“Pak.. Kenapa Pak Setya ada di sini?” tanya Eveline gugup. Keringat dingin yang membasahi kulit kepalanya sudah mulai terasa.
Ada rasa panik dan takut yang tiba-tiba menggerayangi kulit Eveline.
Eveline penasaran mengapa tiba-tiba gurunya menghampiri siswi yang sakit. Karena apa yang dilakukan Pak Setya adalah bukan hal yang biasa.
“Kenapa memangnya? Kalau murid saya ada yang sakit, apa saya nggak boleh jenguk? Penyakit maag kamu kambuh saat pelajaran saya. Tentu saja secara nggak langsung saya juga bertanggung jawab,” jawab Pak Setya ringan. Kedua kakinya mulai membawanya berkeliling ruangan UKS yang luasnya hanya setengah dari ruang kelas.
Langkah kakinya tenang dan lamban.
Diperhatikannya satu persatu poster kesehatan dan alat-alat kesehatan yang di tata rapi di sebuah almari kecil. Tangannya mulai memeriksa apakah setiap alat berfungsi dengan baik atau tidak.
“Terima kasih, Pak. Tapi, Pak Setya nggak perlu repot-repot. Sebentar lagi juga sakit maag saya sembuh,” ucap Eveline lagi.
Sret.
Tap ..
Tap ..
Tiba-tiba, Pak Setya membalikkan badannya dan melangkah mendekati ranjang yang ditiduri Eveline. Menatap wajah gadis cantik yang lemah terkulai di atas tempat tidur.
Pak Setya mendudukkan dirinya di kursi yang semula digunakan Mas Saga. Kursi yang ada di samping ranjang Eveline.
“Saya sama sekali nggak kerepotan, kok. Justru saya senang kalau kamu minta bantuan sama saya,” jawab Pak Setya tiba-tiba.
Ucapan itu terdengar begitu aneh. Tidak biasanya seorang guru akan sebegitu baik dan perhatian kepada muridnya yang sedang sakit. Di samping perasaan curiga dan was-was, Eveline berusaha tetap menghargai setiap niat baik Pak Setya.
“Kamu mau saya belikan sesuatu? Kebetulan saya mau keluar sebentar beli rokok. Siapa tahu, kamu mau titip makanan. Kamu nggak perlu buru-buru ke kelas. Saya akan tetap masukkan nama kamu ke dalam presensi kehadiran. Saya juga akan bebaskan kamu dan teman-teman kamu dari tugas matematika minggu ini. Sampai kamu sembuh,” papar Pak Setya.
Entah apa yang merasuki Pak Setya hingga dia bisa mengatakan hal itu.
Eveline bukanlah anak ratu yang harus diperlakukan spesial seperti itu.
Dilihatnya, sesekali Pak Setya menampilkan senyum lembut yang hangat. Sikapnya yang halus, membuat Eveline sekelebat teringat akan ayahnya yang hobi mabuk-mabukkan.
Sangat berbeda dengan perangai Pak Setya yang sangat peduli. Bahkan, Eveline merasa dirinya diperlakukan lebih dari seorang murid. Lebih seperti anaknya sendiri. Anak kesayangan yang tidak diizinkan untuk terluka atau sakit sedikit pun.
Seketika itu, hati Eveline menjadi sedikit hangat. Rasa curiga dan was-was kepada Pak Setya seketika berkurang.
“Nggak perlu, Pak. Saya baik-baik saja, kok. Nanti saya akan kembali ke kelas kalau perut saya sudah mendingan,” jawab Eveline.
Pak Setya melipat kedua tangannya. Matanya seketika sayu.
“Andai saja kamu jadi anak saya. Saya pasti bisa melindungi kamu 24 jam. Pasti kamu nggak akan sakit seperti ini,” ucap Pak Setya lagi.
Ucapan Pak Setya semakin membingungkan. Membuat Eveline tertegun.
Entah apa yang tiba-tiba terjadi, wajah Pak Setya berubah menjadi murung. Wajahnya yang tadi terlihat lembut dan teduh, seperti ada kekhawatiran yang melanda pikirannya.
Eveline mencoba menerka apakah beban pikiran Pak Setya ada kaitannya dengan Eveline atau tidak.
“Pak ... Pak Setya baik-baik saja?” tanya Eveline memecah lamunan Pak Setya.
