π
6 bulan setelah Daffa menikah, putra sulungnya itu jarang ke rumah Gendis. Hanya dua kali dan itu membuat Gendis mulai gemas.
"Yah, aku mau ke rumah Daffa," pamitnya saat Agung hendak berangkat kerja.
"Mau ngapain?" Agung sudah berjalan ke teras rumah diikuti Gendis yang tampak rapi.
"Pingin aja." Jawaban Gendis tak bisa meruntuhkan kecurigaan Agung. Kedua mata menyipit ke arah sang istri. "Iya, iya ... mau cek aja apa mereka baik-baik aja. Kandungan Yasmin juga udah delapan bulan, kan? Dari acara nujuh bulanan kemarin, nggak ada kabar. Mana kita nggak diundang," geram Gendis.
"Yaudah, lah, Bu ... mungkin Yasmin mau sama keluarganya." Agung membuka pintu mobil.
"Ya nggak bisa, lah. Itu kan juga cucuku!" protes Gendis tersinggung.
"Terus kamu ke sana naik apa?" Agung sudah bersiap menghidupkan mesin mobil.
"Taksi aja, biar cepet. Dari sana mampir ke toko, mau meeting launching menu baru." Gendis menyalim punggung tangan Agung, dibalas Agung mencium kening istrinya.
"Hati-hati, Yah!" Lambaian juga senyuman Gendis membuat Agung semangat bekerja.
Mbak Inong diminta Gendis jaga rumah sampai malam baru pulang, sekaligus menemani Nanda yang sibuk try out persiapan ujian akhir sekolah hingga Agung atau Gendis pulang.
Taksi dipesan Gendis, meluncur cepat ke rumah Daffa. Sampai di depan rumah, Gendis melihat Daffa sedang menyapu garasi, ada selang tergeletak di atas rumput pekarangan rumah, lalu daun gugur juga tidak di bersihkan.
"Bang, nggak kerja?"
Daffa terkejut. Ia letakkan sapu ijuk, dengan cepat membuka pagar rumah. Gendis membawa tas besar berisi belanjaan bahan makanan.
"Cuti, Bu. Ibu ke sini kok nggak kasih kabar?" Wajah Daffa tampak panik.
"Emang harus?" sinis Gendis sambil berlalu. Daffa berjalan cepat, ia memanggil Yasmin untuk memberi tau ibu mertuanya datang.
Gendis menahan napas saat masuk dari pintu ruang tamu. Berantakan!
Bantal sofa tak pada tempatnya. Ada sisa plastik camilan, lantai terasa kotor. Gendis semakin masuk ke dalam rumah. Banyak baju belum disetrika teronggok di sofa ruang TV.
Yasmin keluar dari kamar. Ia terkejut dengan kehadiran mertuanya. Gendis berjalan mendekat, ia cium tangan mertuanya yang justru memindai seisi rumah.
"Lagi ngapain?" tanya Gendis lembut. Ia letakkan tas slempang bawaannya di atas meja.
"Lagi ngedrakor, Bu," jawab Yasmin pelan.
"Daffa kok nggak kerja. Cuti apa?" Gendis lanjut ke pertanyaan kedua.
"Daffa ... itu ...." Yasmin menoleh ke suaminya.
"Yasmin butuh bantuan di rumah, Bu, jadi Abang cuti. Kasihan perutnya makin besar, kan? Ibu bawa apa?" Daffa mengalihkan fokus Gendis, ia juga membawa tas berisi bahan makanan ke dapur.
"Bawa bahan makanan," jawab Gendis santai. Dapur juga berantakan, rasanya Gendis risih,ia mau tegur Yasmin pasti dibilang drama oleh Daffa.
"Yasmin masak apa hari ini?" Gendis mengeluarkan bahan makanan, ia duduk melantai.
"Yasmin, beli, Bu."
Gerakan tangan Gendis terhenti sejenak, lalu lanjut mengeluarkan apa yang ia beli.
"Oh, beli apa?" Gendis meraih baskom dari rak piring di dekatnya, meletakkan daging juga ayam segar yang ia beli subuh tadi.
"Beli nasi kuning."
Nasi kuning? Daffa kan tidak suka.
"Bang Daffa juga makan nasi kuning?" Gendis mendongak menatap putranya.
"Abang, bikin mie goreng tadi, Bu."
Gendis dongkol! Rasanya baskom mau dibanting. Tenang ... Gendis tenang.
