šRumah Gendis mendadak ramai dengan kumpulnya semua anggota keluarga. Baik dari pihak Daffa maupun Yasmin.Ya, akhirnya Gendis tak sabar mau menyidang semua yang terlibat.Selang dua bulan setelah pernikahan Raffa hal itu terjadi. Kenapa menunggu selama itu? Karena Gendis mau lihat sejauh mana usaha anak dan menantunya memperjuangkan keutuhan rumah tangga."Sekarang begini aja. Saya sebagai mertuanya Yasmin juga minta maaf kalau dibilang terlalu ikut campur urusan rumah tangga mereka, tapi ... seandainya ... seandainya posisi Daffa jadi anak Ibu dan diperlakukan begini. Apa Ibu terima?!" tekan Gendis."Bu Gendis, kita sebaiknya nggak perlu terlalu dalam mencampuri. Kapan anak-anak bisa paham apa itu rumah tangga kalau apa-apa didikte orang tua!" Ibunya Yasmin coba mengutarakan pendapat."Oh, nggak bisa," ujar Gendis dengan telunjuk menggarah ke besannya."Daffa sudah sibuk kerja, ya. Capek dijalan juga karena berangkat pun naik motor. Daffa belum punya mobil. Bisa aja sih, saya dan
šGendis berjalan mondar mandir di depan ketiga temannya. Mereka berkumpul di toko roti milik Gendis."Jelek namaku di komplek jadinya," gumam Gendis seraya berpikir bagaimana memperbaiki nama keluarganya."Udah, lah. Kaya setiap rumah nggak ada boroknya. Tenang, lah, Ndis," sahut Soraya.Yuni miris, tapi memang sepandai bangkai terkubur pasti tercium juga baunya."Ndis, yang penting Daffa udah proses cerai. Raja diambil alih hak asuhnya dan Yasmin, kapok karena nggak dapat apapun dari Daffa. Itu aja udah paling penting." Yuni memberikan penilaian karena ia juga yang menemani Gendis ke pengadilan bersama pengacara."Ini udah sidang ke dua, tapi Yasmin masih mau minta harta gono gini. Harta apaan? Dari awal nikah aku yang sokong!" Emosi Gendis terpantik. Ia berkacak pinggang. Tiga temannya memperhatikan sambil duduk, malas menangkan nenek-nenek sumbu pendek."Permisi, Bu Gendis," sela salah satu karyawan."Ya, ada apa, Wan?" Gendis menoleh ke Wawan."Bu, calon karyawan baru sudah data
š"Udah siap? Kita nggak akan kelihatan mencurigakan, kan?" bisik Soraya takut apa yang mereka lakukan membuat Laras tersinggung. "Nggak. Udah, yuk! Kita pemanasan dulu," ajak Yuni. Mereka berdua akan jogging pagi, Gendis dan Endah menyusul karena masih asa urusan di rumah. Jalan kaki dengan ritme pelan dilakukan, menyapa tetangga-tetangga sebelum menuju ke arah rumah Laras. Dari semua rumah, memang rumah yang Laras tinggali terlalu mencolok dengan kondisi yang cukup miris. Satu kali putaran dilakukan Yuni dan Soraya sambil memata-matai, lantas mereka ke arah lapangan RT. Di sana sudah ada Endah dan Gendis yang juga memakai baju olahraga training warna pink. "Laras di rumah, kan?" lirih Endah. "Ada, tadi kedengeran lagi cuci baju. Ada air ngalir dari arah selokan, bau pewangi juga," jawab Yuni."Yaudah, yok. Inget, kalau ditanya bilang kita habis muterin komplek dari setengah jam lalu," ujar Gendis. Keempatnya berjalan ke arah rumah Laras. Bangunan dua tingkat itu terlihat sud
š"Bu," sapa Raffa setelah sampai. Ia menyalim punggung tangan Gendis lalu menghampiri Adinda yang masih sedikit pucat. "Kamu nggak apa-apa?" bisiknya. Adinda mengangguk. "Raf, kenapa nggak bilang Dinda mau operasi kista?!" Langsung semprot. Raffa berbalik badan perlahan mengarah pada Gendis. Raut wajahnya langsung berubah sendu. "Bukan gitu, Bu, Raffa cuma nggak mau Ibu pusing. Mikirin masalah Bang Daffa aja udah bikin Ibu naik tensi." "Sembarangan," protes Gendis seraya berkacak pinggang, ia juga memakai celemek karena sedang masak. "Urusan Bang Daffa udah Ibu serahin ke sang khalik! Terserah itu anak mau galau atau apalah. Yang penting cerai!" Gendis diam, menunggu sanggahan Raffa. "Yaudah, maaf, Bu. Ibu masak apa? Wangi amat?" Raffa mengeluarkan kemeja kerja dari dalam celana. Ia mendekat ke Gendis. "Sop ayam kampung. Kaldunya bagus buat kondisi Dinda, sama Ibu bikin tumis selada air pakai teri, biar sedep makannya. Ayahmu nanti ke sini juga." Gendis mengaduk sop ayam lagi.