Guru matematika itu langsung mengerjap-ngerjapkan matanya dan mengusap wajahnya. Lamunannya seketika buyar.
"Ah. Maaf," celetuk Pak Setya.
Eveline hanya bisa mengangguk sekali.
“Bagi saya, kamu istimewa. Lebih istimewa dari anak mana pun. Padahal, saya juga punya anak perempuan seusia kamu. Tapi, setelah saya melihat kamu di hari pertama mengajar kelas satu, saya seperti merasakan ikatan yang lebih dari seorang anak. Saya merada kalau kamu itu spesial. Lebih dari anak saya," jelas Pak Setya.
Penjelasannya memang terdengar setengah aneh dan setengah sangat tidak masuk akal. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu di saat Pak Setya sudah memiliki anak. Tentu saja ucapan Pak Setya akan terasa kurang pantas.
“Kalau anak Pak Setya dengar ucapan Bapak tadi, dia pasti sakit hati. Bapak harus bersyukur karena sudah memiliki anak yang baik dan sehat. Bagaimana pun dia, Bapak harus menyayanginya,” tukas Eveline sembari mengusap wajahnya yang mengantuk. Berbicara dengan Pak Setya, rasanya seperti memaparkan sebuah dongeng pengantar tidur.
“Saya sayang kok sama anak saya. Dia anak yang manis dan pintar. Ya, walau pun kadang dia susah diatur. Saya tetap bangga sama dia. Kadang, saya menyesal karena sering memarahinya. Tapi, bagaimana lagi? Dia hobi berkata kasar dan melawan omongan saya. Mungkin saya yang belum pandai memahami anak di usia kalian. Usia remaja,” jawab Pak Setya lagi.
Dahi Eveline mengerut.
“Jangan terlalu sering menyalahkan anak seusia kami, Pak. Kadang, orang dewasa lah yang belum bisa membaca apa yang kami maksud. Mereka sulit mengetahui apa yang kami inginkan. Pada akhirnya, situasi harus berakhir dengan pertengkaran. Saya harap Bapak bisa lebih bersabar. Saya nggak mau kalau bapak berubah menjadi seperti orang tua saya. Hanya bisa marah-marah setiap hari,” lanjut Eveline.
Eveline yang biasanya pendiam dan pemalu. Secara mengejutkan bisa memaparkan semua hal itu dengan gamblang. Seperti seorang ahli yang bisa membantu meringankan masalah orang lain.
Di saat seharusnya Pak Setya yang menasehati Eveline, justru hal yang sebaliknya terjadi. Pak Setya yang kini menjadi murid Eveline, anak remaja awal yang masih belajar banyak tentang kehidupan.
“Wah, kenapa obrolan kita berat sekali, ya. Hahahaha, saya nggak nyangka kamu bisa leluasa bahas masalah seperti ini,” gurau Pak Setya.
“Hehehe, iya Pak. Mungkin karena saya mengalami hal yang nggak biasa di rumah. Jadi, saya punya banyak kata-kata yang bisa saya sampaikan,” jawab Eveline singkat.
Pak Setya menyunggingkan sebuah senyuman sembari menatap Eveline yang terkekeh.
“Anggaplah saya ini ayah kamu. Yaaa .. Seperti ayah tiri kamu yang baik hati. Saya juga akan berusaha keras untuk melindungi kamu,” tukas Pak Setya dengan serius.
Eveline tertawa mendengar ucapan Pak Setya. Entah apa yang terjadi, guru matematikanya menghampirinya hanya untuk mengatakan bahwa dia akan melindungi Eveline. Seperti ada maksud tersembunyi. Tapi, hati baik Eveline tak keberatan menerima niat baik itu dengan hati yang terbuka lebar.
“Siap, Pak Guru! Hahahaha ... Terima kasih, Pak. Seumur hidup saya belum pernah menemui sosok laki-laki dewasa yang akan sebaik ini kepada saya. Sosok yang bisa mengisi peran seorang ayah untuk saya,” ucap Eveline. Matanya sedikit berkaca-kaca.
Ada rasa haru di hati Eveline.
Meski pun obrolannya dengan Pak Setya tak menentu, hatinya terasa diisi oleh orang yang menyayanginya sebagai seorang anak kesayangan. Memang itulah yang selalu dirindukan oleh Eveline sejak dahulu.