"Bu, Yasmin mandi dulu, ya, siang ini mau ke toko perlengkapan bayi, masih ada yang belum dibeli." Yasmin masuk ke dalam kamar lagi. Daffa tak enak hati, apalagi saat Gendis berdiri, lalu berkacak pinggang.
"Mie instan?" tekannya dengan suara pelan.
"Yaudah, lah, Bu ... jangan mulai, lah," keluh Daffa.
"Oke." Gendis berjalan melewati Daffa. Ia kepintu samping kulkas, meraih sapu juga pengki. "Kamu masuk ke kamar juga. Jangan keluar sampai Ibu selesai beberes! Rumah kayak kapal pecah. Yasmin ngapain aja, sih?!" cibir Gendis. Daffa tak bisa menjawab, dari raut wajahnya sudah menyiratkan banyak hal yang tak bisa disampaikan.
Tak hanya beberes rumah, Gendis bahkan merapikan isi kulkas, beberes dapur juga memasak saat Daffa dan Yasmin pergi.
Ia sedih, kepalanya tertunduk saat menunggu ikan masak kuah asam pedas matang. "Anakku makan mie buat sarapan?" lirihnya sendu. "Daffa juga kurusan, Ya Allah," desahnya.
Jam satu siang rumah sudah rapi, bersih, wangi, makanan juga tersaji di meja makan.
Gendis memeriksa kamar utama, masa bodo dibilang tak sopan. Saking penasarannya ia harus sidak.
Kamar tak kalah berantakannya, baju-baju bayi masih belum dicuci. Terbungkus rapi di plastik dan dus.
Meja rias berantakan, ada bekas kapas juga tisu bekas membersihkan wajah. Baju kotor penuh di keranjang depan kamar mandi.
Gendis semakin emosi, ia seret keranjang, lalu memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci. Sambil menunggu, ia rapikan kamar. AC dimatikan, tirai juga jendela dibuka supaya udara luar masuk. Meja rias di lap. Lemari pakaian juga ia lipat ulang pakaian anak mantunya.
Endah menelpon, Gendis langsung keluar kamar.
"Halo, Ndah," jawab Gendis buru-buru.
"Kamu di mana?"
"Di rumah Daffa, ada apa, Ndah?" Gendis duduk di kursi meja makan.
"Kamu dicariin tim dari toko, kebetulan aku mampir mau ambil pesenan roti."
Gendis lupa, seharuanya ia rapat membahas menu baru. Tidak akan bisa dan sempat ke sana. Selain jaraknya jauh, laptop juga di rumah.
"Kamu ngapain di rumah Daffa?!" seru Endah heran.
"Hahhh ..., aku sidak dan ya ... tau kalau menantuku nggak urus rumah, apalagi Daffa." Gendis langsung berkeluh kesah.
"Ya ampun, Ndis ... udah dong jangan kamu suka campuri urusan anak-anakmu, apalagi Daffa sudah menikah. Udah, lah, Ndis... nanti kalau istrinya tersinggung apa nggak ribut?" kritik Endah.
"Ini bukan ikut campur, Ndah. Wajar aku nengokin mereka. Yasmin juga mau melahirkan bulan depan, aku mau lihat sejauh mana persiapannya. Nyatanya belum."
Gendis memijat pelipisnya, rasanya jadi stres sendiri.
"Ndis, kita semua paham kamu emang nggak sreg sama Yasmin, apalagi hamil duluan sampai-sampai kamu umpetin tinggal di daerah yang jauh dari kita. Cuma, ini saranku, ya ... jangan berlebihan. Sewajarnya aja."
Gendis tertawa sinis, "enak aja sewajarnya. Kamu harusnya lihat gimana di rumah ini semua nggak wajar. Berantakan. Acak-acakkan. Bahkan anakku sarapan mie instan, Ndah. Apa nggak mumet kepalaku?! Nggak ada sejarahnya anak-anakku sarapan mie. Ini kok istrinya malah mentingin perut sendiri. Di meja makan nggak ada sarapan apa-apa, cangkir bekas kopi, teh, susu, geletak di bak bukannya langsung dicuci. Aku risih, Ndah."
Gendis kaget karena Daffa dan Yasmin berdiri di dekat ruang tamu, menatap ke arahnya mendengarkan semua keluh kesahnya ke Endah.
"Halo, Ndis," panggil Endah.
"Nanti aku telepon ya, Ndah." Gendis berdiri, ia letakkan ponsel di meja makan lalu bersedekap.
"Udah belanjanya?" tegur Gendis.
"Ibu ceritain kondisi rumah ini ke Tante Endah?" ujar Daffa pelan.
