π
"BURUAAANNN!" teriak Gendis, wanita berusia lima puluh tahun berdiri berkacak pinggang di ruang tamu rumah dengan empat kamar.
"Ya ampun, Bu ... sabarrrr!" balas Nanda, anak keempatnya yang masih SMA kelas dua.
Grabak grubuk heboh di dalam rumah pasti terdengar setiap harinya. Tanpa terkecuali!
"Bu, santai sedikit, lah," bisik Agung, suaminya sembari menepuk bahu Gendis.
"Ssstt! Diem, kamu, Yah! Anak-anak kalau nggak diteriakin leletttt kayak siput! Kamu ke mobil duluan aja," perintah Gendis.
"Pake mobil yang mana, Bu?" Agung menghadap ke gandungan kunci kendaraan tergantung rapi.
"Truk pasir aja!" sahutnya enteng masih menatap empat anaknya yang mondar mandir, ada yang ambil sepatu, dandan tipis-tipis di meja makan, minum kopi sambil sisiran. Rame pokoknya rameee!
Agung hanya bisa tertawa pelan lantas berjalan ke garasi setelah membawa kunci.
"Abang Daffa! Mana topi toganya! Buruan itu kopi habisin! Yang mau wisuda geraknya lambat banget! Hih!" kesal Gendis seraya menghampiri Daffa yang kembali meneguk kopinya.
"Tau, lama banget lo, Bang?" sambar Raffa, adiknya yang sudah siap dengan batik lengan panjang.
"Bu, ayo!" panggil Nanda dan Kirana, anak keempat dan tiga yang sudah berdiri di teras rumah.
Daffa bangkit dari duduknya, ia ambil topi toga di dalam kamarnya. Raffa bersiap mengunci pintu rumah dan pagar.
"Raf! Kuncinya kasih ke satpam, Mbak Inong nanti dateng jam sembilan." Gendis membuka pintu depan mobil.
"Iya, Bu. Bang! Bantuin itu Ibu naik, awas buntut kebayanya nyangkut!" Raffa memberi peringatan. Daffa bergumam, ia bantu Gendis masuk ke dalam mobil juga merapikan kebaya ibunya.
Mobil alpart hitam akhirnya melaju di jalan tol. Sepanjang jalan sampai lokasi wisuda, Daffa sibuk bicara di telepon dengan kekasihnya. Kirana dan Nanda sampai bosan, jika Raffa ia tidur karena semalam habis rapat acara RT sampai jam sebelas malam.
"Udah dulu kali, Bang ... di sana Yasmin juga dateng, kan?" sindir Gendis.
Daffa memberitau Yasmin, lantas menyudahi obrolan di ponsel. "Iya, Bu. Bentar doang," sahutnya santai.
"Sebentar palamu benjut! Udah dua puluh tiga menit kamu ngobrol?!" celoteh Gendis sambil menunjukkan stopwatch ponselnya.
"Kamu itung, Bu?" Agung takjub.
"Iya, lah! Itu kuping Daffa apa nggak demam?" Gendis akan selalu sewot jika ada hal yang tak sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan berdasarkan rapat paripurna kelurga.
"Bu, gitu-gitu calon mantu, jangan galak-galak, lah?" sahut Daffa santai. Gendis menoleh ke belakang, Agung menatap dari spion tengah, Kirana dan Nanda saling menatap. Untuk Raffa, maaf, masih pules.
"Maksudnya?" tekan Daffa.
"Target Abang, setelah kerja setahun, mau lamar dia, Bu. Pacaran sama Yasmin udah dua tahun, cocok, mau apa lagi, kan?" Daffa senyam senyum puas.
"Ibu tanya sama kamu, Bang. Pertama, kamu kerja masih baru empat bulan dengan gaji lima juta. Kedua, masih kontrak enam bulan, belum tentu kamu diangkat jadi pegawai tetap. Ketiga, nggak ada ya kamu nikahin Yasmin kerjaan kamu belum tetap. Jangan bikin malu keluarga kita!" pelotot Gendis.
"Bu ... rejeki bisa ngalir sambil ibadah menikah, Bu ...," rengek Daffa.