šAisyah menyiapkan makan malam untuk ibunya. Ia sendiri beralasan masih kenyang, jadi membiarkan ibunya makan yang banyak. "Syah, operasinya nanti berhasil nggak, ya?" tukas Laras pelan. "Berhasil. Yang penting Ibu jangan banyak pikiran. Bu ... tadi Isyah pulang diantar Kak Kirana, dia cerita katanya Mas Daffa cerai, padahal udah punya anak." Aisyah bertopang dagu. "Ya terus? Kamu kasihan?" Laras tersenyum tipis. "Nggak, sih. Cuma aneh aja. Ngapain nikah kalau akhirnya ce--" Aisyah diam. Ia tatap Laras yang ternyata menatapnya lekat. "Maaf, Bu, nggak maksud nyindir." Laras lanjut makan diiringi senyuman. "Cerai itu pilihan, Syah. Tergantung seberat apa masalahnya. Kalau orang tuamu ini, udah jelas apa masalahnya dan berat. Kalau Daffa, bisa aja sama-sama berat tapi buat dia, buat kita belum tentu. Jangan menilai perceraian selalu karena hal berat atau sepele ya, Syah. Semua kembali ke permasalahannya." Aisyah mengangguk. Hujan deras kembali turun. Aisyah meletakkan baskom dan
šSabtu pagi pekan itu, menjadi hari dilaksanakan kegiatan membersihkan lingkungan, menghias juga 'bedah rumah' kecil-kecilan untuk Laras. Wanita itu mendapatkan jadwal operasi dua minggu lagi, jadi masih bisa beraktifitas normal. Dari dalam rumah, ia membawa nampan berisi bakwan goreng buatannya, padahal Gendis sudah melarang. Ada kas RT yang digunakan untuk konsumsi anak muda yang merapikan rumah. Tak enak hati, Laras tetap membuatkan suguhan sederhana. Aisyah sendiri bekerja, pagi-pagi sekali sudah ke toko karena ada yang booking untuk acara sekolah. Ia harus menata tempat di lantai dua. "Bang Daffa, kamu bisa kayaknya ganti plafon. Udah lihat ke lantai atas rumah Tante Laras?" bisik Gendis saat Daffa baru datang dari rumah. "Belum detail, Bu. Yang lain aja, lah. Abang bersihin halaman aja," tolaknya. "Ih! Gitu amat. Badanmu tinggi gagah, kuat, nggak perlu naik tangga sampai ujung buat ganti plafon," gerutu Gendis. Daffa tetap tak mau, ia memilih membersihkan halaman rumah Ge
š"Cari istri kayak Ibumu, Bang," ucap Agung mencoba membuka pikiran anaknya. Sejak keputusan dibuat Gendis, Daffa langsung murung. "Nggak bisa, Yah. Jalan hidup kan beda-beda," kilah Daffa. "Siapa bilang?" jeda Agung terkekeh. "Ada doa. Kamu lupa?" sindirnya. Kursi teras menjadi saksi obrolan ayah dan anak itu hampir larut malam. Daffa masih tak bisa menerima keputusan Gendis, tapi tetap harus dijalankan. Esok hari. Gendis membahas rencana melamar Aisyah bersama Yuni, Endah dan Soraya. Semua mendukung, tinggal bicara ke Laras saja yang harus tepat waktu. Namun, setelah sepekan, Laras mendadak tak ada di rumah. Bahkan saat Gendis menemani Adinda operasi, masih menyempatkan diri ke rumah Laras, semua terkunci. Hanya lampu teras menyala. "Kemana si Laras? Aisyah juga nggak kerja dua hari ini?" gumamnya lantas mengarahkan kemudi ke arah rumah. "Kucing beranak!" lontarnya kaget karena sekuriti RT mendadak muncul sambil menghentikan laju mobilnya. "Bu Gendis, cari Bu Laras?" kata se
