Share

MAS SAGARA

Penulis: ICETEA
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-17 12:46:12

“Eve, aku tinggal masuk ke kelas dulu, ya. Kamu sendirian dulu nggak apa-apa, kan? Nanti kalau udah waktunya pulang sekolah, aku ke sini lagi,” ucap Anastasia, si ketua kelas. Anastasia juga merupakan teman yang cukup akrab dengan Eveline.

Eveline menganggukkan kepalanya dengan uluran senyuman kecil. Menginsyaratkan bahwa dia baik-baik saja dan Anastasia bisa kembali ke kelas untuk mengikuti pembelajaran yang tengah berlangsung.

Hari ini, bukan hari yang menyenangkan bagi Eveline. Tapi, bukan juga hari yang menyedihkan.

Pelajaran baru berjalan 30 menit. Sayangnya, penyakit maag Eveline mendadak kambuh untuk yang kesekian kalinya dan membuatnya harus beristirahat di ruang UKS.

Di sisi lain, Eveline cukup lega. Penyakitnya tahu kapan waktu yang tepat untuk kambuh. Yaitu, saat ini! Saat mata pelajaran Pak Setya sedang dilakukan di kelasnya.

“Ah, pelajaran matematikanya aja udah susah setengah mati. Ditambah lagi, Pak Setya orangnya aneh. Kenapa sih dia suka diem-diem ngelihatin aku. Nggak mungkin lah kalau dia suka sama anak SMP,” gumam Eveline sesaat setelah Anastasia meninggalkannya.

Dalam renungannya, sebuah suara ketukan seketika membuyarkan apa yang Eveline lamunkan.

Tok ...

Tok ...

Tok ...

Pintu UKS diketuk berirama. Begitu lembut terdengar, sebagaimana sosok yang tengah berdiri di depan pintu dengan paras yang lembut pula.

Sosok itu mendekati Eveline supaya parasnya bisa terlihat jelas. Supaya Eveline bisa menatap balik ke arah matanya.

“Eveline ... Kamu sakit? Udah ngerasa mendingan? Masih ada yang sakit, nggak? Nggak parah, kan?” sosok itu membuka percakapan.

Sekantong pertanyaan diluncurkan begitu saja untuk mengurangi kekhawatiran di hatinya. Kakinya melangkah mendekati Eveline yang masih terbaring lemas. Dia duduk tepat di kursi samping ranjang Eveline.

“Eh ... Mas Saga. Aku nggak apa-apa kok, Mas. Perutku masih agak perih, tapi aku udah minum obat maag, kok. Tadi temenku juga udah ngasih roti sobek buat mengganjal perut,” jawab Eveline lembut.

Laki-laki berhati lembut itu menghembuskan napas lega.

“Syukurlah ... Aku  khawatir kalau kamu kenapa-kenapa. Tadi waktu kamu dianter temenmu ke UKS dan lewat depan kelasku, perasaanku langsung nggak tenang,” lanjut Mas Saga dengan wajah iba.

Lagi-lagi, Eveline memberikan senyuman manis. Menanggapi kebaikan hati Mas Saga.

“Kamu tadi belum sarapan, ya? Kenapa bisa kambuh penyakit maagnya?” tanya Mas Saga lagi.

“Iya, Mas. Tadi ibuku masak cumi-cumi. Padahal kan aku alergi makanan laut. Sayangnya, ibuku hobi banget masak seafood. Jadinya, aku jarang sarapan di rumah. Tapi nggak apa-apa kok, Mas. Ini bukan pertama kalinya maagku kambuh,” jelas Eveline.

Sagara.

Laki-laki yang lebih akrab dipanggil Mas Saga. Dia adalah kakak kelas Eveline yang sudah duduk di kelas tiga SMP.

Perkenalannya dengan Eveline dimulai ketika masa orientasi atau ospek berjalan. Sebuah acara yang Sagara urus bersama beberapa temannya.

