Gendis lalu melambaikan tangan. Ia tancap gas pulang ke rumah, sebelumnya sudah menelpon Nanda untuk belikan pampers juga sabun bayi."Ibumu gendeng, urus kamu nggak becus. Maaf ya, Nini harus ngomong gini," gumam Gendis tak kuasa menahan rasa kesal. Ia mengemudi dengan hati-hati karena membawa cucunya.Di rumah, semua menyambut senang apalagi Raffa dan calon istrinya. Ca

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Mertua Masa Gini?   Perang dingin

    💐"Aku nggak peduli ya, warga semua akhirnya gosipin keluargaku karena Raja sekarang tinggal di rumah. Cucuku harus di selamatkan dari Ibunya yang sak wudele dewe." Sambil menyuguhkan minuman, Gendis ngedumel ke ketiga temannya yang berkunjung."Jujur, Ndis, kamu jadi mertua emang saklek. Kalau udah A ya, A. Punya standarisasi sendiri demi semua berjalan seusai arahan." Yuni duduk memangku bantal sofa.Hari itu mereka bisa bertemu karena waktu lowong bersamaan sekaligus Gendis mau membahas seragam untuk nikahan Raffa."Aku begini karena faktanya emang ngeselin, Yun.""Terus sekarang, Yasmin gimana? Udah seminggu Raja di sini, kan?" Soraya membuka toples berisi kue kacang."Bener, kan. Nggak ada tanya-tanya tentang Raja. Dia katanya sibuk ngelamar kerja. Itu juga Daffa yang kasih tau aku kemarin." Gendis sebenarnya tak mau rumah tangga anaknya sampai ribet begini, tapi Yasmin memang kebangetan.Sedangkan di rumah Daffa. Pria itu merapikan laptop yang tertinggal di kamar. Ia terpaksa p

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Mertua Masa Gini?   Geger satu RT

    💐Rumah Gendis mendadak ramai dengan kumpulnya semua anggota keluarga. Baik dari pihak Daffa maupun Yasmin.Ya, akhirnya Gendis tak sabar mau menyidang semua yang terlibat.Selang dua bulan setelah pernikahan Raffa hal itu terjadi. Kenapa menunggu selama itu? Karena Gendis mau lihat sejauh mana usaha anak dan menantunya memperjuangkan keutuhan rumah tangga."Sekarang begini aja. Saya sebagai mertuanya Yasmin juga minta maaf kalau dibilang terlalu ikut campur urusan rumah tangga mereka, tapi ... seandainya ... seandainya posisi Daffa jadi anak Ibu dan diperlakukan begini. Apa Ibu terima?!" tekan Gendis."Bu Gendis, kita sebaiknya nggak perlu terlalu dalam mencampuri. Kapan anak-anak bisa paham apa itu rumah tangga kalau apa-apa didikte orang tua!" Ibunya Yasmin coba mengutarakan pendapat."Oh, nggak bisa," ujar Gendis dengan telunjuk menggarah ke besannya."Daffa sudah sibuk kerja, ya. Capek dijalan juga karena berangkat pun naik motor. Daffa belum punya mobil. Bisa aja sih, saya dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13

Bab terbaru

  • Mertua Masa Gini?   Stalking Henggar

    💐Mobil sedan melaju pelan setelah mendekati satu bangunan ruko di kawasan perumahan kalangan menengah ke atas. Keempat wanita paruh baya saling melempar pandangan ke arah bangunan berlantai dua dengan desain modern minimalis mediterania. "Ini kantornya, Ndis?" celetuk Yunni. "Iya kayaknya," sahut Gendis seraya melongok ke arah luar dari balik kaca mobil. Tangannya masih memegang kemudi, tubuhnya condong ke depan juga. "Terus, kita ngapain? Ndis, kalau suami dan anakku tau, bisa diomelin aku? Pergi lama-lama," keluh Soraya. Gendis menoleh ke belakang. "Nanti aku yang ngomong sama suami dan anak-anakmu," sewotnya. Lain dengan Endah yang oke oke aja, apalagi jika izin perginya dengan Gendis, pasti semua aman terkendali. "Tujuan kamu apa sih, Ndis. Kalau emang Henggar tulus dan sayang sama Kirana, kenapa kamu nggak restuin?" Soraya mau memperjelas tujuan mereka memata-matai Henggar. Gendis menyandarkan tubuh pada jok mobil yang diduduki, jemarinya mengetuk kemudi seraya berpikir

  • Mertua Masa Gini?   Nggak boleh protes!