“Kalau begitu, kamu lanjutkan saja istirahatnya di sini. Saya keluar sebentar dan mau langsung ke kelas. Kalau kamu masih sakit, kamu boleh izin di mata pelajaran saya minggu depan. Pastikan tubuhmu pulih terlebih dahulu,” Pak Setya lagi-lagi menunjukkan kepeduliannya.
Eveline menganggukkan kepalanya. Tidak lupa senyumannya juga turut menghiasi wajah pucatnya yang lesu.
Pak Setya beranjak dari kursinya. Bersiap meninggalkan Eveline seorang diri di ruang UKS.
"Saya tingga dulu, ya," pamit Pak Setya.
Tap ..
Tap ..
Suara langkah kaki yang hampir sama dengan langkah Pak Setya terdengar mendekati ruang UKS.
Suara sepatu terdengar semakin jelas dengan hentakan sepatu pantofel yang khas.
“Eh, Pak Setya?” sapa Bu Latri, salah satu guru BK di sekolah itu. Sosok wanita berwibawa itu tiba-tiba memasuki ruang UKS dengan beberapa carik kertas di tangannya.
“Bu Latri, jadwal piket di UKS, ya?” tanya Pak Setya lembut.
“Iya, Pak. Kebetulan Bu Widia lagi cuti. Jadi saya yang gantikan,” jawab Bu Latri.
“Oh, kalau begitu, saya titip murid saya ya, Bu. Dia lagi sakit perut. Saya cuma bisa jenguk sebentar karena kelas saya masih belum selesai. Tolong jaga Eveline baik-baik ya, Bu,” kata Pak Setya memohon.
Eveline masih mendengarkan percakapan dua guru itu dengan mulut terkunci.
“Siap, Pak. Jangan khawatir,” jawab Bu Latri singkat.
Pak Setya segera meninggalkan ruangan UKS dengan sebuah senyuman yang dilemparkan kepada Eveline sebelum dirinya benar-benar pergi. Sebuah senyuman yang menandakan ucapan sampai jumpa.
“Loh, Eve? Kok kamu udah balik ke kelas? Bukannya perut kamu masih sakit, ya?" Anastasia menatap Eveline yang baru saja memasuki kelas. "Tapi tenang aja, dua jam lagi kita pulang kok. Masih ada pelajaran seni rupa. Gampang lah ya. Kita nggak usah mikir keras. Nggak usah mikirin rumus-rumus,” sambung Anastasia santai. Eveline hanya menganggukkan kepalanya. Dia sama sekali tidak keberatan dengan pelajaran seni rupa yang akan segera dimulai. Di samping materinya yang ringan, guru seni rupa dirasa tidak terlalu rewel dan cukup santai dengan para siswa-siswi. “Iya, Nas. Mumpung lagi jam istirahat, nih. Tadi aku udah izin sama Bu Latri buat balik ke kelas. Kepalaku malah jadi pusing kalau tiduran terus,” jawab Eveline. Eveline berjalan tertatih sambil memegangi perutnya yang masih sedikit perih. Ternyata, terlalu lama di ruang UKS juga membuatnya teramat jenuh. Tidak ada teman yang bisa ia ajak bicara. Hanya Bu Latri yang sesekali menanyai k
Beberapa hari berlalu.. Hari berjalan normal seperti biasanya. Seperti biasa pula, Eveline dan Linda berangkat sekolah bersama-sama. Mereka suka bertukar cerita sembari melangkahkan kaki-kaki kecil mereka. “Lin, aku pengen nabung deh buat beli handphone. Temen-temen di kelasku udah punya handphone semua. Kayaknya seru deh kalau punya handphone sendiri,” celetuk Eveline. Eveline dan Linda tengah melalui sebuah jembatan besi yang menjadi rute harian mereka untuk berangkat ke sekolah. Rute yang menjadi favorit Eveline karena di bawah jembatan itu terpampang sebuah sungai panjang yang indah. Tepi jembatan itu biasa menjadi tongkrongan anak-anak berandalan dengan sepeda motor yang dimodifikasi sebagian rupa hingga menyerupai sebuah gerobak hajatan. Para anak lelaki yang berkumpul seperti rombongan pawai. Ketika motor itu lewat, otomatis akan mengundang tawa orang-orang yang menyaksikannya. “Tapi kan harga handphone mahal banget, Eve. Kalau