Kebetulan, Mas Saga adalah salah satu panitia ospek yang diam-diam mulai tertarik dengan Eveline. Tidak heran, paras Eveline memang teramat cantik. Apalagi, wajahnya terlihat seperti gadis jepang yang menawan. Siapa yang tidak tertarik dengan kecantikan dan kepolosan Eveline?

Perawakan Mas Sagara begitu tinggi dengan kulit kecoklatan yang eksotis. Kulitnya juga bersih. Tatapan matanya teduh. Rambut jabriknya menjadi ciri khas sosok Sagara. Rambut khas yang bagian bawahnya sudah menutupi telinga dan selalu menjadi incaran para guru untuk digunting secara asal. Menggunting rambut yang menjadi hukuman turun-temurun.

Tapi, selalu saja Sagara lolos dari hukuman itu.

“Hari ini aku bawa motor, Eve. Aku titipin di warung samping sekolah. Nanti mau aku antar pulang? Nanti aku ajak makan sekalian. Biar kamu cepet sembuh,” Mas Saga menawarkan.

Mendengar ajakan Mas Saga, tentu tidak ada lonjakan perasaan apa pun. Eveline yang baru memahami apa itu menstruasi, belum pernah merasakan sesuatu yang khusus kepada lawan jenis.

Sejauh ini, semua laki-laki seusianya adalah teman dan sahabat seperjuangan. Tidak kurang dan tidak lebih. Kepada Mas Saga sekali pun, Eveline tidak pernah menganggapnya lebih dari sekadar kakak kelas yang selalu berbaik hati menawarkan bantuan kepada Eveline.

“Aku pulang sama temenku kok, Mas. Sama Linda. Pasti Mas Saga udah tahu Linda, kan? Selama ospek dulu kan dia sering sama aku,” jawab Eveline.

Mas Saga mengangguk.

“Tapi ... Tapi aku khawatir kalau kamu semakin kesakitan di jalan. Kamu beneran kuat? Nanti kalau kamu tiba-tiba pingsan gimana? Pasti Linda juga kerepotan,” sanggah Mas Saga lagi. Tangannya mulai menyentuh jemari Eveline.

Seketika itu juga, ditampiknya tangan Mas Saga. Eveline terang-terangan menolak laki-laki itu menyentuh tangannya. Tapi, Mas Saga berusaha untuk mengerti.

“Aku nggak apa-apa, Mas. Setelah minum obat maag, biasanya du jam lagi sakitnya udah hilang. Kalau nanti sembuhnya cepet, aku bakal ikut pelajaran di kelas lagi, kok,” ucap Eveline menenangkan. Matanya yang sayu seakan ikut berusaha membuat Mas Saga tenang.

Mas Saga tidak bisa memaksa Eveline lagi. Yang bisa ia lakukan hanyalah berusaha mengerti dan menyanggupi apa yang Eveline katakan.

Tiba-tiba, Mas Saga memasukkan telapak tangan kanannya ke dalam saku celana. Menggapai sesuatu yang sudah ia simpan di dalamnya sedari tadi.

Sejekap kemudian, laki-laki baik hati itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

“Ini ... Biar kamu cepet sembuh, dan bahagia selalu. Walau pun kamu nggak suka sama aku, aku seneng kamu masih mau bersikap baik ke aku. Walau pun baru beberapa minggu yang lalu aku kenal kamu dan langsung suka sama kamu, rasanya udah kayak kenal lama sama kamu,” Mas Saga meletakkan sebatang cokelat di atas ranjang UKS. Tepat di samping lengan Eveline.

Sontak mata Eveline memperhatikan cokelat yang diletakkan oleh Mas Saga.

“Mas ... Ini kan ... Cokelat yang jadi harapan aku. Aku jadi nggak enak sama Mas Saga,” ucap Eveline lirih.

Eveline kembali mengingat sepotong masa lampau.