    💐Aisyah menyiapkan bekal untuk Raja, walau masih dua tahunan usianya lalu bersekolah, Daffa tetap meminta Raja bawa bekal sendiri. Kotak makan dimasukan ke dalam tas kecil berbentuk pesawat. Raja baru bangun tidur digendong Daffa yang hendak berangkat kerja. "Jumat besok ada kegiatan berkunjung ke sea world, aku cuti jadi bisa temani Daffa. Kamu di sini aja." Raja dipangku duduk di kursi meja makan. Aisyah mengangguk patuh, ia berdiri di dekat bak cuci piring. "Sarapan Raja mana?" Daffa melempar pandangan tajam. Aisyah lupa. Ia menepuk keningnya, lalu mengeluarkan bubur ayam buatannya dari microwave. Raja suka karena rasanya gurih kaldu sapi. Aisyah memasak sejak pukul tiga. "Ini, Mas." Aisyah meletakkan mangkuk bentuk anak singa warna orange. Raja pindah duduk di kursi kusus bayi, Daffa menyuapi Raja sambil menikmati sarapannya yang ia beli sendiri setiap malam. Aisyah bagaimana? Tetap berdiri memperhatikan, belum makan. Hanya minum teh. "Kamu bisa siapin baju Raja untuk hari

  • Mertua Masa Gini?   Masa depan anak perempuan

    💐Meja makan diisi Gendis, Agung dan dua anak gadisnya. Makan malam syahdu karena saling bercerita hal-hal ringan yang terjadi hari itu. Ikan bakar masakan Gendis selalu menjadi kesukaan Agung. Makan tak pilih-pilih, apa yang Gendis sajikan dilibas habis masuk ke perut. "Bu, pendapatan Ibu dari usaha macem-macem, udah berapa omset rata-rata sebulan?" tutur Kirana, ia nambah sambal matah yang super seger karena asam pedas. "Mau tau? Kenapa? Incer warisan?" judes Gendis. Kirana hanya menyipitkan kedua matanya ke arah sang ibu. "Nuduh melulu. Kiran punya gaji sendiri, Bu.""Oh, kirain. Ibu mau sumbangin warisan Ibu soalnya, kalian cari duit sendiri, ya," canda Gendis. Nanda dan Kirana hanya menggeleng pelan sambil terkekeh. "Emang kenapa, Kirana?" Gendis menjeda menikmati makan malamnya. Kirana menatap lekat kedua mata ibunya. "Bu, jangan kecapean. Masih ada Kirana dan Nanda yang belum nikah. Kami anak cewek, butuh Ibu untuk ajarin banyak hal. Ya soal anak, rumah tangga." Gendis

  • Mertua Masa Gini?   Apa kata mas daffa aja

    💐"Alasan apapun, terserah kamu bilang ke Ibu apa kita pisah kamar." Daffa melepaskan setelan jas yang dikenakan untuk acara pernikahan. "Oke." Dengan santai Aisyah menjawab sambil duduk di sofa ruang tengah apartemen yang menyambung ke dapur juga meja makan kecil. Namanya diapartemen, apalagi Agung dan Gendis menyewakan yang tipe kecil. Niat hati supaya anak dan menantunya bisa mulai berkomunikasi lancar lalu muncul benih cinta, rupanya tak mudah. Ya ... yang penting sudah usaha. "Kamar kamu itu, karena saya sama Raja jadi yang agak besar," tunjuknya ke kamar yang lebih kecil. "Oke," tukas Aisyah simple. "Udah? Aku mau ganti baju dan mandi. Raja datang sama susternya sebentar lagi, kan?" "Raja datang tiga hari lagi, karena orang tua kita berpikir kita lagi bulan madu." Daffa masuk ke dalam kamar utama. Aisyah menjawab dengan satu kata 'oh.' Lalu masuk ke kamarnya. Detik jam terasa lama. Tak ada kegiatan pengantin baru yang dilakukan mereka. Daffa tidur lepas sholat Isya, sedan

  • Mertua Masa Gini?   Batal Minggat

    💐Laras menolak lamaran yang meminta Aisyah menjadi istri Daffa. Alasannya, Laras merasa tak pantas berbesan dengan Gendis, apalagi latar belakang kegagalan rumah tangga yang didera wanita itu pasti akan menjadi masalah suatu saat nanti. Laras lupa, yang ada dihadapannya adalah Gendis, wanita keras kepala yang punya insting tepat layaknya peramal tanpa pernah meleset. "Yang bikin kamu malu apa sebenernya? Kalau masalah tetangga omongin kamu, diemin aja, Ras." Gendis merapatkan duduknya ke arah Laras. "Namanya tinggal bertetangga, mau di gang sempit, komplet elit, komplek kayak kita, pasti akan ada gossip, Ras. Aku yakin Aisyah bisa jadi istri yang memang Daffa mau untuk seumur hidupnya. Anak itu aja masih gendeng, butuh obat dan itu ... Aisyah." Laras menggeleng tak yakin, "Ndis, Agung ... jangan jadikan anakku tersiksa menikah dengan Daffa. Mungkin Daffa butuh waktu untuk obati hatinya, tapi bukan dengan Aisyah." Laras tetap berusaha menolak. "Nggak, Ras. Aisyah paling pas. Aku n

