Share

Mau nggak mau

Author: Rianievy
last update Last Updated: 2024-12-07 11:33:33

πŸ’

Bulan yang ditunggu tiba, Daffa menghubungi Gendis jika Yasmin akan melahirkan. Mereka sudah di rumah sakit sejak siang hari.

"Bu, ayo ke sana," ajak Agung yang tampak tak sabaran.

"Iya, tunggu dong, Yah, masih rapihin rambut. Bagusan di jepit tengah apa di cepol terus kasih jepitan?" Gendis bersolek di depan cermin meja rias.

"Apa aja Ibu selalu cantik," puji Agung.

"Halah gombal." Gendis menahan senyum. Ia cepol rambutnya, lantas menyematkan jepitan rambut bentuk bunga. "Oke siap. Dressku bagus juga kan, Yah, nggak norak warnanya?"

"Nggak, ayo buruan. Kasihan Daffa pasti nungguin kita."

"Nungguin buat apa? Minta dibayarin biaya lahirannya? Mbel gedes, maaf ya, nggak, deh." Gendis lalu menenteng tas tangan yang berisi macam-macam, dari tisu kering, tisu basah, minyak angin, lengkap pokoknya.

Agung mendengkus, Gendis benar-benar akan memberi pelajaran sendiri untuk anaknya.

Nanda dijemput di tempat les, masih memakai seragam sekolah, remaja itu masuk ke dalam mobil. Ia menyapa kedua orang tuanya dengan menyalim tangan.

"Ayah pulang cepet, dong?!" seru Nanda.

"Iya. Nggak masalah. Eh kamu gimana tadi hasil final examnya? Kapan nilainya keluar?" Agung memang begitu perhatian dengan pendidikan anak-anaknya.

"Lancar. Besok katanya. Nanda ke tempat les sama temen, ya, Yah." Nanda menyandarkan kepala ke kaca sebelah kiri karena lelah menjalani hari itu.

"Temen? Siapa?" sambar Gendis.

"Kenzo, temen satu tempat les." Nanda mengutak ngutik ponselnya.

"Anak mana? Orang tuanya kerja apa?" cecar Gendis lagi.

"Anak Jakarta, lah, Bu ... Papanya kerja di kementrian luar negeri, staf kedutaan Indonesia di Swiss. Ibunya desainer kebaya sama baju yang biasa dipake Ibu-ibu pejabat." Nanda sangat santai menyampaikan jawaban.

Gendis tersenyum. Fix, keluarga baik-baik.

"Kenzo mau kuliah di mana? Kalian temen biasa atau--"

"Mulai deh, Ibu ... Kenzo itu temen, Bu, dia udah punya pacar, kok. Dia mau kuliah jurusan hubungan internasional apa komunikasi gitu, biar jadi diplomat."

"Lho, kok bisa ... punya pacar tapi perginya besok sama kamu, gimana maksudnya?" Nada bicara Gendis penuh keheranan.

"Pacarnya Kenzo itu temen sekelas Nanda di sekolah, Bu. Nggak bakal dia cemburu sama Nanda. Bu, udah deh introgasinya. Kita fokus ke Bang Daffa." Nanda menguap, ngantuk juga ternyata.

Di rumah sakit, hanya dua orang yang boleh masuk ke ruang bersalin itu pun bergantian. Kedua orang tua Yasmin mempersilakan Gendis dan Agung masuk.

Yasmin sedang meringis menahan sakit, Daffa mencoba menyemangati.

"Udah pembukaan berapa?" Gendis mengusap pinggang Yasmin.

"Empat, Bu," jawab Yasmin lirih. Ia meremas jemari tangan Daffa. "Nggak kuat, Daf," keluhnya lalu menangis.

Daffa terus menyemangati. Agung beradu tatap dengan Gendis yang mengelus perut Yasmin.

"Sabar ya, ayo semangat," bisik Agung ke Yasmin yang masih menangis memeluk Daffa.

Agung dan Gendis keluar, kedua orang tua Yasmin tampak waswas.