"Iya."
Daffa berdecak, "jangan dong, Bu ... sama aja buka aib keluarga Abang," keluhnya sebal.
"Lho, menurut kamu ini aib? Kalau aib harusnya gimana? Dibiarin aja gitu?" tekan Gendis. "Yasmin, kamu hamil, kan? Harusnya mulai rajin beres-beres biar bayimu nggak akan males juga. Bukannya rebahan terus!"
Yasmin menoleh ke Daffa dengan tatapan tak terima.
"Nggak terima Ibu tegur?" tegur Gendis. "Baju bayi belum dicuci, perlak, bedongan, gurita, masih di plastik sama dus besar. Kamu di rumah ngapain aja, Min? Ya ampun," tegur Gendis emosi. Ia tak tedeng aling-aling alias tak basa basi pandang bulu jika menegur kesalahan orang lain.
"Ibu ke dalam kamar?" Kali ini Yasmin bertanya dengan maksud menegur.
"Iya. Ibu penasaran dan lihat kayak kapal pecah! Hamil bukan kendala kamu males, Min. Kehamilanmu sehat, kan? Banyak gerak justru baik. Sampah bekas order makanan di kolong ranjang. Semalas itu kamu beresin, hah?" Gendis menggelengkan kepala saking tak habis pikir dengan menantunya. "Jorok." Kata penutup yang keluar dari bibir Gendis sontak membuat Yasmin meneteskan air mata.
Daffa menegur Gendis, memintanya tidak ikut campur urusan di rumah itu.
Gendis berjalan mendekat ke putranya. "Oh, Bang Daffa udah berani tegur Ibu. Oke, Bang. Ibu begini karena Ibu benar. Kamu cuti kerja karena mau beberes rumah, kan? Ibu tau kamu nggak betah sama yang berantakan, tapi Ibu datang duluan dan lihat semuanya."
Yasmin memalingkan wajah, masih sesenggukan.
"Apa Ibu selama ini minta sesuatu ke kalian? Nggak, kan? Apa susahnya kalian beresin rumah? Terutama kamu Yasmin. Kalau nggak kuat beberes bilang Ibu. Mbak Inong Ibu bawa ke sini buat beresin rumah dua hari sekali nggak apa-apa."
Yasmin sesenggukkan. Ia pegang perutnya.
"Nanti kalau sudah melahirkan, apa nggak semakin kacau rumah ini. Ibu nggak mau cucu Ibu ikutan jorok. Panggil orang tuamu sekalian kalau perlu buat temani kamu nanti kalau kamu nggak senang Ibu bantuin di sini!" tegas Gendis.
Kedua mata Gendis melihat Daffa menatap ponselnya, ia berjalan ke teras rumah untuk menjawab panggilan telepon. Diam-diam Gendis mengikuti ke depan, berdiri di balik jendela ruang tamu.
"Iya, Mas, nanti saya bayar tagihan bulan ini besok pagi."
Tagihan? batin Gendis.
"Lima juta, kan? Nanti saya bayar,ya. Terima kasih infonya." Daffa menyudahi obrolan, ia duduk di kursi, jemarinya mengetik kode masuk ke mbanking, Gendis mengintip dari jendela di dalam.
Kedua mata Gendis terbelalak saat melihat sisa saldo Daffa tinggal tiga ratus ribu rupiah.
Daffa terlihat bersandar lemas sambil mengusap kasar wajahnya.
"Ibu, apa bisa Ibu pulang?" ucap Yasmin dengan wajah sembab. Daffa beranjak, ia kembali masuk.
"Yasmin, kenapa Ibu kamu suruh pulang?!" Daffa terlihat tak terima.
"Aku pikir, Ibu sudah kelewat batas sampai masuk ke kamar kita. Ini rumah tangga kita, kita yang atur, suka-suka kita, kan?!" tekan Yasmin.
"Suka-suka kamu? Saking suka-sukanya sampai saldo di rekening Daffa tinggal tiga ratus ribu?! Gaya hidup kalian seperti apa sih semenjak nikah? Apa biaya lahiran udah ada? Dicover asuransi, nggak?!" Gendis marah-marah. Yasmin dan Daffa saling menatap.
"Setiap hari makan beli terus? Apa ngemal?" cecar Gendis. "Bang Daffa! Ini pilihan kamu, kan? Bukannya seneng Ibu tegur karena Ibu peduli, malah disuruh pulang. Oke, Ibu pulang. Jangan harap Ibu ke sini lagi." Gendis berjalan sengan wajah dingin. Ia sambar tas, lalu memesan taksi melalui aplikasi.