  • Mertua Masa Gini?   Jalan keluar kehabisan beras

    💐"Cari istri kayak Ibumu, Bang," ucap Agung mencoba membuka pikiran anaknya. Sejak keputusan dibuat Gendis, Daffa langsung murung. "Nggak bisa, Yah. Jalan hidup kan beda-beda," kilah Daffa. "Siapa bilang?" jeda Agung terkekeh. "Ada doa. Kamu lupa?" sindirnya. Kursi teras menjadi saksi obrolan ayah dan anak itu hampir larut malam. Daffa masih tak bisa menerima keputusan Gendis, tapi tetap harus dijalankan. Esok hari. Gendis membahas rencana melamar Aisyah bersama Yuni, Endah dan Soraya. Semua mendukung, tinggal bicara ke Laras saja yang harus tepat waktu. Namun, setelah sepekan, Laras mendadak tak ada di rumah. Bahkan saat Gendis menemani Adinda operasi, masih menyempatkan diri ke rumah Laras, semua terkunci. Hanya lampu teras menyala. "Kemana si Laras? Aisyah juga nggak kerja dua hari ini?" gumamnya lantas mengarahkan kemudi ke arah rumah. "Kucing beranak!" lontarnya kaget karena sekuriti RT mendadak muncul sambil menghentikan laju mobilnya. "Bu Gendis, cari Bu Laras?" kata se

  • Mertua Masa Gini?   Efek samping gotong royong

    💐Sabtu pagi pekan itu, menjadi hari dilaksanakan kegiatan membersihkan lingkungan, menghias juga 'bedah rumah' kecil-kecilan untuk Laras. Wanita itu mendapatkan jadwal operasi dua minggu lagi, jadi masih bisa beraktifitas normal. Dari dalam rumah, ia membawa nampan berisi bakwan goreng buatannya, padahal Gendis sudah melarang. Ada kas RT yang digunakan untuk konsumsi anak muda yang merapikan rumah. Tak enak hati, Laras tetap membuatkan suguhan sederhana. Aisyah sendiri bekerja, pagi-pagi sekali sudah ke toko karena ada yang booking untuk acara sekolah. Ia harus menata tempat di lantai dua. "Bang Daffa, kamu bisa kayaknya ganti plafon. Udah lihat ke lantai atas rumah Tante Laras?" bisik Gendis saat Daffa baru datang dari rumah. "Belum detail, Bu. Yang lain aja, lah. Abang bersihin halaman aja," tolaknya. "Ih! Gitu amat. Badanmu tinggi gagah, kuat, nggak perlu naik tangga sampai ujung buat ganti plafon," gerutu Gendis. Daffa tetap tak mau, ia memilih membersihkan halaman rumah Ge

  • Mertua Masa Gini?   Permintaan perangkat RT

    💐Aisyah menyiapkan makan malam untuk ibunya. Ia sendiri beralasan masih kenyang, jadi membiarkan ibunya makan yang banyak. "Syah, operasinya nanti berhasil nggak, ya?" tukas Laras pelan. "Berhasil. Yang penting Ibu jangan banyak pikiran. Bu ... tadi Isyah pulang diantar Kak Kirana, dia cerita katanya Mas Daffa cerai, padahal udah punya anak." Aisyah bertopang dagu. "Ya terus? Kamu kasihan?" Laras tersenyum tipis. "Nggak, sih. Cuma aneh aja. Ngapain nikah kalau akhirnya ce--" Aisyah diam. Ia tatap Laras yang ternyata menatapnya lekat. "Maaf, Bu, nggak maksud nyindir." Laras lanjut makan diiringi senyuman. "Cerai itu pilihan, Syah. Tergantung seberat apa masalahnya. Kalau orang tuamu ini, udah jelas apa masalahnya dan berat. Kalau Daffa, bisa aja sama-sama berat tapi buat dia, buat kita belum tentu. Jangan menilai perceraian selalu karena hal berat atau sepele ya, Syah. Semua kembali ke permasalahannya." Aisyah mengangguk. Hujan deras kembali turun. Aisyah meletakkan baskom dan

  • Mertua Masa Gini?   Urusan rumah sakit

    💐"Bu," sapa Raffa setelah sampai. Ia menyalim punggung tangan Gendis lalu menghampiri Adinda yang masih sedikit pucat. "Kamu nggak apa-apa?" bisiknya. Adinda mengangguk. "Raf, kenapa nggak bilang Dinda mau operasi kista?!" Langsung semprot. Raffa berbalik badan perlahan mengarah pada Gendis. Raut wajahnya langsung berubah sendu. "Bukan gitu, Bu, Raffa cuma nggak mau Ibu pusing. Mikirin masalah Bang Daffa aja udah bikin Ibu naik tensi." "Sembarangan," protes Gendis seraya berkacak pinggang, ia juga memakai celemek karena sedang masak. "Urusan Bang Daffa udah Ibu serahin ke sang khalik! Terserah itu anak mau galau atau apalah. Yang penting cerai!" Gendis diam, menunggu sanggahan Raffa. "Yaudah, maaf, Bu. Ibu masak apa? Wangi amat?" Raffa mengeluarkan kemeja kerja dari dalam celana. Ia mendekat ke Gendis. "Sop ayam kampung. Kaldunya bagus buat kondisi Dinda, sama Ibu bikin tumis selada air pakai teri, biar sedep makannya. Ayahmu nanti ke sini juga." Gendis mengaduk sop ayam lagi.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status