"Bu Gendis, Pak Agung," sapa ayahnya Yasmin. Mereka bersalaman. Nanda berdiri bersandar pada dinding, diam memperhatikan.

"Dari kapan pembukaan empat?" tukas Gendis.

"Dari jam tiga sore, sekarang sudah jam tujuh malam, belum nambah pembukaannya. Anak saya ... sudah nggak kuat," isak ibunya Yasmin.

"Baju bayi sudah disiapkan? Terakhir saya sidak, masih belum dicuci semua," sindir Gendis.

"Udah, Bu, saya tiga hari ini di rumah mereka. Bu Gendis, apa Yasmin operasi aja, ya."

Gendis sudah bisa menebak.

"Ditanggung kantor Daffa, kan? Operasi aja," sahut Gendis santai.

"Ya kalau nggak ditanggung kantor, masa iya Bu Gendis dan Pak Agung diam saja. Nggak mungkin, kan."

Tanpa merasa terbeban, kalimat itu meluncur dari bibir sang besan. Nanda menggeleng pelan, ia sudah paham keluarga seperti apa yang dihadapi mereka.

Daffa keluar, ia tampak panik. "Yasmin terus kesakitan, Abang nggak tega," katanya.

"Yaudah! Operasi aja. Kantormu cover, kan?" tegas Gendis.

"Nggak, Bu. Asuransi dari kantor baru pindah perusahaannya, belum aktif jadi--"

Gendis mengarahkan telapak tangan ke depan wajah Daffa. Ia tak tega juga, apalagi ini tentang nyawa cucunya.

"Ayah, ayo," ajak Gendis berjalan ke meja perawat. Setelah mencari informasi dan bicara dengan dokter, maka operasi secar disetujui.

"Jadi ambil kelas berapa?" ujar perawat.

"Kelas satu aja. Deposit berapa?" Gendis mengeluarkan kartu debit. Agung menahan, ia berikan kartu debit miliknya.

"Ayah aja, ya." Agung tersenyum.

"Total biaya diluar obat, dua puluh juta lima ratus, ditambah obat sampai pulang nanti dua juta lima ratus, jadi semuanya dua puluh tiga juta. Deposit lima puluh persen." Perawat memberi arahan. Daffa yang berdiri di samping Gendis hanya diam saja setelah menandatangani surat persetujuan operasi.

"Lunas aja. Kami ke lantai berapa untuk pembayaran?" Gendis menggamit lengan Agung.

"Mari saya antar, Bu. Pak Daffa temani istrinya bersiap di kamar, ya."

Daffa paham, ia malu dengan kedua orang tuanya. Hanya bisa berjalan lemas kembali ke kamar.

"Tuh, Bang, ujung-ujungnya orang tua, kan? Bilangin Kak Yasmin, jangan cuek ke Ibu." Nanda berjalan menjauh, menyusul orang tuanya ke lantai satu.

***

Bayi laki-laki lahir dengan selamat, kamar kelas satu hanya ada Yasmin jadi seperti kamar VIP saja.

Senyum Yasmin merekah, melahirkan secara secar, lalu di kamar nyaman karena sebelumnya kelas tiga, sepertinya moodnya kembali membaik.

Gendis kembali datang di hari kedua Yasmin di rawat untuk pemulihan. Ia sendiri, mengemudikan mobilnya sendirian juga.

"Waduh, cucu Nini udah mandi," puji Gendis lalu menggendong cucunya.

"Nanti aja digendongnya, Bu, baru di taruh di box bayi, takut bau tangan," tegur Yasmin halus.

"Biarin. Bau tangan Nininya ini, bukan orang lain," sewot Gendis.

"Bukan gitu, Bu ... maksud Yasmin--"

Gendis membelakangi Yasmin, ia timang-timang cucunya. Daffa mendekat ke Yasmin, memberi kode supaya jangan tegur Gendis.

"Kita jadi sewa babysitter, kan, Daf?"

Kalimat Yasmin membuat Gendis gatal untuk berkomentar tapi ia memilih diam dulu.

"Nggak jadi, Yas, dananya nggak cukup," tukas Daffa.