"Betul, Bang. Masalahnya ini kamu ... kamu lho ... Daffa anak Ibu dan Ayah yang leletnyaaaa super! Berangkat kerja kalau nggak bareng Ayah bisa bedug dzuhur kamu sampe. Setiap hari Ibu bekalin makanan sama snack ngalahin cucunya Wanda yang udah SD kelas satu! Nggak pake ... nggak pake! Nikah lima tahun lagi. Umurmu pas dua enam!"
Raffa bergeliat, ia melirik Daffa lalu menepuk-nepuk bahu abangnya.
"Nurut, Bang. Dari pada lo dimasukin ke perut Ibu lagi. Udah gue nasehatin ngeyel sih," tukan Raffa.
"Tau lo, Bang. Ntar aja sih nikahnya. Sekarang mau wisuda aja Ibu segala pake acara syukuran kayak mau hajatan, apalagi lo nikah. Sebagai anak pertama mana mungkin Ibu bikin acara sederhana." Kirana mengingatkan Daffa.
"Udah ... jangan bahas nikah. Tuh, udah ramai, banyak orang. Diundangan cuma bisa orang tua yang masuk di kursi VIP. Raffa, Kirana dan Nanda masuk lewat pintu tamu umum, bayar, ya, Bang?" Agung memarkirkan mobil.
"Iya, Yah. Satu orang gocap." Daffa bersiap memakai topi toganya.
"Nih, Raf, pegang uangnya." Agung memberikan dua lembar seratus ribuan ke Raffa. Ia masukan uang ke dompetnya.
Gendis merapikan penampilannya, kebaya pink fusia cetar di mata siapapun yang memandang. Agung memakai setelan jas warna hitam berkemeja putih dipadu dasi warna fusia.
"Bu, Yah, nanti kalau disebutin nama Abang, sorak sorak gembira, ya," pinta Daffa.
Gendis melirik sebal. "Maaf, ya, Bang, attitude Ibu mahal," sahut Gendis mengamit lengan Daffa berjalan ke dalam gedung.
Gendis dan Agung duduk di kursi bagian depan. Keduanya menunggu para wisudawan dan wisudawati masuk.
"Ibu, orang tua siapa?" tegur seorang wanita di samping Gendis.
"Daffa Pradana, jurusan teknik sipil. Ibu?" balas Gendis.
"Saya Ibunya Firman Husada Putra, teknik sipil juga. Kayaknya temenan sama Daffa, ya?"
Gendis mengernyitkan kening. Firman mana, lupa juga Gendis, kan?
"Saya yang jualan buah di pasar, Bu."
Gendis terbelalak. "Ya ampun! Iya inget. Akhirnya ketemu kita. Apa kabar, Bu?" Keduanya bercipika cipiki. "Sehat?" Gendis tersenyum lebar.
"Sehat, Bu. Saya mau ucapin makasih ke Ibu, waktu itu pesen jeruk, apel, anggur sampai berpeti-peti. Makasih, ya."
Gendis tersenyum. "Sama-sama, kita sesama pedagang harus saling dukung. Lagian buahnya bagus-bagus."
"Iya, Bu. Pasti kualitas super yang saya pilih. Ngomong-ngomong, Ibu tau kalau Daffa cumlaude? Kata Firman, urutan pertama setelah itu Firman."
"Hah?" Gendis menganga. Ia sungguh tak percaya. Daffa, anak sulungnya yang terkenal manja dan lelet, kalau tidak dibawelin tidak akan gerak, bisa cumlaude?
Benar saja, saat nama Daffa dipanggil lengkap beserta title sarjana juga nilai cumlaude, Gendis hanya bisa tersenyum meringis keheranan sembari tepuk tangan. Sedangkan Agung begitu bangga dan haru.
Tiga adik Daffa, semua keheranan. Bak mimpi ternyata kakak sulungnya sepintar itu.
Selesai acara wisuda, di depan gedung tersebut Yasmin datang membawa buket bunga untuk Daffa.
Lirikan mata Gendis membuat Kirana menyikut lengan ibunya. "Bu, jangan gitu," bisik Kirana.
"Biarin. Ke acara wisuda masa pake bajunya kayak gitu. Kamu nggak lihat dressnya kayak menerawang. BHnya kemana-mana gitu. Buruan ke mobil. Kita ke studio foto!" ajak Gendis kesal.