"Oh, Bang Daffa. Bayar utang kamu itu. Jangan minta ke Ibu atau Ayah. Assalamualaikum!" judes Gendis sambil berjalan keluar pagar rumah.
"Ibu, tunggu!" panggil Daffa. "Bu, jangan marah."
"Ibu nggak marah, Bang. Cuma menyayangkan sikap istrimu itu. Lima bulan lagi Raffa nikah. Adinda minta acaranya di rumah aja, undang teman dan saudara dekat. Ibu mau fokus ke mereka karena kamu udah bisa mandiri, kan?!" Gendis tersenyum sinis. Taksi datang, dengan cepat ia buka pintu lalu masuk ke sana.
"Bu," lirih Daffa saat taksi mulai menjauh meninggalkan rumahnya.
bersambung,
π"Ibu kamu kenapa sampai begini ke aku, Daf? Apa hidup kita selalu diawasi Ibu?" Keluh kesah dilontarkan Yasmin. Keduanya berdiri berhadapan."Niat Ibu baik, Yasmin. Cuma memang Ibu orangnya begitu, kamu juga nggak mau coba dekati Ibu, kan? Padahal semua ini Ibu yang siapin."Yasmin tertawa miris, "jadi karena Ibu udah fasilitasi semua, sampai urusan di dalam kamar diatur juga?! Ya nggak gitu, Daf. Aku nggak mau, ya, Ibu ke sini lagi. Terserah kamu mau marah apa nggak. Aku lama-lama kesel sama Ibu!" Nada bicara Yasmin meninggi. Ia masuk ke dalam kamar, meninggalkan Daffa dalam kebingungan.Kenapa Yasmin begini setelah nikah? Apa karena hormon ibu hamil? batin Daffa seraya menundukkan kepala.Perkara besok harus bayar cicilan kartu kredit saja ia masih tak tau bayar dari uang apa. Ditambah Yasmin merajuk seperti itu.Daffa berjalan ke arah meja makan, di atas meja sudah ada masakan ibunya. Walau hanya gulai daging sapi dan tumis sayur selada air.Senyum Daffa merekah, ia ambil piring
πBulan yang ditunggu tiba, Daffa menghubungi Gendis jika Yasmin akan melahirkan. Mereka sudah di rumah sakit sejak siang hari."Bu, ayo ke sana," ajak Agung yang tampak tak sabaran."Iya, tunggu dong, Yah, masih rapihin rambut. Bagusan di jepit tengah apa di cepol terus kasih jepitan?" Gendis bersolek di depan cermin meja rias."Apa aja Ibu selalu cantik," puji Agung."Halah gombal." Gendis menahan senyum. Ia cepol rambutnya, lantas menyematkan jepitan rambut bentuk bunga. "Oke siap. Dressku bagus juga kan, Yah, nggak norak warnanya?""Nggak, ayo buruan. Kasihan Daffa pasti nungguin kita.""Nungguin buat apa? Minta dibayarin biaya lahirannya? Mbel gedes, maaf ya, nggak, deh." Gendis lalu menenteng tas tangan yang berisi macam-macam, dari tisu kering, tisu basah, minyak angin, lengkap pokoknya.Agung mendengkus, Gendis benar-benar akan memberi pelajaran sendiri untuk anaknya.Nanda dijemput di tempat les, masih memakai seragam sekolah, remaja itu masuk ke dalam mobil. Ia menyapa kedu
πGendis tak peduli jika ia dibenci Yasmin, bodo amat. Apalagi ia yang biayai persalinan sampai pulang ke rumah, bahkan aqiqah pun, Gendis yang biayai atas dasar sedekah ke cucu.Seharusnya jadi urusan Daffa, tetapi karena uang Daffa tak cukup, jadilah Gendis dan Agung lagi yang biayai.Kedua orang tua Yasmin ya petantang petenteng saja, seolah ikut terlibat. Bahkan saat acara aqiqah satu pekan setelah Yasmin melahirnya, keluarga ibunya Yasmin banyak diundang hadir.Gendis yang peka, dengan santai memesan semua urusan aqiqah di tempat kenalannya juga. Jadi tak ada keluarga yang rewel minta jatah bungkus makanan.Yuni, Endah, Soraya turun tangan membantu Gendis mengatur acara.Kirana asik duduk sambil menggendong keponakannya saat acara aqiqah selesai. Di sampingnya sang kekasih hati memperhatikan sambil tersenyum."Buruan resmiin," celoteh Daffa, ia duduk di dekat Kirana."Bang Raffa dulu, lah. Masa gue lompatin Kakak sendiri." Kirana mengusap pelan pipi bayi tampan itu."Nggak papa