šLaras menolak lamaran yang meminta Aisyah menjadi istri Daffa. Alasannya, Laras merasa tak pantas berbesan dengan Gendis, apalagi latar belakang kegagalan rumah tangga yang didera wanita itu pasti akan menjadi masalah suatu saat nanti. Laras lupa, yang ada dihadapannya adalah Gendis, wanita keras kepala yang punya insting tepat layaknya peramal tanpa pernah meleset. "Yang bikin kamu malu apa sebenernya? Kalau masalah tetangga omongin kamu, diemin aja, Ras." Gendis merapatkan duduknya ke arah Laras. "Namanya tinggal bertetangga, mau di gang sempit, komplet elit, komplek kayak kita, pasti akan ada gossip, Ras. Aku yakin Aisyah bisa jadi istri yang memang Daffa mau untuk seumur hidupnya. Anak itu aja masih gendeng, butuh obat dan itu ... Aisyah." Laras menggeleng tak yakin, "Ndis, Agung ... jangan jadikan anakku tersiksa menikah dengan Daffa. Mungkin Daffa butuh waktu untuk obati hatinya, tapi bukan dengan Aisyah." Laras tetap berusaha menolak. "Nggak, Ras. Aisyah paling pas. Aku n
šMengubah sifat manusia itu tidak akan semudah diharapkan. Tiga bulan tinggal bersama mertua, Aisyah dan Daffa masih berada di kondisi yang sama. Ditambah lagi Gendis setiap saat bisa dikatakan selalu bawel tentang banyak hal yang membuat Aisyah mulai tak bisa bergerak bebas. Pagi itu ia bangun lebih awal karena harus mandi besar setelah melayani Daffa malamnya. Daffa tidak kasar atau tergesa-gesa sehingga kandungan Aisyah aman-aman saja. Masih memakai handuk di kepala untuk mengeringkan rambut, Aisyah ingin memasak bekal Daffa kerja. Sedangkan untuk sarapan suaminya terbiasa hanya menikmati bubur gandum, susu dan roti selai kacang karena tak ada waktu jika sarapan berat. Ia harus naik kereta paling pagi sampai ke Bogor. Hal itu sudah dilakukan tiga bulan ini semenjak masa dinas di kota itu entah kepastian berakhirnya kapan. Aisyah menuang air panas ke dalam mangkuk berisi bubuk gandum, diaduk sebentar sebelum ditambah madu dan potongan buah pisang. Setelahnya diletakkan di mej
šKadar hemoglobin Aisyah rendah, hal itu yang menyebabkan ia jatuh pingsan. Hamil muda memang seringnya banyak yang mendadak darah rendah. Infusan dipasang di punggung tangan sebelah kiri. Aisyah masuk kamar rawat bersebelahan dengan kamar Adinda. Perlahan, ia membuka mata. Didapati Daffa duduk di samping ranjang sedang menatapnya intens. "A-ku, pingsan?" lirihnya parau. Daffa hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Oh," sambungnya lirih, lantas membuang pandangan ke arah lain. Ditatap seperti itu oleh Daffa rasanya hati Aisyah ketar ketir. "Hemoglobin kamu rendah, masa sampai enam. Kamu nggak minum vitamin dari dokter?" tegur Daffa. "Minum, kok. Kamu aja yang nggak pernah tau." Aisyah menjawab dengan takut-takut tapi jujur. "Semua marahin aku, Syah." Hela napas panjang terdengar, membuat Aisyah mau tak mau menoleh ke arah suaminya. "Mereka bilang aku nggak becus jadi suami, cuek ke kamu."Emang gitu, kan? Baru sadar kamu! batin Aisyah dongkol. "Ibu Laras tau kamu dirawat. Ibu
šMenyambut kelahiran cucu pasti keluarga senang, ya walau ada juga keluarga yang menganggap hal itu biasa saja. Gendis menyuruh suami bibi yang bekerja di rumah memindahkan barang Kirana ke kamar Nanda, lalu mengganti dengan beberapa barang kepunyaan Aisyah dan Daffa yang dibawa dari apartemen. "Bu, hari ini nggak masak, kan?" tukas bibi. "Nggak usah, Bi. Beli aja atau nanti saya minta karyawan rumah makan antar. Bibi lihat Aisyah kemana?" Sedari tadi Gendis memang tak lihat menantunya