"Tante, mau kemana?" sapa Yasmin.
"Ke mal. Mau ikut?" Gendis basa basi.
"Mm... nggak, Tante. Yasmin buru-buru mau pergi sama temen-temen. Tante Gendis sehat, kan?"
Gendis mengangguk. Ia lantas menarik Agung berjalan ke arah mobil. Mereka meninggalkan Daffa yang masih ngobrol dengan Yasmin.
***
"Anak sekarang emang kayak gitu, Dis. Kamu kayak nggak pernah muda," tegur Soraya. Teman satu arisan, satu klub jalan santai dan satu klub line dance.
"Enak aja memaklumi gaya anak sekarang apalagi sampe berani pake baju kayak gitu." Gendis bersingut sebal. "Apa orang tuanya nggak negur? Gemes aku, mau tak ceramahi."
"Jangan. Belum jadi mantumu. Kita tunggu Endah sama Yuni, setelah itu ke tempatmu." Soraya duduk kembali di sofa ruang tamu rumahnya.
"Mau ngapain ke tempatku? Reservasi arisan? Bosan, ah, jangan di tempatku," tolak Gendis.
"Bukan buat arisan, tapi buat acara lamaran keponakanku."
"Oh, yaudah kita ke sana. Eh, Ya. Aku bikin syukuran Daffa udah wisuda juga kali ya, undang warga satu RT aja, gimana?"
Soraya berpikir sejenak. "Mau ngapain? Kamu nanti dibilang pamer sama tetangga ujung. Si ratu julid lambe jeber."
"Syukuran sama dengan berbagi, Ya," bela Gendis.
"Bikin masi box, kamu taruh di masjid, bagi-bagi ke yang pulang jumatan. Lebih berkah. Lagian orang tau siapa kamu dan Agung, kok, butuh validasi apalagi?" Soraya merapikan tatanan rambutnya.
"Aku nggak mau validasi, cuma bentuk syukur anakku ada yang sudah sarjana." Gendis masih sedikit keras kepala.
Soraya tetap melarang, ia tak mau temannya jadi bahan gossip tetangga lagi karena dikit-dikit bikin acara ini dan itu. Biasa, kan, pembenci akan selalu ada.
"Daffa tau kamu nggak suka sama Yasmin?" Soraya kembali ke topik awal.
"Nggak. Kasihan. Biar aku perhatiin dulu sejauh mana sikap Yasmin. Mau jadi bagian keluargaku, nggak usah neko-neko. Sederhana dan apa adanya aja, bukan ada apanya."
Gendis sendiri pemilik rumah makan khas sunda, toko roti dan kue yang sudah sepuluh tahun berdiri.
Berawal dari iseng karena bosan di rumah, ia nekat minta izin Agung untuk buka usaha. Tabungan dikuras, menyisakan dana untuk hidup sehari-hari saja.
Ia rintis dari nol besar. Sedangka suaminya bekerja sebagai direktur keuangan perusahaan maskapai penerbangan.
Seharusnya mereka bisa membeli rumah mewah di kawasan elite, tapi bagi Gendis, hidup sewajarnya, beli mobil mewah jika mampu, jalan-jalan kemanapun jika mampu juga. Jangan sampai memaksakan diri.
Rumahnya juga sederhana, tak ada lampu kristal mahal, lantai marmer atau granit, semua apa adanya. Cenderung merendah.
Gendis berwatak keras, judes dan kalau sudah marah, cerewet tujuh hari tujuh malam sampai puas ia luapkan juga bisa.