πWarung makan khas sunda ramai sekali saat akhir pekan. Gendis berada di sana sejak pagi bahkan saat belum buka. Ia sibuk di dapur membantu anak buahnya menyiapkan banyak hal."Tik! Meja sepuluh tanyain, pesanannya udah semua belum?" perintah Gendis."Baik, Bu!" sahut semangat Tika. Gendis menuju meja prasmanan berisi wadah-wadah delapan jenis sambal yang digratiskan."Jo, Jojo," panggilnya sambil melambaikan tangan. Jojo mendekat. "Sambal mangganya tinggal setengah, ambil di dapur, isi ya. Jangan sampai begini," bisiknya."Iya, Bu Gendis," tukas Jojo seraya berlari. Warung itu bersuansa putih dan hijau muda. Kapasitas bisa menambung seratus orang lebih, dengan konsep kekeluargaan, menu yang disediakan Gendis bahkan ada yang khusus untuk anak-anak dengan paket menarik juga porsi yang pas, jadi tidak terbuang makanannya.Prinsip jualanannya begitu, jika tidak habis makanan yang dipesan, kena denda tiga puluh persen. Tidak takut pengunjung lari? Oh, tidak. Justru ia mau mengajarkan pe
π"Kamu kenapa bohong sama Yasmin, Bang. Ke Bali kok bilangnya ke Surabaya. Pantesan dia minta pesenin tiket kereta." Gendis mengantar Daffa sampai ke terminal bis bandara."Kesel, Bu. Bu, nggak apa-apa Ibu urus bayi?" Daffa menoleh ke baby car seat di jok belakang, anaknya tidur pulas."Emang kamu pikir, empat anak Ibu siapa yang urus?! Sembarangan. Kamu kerja aja, fokus. Istrimu biar di rumah sendirian. Biar mikir. Itu juga kalau punya pikiran. Hati-hati, ya, Bang," pesan Gendis. Daffa menyalim lalu mencium pipi ibunya. Daffa juga mencium putranya sejenak sebelum mengambil koper di bagasi."Hati-hati, Nak!" teriak Gendis lalu melambaikan tangan. Ia tancap gas pulang ke rumah, sebelumnya sudah menelpon Nanda untuk belikan pampers juga sabun bayi."Ibumu gendeng, urus kamu nggak becus. Maaf ya, Nini harus ngomong gini," gumam Gendis tak kuasa menahan rasa kesal. Ia mengemudi dengan hati-hati karena membawa cucunya.Di rumah, semua menyambut senang apalagi Raffa dan calon istrinya. Ca
π"Aku nggak peduli ya, warga semua akhirnya gosipin keluargaku karena Raja sekarang tinggal di rumah. Cucuku harus di selamatkan dari Ibunya yang sak wudele dewe." Sambil menyuguhkan minuman, Gendis ngedumel ke ketiga temannya yang berkunjung."Jujur, Ndis, kamu jadi mertua emang saklek. Kalau udah A ya, A. Punya standarisasi sendiri demi semua berjalan seusai arahan." Yuni duduk memangku bantal sofa.Hari itu mereka bisa bertemu karena waktu lowong bersamaan sekaligus Gendis mau membahas seragam untuk nikahan Raffa."Aku begini karena faktanya emang ngeselin, Yun.""Terus sekarang, Yasmin gimana? Udah seminggu Raja di sini, kan?" Soraya membuka toples berisi kue kacang."Bener, kan. Nggak ada tanya-tanya tentang Raja. Dia katanya sibuk ngelamar kerja. Itu juga Daffa yang kasih tau aku kemarin." Gendis sebenarnya tak mau rumah tangga anaknya sampai ribet begini, tapi Yasmin memang kebangetan.Sedangkan di rumah Daffa. Pria itu merapikan laptop yang tertinggal di kamar. Ia terpaksa p