"Hah? Terus aku sendirian? Aku nggak bisa, Daf ...," rengek Yasmin. "Kamu bayar biaya semua ini bisa, masa bayar gaji babysitter nggak bisa?" dumal Yasmin.

"Urus sendiri, dong. Seorang Ibu akan natural rawat anaknya. Lagian irit, kan? Kamu juga di rumah, nggak kerja." Gendis berbalik badan menghadap Yasmin.

"Bu, masalahnya--"

"Masalahnya anak Ibu, suamimu gajinya selalu habis di tengah bulan dan biaya semua ini, Ayah dan Ibu suamimu yang menanggung. Suamimu rejekinya seret. Sebabnya apa? Coba kalian renungi bersama." Gendis meletakkan cucunya perlahan ke box bayi lagi. Ia berdiri menatap anak dan menantunya dengan serius.

"Kamu boleh nggak senang sama Ibu, ya, Yasmin, tapi ... jangan kamu bikin anak Ibu susah karena maumu yang selangit. Kalian pacaran lama, masa iya nggak saling paham?!" Gendis diam sejenak.

"Ibu nggak mau campuri urusan kalian mau pake babysitter kek, pembantu sampe sepuluh, kek. Asal mampu bayar silakan. Bukan memaksakan juga. Yang ada kalian sengsara sendiri."

Yasmin memalingkan wajah, terlihat tak senang dengan komentar mertuanya.

"Kalau cara kalian berumah tangga seperti ini, jangan salahkan Ibu campuri karena kalian harus ditatar. Suka nggak suka, ini Ibu kalian. Mertuamu, Yasmin dan Ibu kandungmu, Bang Daffa. Paham?!" tegas Gendis. Suasana kamar rawat mendadak tegang, tapi Gendis tak peduli.

bersambung,

Related chapters

  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Bu Sukun cari perkara

    πŸ’Gendis tak peduli jika ia dibenci Yasmin, bodo amat. Apalagi ia yang biayai persalinan sampai pulang ke rumah, bahkan aqiqah pun, Gendis yang biayai atas dasar sedekah ke cucu.Seharusnya jadi urusan Daffa, tetapi karena uang Daffa tak cukup, jadilah Gendis dan Agung lagi yang biayai.Kedua orang tua Yasmin ya petantang petenteng saja, seolah ikut terlibat. Bahkan saat acara aqiqah satu pekan setelah Yasmin melahirnya, keluarga ibunya Yasmin banyak diundang hadir.Gendis yang peka, dengan santai memesan semua urusan aqiqah di tempat kenalannya juga. Jadi tak ada keluarga yang rewel minta jatah bungkus makanan.Yuni, Endah, Soraya turun tangan membantu Gendis mengatur acara.Kirana asik duduk sambil menggendong keponakannya saat acara aqiqah selesai. Di sampingnya sang kekasih hati memperhatikan sambil tersenyum."Buruan resmiin," celoteh Daffa, ia duduk di dekat Kirana."Bang Raffa dulu, lah. Masa gue lompatin Kakak sendiri." Kirana mengusap pelan pipi bayi tampan itu."Nggak papa

    Last Updated : 2024-12-12
  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Yasmin keterlaluan

    πŸ’Warung makan khas sunda ramai sekali saat akhir pekan. Gendis berada di sana sejak pagi bahkan saat belum buka. Ia sibuk di dapur membantu anak buahnya menyiapkan banyak hal."Tik! Meja sepuluh tanyain, pesanannya udah semua belum?" perintah Gendis."Baik, Bu!" sahut semangat Tika. Gendis menuju meja prasmanan berisi wadah-wadah delapan jenis sambal yang digratiskan."Jo, Jojo," panggilnya sambil melambaikan tangan. Jojo mendekat. "Sambal mangganya tinggal setengah, ambil di dapur, isi ya. Jangan sampai begini," bisiknya."Iya, Bu Gendis," tukas Jojo seraya berlari. Warung itu bersuansa putih dan hijau muda. Kapasitas bisa menambung seratus orang lebih, dengan konsep kekeluargaan, menu yang disediakan Gendis bahkan ada yang khusus untuk anak-anak dengan paket menarik juga porsi yang pas, jadi tidak terbuang makanannya.Prinsip jualanannya begitu, jika tidak habis makanan yang dipesan, kena denda tiga puluh persen. Tidak takut pengunjung lari? Oh, tidak. Justru ia mau mengajarkan pe