Harapannya satu, anak-anak bahagia dengan cara yang baik juga wajar, maka ia akan bahagia. Pasalnya Gendis tau, mencapai kebahagiaan apalagi saat berumah tangga akan terjal jalanannya,
bersambung,
π"Siapa yang belum masukin baju ke mesin cuciii!" teriak Gendis dari belakang rumah, tepatnya tempat jemuran dan cuci baju.Nanda lompat dari atas kasur, ia buka keranjang baju kotor. Sudah kosong. Aman .... Ia lantas membuka pintu kamar, masuk tanpa mengetuk ke kamar Raffa."Bang Raffa! Baju lo!" pelotot Nanda."Udah kaleee, lo lihat noh keranjang baju, kosong. Bang Daffa kayaknya, langganan bikin alarm Ibu bunyi." Raffa sedang bermain gitar akustik sambil duduk di depan meja belajarnya."Okeh!" Nanda berjalan ke keranjang baju kotor lainnya masih di kamar Raffa karena Daffa satu kamar dengan adiknya itu."Bener, Bang. Abang lo keterlaluan. Sekarang kemana Bang Daffa?!" Nanda bersiap membawa keranjang baju kotor ke belakang."Ke rumah Yasmin. Eh, Nda, bilang Ibu ... restuin aja Abang kita, Bang Daffa juga udah karyawan tetap kan. Feeling gue nggak enak.""Maksudnya?" Nanda membopong keranjang baju kotor dengan tenang."Intinya, Bang Daffa bego kalau udah bucin. Kirana kemana?""Kak
π"Makanya, saya juga kaget. Kok mendadak banget tau-tau siraman si Daffa." Bu Sukun, warga di ujung jalan yang memang doyan ghibahin tetangga berbisik-bisik dengan temannya saat berjalan kaki hendak menuju ke rumah Gendis.Kurang dari satu bulan persiapan selesai. Tentu saja buru-buru sebelum perut Yasmin nantinya semakin membesar.Gendis sangat menjaga nama baik keluarganya. Tak mengapa ia dan Agung menanggung semua biaya pernikahan.Tenda terpasang apik nuansa warna abu-abu muda dan putih. Di depan rumah ada janur kuning hingga hiasan anyaman dari daun kelapa.Tetangga satu RT diundang acara siraman. Esok hari akad nikah lalu resepsi siang harinya.Seragam keluarga dipilih Gendis warna ungu tua. Gendis begitu cantik dengan sanggul khas jawa, dua anak perempuannya juga berdandan yang sama.Daffa sudah bersiap keluar dari dalam rumah menuju ke tempat siraman yang ada di halaman rumah.Pemandu acara mulai memandu, Daffa berjalan keluar dari dalam rumah didamping ketiga adiknya. Ia ta
π6 bulan setelah Daffa menikah, putra sulungnya itu jarang ke rumah Gendis. Hanya dua kali dan itu membuat Gendis mulai gemas."Yah, aku mau ke rumah Daffa," pamitnya saat Agung hendak berangkat kerja."Mau ngapain?" Agung sudah berjalan ke teras rumah diikuti Gendis yang tampak rapi."Pingin aja." Jawaban Gendis tak bisa meruntuhkan kecurigaan Agung. Kedua mata menyipit ke arah sang istri. "Iya, iya ... mau cek aja apa mereka baik-baik aja. Kandungan Yasmin juga udah delapan bulan, kan? Dari acara nujuh bulanan kemarin, nggak ada kabar. Mana kita nggak diundang," geram Gendis."Yaudah, lah, Bu ... mungkin Yasmin mau sama keluarganya." Agung membuka pintu mobil."Ya nggak bisa, lah. Itu kan juga cucuku!" protes Gendis tersinggung."Terus kamu ke sana naik apa?" Agung sudah bersiap menghidupkan mesin mobil."Taksi aja, biar cepet. Dari sana mampir ke toko, mau meeting launching menu baru." Gendis menyalim punggung tangan Agung, dibalas Agung mencium kening istrinya."Hati-hati, Yah!"