πRumah Gendis mendadak ramai dengan kumpulnya semua anggota keluarga. Baik dari pihak Daffa maupun Yasmin.Ya, akhirnya Gendis tak sabar mau menyidang semua yang terlibat.Selang dua bulan setelah pernikahan Raffa hal itu terjadi. Kenapa menunggu selama itu? Karena Gendis mau lihat sejauh mana usaha anak dan menantunya memperjuangkan keutuhan rumah tangga."Sekarang begini aja. Saya sebagai mertuanya Yasmin juga minta maaf kalau dibilang terlalu ikut campur urusan rumah tangga mereka, tapi ... seandainya ... seandainya posisi Daffa jadi anak Ibu dan diperlakukan begini. Apa Ibu terima?!" tekan Gendis."Bu Gendis, kita sebaiknya nggak perlu terlalu dalam mencampuri. Kapan anak-anak bisa paham apa itu rumah tangga kalau apa-apa didikte orang tua!" Ibunya Yasmin coba mengutarakan pendapat."Oh, nggak bisa," ujar Gendis dengan telunjuk menggarah ke besannya."Daffa sudah sibuk kerja, ya. Capek dijalan juga karena berangkat pun naik motor. Daffa belum punya mobil. Bisa aja sih, saya dan
πGendis berjalan mondar mandir di depan ketiga temannya. Mereka berkumpul di toko roti milik Gendis."Jelek namaku di komplek jadinya," gumam Gendis seraya berpikir bagaimana memperbaiki nama keluarganya."Udah, lah. Kaya setiap rumah nggak ada boroknya. Tenang, lah, Ndis," sahut Soraya.Yuni miris, tapi memang sepandai bangkai terkubur pasti tercium juga baunya."Ndis, yang penting Daffa udah proses cerai. Raja diambil alih hak asuhnya dan Yasmin, kapok karena nggak dapat apapun dari Daffa. Itu aja udah paling penting." Yuni memberikan penilaian karena ia juga yang menemani Gendis ke pengadilan bersama pengacara."Ini udah sidang ke dua, tapi Yasmin masih mau minta harta gono gini. Harta apaan? Dari awal nikah aku yang sokong!" Emosi Gendis terpantik. Ia berkacak pinggang. Tiga temannya memperhatikan sambil duduk, malas menangkan nenek-nenek sumbu pendek."Permisi, Bu Gendis," sela salah satu karyawan."Ya, ada apa, Wan?" Gendis menoleh ke Wawan."Bu, calon karyawan baru sudah data
πMobil sedan melaju pelan setelah mendekati satu bangunan ruko di kawasan perumahan kalangan menengah ke atas. Keempat wanita paruh baya saling melempar pandangan ke arah bangunan berlantai dua dengan desain modern minimalis mediterania. "Ini kantornya, Ndis?" celetuk Yunni. "Iya kayaknya," sahut Gendis seraya melongok ke arah luar dari balik kaca mobil. Tangannya masih memegang kemudi, tubuhnya condong ke depan juga. "Terus, kita ngapain? Ndis, kalau suami dan anakku tau, bisa diomelin aku? Pergi lama-lama," keluh Soraya. Gendis menoleh ke belakang. "Nanti aku yang ngomong sama suami dan anak-anakmu," sewotnya. Lain dengan Endah yang oke oke aja, apalagi jika izin perginya dengan Gendis, pasti semua aman terkendali. "Tujuan kamu apa sih, Ndis. Kalau emang Henggar tulus dan sayang sama Kirana, kenapa kamu nggak restuin?" Soraya mau memperjelas tujuan mereka memata-matai Henggar. Gendis menyandarkan tubuh pada jok mobil yang diduduki, jemarinya mengetuk kemudi seraya berpikir
πAisyah menyiapkan bekal untuk Raja, walau masih dua tahunan usianya lalu bersekolah, Daffa tetap meminta Raja bawa bekal sendiri. Kotak makan dimasukan ke dalam tas kecil berbentuk pesawat. Raja baru bangun tidur digendong Daffa yang hendak berangkat kerja. "Jumat besok ada kegiatan berkunjung ke sea world, aku cuti jadi bisa temani Daffa. Kamu di sini aja." Raja dipangku duduk di kursi meja makan. Aisyah mengangguk patuh, ia berdiri di dekat bak cuci piring. "Sarapan Raja mana?" Daffa melempar pandangan tajam. Aisyah lupa. Ia menepuk keningnya, lalu mengeluarkan bubur ayam buatannya dari microwave. Raja suka karena rasanya gurih kaldu sapi. Aisyah memasak sejak pukul tiga. "Ini, Mas." Aisyah meletakkan mangkuk bentuk anak singa warna orange. Raja pindah duduk di kursi kusus bayi, Daffa menyuapi Raja sambil menikmati sarapannya yang ia beli sendiri setiap malam. Aisyah bagaimana? Tetap berdiri memperhatikan, belum makan. Hanya minum teh. "Kamu bisa siapin baju Raja untuk hari