Cokelat dengan campuran kacang almond adalah salah satu keinginan Eveline yang menjadi nyata. Saat masa ospek, Eveline pernah menyebutkan bahwa dia sangat ingin makan cokelat almond suatu hari nanti. Eveline menyebutkan keinginannya saat seluruh peserta ospek diminta untuk menceritakan keinginan terbesar mereka satu persatu.

Tidak disangka, Mas Saga memperhatikan hal itu dan mengingatnya sampai sekarang.

Dan kini, laki-laki itu mewujudkannya.

“Nggak apa-apa. Sebagai hadiah! Aku tahu kamu belum siap untuk jadi pacar aku. Kamu juga belum adaptasi sepenuhnya sama sekolah ini. Tapi, tetep kayak gini sama aku ya, Eve. Aku suka sikap terbuka kamu,” sambung Mas Saga. Tubuhnya mulai beranjak dari kursi.

Semuanya memang berjalan terlalu cepat. Eveline masih terlalu polos untuk menjalani sistem kehidupan yang lebih dewasa di SMP. Eveline sama sekali belum pernah punya pacar. Apalagi melakukan hal-hal yang lebih dari pacaran.

Tapi, masa ini adalah masa untuk Eveline bertransformasi. Menjadi Eveline yang bukan anak kecil lagi.

“Aku balik ke kelas dulu, ya. Nanti bisa dimarahin sama guru. Aku tadi bilangnya cuma mau ke toilet sebentar, hehehehe,” celetuk Mas Saga.

Eveline tertawa kecil.

“Makasih ya, Mas. Sampai ketemu lagi,” ucap Eveline.

Eveline melambaikan salah satu tangannya sembari mengiringi kepergian Mas Saga. Hingga laki-laki itu sampai di ambang pintu dan menjauh dari ruang UKS.

"Mas Saga ada-ada aja idenya. Kenapa dia bisa inget cokelat ini, ya," tukas Eveline sembari menyentuh cokelat yang masih tergeletak di sisinya.

Baru beberapa detik Mas Saga hilang dari tatapan Eveline, tiba-tiba ketukan pintu yang sama terdengar untuk yang kedua kalinya.

Tok ..

Tok ..

Tok ..

“Apalagi sih, Mas? Kok ngetuk-ngetuk lagi? Kan tadi udah. Mas Saga juga udah mampir kesini,” omel Eveline dengan sedikit kencang.

Tapi, tidak ada suara jawaban dari Mas Saga. Tidak ada jawaban dari siapa pun.

Tap ..

Tap ..

Tap ..

“Mas? Mas Saga? Kenapa masuk lagi?” tanya Eveline. Matanya belum bisa menggapai sosok yang masuk ke ruang UKS karena posisinya yang terbaring.

Tap ..

Tap ..

Eveline baru menyadari bahwa suara langkah kaki yang mendekatinya terdengar berbeda dengan langkah Mas Saga tadi. Langkah kakinya terdengar lebih nyaring karena hentakan sepatu yang berbeda.

Seperti ... bukan sepatu anak sekolah.

“Mas Saga, kan? Mas, jawab dong!” ucap Eveline gugup namun tetap lantang.

Perlahan, ujung kepala orang itu mulai terlihat dari posisi Eveline.

Ya! Bukan rambut Mas Saga!

Sosok itu berjalan mendekati ranjang Eveline.

“Kamu nyariin pacar kamu? Dia udah keluar. Tadi papasan sama saya di depan pintu," sahut orang itu yang kini sudah berdiri tepat di samping Eveline. Berdiri tegak hingga Eveline bisa melihatnya dengan sangat jelas.

“P .. Pak Setya?” wajah Eveline seketika tegang dan takut.

Ternyata, yang muncul adalah Pak Setya, guru matematika yang mengajar di sekolah Eveline. Khususnya, beliau mengajar di kelas satu. Kelas Eveline.

Dan saat ini, pria dewasa itu seharusnya masih mengajar di dalam kelas Eveline. Bukan di ruang UKS.

Jantung Eveline berdegup lebih kencang dari biasanya. Gugup dan penasaran akan tujuan Pak Setya mendatanginya. Seperti sosok malaikat pencabut nyawa yang hendak menjemput roh Eveline.