π"Ibu kamu kenapa sampai begini ke aku, Daf? Apa hidup kita selalu diawasi Ibu?" Keluh kesah dilontarkan Yasmin. Keduanya berdiri berhadapan."Niat Ibu baik, Yasmin. Cuma memang Ibu orangnya begitu, kamu juga nggak mau coba dekati Ibu, kan? Padahal semua ini Ibu yang siapin."Yasmin tertawa miris, "jadi karena Ibu udah fasilitasi semua, sampai urusan di dalam kamar diatur juga?! Ya nggak gitu, Daf. Aku nggak mau, ya, Ibu ke sini lagi. Terserah kamu mau marah apa nggak. Aku lama-lama kesel sama Ibu!" Nada bicara Yasmin meninggi. Ia masuk ke dalam kamar, meninggalkan Daffa dalam kebingungan.Kenapa Yasmin begini setelah nikah? Apa karena hormon ibu hamil? batin Daffa seraya menundukkan kepala.Perkara besok harus bayar cicilan kartu kredit saja ia masih tak tau bayar dari uang apa. Ditambah Yasmin merajuk seperti itu.Daffa berjalan ke arah meja makan, di atas meja sudah ada masakan ibunya. Walau hanya gulai daging sapi dan tumis sayur selada air.Senyum Daffa merekah, ia ambil piring
πBulan yang ditunggu tiba, Daffa menghubungi Gendis jika Yasmin akan melahirkan. Mereka sudah di rumah sakit sejak siang hari."Bu, ayo ke sana," ajak Agung yang tampak tak sabaran."Iya, tunggu dong, Yah, masih rapihin rambut. Bagusan di jepit tengah apa di cepol terus kasih jepitan?" Gendis bersolek di depan cermin meja rias."Apa aja Ibu selalu cantik," puji Agung."Halah gombal." Gendis menahan senyum. Ia cepol rambutnya, lantas menyematkan jepitan rambut bentuk bunga. "Oke siap. Dressku bagus juga kan, Yah, nggak norak warnanya?""Nggak, ayo buruan. Kasihan Daffa pasti nungguin kita.""Nungguin buat apa? Minta dibayarin biaya lahirannya? Mbel gedes, maaf ya, nggak, deh." Gendis lalu menenteng tas tangan yang berisi macam-macam, dari tisu kering, tisu basah, minyak angin, lengkap pokoknya.Agung mendengkus, Gendis benar-benar akan memberi pelajaran sendiri untuk anaknya.Nanda dijemput di tempat les, masih memakai seragam sekolah, remaja itu masuk ke dalam mobil. Ia menyapa kedu
πGendis tak peduli jika ia dibenci Yasmin, bodo amat. Apalagi ia yang biayai persalinan sampai pulang ke rumah, bahkan aqiqah pun, Gendis yang biayai atas dasar sedekah ke cucu.Seharusnya jadi urusan Daffa, tetapi karena uang Daffa tak cukup, jadilah Gendis dan Agung lagi yang biayai.Kedua orang tua Yasmin ya petantang petenteng saja, seolah ikut terlibat. Bahkan saat acara aqiqah satu pekan setelah Yasmin melahirnya, keluarga ibunya Yasmin banyak diundang hadir.Gendis yang peka, dengan santai memesan semua urusan aqiqah di tempat kenalannya juga. Jadi tak ada keluarga yang rewel minta jatah bungkus makanan.Yuni, Endah, Soraya turun tangan membantu Gendis mengatur acara.Kirana asik duduk sambil menggendong keponakannya saat acara aqiqah selesai. Di sampingnya sang kekasih hati memperhatikan sambil tersenyum."Buruan resmiin," celoteh Daffa, ia duduk di dekat Kirana."Bang Raffa dulu, lah. Masa gue lompatin Kakak sendiri." Kirana mengusap pelan pipi bayi tampan itu."Nggak papa
πWarung makan khas sunda ramai sekali saat akhir pekan. Gendis berada di sana sejak pagi bahkan saat belum buka. Ia sibuk di dapur membantu anak buahnya menyiapkan banyak hal."Tik! Meja sepuluh tanyain, pesanannya udah semua belum?" perintah Gendis."Baik, Bu!" sahut semangat Tika. Gendis menuju meja prasmanan berisi wadah-wadah delapan jenis sambal yang digratiskan."Jo, Jojo," panggilnya sambil melambaikan tangan. Jojo mendekat. "Sambal mangganya tinggal setengah, ambil di dapur, isi ya. Jangan sampai begini," bisiknya."Iya, Bu Gendis," tukas Jojo seraya berlari. Warung itu bersuansa putih dan hijau muda. Kapasitas bisa menambung seratus orang lebih, dengan konsep kekeluargaan, menu yang disediakan Gendis bahkan ada yang khusus untuk anak-anak dengan paket menarik juga porsi yang pas, jadi tidak terbuang makanannya.Prinsip jualanannya begitu, jika tidak habis makanan yang dipesan, kena denda tiga puluh persen. Tidak takut pengunjung lari? Oh, tidak. Justru ia mau mengajarkan pe