"Ciyeee ... Ada yang dianter sama preman jalanan, nih! Nggak malu ya? Hahaha,” ejek Vidia dengan nada bicara yang menyebalkan. Gadis ber-ego tinggi itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan anggun perlahan seperti seekor burung bangau. Pergerakannya diikuti oleh dua sahabat segerombolannya. “Dia itu orang baik, Vi. Jangan menghakimi dia karena penampilannya. Kamu sendiri nggak kenal sama dia, kan?” jawab Eveline halus. Dibanding membantah, ucapan Eveline lebih terdengar seperti sebuah nasehat. Waktu istirahat berjalan kurang menyenangkan untuk Eveline. Saat Eveline, Linda, dan Anastasia tengah asyik menikmati soto ayam pesanan mereka di kantin sekolah, muncullah tiga monster pengganggu yang merusak pemandangan. “Kalau nggak ada Bang Lucas, aku sama Eveline udah telat ke sekolah, tau! Kalau kamu nggak tahu apa-apa, mending tutup mulut kotormu itu!” sahut Linda dengan nada bicara yang tinggi. "Bacot!! Mulutmu itu yang kotor!" bentak Vidia
“Kenapa bawa aku kesini, Mas? Aku balik ke kelas ya, lima menit lagi kan bel masuk,” ucap Eveline gugup. Baku hantam yang terjadi di kantin mereda berkat kedatangan Mas Sagara. Kalau saja dia tidak datang, pasti kericuhan itu akan berlangsung jauh lebih lama. “Nggak apa-apa, Eve. Aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma mau menjauhkan kamu dari tiga perempuan psikopat itu. Bukan cuma kamu kok yang muak. Aku juga muak! Setiap hari di telepon sama Marsha sampai aku terpaksa harus mengganti nomorku berkali-kali,” ucap Mas Setya. Terlihat bahwa dia juga resah dengan Marsha yang terus mengincarnya. Dari sekian banyak lokasi yang dapat dituju, entah kenapa Mas Sagara mengajak Eveline untuk ngobrol berdua di dekat gudang sekolah. Lokasinya berada di bagian belakang sekolah. Tempat itu sangat sepi dan jarang ada siswa-siswi yang berlalu lalang di area tersebut. “Mas Sagara nggak perlu nolong aku lagi,” jawab Eveline singkat. Semenjak mereka sampai di tempat itu
Tap ... Tap .. “Mas, aku tahu komisimu banyak! Kenapa kamu nggak pernah ngasih nafkah buat keluargamu?! Kamu kira gajiku di kios seafood cukup buat kebutuhan kita sehari-hari?! Kamu bahkan nggak mau bayar listrik dan air! Bulan depan listrik mau diputus gara-gara kita udah nunggak selama tiga bulan!!” omel Bu Dewi. Tap ... Tap ... Eveline melangkahkan kakinya langkah demi langkah untuk masuk ke dalam rumah saat orang tuanya sedang sibuk berdebat membahas kondisi keuangan mereka. “Kalau kamu butuh uang ya kerja yang bener! Enak banget kamu ngandalin uangku!” sahut Pak Fero dengan entengnya. “Mas!! Kamu itu suami dan ayah disini! Kamu harus tanggung jawab, dong! Uangmu cuma habis buat beli minuman keras! Kalau kamu nggak bisa nafkahi keluarga kamu, kamu pergi aja dari sini!” marah Bu Dewi lagi. Matanya melotot dibarengi dengan cecaran kebencian yang tak kunjung berhenti. “Hey! Jangan seenaknya ya kamu! Rumah ini d
“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en
“Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..
"Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng
“Kamu kemana aja, sih? Katanya mau nungguin aku! Tapi, kok malah aku yang jadi nungguin kamu?! Kamu pergi kemana aja?!” omel Linda beruntun saat sosok Eveline muncul dan berjalan menghampiri dirinya dengan wajah cengar-cengir.Eveline menggaruk kepalanya. Melihat Linda yang sudah naik pitam dengan wajah tegang, Eveline merasa gemas sekaligus bersalah. Tidak disangka jika kebersamaannya dengan Bryan membuat Eveline lupa waktu dan terlambat kembali ke sekolah.“Maaf, Lin. Tadi aku nggak lihat jam. Jadinya yaaa … lupa. Hehehe. Jangan marah, dong,” ucap Eveline mendekati Linda yang duduk seorang diri di gazebo depan sekolah.Wajah Linda memang sudah merengut dengan alis mata yang turun tajam. Dahinya pun mengerut. Tapi, tentu saja Linda tidak akan terlalu mengambil hati keterlambatan Eveline. Perasaan yang ia rasakan hanyalah sebatas kesal yang umum terjadi. Tidak perlu diperpanjang.“Yaa … Oke. Tapi, nanti kamu mai
"Kalian berdua sengaja janjian bolos? Bry! Mama emang ngijinin kamu bolos sesekali. Tapi, ya jangan sering-sering, dong. Bukan karena nilai atau apanya. Tapi, Mama nggak mau dipanggil ke sekolah kalau kamu bermasalah. Mama nggak ada waktu. Nanti kalau kerjaan Mama nggak ada yang megang kan sayang banget," ucap Tante Mira mengomel.Bryan menjawab, "Iyaaaaa. Siap sistttt."Mata Tante Mira memicing kepada putra satu-satunya itu. Sebal sekaligus gemas saat Bryan mengolok atau menggodanya."Aku ini Mama kamu. Bukan kakak-kakak pedagang baju online. Seenaknya panggil sist ke Mama sendiri. Kamu pengen Mama dagang online beneran apa gimana?" omel Tante Mira lagi.Bryan menahan tawa. Tak beda dengan Eveline."Udah, udah. Ini! Koin buat kalian. Awas kamu Bry kalau minggu depan minta lagi. Mama jitak kamu sampai nangis," ucap Tante Mira sembari mengulurkan lima belas keping koin ke telapak tangan Bryan yang sudah menengadah."Woahhh. Siappp Mama cantik. Gini, dong
Entah kenapa Eveline merasa nyaman berbincang dengan teman barunya. Meski tidak terbilang baru karena mereka teman satu angkatan di sekolah, keduanya bahkan belum pernah saling bertatapan satu kali pun."Nggak apa-apa. Aku lagi males sekolah. Jadi aku ke sini," jawab Eveline ringan. Ekspresinya dibuat senormal mungkin untuk menutupi kebohongannya.Bryan mengangguk. Dia meneguk minuman botol miliknya dengan pembawaan yang keren. Laki-laki bermata sipit dan berambut lurus tebal itu menaikkan kaki kirinya dan ditumpangkan pada kaki kanannya. Sesekali, wajahnya ditolehkan untuk menatap sosok Eveline yang terus memperhatikannya dengan keheranan."Kamu juga bolos? Kenapa?" Eveline balik bertanya.Bryan menghela napas sekali. Menatap sekeliling selama beberapa detik."Aku nggak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, aku kabur aja. Aku sering ke sini, kok. Soalnya Mama aku kerja di sini. Dia juga fine-fine aja kalau aku bolos. Katanya, sekolah itu harus tulus. Harus
"Eve! Kamu ngapain berdiri di situ? Ayo masuk!" pekik Linda lantang.Perjalanan mereka ke sekolah cukup baik-baik saja hingga akhirnya Eveline mendadak menghentikan langkahnya saat hanya tinggal tiga langkah memasuki pintu gerbang sekolah."Kok kamu diem terus, sih! Kamu nggak mau masuk? Ada yang salah?" tanya Linda lagi.Linda heran melihat langkah kaki Eveline yang terhenti dengan tatapan mata ke arah depan. Entah apa yang tengah dipandang. Tapi, Eveline benar-benar terpaku bagai patung manekin."Aku ... hari ini nggak mau sekolah!" kata Eveline singkat.Kata-kata yang diucapkan Eveline sulit dimengerti oleh Linda. Perjalanan yang mereka berdua lalui dengan suka cita dan lantunan lagu-lagu riang, seketika sirna saat raut wajah Eveline berubah. Sepertinya, niat hati Eveline untuk bersekolah seketika hilang."Aku nggak siap ketemu sama Marsha dan gengnya hari ini. Aku hari ini mau kabur. Aku mau bolos," ucap Eveline lirih.Linda yang berdiri mengha
TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok
"Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng
"Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng
“Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..
“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en