“Bapak, ada perlu apa?” tanya Eveline panik.

Pak Setya hanya diam tak menjawab apa-apa. Meneliti keadaan sekitar dengan wajah santai dan tenang. Bahkan, senyuman tipisnya nampak sesekali.

“Apa dia marah karena aku nggak ikut pelajarannya, ya? Tapi kan, aku emang lagi sakit," batin Eveline panik.

Bab terkait

  • Merpati Tanpa Sayap   SOSOK AYAH

    “Pak.. Kenapa Pak Setya ada di sini?” tanya Eveline gugup. Keringat dingin yang membasahi kulit kepalanya sudah mulai terasa. Ada rasa panik dan takut yang tiba-tiba menggerayangi kulit Eveline. Eveline penasaran mengapa tiba-tiba gurunya menghampiri siswi yang sakit. Karena apa yang dilakukan Pak Setya adalah bukan hal yang biasa. “Kenapa memangnya? Kalau murid saya ada yang sakit, apa saya nggak boleh jenguk? Penyakit maag kamu kambuh saat pelajaran saya. Tentu saja secara nggak langsung saya juga bertanggung jawab,” jawab Pak Setya ringan. Kedua kakinya mulai membawanya berkeliling ruangan UKS yang luasnya hanya setengah dari ruang kelas. Langkah kakinya tenang dan lamban. Diperhatikannya satu persatu poster kesehatan dan alat-alat kesehatan yang di tata rapi di sebuah almari kecil. Tangannya mulai memeriksa apakah setiap alat berfungsi dengan baik atau tidak. “Terima kasih, Pak. Tapi, Pak Setya nggak perlu repot-repot. Sebentar lag

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-17
  • Merpati Tanpa Sayap   DENDAM MARSHA

    “Loh, Eve? Kok kamu udah balik ke kelas? Bukannya perut kamu masih sakit, ya?" Anastasia menatap Eveline yang baru saja memasuki kelas. "Tapi tenang aja, dua jam lagi kita pulang kok. Masih ada pelajaran seni rupa. Gampang lah ya. Kita nggak usah mikir keras. Nggak usah mikirin rumus-rumus,” sambung Anastasia santai. Eveline hanya menganggukkan kepalanya. Dia sama sekali tidak keberatan dengan pelajaran seni rupa yang akan segera dimulai. Di samping materinya yang ringan, guru seni rupa dirasa tidak terlalu rewel dan cukup santai dengan para siswa-siswi. “Iya, Nas. Mumpung lagi jam istirahat, nih. Tadi aku udah izin sama Bu Latri buat balik ke kelas. Kepalaku malah jadi pusing kalau tiduran terus,” jawab Eveline. Eveline berjalan tertatih sambil memegangi perutnya yang masih sedikit perih. Ternyata, terlalu lama di ruang UKS juga membuatnya teramat jenuh. Tidak ada teman yang bisa ia ajak bicara. Hanya Bu Latri yang sesekali menanyai k

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-18
  • Merpati Tanpa Sayap   MOTOR BELALANG

    Beberapa hari berlalu.. Hari berjalan normal seperti biasanya. Seperti biasa pula, Eveline dan Linda berangkat sekolah bersama-sama. Mereka suka bertukar cerita sembari melangkahkan kaki-kaki kecil mereka. “Lin, aku pengen nabung deh buat beli handphone. Temen-temen di kelasku udah punya handphone semua. Kayaknya seru deh kalau punya handphone sendiri,” celetuk Eveline. Eveline dan Linda tengah melalui sebuah jembatan besi yang menjadi rute harian mereka untuk berangkat ke sekolah. Rute yang menjadi favorit Eveline karena di bawah jembatan itu terpampang sebuah sungai panjang yang indah. Tepi jembatan itu biasa menjadi tongkrongan anak-anak berandalan dengan sepeda motor yang dimodifikasi sebagian rupa hingga menyerupai sebuah gerobak hajatan. Para anak lelaki yang berkumpul seperti rombongan pawai. Ketika motor itu lewat, otomatis akan mengundang tawa orang-orang yang menyaksikannya. “Tapi kan harga handphone mahal banget, Eve. Kalau