itu. "Aisyah ke rumah lama, katanya mau lihat aja."Gendis menghela napas panjang, ia tau Aisyah sedih karena rumah itu sudah dibeli orang lain. Laras minta menetap di kota pelajar bersama Nilam, lebih tenang katanya. "Mau saya susulin, Bu?" usul bibi. "Nggak usah. Biarin aja." Gendis memantau suami bibi menggeser meja rias sedangkan bibi merapikan pakaian Daffa dan Aisyah ke dalam lemari. Kirana yang kini tinggal di rumah Henggar bersama kedua mertuanya terlihat disambut dengan baik. Kirana te
š"Yakin mau ikut pindah?" Saat berjalan kaki dengan menenteng bubur ketan hitam, Daffa kembali memastikan kesiapan Aisyah. "Aku bisa aja lama di sana." Aisyah menoleh sejenak sebelum kembali menatap jalanan sepi di depannya. "Mas Daffa nggak suka aku ikut? Bukannya istri harus setia temani suaminya dinas kemanapun? Ya, kecuali kalau kamunya emang nggak mau karena bisa bebas.""Bebas maksudnya?" Daffa menghentikan langkah kakinya. Aisyah memijat pelipisnya sejenak sebelum berkata-kata. "Gini, Mas. Kita sama-sama tau kalau pernikahan ini karena Ibu. Bukan karena perasaan masing-masing kita. Mas Daffa sikapnya juga aneh, punya istri kayak nggak punya. Oke nggak apa-apa kalau emang kamu belum ada perasaan ke aku, tapi kenapa kamu hamilin aku?" tatap nanar Aisyah. Daffa diam saja. "Nggak bisa jawab apa nggak mau jawab apa emang aku dijadiin pelampiasan aja?" Aisyah lanjut berjalan, meninggalkan Daffa yang masih diam mematung. "Syah, aku juga bingung sama perasaan aku!" ujar Daffa sed
šPernikahan Kirana dan Henggar tinggal menghitung hari. Keluarga Daffa masih tidak tau jika Aisyah hamil. Rahasia itu tetap tersimpan rapat padahal Kirana gatal ingin membeberkan. "Mas Daffa, besok bisa temenin cek kandungan?" Aisyah menatap penuh kepasrahan. Sorot matanya sayu karena tau jawabannya Daffa apa. "Yah, besok, ya. Aku harus urus cuti dan kerjaan mau nggak mau dikejar. Kamu sendiri aja kayak biasanya bisa, kan? Aku transfer uangnya." Daffa meraih ponsel yang tergeletak di meja makan apartemen, tapi gerakannya ditahan Aisyah dengan tangan. "Nggak usah, Mas. Masih banyak uang dari kamu. Cukup. Mmm, kalau sekarang temenin aku beli makan malam sate padang di depan, mau?" Aisyah mencoba lagi. Daffa menatap sendu lalu menunjuk laptop yang menyala. "Oh, banyak ya kerjaannya. Yaudah nggak apa-apa, aku beli sendiri. Tadi Yasmin telepon, kasih tau kalau Raja nanti langsung ke tempat acara Kirana aja. Nggak bisa kalau nginep karena ada les piano sama renang." Aisyah meraih dom
š Agung sampai hampir tersedak saat Gendis cerita keributannya dengan Bu Sukun di tempat penjual bahan brokat dan kain. Sambil membersihkan tetesan kopi yang jatuh di celana pendek santainya dengan tisu, Agung menatap takjub karena istrinya tampak tenang. "Bu, kamu sama Bu Sukun nggak bisa akur sebentar? Ya memang, warga tau siapa dia apalagi banyak yang bilang suka omongin tetangga melulu."Gendis berdecak, "akur sama orang yang lidahnya enteng buat omongin si A, B, C muter lagi begitu-begitu aja nggak bisa dong, Yah. Sesekali kasih pelajaran! " Kalimat penuh penekanan itu dirasa ada benarnya. "Aku udah pernah tegur Pak Sukun, tapi dia nggak bisa apa-apa kecuali pasrah."Gendia tertawa meremehkan. "Itulah, Yah. Kalau suami apa-apa iya aja ke istrinya. Cuma dipake buat jadi sapi perah. Bu Sukun kalau suaminya nggak kasih apa yang dia mau, kan, suka cerita ke Bu Bagiyo sambil melas-melas nangis kayak hidupnya paling menderita sejagad raya. Habis itu, Bu Bagiyo nanti kasih salam tem