    Last Updated : 2024-12-12
  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Rebutan

    πŸ’"Kamu kenapa bohong sama Yasmin, Bang. Ke Bali kok bilangnya ke Surabaya. Pantesan dia minta pesenin tiket kereta." Gendis mengantar Daffa sampai ke terminal bis bandara."Kesel, Bu. Bu, nggak apa-apa Ibu urus bayi?" Daffa menoleh ke baby car seat di jok belakang, anaknya tidur pulas."Emang kamu pikir, empat anak Ibu siapa yang urus?! Sembarangan. Kamu kerja aja, fokus. Istrimu biar di rumah sendirian. Biar mikir. Itu juga kalau punya pikiran. Hati-hati, ya, Bang," pesan Gendis. Daffa menyalim lalu mencium pipi ibunya. Daffa juga mencium putranya sejenak sebelum mengambil koper di bagasi."Hati-hati, Nak!" teriak Gendis lalu melambaikan tangan. Ia tancap gas pulang ke rumah, sebelumnya sudah menelpon Nanda untuk belikan pampers juga sabun bayi."Ibumu gendeng, urus kamu nggak becus. Maaf ya, Nini harus ngomong gini," gumam Gendis tak kuasa menahan rasa kesal. Ia mengemudi dengan hati-hati karena membawa cucunya.Di rumah, semua menyambut senang apalagi Raffa dan calon istrinya. Ca

    Last Updated : 2024-12-12
  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Perang dingin

    πŸ’"Aku nggak peduli ya, warga semua akhirnya gosipin keluargaku karena Raja sekarang tinggal di rumah. Cucuku harus di selamatkan dari Ibunya yang sak wudele dewe." Sambil menyuguhkan minuman, Gendis ngedumel ke ketiga temannya yang berkunjung."Jujur, Ndis, kamu jadi mertua emang saklek. Kalau udah A ya, A. Punya standarisasi sendiri demi semua berjalan seusai arahan." Yuni duduk memangku bantal sofa.Hari itu mereka bisa bertemu karena waktu lowong bersamaan sekaligus Gendis mau membahas seragam untuk nikahan Raffa."Aku begini karena faktanya emang ngeselin, Yun.""Terus sekarang, Yasmin gimana? Udah seminggu Raja di sini, kan?" Soraya membuka toples berisi kue kacang."Bener, kan. Nggak ada tanya-tanya tentang Raja. Dia katanya sibuk ngelamar kerja. Itu juga Daffa yang kasih tau aku kemarin." Gendis sebenarnya tak mau rumah tangga anaknya sampai ribet begini, tapi Yasmin memang kebangetan.Sedangkan di rumah Daffa. Pria itu merapikan laptop yang tertinggal di kamar. Ia terpaksa p

    Last Updated : 2024-12-12
  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Geger satu RT

    πŸ’Rumah Gendis mendadak ramai dengan kumpulnya semua anggota keluarga. Baik dari pihak Daffa maupun Yasmin.Ya, akhirnya Gendis tak sabar mau menyidang semua yang terlibat.Selang dua bulan setelah pernikahan Raffa hal itu terjadi. Kenapa menunggu selama itu? Karena Gendis mau lihat sejauh mana usaha anak dan menantunya memperjuangkan keutuhan rumah tangga."Sekarang begini aja. Saya sebagai mertuanya Yasmin juga minta maaf kalau dibilang terlalu ikut campur urusan rumah tangga mereka, tapi ... seandainya ... seandainya posisi Daffa jadi anak Ibu dan diperlakukan begini. Apa Ibu terima?!" tekan Gendis."Bu Gendis, kita sebaiknya nggak perlu terlalu dalam mencampuri. Kapan anak-anak bisa paham apa itu rumah tangga kalau apa-apa didikte orang tua!" Ibunya Yasmin coba mengutarakan pendapat."Oh, nggak bisa," ujar Gendis dengan telunjuk menggarah ke besannya."Daffa sudah sibuk kerja, ya. Capek dijalan juga karena berangkat pun naik motor. Daffa belum punya mobil. Bisa aja sih, saya dan