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-18
  • Merpati Tanpa Sayap   PERTIKAIAN

    "Ciyeee ... Ada yang dianter sama preman jalanan, nih! Nggak malu ya? Hahaha,” ejek Vidia dengan nada bicara yang menyebalkan. Gadis ber-ego tinggi itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan anggun perlahan seperti seekor burung bangau. Pergerakannya diikuti oleh dua sahabat segerombolannya. “Dia itu orang baik, Vi. Jangan menghakimi dia karena penampilannya. Kamu sendiri nggak kenal sama dia, kan?” jawab Eveline halus. Dibanding membantah, ucapan Eveline lebih terdengar seperti sebuah nasehat. Waktu istirahat berjalan kurang menyenangkan untuk Eveline. Saat Eveline, Linda, dan Anastasia tengah asyik menikmati soto ayam pesanan mereka di kantin sekolah, muncullah tiga monster pengganggu yang merusak pemandangan. “Kalau nggak ada Bang Lucas, aku sama Eveline udah telat ke sekolah, tau! Kalau kamu nggak tahu apa-apa, mending tutup mulut kotormu itu!” sahut Linda dengan nada bicara yang tinggi. "Bacot!! Mulutmu itu yang kotor!" bentak Vidia

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-18
  • Merpati Tanpa Sayap   FITNAH

    “Kenapa bawa aku kesini, Mas? Aku balik ke kelas ya, lima menit lagi kan bel masuk,” ucap Eveline gugup. Baku hantam yang terjadi di kantin mereda berkat kedatangan Mas Sagara. Kalau saja dia tidak datang, pasti kericuhan itu akan berlangsung jauh lebih lama. “Nggak apa-apa, Eve. Aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma mau menjauhkan kamu dari tiga perempuan psikopat itu. Bukan cuma kamu kok yang muak. Aku juga muak! Setiap hari di telepon sama Marsha sampai aku terpaksa harus mengganti nomorku berkali-kali,” ucap Mas Setya. Terlihat bahwa dia juga resah dengan Marsha yang terus mengincarnya. Dari sekian banyak lokasi yang dapat dituju, entah kenapa Mas Sagara mengajak Eveline untuk ngobrol berdua di dekat gudang sekolah. Lokasinya berada di bagian belakang sekolah. Tempat itu sangat sepi dan jarang ada siswa-siswi yang berlalu lalang di area tersebut. “Mas Sagara nggak perlu nolong aku lagi,” jawab Eveline singkat. Semenjak mereka sampai di tempat itu

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-19
  • Merpati Tanpa Sayap   PEKERJAAN MEREKA

    Tap ... Tap .. “Mas, aku tahu komisimu banyak! Kenapa kamu nggak pernah ngasih nafkah buat keluargamu?! Kamu kira gajiku di kios seafood cukup buat kebutuhan kita sehari-hari?! Kamu bahkan nggak mau bayar listrik dan air! Bulan depan listrik mau diputus gara-gara kita udah nunggak selama tiga bulan!!” omel Bu Dewi. Tap ... Tap ... Eveline melangkahkan kakinya langkah demi langkah untuk masuk ke dalam rumah saat orang tuanya sedang sibuk berdebat membahas kondisi keuangan mereka. “Kalau kamu butuh uang ya kerja yang bener! Enak banget kamu ngandalin uangku!” sahut Pak Fero dengan entengnya. “Mas!! Kamu itu suami dan ayah disini! Kamu harus tanggung jawab, dong! Uangmu cuma habis buat beli minuman keras! Kalau kamu nggak bisa nafkahi keluarga kamu, kamu pergi aja dari sini!” marah Bu Dewi lagi. Matanya melotot dibarengi dengan cecaran kebencian yang tak kunjung berhenti. “Hey! Jangan seenaknya ya kamu! Rumah ini d

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-21
  • Merpati Tanpa Sayap   KAVIAR

    “Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-25
  • Merpati Tanpa Sayap   EMOSI MAS SAGARA

    “Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-29

Bab terbaru

  • Merpati Tanpa Sayap   DIMANA TANTE YOSINA?