πMeja makan diisi Gendis, Agung dan dua anak gadisnya. Makan malam syahdu karena saling bercerita hal-hal ringan yang terjadi hari itu. Ikan bakar masakan Gendis selalu menjadi kesukaan Agung. Makan tak pilih-pilih, apa yang Gendis sajikan dilibas habis masuk ke perut. "Bu, pendapatan Ibu dari usaha macem-macem, udah berapa omset rata-rata sebulan?" tutur Kirana, ia nambah sambal matah yang super seger karena asam pedas. "Mau tau? Kenapa? Incer warisan?" judes Gendis. Kirana hanya menyipitkan kedua matanya ke arah sang ibu. "Nuduh melulu. Kiran punya gaji sendiri, Bu.""Oh, kirain. Ibu mau sumbangin warisan Ibu soalnya, kalian cari duit sendiri, ya," canda Gendis. Nanda dan Kirana hanya menggeleng pelan sambil terkekeh. "Emang kenapa, Kirana?" Gendis menjeda menikmati makan malamnya. Kirana menatap lekat kedua mata ibunya. "Bu, jangan kecapean. Masih ada Kirana dan Nanda yang belum nikah. Kami anak cewek, butuh Ibu untuk ajarin banyak hal. Ya soal anak, rumah tangga." Gendis
π"Alasan apapun, terserah kamu bilang ke Ibu apa kita pisah kamar." Daffa melepaskan setelan jas yang dikenakan untuk acara pernikahan. "Oke." Dengan santai Aisyah menjawab sambil duduk di sofa ruang tengah apartemen yang menyambung ke dapur juga meja makan kecil. Namanya diapartemen, apalagi Agung dan Gendis menyewakan yang tipe kecil. Niat hati supaya anak dan menantunya bisa mulai berkomunikasi lancar lalu muncul benih cinta, rupanya tak mudah. Ya ... yang penting sudah usaha. "Kamar kamu itu, karena saya sama Raja jadi yang agak besar," tunjuknya ke kamar yang lebih kecil. "Oke," tukas Aisyah simple. "Udah? Aku mau ganti baju dan mandi. Raja datang sama susternya sebentar lagi, kan?" "Raja datang tiga hari lagi, karena orang tua kita berpikir kita lagi bulan madu." Daffa masuk ke dalam kamar utama. Aisyah menjawab dengan satu kata 'oh.' Lalu masuk ke kamarnya. Detik jam terasa lama. Tak ada kegiatan pengantin baru yang dilakukan mereka. Daffa tidur lepas sholat Isya, sedan
πLaras menolak lamaran yang meminta Aisyah menjadi istri Daffa. Alasannya, Laras merasa tak pantas berbesan dengan Gendis, apalagi latar belakang kegagalan rumah tangga yang didera wanita itu pasti akan menjadi masalah suatu saat nanti. Laras lupa, yang ada dihadapannya adalah Gendis, wanita keras kepala yang punya insting tepat layaknya peramal tanpa pernah meleset. "Yang bikin kamu malu apa sebenernya? Kalau masalah tetangga omongin kamu, diemin aja, Ras." Gendis merapatkan duduknya ke arah Laras. "Namanya tinggal bertetangga, mau di gang sempit, komplet elit, komplek kayak kita, pasti akan ada gossip, Ras. Aku yakin Aisyah bisa jadi istri yang memang Daffa mau untuk seumur hidupnya. Anak itu aja masih gendeng, butuh obat dan itu ... Aisyah." Laras menggeleng tak yakin, "Ndis, Agung ... jangan jadikan anakku tersiksa menikah dengan Daffa. Mungkin Daffa butuh waktu untuk obati hatinya, tapi bukan dengan Aisyah." Laras tetap berusaha menolak. "Nggak, Ras. Aisyah paling pas. Aku n