π"Kamu kenapa bohong sama Yasmin, Bang. Ke Bali kok bilangnya ke Surabaya. Pantesan dia minta pesenin tiket kereta." Gendis mengantar Daffa sampai ke terminal bis bandara."Kesel, Bu. Bu, nggak apa-apa Ibu urus bayi?" Daffa menoleh ke baby car seat di jok belakang, anaknya tidur pulas."Emang kamu pikir, empat anak Ibu siapa yang urus?! Sembarangan. Kamu kerja aja, fokus. Istrimu biar di rumah sendirian. Biar mikir. Itu juga kalau punya pikiran. Hati-hati, ya, Bang," pesan Gendis. Daffa menyalim lalu mencium pipi ibunya. Daffa juga mencium putranya sejenak sebelum mengambil koper di bagasi."Hati-hati, Nak!" teriak Gendis lalu melambaikan tangan. Ia tancap gas pulang ke rumah, sebelumnya sudah menelpon Nanda untuk belikan pampers juga sabun bayi."Ibumu gendeng, urus kamu nggak becus. Maaf ya, Nini harus ngomong gini," gumam Gendis tak kuasa menahan rasa kesal. Ia mengemudi dengan hati-hati karena membawa cucunya.Di rumah, semua menyambut senang apalagi Raffa dan calon istrinya. Ca
πMobil sedan melaju pelan setelah mendekati satu bangunan ruko di kawasan perumahan kalangan menengah ke atas. Keempat wanita paruh baya saling melempar pandangan ke arah bangunan berlantai dua dengan desain modern minimalis mediterania. "Ini kantornya, Ndis?" celetuk Yunni. "Iya kayaknya," sahut Gendis seraya melongok ke arah luar dari balik kaca mobil. Tangannya masih memegang kemudi, tubuhnya condong ke depan juga. "Terus, kita ngapain? Ndis, kalau suami dan anakku tau, bisa diomelin aku? Pergi lama-lama," keluh Soraya. Gendis menoleh ke belakang. "Nanti aku yang ngomong sama suami dan anak-anakmu," sewotnya. Lain dengan Endah yang oke oke aja, apalagi jika izin perginya dengan Gendis, pasti semua aman terkendali. "Tujuan kamu apa sih, Ndis. Kalau emang Henggar tulus dan sayang sama Kirana, kenapa kamu nggak restuin?" Soraya mau memperjelas tujuan mereka memata-matai Henggar. Gendis menyandarkan tubuh pada jok mobil yang diduduki, jemarinya mengetuk kemudi seraya berpikir
πAisyah menyiapkan bekal untuk Raja, walau masih dua tahunan usianya lalu bersekolah, Daffa tetap meminta Raja bawa bekal sendiri. Kotak makan dimasukan ke dalam tas kecil berbentuk pesawat. Raja baru bangun tidur digendong Daffa yang hendak berangkat kerja. "Jumat besok ada kegiatan berkunjung ke sea world, aku cuti jadi bisa temani Daffa. Kamu di sini aja." Raja dipangku duduk di kursi meja makan. Aisyah mengangguk patuh, ia berdiri di dekat bak cuci piring. "Sarapan Raja mana?" Daffa melempar pandangan tajam. Aisyah lupa. Ia menepuk keningnya, lalu mengeluarkan bubur ayam buatannya dari microwave. Raja suka karena rasanya gurih kaldu sapi. Aisyah memasak sejak pukul tiga. "Ini, Mas." Aisyah meletakkan mangkuk bentuk anak singa warna orange. Raja pindah duduk di kursi kusus bayi, Daffa menyuapi Raja sambil menikmati sarapannya yang ia beli sendiri setiap malam. Aisyah bagaimana? Tetap berdiri memperhatikan, belum makan. Hanya minum teh. "Kamu bisa siapin baju Raja untuk hari