    Last Updated : 2024-12-13
  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Karyawan baru

    πŸ’Gendis berjalan mondar mandir di depan ketiga temannya. Mereka berkumpul di toko roti milik Gendis."Jelek namaku di komplek jadinya," gumam Gendis seraya berpikir bagaimana memperbaiki nama keluarganya."Udah, lah. Kaya setiap rumah nggak ada boroknya. Tenang, lah, Ndis," sahut Soraya.Yuni miris, tapi memang sepandai bangkai terkubur pasti tercium juga baunya."Ndis, yang penting Daffa udah proses cerai. Raja diambil alih hak asuhnya dan Yasmin, kapok karena nggak dapat apapun dari Daffa. Itu aja udah paling penting." Yuni memberikan penilaian karena ia juga yang menemani Gendis ke pengadilan bersama pengacara."Ini udah sidang ke dua, tapi Yasmin masih mau minta harta gono gini. Harta apaan? Dari awal nikah aku yang sokong!" Emosi Gendis terpantik. Ia berkacak pinggang. Tiga temannya memperhatikan sambil duduk, malas menangkan nenek-nenek sumbu pendek."Permisi, Bu Gendis," sela salah satu karyawan."Ya, ada apa, Wan?" Gendis menoleh ke Wawan."Bu, calon karyawan baru sudah data

    Last Updated : 2024-12-15
  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Kondisi Laras dan Adinda

    πŸ’"Udah siap? Kita nggak akan kelihatan mencurigakan, kan?" bisik Soraya takut apa yang mereka lakukan membuat Laras tersinggung. "Nggak. Udah, yuk! Kita pemanasan dulu," ajak Yuni. Mereka berdua akan jogging pagi, Gendis dan Endah menyusul karena masih asa urusan di rumah. Jalan kaki dengan ritme pelan dilakukan, menyapa tetangga-tetangga sebelum menuju ke arah rumah Laras. Dari semua rumah, memang rumah yang Laras tinggali terlalu mencolok dengan kondisi yang cukup miris. Satu kali putaran dilakukan Yuni dan Soraya sambil memata-matai, lantas mereka ke arah lapangan RT. Di sana sudah ada Endah dan Gendis yang juga memakai baju olahraga training warna pink. "Laras di rumah, kan?" lirih Endah. "Ada, tadi kedengeran lagi cuci baju. Ada air ngalir dari arah selokan, bau pewangi juga," jawab Yuni."Yaudah, yok. Inget, kalau ditanya bilang kita habis muterin komplek dari setengah jam lalu," ujar Gendis. Keempatnya berjalan ke arah rumah Laras. Bangunan dua tingkat itu terlihat sud

    Last Updated : 2024-12-19
  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Urusan rumah sakit

    πŸ’"Bu," sapa Raffa setelah sampai. Ia menyalim punggung tangan Gendis lalu menghampiri Adinda yang masih sedikit pucat. "Kamu nggak apa-apa?" bisiknya. Adinda mengangguk. "Raf, kenapa nggak bilang Dinda mau operasi kista?!" Langsung semprot. Raffa berbalik badan perlahan mengarah pada Gendis. Raut wajahnya langsung berubah sendu. "Bukan gitu, Bu, Raffa cuma nggak mau Ibu pusing. Mikirin masalah Bang Daffa aja udah bikin Ibu naik tensi." "Sembarangan," protes Gendis seraya berkacak pinggang, ia juga memakai celemek karena sedang masak. "Urusan Bang Daffa udah Ibu serahin ke sang khalik! Terserah itu anak mau galau atau apalah. Yang penting cerai!" Gendis diam, menunggu sanggahan Raffa. "Yaudah, maaf, Bu. Ibu masak apa? Wangi amat?" Raffa mengeluarkan kemeja kerja dari dalam celana. Ia mendekat ke Gendis. "Sop ayam kampung. Kaldunya bagus buat kondisi Dinda, sama Ibu bikin tumis selada air pakai teri, biar sedep makannya. Ayahmu nanti ke sini juga." Gendis mengaduk sop ayam lagi.