π"Cari istri kayak Ibumu, Bang," ucap Agung mencoba membuka pikiran anaknya. Sejak keputusan dibuat Gendis, Daffa langsung murung. "Nggak bisa, Yah. Jalan hidup kan beda-beda," kilah Daffa. "Siapa bilang?" jeda Agung terkekeh. "Ada doa. Kamu lupa?" sindirnya. Kursi teras menjadi saksi obrolan ayah dan anak itu hampir larut malam. Daffa masih tak bisa menerima keputusan Gendis, tapi tetap harus dijalankan. Esok hari. Gendis membahas rencana melamar Aisyah bersama Yuni, Endah dan Soraya. Semua mendukung, tinggal bicara ke Laras saja yang harus tepat waktu. Namun, setelah sepekan, Laras mendadak tak ada di rumah. Bahkan saat Gendis menemani Adinda operasi, masih menyempatkan diri ke rumah Laras, semua terkunci. Hanya lampu teras menyala. "Kemana si Laras? Aisyah juga nggak kerja dua hari ini?" gumamnya lantas mengarahkan kemudi ke arah rumah. "Kucing beranak!" lontarnya kaget karena sekuriti RT mendadak muncul sambil menghentikan laju mobilnya. "Bu Gendis, cari Bu Laras?" kata se
πSabtu pagi pekan itu, menjadi hari dilaksanakan kegiatan membersihkan lingkungan, menghias juga 'bedah rumah' kecil-kecilan untuk Laras. Wanita itu mendapatkan jadwal operasi dua minggu lagi, jadi masih bisa beraktifitas normal. Dari dalam rumah, ia membawa nampan berisi bakwan goreng buatannya, padahal Gendis sudah melarang. Ada kas RT yang digunakan untuk konsumsi anak muda yang merapikan rumah. Tak enak hati, Laras tetap membuatkan suguhan sederhana. Aisyah sendiri bekerja, pagi-pagi sekali sudah ke toko karena ada yang booking untuk acara sekolah. Ia harus menata tempat di lantai dua. "Bang Daffa, kamu bisa kayaknya ganti plafon. Udah lihat ke lantai atas rumah Tante Laras?" bisik Gendis saat Daffa baru datang dari rumah. "Belum detail, Bu. Yang lain aja, lah. Abang bersihin halaman aja," tolaknya. "Ih! Gitu amat. Badanmu tinggi gagah, kuat, nggak perlu naik tangga sampai ujung buat ganti plafon," gerutu Gendis. Daffa tetap tak mau, ia memilih membersihkan halaman rumah Ge
πAisyah menyiapkan makan malam untuk ibunya. Ia sendiri beralasan masih kenyang, jadi membiarkan ibunya makan yang banyak. "Syah, operasinya nanti berhasil nggak, ya?" tukas Laras pelan. "Berhasil. Yang penting Ibu jangan banyak pikiran. Bu ... tadi Isyah pulang diantar Kak Kirana, dia cerita katanya Mas Daffa cerai, padahal udah punya anak." Aisyah bertopang dagu. "Ya terus? Kamu kasihan?" Laras tersenyum tipis. "Nggak, sih. Cuma aneh aja. Ngapain nikah kalau akhirnya ce--" Aisyah diam. Ia tatap Laras yang ternyata menatapnya lekat. "Maaf, Bu, nggak maksud nyindir." Laras lanjut makan diiringi senyuman. "Cerai itu pilihan, Syah. Tergantung seberat apa masalahnya. Kalau orang tuamu ini, udah jelas apa masalahnya dan berat. Kalau Daffa, bisa aja sama-sama berat tapi buat dia, buat kita belum tentu. Jangan menilai perceraian selalu karena hal berat atau sepele ya, Syah. Semua kembali ke permasalahannya." Aisyah mengangguk. Hujan deras kembali turun. Aisyah meletakkan baskom dan
π"Bu," sapa Raffa setelah sampai. Ia menyalim punggung tangan Gendis lalu menghampiri Adinda yang masih sedikit pucat. "Kamu nggak apa-apa?" bisiknya. Adinda mengangguk. "Raf, kenapa nggak bilang Dinda mau operasi kista?!" Langsung semprot. Raffa berbalik badan perlahan mengarah pada Gendis. Raut wajahnya langsung berubah sendu. "Bukan gitu, Bu, Raffa cuma nggak mau Ibu pusing. Mikirin masalah Bang Daffa aja udah bikin Ibu naik tensi." "Sembarangan," protes Gendis seraya berkacak pinggang, ia juga memakai celemek karena sedang masak. "Urusan Bang Daffa udah Ibu serahin ke sang khalik! Terserah itu anak mau galau atau apalah. Yang penting cerai!" Gendis diam, menunggu sanggahan Raffa. "Yaudah, maaf, Bu. Ibu masak apa? Wangi amat?" Raffa mengeluarkan kemeja kerja dari dalam celana. Ia mendekat ke Gendis. "Sop ayam kampung. Kaldunya bagus buat kondisi Dinda, sama Ibu bikin tumis selada air pakai teri, biar sedep makannya. Ayahmu nanti ke sini juga." Gendis mengaduk sop ayam lagi.