πMeja makan diisi Gendis, Agung dan dua anak gadisnya. Makan malam syahdu karena saling bercerita hal-hal ringan yang terjadi hari itu. Ikan bakar masakan Gendis selalu menjadi kesukaan Agung. Makan tak pilih-pilih, apa yang Gendis sajikan dilibas habis masuk ke perut. "Bu, pendapatan Ibu dari usaha macem-macem, udah berapa omset rata-rata sebulan?" tutur Kirana, ia nambah sambal matah yang super seger karena asam pedas. "Mau tau? Kenapa? Incer warisan?" judes Gendis. Kirana hanya menyipitkan kedua matanya ke arah sang ibu. "Nuduh melulu. Kiran punya gaji sendiri, Bu.""Oh, kirain. Ibu mau sumbangin warisan Ibu soalnya, kalian cari duit sendiri, ya," canda Gendis. Nanda dan Kirana hanya menggeleng pelan sambil terkekeh. "Emang kenapa, Kirana?" Gendis menjeda menikmati makan malamnya. Kirana menatap lekat kedua mata ibunya. "Bu, jangan kecapean. Masih ada Kirana dan Nanda yang belum nikah. Kami anak cewek, butuh Ibu untuk ajarin banyak hal. Ya soal anak, rumah tangga." Gendis
π"Alasan apapun, terserah kamu bilang ke Ibu apa kita pisah kamar." Daffa melepaskan setelan jas yang dikenakan untuk acara pernikahan. "Oke." Dengan santai Aisyah menjawab sambil duduk di sofa ruang tengah apartemen yang menyambung ke dapur juga meja makan kecil. Namanya diapartemen, apalagi Agung dan Gendis menyewakan yang tipe kecil. Niat hati supaya anak dan menantunya bisa mulai berkomunikasi lancar lalu muncul benih cinta, rupanya tak mudah. Ya ... yang penting sudah usaha. "Kamar kamu itu, karena saya sama Raja jadi yang agak besar," tunjuknya ke kamar yang lebih kecil. "Oke," tukas Aisyah simple. "Udah? Aku mau ganti baju dan mandi. Raja datang sama susternya sebentar lagi, kan?" "Raja datang tiga hari lagi, karena orang tua kita berpikir kita lagi bulan madu." Daffa masuk ke dalam kamar utama. Aisyah menjawab dengan satu kata 'oh.' Lalu masuk ke kamarnya. Detik jam terasa lama. Tak ada kegiatan pengantin baru yang dilakukan mereka. Daffa tidur lepas sholat Isya, sedan
πLaras menolak lamaran yang meminta Aisyah menjadi istri Daffa. Alasannya, Laras merasa tak pantas berbesan dengan Gendis, apalagi latar belakang kegagalan rumah tangga yang didera wanita itu pasti akan menjadi masalah suatu saat nanti. Laras lupa, yang ada dihadapannya adalah Gendis, wanita keras kepala yang punya insting tepat layaknya peramal tanpa pernah meleset. "Yang bikin kamu malu apa sebenernya? Kalau masalah tetangga omongin kamu, diemin aja, Ras." Gendis merapatkan duduknya ke arah Laras. "Namanya tinggal bertetangga, mau di gang sempit, komplet elit, komplek kayak kita, pasti akan ada gossip, Ras. Aku yakin Aisyah bisa jadi istri yang memang Daffa mau untuk seumur hidupnya. Anak itu aja masih gendeng, butuh obat dan itu ... Aisyah." Laras menggeleng tak yakin, "Ndis, Agung ... jangan jadikan anakku tersiksa menikah dengan Daffa. Mungkin Daffa butuh waktu untuk obati hatinya, tapi bukan dengan Aisyah." Laras tetap berusaha menolak. "Nggak, Ras. Aisyah paling pas. Aku n
π"Cari istri kayak Ibumu, Bang," ucap Agung mencoba membuka pikiran anaknya. Sejak keputusan dibuat Gendis, Daffa langsung murung. "Nggak bisa, Yah. Jalan hidup kan beda-beda," kilah Daffa. "Siapa bilang?" jeda Agung terkekeh. "Ada doa. Kamu lupa?" sindirnya. Kursi teras menjadi saksi obrolan ayah dan anak itu hampir larut malam. Daffa masih tak bisa menerima keputusan Gendis, tapi tetap harus dijalankan. Esok hari. Gendis membahas rencana melamar Aisyah bersama Yuni, Endah dan Soraya. Semua mendukung, tinggal bicara ke Laras saja yang harus tepat waktu. Namun, setelah sepekan, Laras mendadak tak ada di rumah. Bahkan saat Gendis menemani Adinda operasi, masih menyempatkan diri ke rumah Laras, semua terkunci. Hanya lampu teras menyala. "Kemana si Laras? Aisyah juga nggak kerja dua hari ini?" gumamnya lantas mengarahkan kemudi ke arah rumah. "Kucing beranak!" lontarnya kaget karena sekuriti RT mendadak muncul sambil menghentikan laju mobilnya. "Bu Gendis, cari Bu Laras?" kata se