    Last Updated : 2024-12-25

Latest chapter

  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Stalking Henggar

    πŸ’Mobil sedan melaju pelan setelah mendekati satu bangunan ruko di kawasan perumahan kalangan menengah ke atas. Keempat wanita paruh baya saling melempar pandangan ke arah bangunan berlantai dua dengan desain modern minimalis mediterania. "Ini kantornya, Ndis?" celetuk Yunni. "Iya kayaknya," sahut Gendis seraya melongok ke arah luar dari balik kaca mobil. Tangannya masih memegang kemudi, tubuhnya condong ke depan juga. "Terus, kita ngapain? Ndis, kalau suami dan anakku tau, bisa diomelin aku? Pergi lama-lama," keluh Soraya. Gendis menoleh ke belakang. "Nanti aku yang ngomong sama suami dan anak-anakmu," sewotnya. Lain dengan Endah yang oke oke aja, apalagi jika izin perginya dengan Gendis, pasti semua aman terkendali. "Tujuan kamu apa sih, Ndis. Kalau emang Henggar tulus dan sayang sama Kirana, kenapa kamu nggak restuin?" Soraya mau memperjelas tujuan mereka memata-matai Henggar. Gendis menyandarkan tubuh pada jok mobil yang diduduki, jemarinya mengetuk kemudi seraya berpikir

  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Nggak boleh protes!

    πŸ’Aisyah menyiapkan bekal untuk Raja, walau masih dua tahunan usianya lalu bersekolah, Daffa tetap meminta Raja bawa bekal sendiri. Kotak makan dimasukan ke dalam tas kecil berbentuk pesawat. Raja baru bangun tidur digendong Daffa yang hendak berangkat kerja. "Jumat besok ada kegiatan berkunjung ke sea world, aku cuti jadi bisa temani Daffa. Kamu di sini aja." Raja dipangku duduk di kursi meja makan. Aisyah mengangguk patuh, ia berdiri di dekat bak cuci piring. "Sarapan Raja mana?" Daffa melempar pandangan tajam. Aisyah lupa. Ia menepuk keningnya, lalu mengeluarkan bubur ayam buatannya dari microwave. Raja suka karena rasanya gurih kaldu sapi. Aisyah memasak sejak pukul tiga. "Ini, Mas." Aisyah meletakkan mangkuk bentuk anak singa warna orange. Raja pindah duduk di kursi kusus bayi, Daffa menyuapi Raja sambil menikmati sarapannya yang ia beli sendiri setiap malam. Aisyah bagaimana? Tetap berdiri memperhatikan, belum makan. Hanya minum teh. "Kamu bisa siapin baju Raja untuk hari

  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Masa depan anak perempuan

    πŸ’Meja makan diisi Gendis, Agung dan dua anak gadisnya. Makan malam syahdu karena saling bercerita hal-hal ringan yang terjadi hari itu. Ikan bakar masakan Gendis selalu menjadi kesukaan Agung. Makan tak pilih-pilih, apa yang Gendis sajikan dilibas habis masuk ke perut. "Bu, pendapatan Ibu dari usaha macem-macem, udah berapa omset rata-rata sebulan?" tutur Kirana, ia nambah sambal matah yang super seger karena asam pedas. "Mau tau? Kenapa? Incer warisan?" judes Gendis. Kirana hanya menyipitkan kedua matanya ke arah sang ibu. "Nuduh melulu. Kiran punya gaji sendiri, Bu.""Oh, kirain. Ibu mau sumbangin warisan Ibu soalnya, kalian cari duit sendiri, ya," canda Gendis. Nanda dan Kirana hanya menggeleng pelan sambil terkekeh. "Emang kenapa, Kirana?" Gendis menjeda menikmati makan malamnya. Kirana menatap lekat kedua mata ibunya. "Bu, jangan kecapean. Masih ada Kirana dan Nanda yang belum nikah. Kami anak cewek, butuh Ibu untuk ajarin banyak hal. Ya soal anak, rumah tangga." Gendis