šBukannya Aisyah tak suka rumah tangganya diketahui mertua, tapi rasanya ia mulai sedikit risih. Gendis baik, mertua yang sayang tanpa pandang bulu mau itu anak kandung atau menantu. Bahkan, kucing buluk tak terurus aja, Gendis bisa bawa ke petshop, dirawat sampai sehat setelah itu bebas diadopsi pencinta kucing tanpa minta dibayar apapun. Daffa sudah pernah bilang, urusan rumah tangganya biar urusan pribadi, jangan sampai orang tua tau. Maunya begitu, tapi tampaknya sinyal Gendis terlalu kuat. "Kok bengong?!" Kirana melambaikan tangan di depan wajah Aisyah. Aisyah menatap, "Kirana, boleh, ya, aku bener-bener minta ke kamu Ibu jangan tau kalau Mas Daffa begini dan aku hamil." "Iya, tapi kamu juga usaha terus sampai Bang Daffa luluh, Syah. Dia suamimu. Aku yakin Yasmin udah dia lupain, cuma emang Abangku itu lagi kedistraksi entah dengan apa. Bisa aja kerjaan. Dia pingin kejar karir." Kirana mencoba memberi pandangannya. Aisyah tersenyum tipis, ia patenkan untuk bisa membuat suam
Gendis bukannya ingin ikut campur tangan urusan anak dan menantu, hanya saja memang ia tak suka jika ada permasalahan tapi dirinya tak tau. Pada dasarnya, ia mau keluarganya selalu dalam keadaan baik-baik saja walau ia turut campur. "Bu, Dinda malah jadi repotin Ibu kalau begini," desah Adinda tak enak hati. Gendis menggeleng, ia bersikeras meminjamkan satu mobil miliknya untuk Raffa dan Adinda. "Mama Dinda mau bantu, Dinda tolak, Bu," lanjutnya. "Terserah. Pokoknya Ibu nggak mau menantu dan cucu Ibu kesusahan apalagi karena ulah anak Ibu. Raffa bikin emosi aja." Gendis memangku bantal sofa. Dari arah kamar, Agung keluar membawa kunci mobil dan STNK. "Ini, Raf," ujarnya meletakkan kunci mobil. "Jangan nyusahin istri dan anakmu. Niatmu baik tapi caramu salah. Bikin malu Ayah dan Ibu," ketus Agung tak kalah gregetan. Raffa setengah hati, tapi terpaksa menerima kunci mobil sedan merah milik Gendis, jika mobil Agung dipakai bekerja sehari-hari. "Nah, mumpung lagi kumpul. Kiran mau bah
"Kamu ngapain?" Raffa mengucek matanya karena baru bangun tidur. Ia mendapati Adinda duduk di meja makan, padahal masih jam empat subuh. Raffa biasa olahraga sebelum sholat, hanya olahraga kecil di teras depan rumah. "Mantau trafic orang-orang yang mau lihat mobilku. Siapa tau ada yang mau beli, Raf." Adinda meneguk susu hamil buatannya. Mug warna merah muda sudah beberapa waktu ini menjadi kesayangannya. "Kamu serius mau jual mobil?" Raffa tak percaya, dengan wajah bantal juga rambut acak-acakkan, ia duduk di kursi bersebelahan dengan istrinya yang lekat menatap laptop. Adinda menjawab dengan anggukan. "Harus cepat laku. Aku pusing sama semua tagihan-tagihan kamu." Raffa mendesah, bersandar lemah pada kursi meja makan yang diduduki. Ia jadi tak enak sendiri dengan istrinya, hadiah mobil itu Raffa berikan begitu ikhlas walau harus mencicil karena memang istrinya butuh dan suka. Akan tetapi baru beberapa bulan digunakan kini harus dijual. "Nggak usah, lah, sampai jual asset, Nda.