πSabtu pagi pekan itu, menjadi hari dilaksanakan kegiatan membersihkan lingkungan, menghias juga 'bedah rumah' kecil-kecilan untuk Laras. Wanita itu mendapatkan jadwal operasi dua minggu lagi, jadi masih bisa beraktifitas normal. Dari dalam rumah, ia membawa nampan berisi bakwan goreng buatannya, padahal Gendis sudah melarang. Ada kas RT yang digunakan untuk konsumsi anak muda yang merapikan rumah. Tak enak hati, Laras tetap membuatkan suguhan sederhana. Aisyah sendiri bekerja, pagi-pagi sekali sudah ke toko karena ada yang booking untuk acara sekolah. Ia harus menata tempat di lantai dua. "Bang Daffa, kamu bisa kayaknya ganti plafon. Udah lihat ke lantai atas rumah Tante Laras?" bisik Gendis saat Daffa baru datang dari rumah. "Belum detail, Bu. Yang lain aja, lah. Abang bersihin halaman aja," tolaknya. "Ih! Gitu amat. Badanmu tinggi gagah, kuat, nggak perlu naik tangga sampai ujung buat ganti plafon," gerutu Gendis. Daffa tetap tak mau, ia memilih membersihkan halaman rumah Ge
πAisyah menyiapkan makan malam untuk ibunya. Ia sendiri beralasan masih kenyang, jadi membiarkan ibunya makan yang banyak. "Syah, operasinya nanti berhasil nggak, ya?" tukas Laras pelan. "Berhasil. Yang penting Ibu jangan banyak pikiran. Bu ... tadi Isyah pulang diantar Kak Kirana, dia cerita katanya Mas Daffa cerai, padahal udah punya anak." Aisyah bertopang dagu. "Ya terus? Kamu kasihan?" Laras tersenyum tipis. "Nggak, sih. Cuma aneh aja. Ngapain nikah kalau akhirnya ce--" Aisyah diam. Ia tatap Laras yang ternyata menatapnya lekat. "Maaf, Bu, nggak maksud nyindir." Laras lanjut makan diiringi senyuman. "Cerai itu pilihan, Syah. Tergantung seberat apa masalahnya. Kalau orang tuamu ini, udah jelas apa masalahnya dan berat. Kalau Daffa, bisa aja sama-sama berat tapi buat dia, buat kita belum tentu. Jangan menilai perceraian selalu karena hal berat atau sepele ya, Syah. Semua kembali ke permasalahannya." Aisyah mengangguk. Hujan deras kembali turun. Aisyah meletakkan baskom dan
π"Bu," sapa Raffa setelah sampai. Ia menyalim punggung tangan Gendis lalu menghampiri Adinda yang masih sedikit pucat. "Kamu nggak apa-apa?" bisiknya. Adinda mengangguk. "Raf, kenapa nggak bilang Dinda mau operasi kista?!" Langsung semprot. Raffa berbalik badan perlahan mengarah pada Gendis. Raut wajahnya langsung berubah sendu. "Bukan gitu, Bu, Raffa cuma nggak mau Ibu pusing. Mikirin masalah Bang Daffa aja udah bikin Ibu naik tensi." "Sembarangan," protes Gendis seraya berkacak pinggang, ia juga memakai celemek karena sedang masak. "Urusan Bang Daffa udah Ibu serahin ke sang khalik! Terserah itu anak mau galau atau apalah. Yang penting cerai!" Gendis diam, menunggu sanggahan Raffa. "Yaudah, maaf, Bu. Ibu masak apa? Wangi amat?" Raffa mengeluarkan kemeja kerja dari dalam celana. Ia mendekat ke Gendis. "Sop ayam kampung. Kaldunya bagus buat kondisi Dinda, sama Ibu bikin tumis selada air pakai teri, biar sedep makannya. Ayahmu nanti ke sini juga." Gendis mengaduk sop ayam lagi.