  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Apa kata mas daffa aja

    πŸ’"Alasan apapun, terserah kamu bilang ke Ibu apa kita pisah kamar." Daffa melepaskan setelan jas yang dikenakan untuk acara pernikahan. "Oke." Dengan santai Aisyah menjawab sambil duduk di sofa ruang tengah apartemen yang menyambung ke dapur juga meja makan kecil. Namanya diapartemen, apalagi Agung dan Gendis menyewakan yang tipe kecil. Niat hati supaya anak dan menantunya bisa mulai berkomunikasi lancar lalu muncul benih cinta, rupanya tak mudah. Ya ... yang penting sudah usaha. "Kamar kamu itu, karena saya sama Raja jadi yang agak besar," tunjuknya ke kamar yang lebih kecil. "Oke," tukas Aisyah simple. "Udah? Aku mau ganti baju dan mandi. Raja datang sama susternya sebentar lagi, kan?" "Raja datang tiga hari lagi, karena orang tua kita berpikir kita lagi bulan madu." Daffa masuk ke dalam kamar utama. Aisyah menjawab dengan satu kata 'oh.' Lalu masuk ke kamarnya. Detik jam terasa lama. Tak ada kegiatan pengantin baru yang dilakukan mereka. Daffa tidur lepas sholat Isya, sedan

  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Batal Minggat

    πŸ’Laras menolak lamaran yang meminta Aisyah menjadi istri Daffa. Alasannya, Laras merasa tak pantas berbesan dengan Gendis, apalagi latar belakang kegagalan rumah tangga yang didera wanita itu pasti akan menjadi masalah suatu saat nanti. Laras lupa, yang ada dihadapannya adalah Gendis, wanita keras kepala yang punya insting tepat layaknya peramal tanpa pernah meleset. "Yang bikin kamu malu apa sebenernya? Kalau masalah tetangga omongin kamu, diemin aja, Ras." Gendis merapatkan duduknya ke arah Laras. "Namanya tinggal bertetangga, mau di gang sempit, komplet elit, komplek kayak kita, pasti akan ada gossip, Ras. Aku yakin Aisyah bisa jadi istri yang memang Daffa mau untuk seumur hidupnya. Anak itu aja masih gendeng, butuh obat dan itu ... Aisyah." Laras menggeleng tak yakin, "Ndis, Agung ... jangan jadikan anakku tersiksa menikah dengan Daffa. Mungkin Daffa butuh waktu untuk obati hatinya, tapi bukan dengan Aisyah." Laras tetap berusaha menolak. "Nggak, Ras. Aisyah paling pas. Aku n

  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Jalan keluar kehabisan beras

    πŸ’"Cari istri kayak Ibumu, Bang," ucap Agung mencoba membuka pikiran anaknya. Sejak keputusan dibuat Gendis, Daffa langsung murung. "Nggak bisa, Yah. Jalan hidup kan beda-beda," kilah Daffa. "Siapa bilang?" jeda Agung terkekeh. "Ada doa. Kamu lupa?" sindirnya. Kursi teras menjadi saksi obrolan ayah dan anak itu hampir larut malam. Daffa masih tak bisa menerima keputusan Gendis, tapi tetap harus dijalankan. Esok hari. Gendis membahas rencana melamar Aisyah bersama Yuni, Endah dan Soraya. Semua mendukung, tinggal bicara ke Laras saja yang harus tepat waktu. Namun, setelah sepekan, Laras mendadak tak ada di rumah. Bahkan saat Gendis menemani Adinda operasi, masih menyempatkan diri ke rumah Laras, semua terkunci. Hanya lampu teras menyala. "Kemana si Laras? Aisyah juga nggak kerja dua hari ini?" gumamnya lantas mengarahkan kemudi ke arah rumah. "Kucing beranak!" lontarnya kaget karena sekuriti RT mendadak muncul sambil menghentikan laju mobilnya. "Bu Gendis, cari Bu Laras?" kata se

  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Efek samping gotong royong

    πŸ’Sabtu pagi pekan itu, menjadi hari dilaksanakan kegiatan membersihkan lingkungan, menghias juga 'bedah rumah' kecil-kecilan untuk Laras. Wanita itu mendapatkan jadwal operasi dua minggu lagi, jadi masih bisa beraktifitas normal. Dari dalam rumah, ia membawa nampan berisi bakwan goreng buatannya, padahal Gendis sudah melarang. Ada kas RT yang digunakan untuk konsumsi anak muda yang merapikan rumah. Tak enak hati, Laras tetap membuatkan suguhan sederhana. Aisyah sendiri bekerja, pagi-pagi sekali sudah ke toko karena ada yang booking untuk acara sekolah. Ia harus menata tempat di lantai dua. "Bang Daffa, kamu bisa kayaknya ganti plafon. Udah lihat ke lantai atas rumah Tante Laras?" bisik Gendis saat Daffa baru datang dari rumah. "Belum detail, Bu. Yang lain aja, lah. Abang bersihin halaman aja," tolaknya. "Ih! Gitu amat. Badanmu tinggi gagah, kuat, nggak perlu naik tangga sampai ujung buat ganti plafon," gerutu Gendis. Daffa tetap tak mau, ia memilih membersihkan halaman rumah Ge

  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Permintaan perangkat RT

    πŸ’Aisyah menyiapkan makan malam untuk ibunya. Ia sendiri beralasan masih kenyang, jadi membiarkan ibunya makan yang banyak. "Syah, operasinya nanti berhasil nggak, ya?" tukas Laras pelan. "Berhasil. Yang penting Ibu jangan banyak pikiran. Bu ... tadi Isyah pulang diantar Kak Kirana, dia cerita katanya Mas Daffa cerai, padahal udah punya anak." Aisyah bertopang dagu. "Ya terus? Kamu kasihan?" Laras tersenyum tipis. "Nggak, sih. Cuma aneh aja. Ngapain nikah kalau akhirnya ce--" Aisyah diam. Ia tatap Laras yang ternyata menatapnya lekat. "Maaf, Bu, nggak maksud nyindir." Laras lanjut makan diiringi senyuman. "Cerai itu pilihan, Syah. Tergantung seberat apa masalahnya. Kalau orang tuamu ini, udah jelas apa masalahnya dan berat. Kalau Daffa, bisa aja sama-sama berat tapi buat dia, buat kita belum tentu. Jangan menilai perceraian selalu karena hal berat atau sepele ya, Syah. Semua kembali ke permasalahannya." Aisyah mengangguk. Hujan deras kembali turun. Aisyah meletakkan baskom dan

  • Mertua Masa Gini?Β Β Β Urusan rumah sakit

    πŸ’"Bu," sapa Raffa setelah sampai. Ia menyalim punggung tangan Gendis lalu menghampiri Adinda yang masih sedikit pucat. "Kamu nggak apa-apa?" bisiknya. Adinda mengangguk. "Raf, kenapa nggak bilang Dinda mau operasi kista?!" Langsung semprot. Raffa berbalik badan perlahan mengarah pada Gendis. Raut wajahnya langsung berubah sendu. "Bukan gitu, Bu, Raffa cuma nggak mau Ibu pusing. Mikirin masalah Bang Daffa aja udah bikin Ibu naik tensi." "Sembarangan," protes Gendis seraya berkacak pinggang, ia juga memakai celemek karena sedang masak. "Urusan Bang Daffa udah Ibu serahin ke sang khalik! Terserah itu anak mau galau atau apalah. Yang penting cerai!" Gendis diam, menunggu sanggahan Raffa. "Yaudah, maaf, Bu. Ibu masak apa? Wangi amat?" Raffa mengeluarkan kemeja kerja dari dalam celana. Ia mendekat ke Gendis. "Sop ayam kampung. Kaldunya bagus buat kondisi Dinda, sama Ibu bikin tumis selada air pakai teri, biar sedep makannya. Ayahmu nanti ke sini juga." Gendis mengaduk sop ayam lagi.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status