    “Kamu kemana aja, sih? Katanya mau nungguin aku! Tapi, kok malah aku yang jadi nungguin kamu?! Kamu pergi kemana aja?!” omel Linda beruntun saat sosok Eveline muncul dan berjalan menghampiri dirinya dengan wajah cengar-cengir.Eveline menggaruk kepalanya. Melihat Linda yang sudah naik pitam dengan wajah tegang, Eveline merasa gemas sekaligus bersalah. Tidak disangka jika kebersamaannya dengan Bryan membuat Eveline lupa waktu dan terlambat kembali ke sekolah.“Maaf, Lin. Tadi aku nggak lihat jam. Jadinya yaaa … lupa. Hehehe. Jangan marah, dong,” ucap Eveline mendekati Linda yang duduk seorang diri di gazebo depan sekolah.Wajah Linda memang sudah merengut dengan alis mata yang turun tajam. Dahinya pun mengerut. Tapi, tentu saja Linda tidak akan terlalu mengambil hati keterlambatan Eveline. Perasaan yang ia rasakan hanyalah sebatas kesal yang umum terjadi. Tidak perlu diperpanjang.“Yaa … Oke. Tapi, nanti kamu mai

  • Merpati Tanpa Sayap   MESIN CAPIT BONEKA

    "Kalian berdua sengaja janjian bolos? Bry! Mama emang ngijinin kamu bolos sesekali. Tapi, ya jangan sering-sering, dong. Bukan karena nilai atau apanya. Tapi, Mama nggak mau dipanggil ke sekolah kalau kamu bermasalah. Mama nggak ada waktu. Nanti kalau kerjaan Mama nggak ada yang megang kan sayang banget," ucap Tante Mira mengomel.Bryan menjawab, "Iyaaaaa. Siap sistttt."Mata Tante Mira memicing kepada putra satu-satunya itu. Sebal sekaligus gemas saat Bryan mengolok atau menggodanya."Aku ini Mama kamu. Bukan kakak-kakak pedagang baju online. Seenaknya panggil sist ke Mama sendiri. Kamu pengen Mama dagang online beneran apa gimana?" omel Tante Mira lagi.Bryan menahan tawa. Tak beda dengan Eveline."Udah, udah. Ini! Koin buat kalian. Awas kamu Bry kalau minggu depan minta lagi. Mama jitak kamu sampai nangis," ucap Tante Mira sembari mengulurkan lima belas keping koin ke telapak tangan Bryan yang sudah menengadah."Woahhh. Siappp Mama cantik. Gini, dong

  • Merpati Tanpa Sayap   HELLO, BRYAN

    Entah kenapa Eveline merasa nyaman berbincang dengan teman barunya. Meski tidak terbilang baru karena mereka teman satu angkatan di sekolah, keduanya bahkan belum pernah saling bertatapan satu kali pun."Nggak apa-apa. Aku lagi males sekolah. Jadi aku ke sini," jawab Eveline ringan. Ekspresinya dibuat senormal mungkin untuk menutupi kebohongannya.Bryan mengangguk. Dia meneguk minuman botol miliknya dengan pembawaan yang keren. Laki-laki bermata sipit dan berambut lurus tebal itu menaikkan kaki kirinya dan ditumpangkan pada kaki kanannya. Sesekali, wajahnya ditolehkan untuk menatap sosok Eveline yang terus memperhatikannya dengan keheranan."Kamu juga bolos? Kenapa?" Eveline balik bertanya.Bryan menghela napas sekali. Menatap sekeliling selama beberapa detik."Aku nggak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, aku kabur aja. Aku sering ke sini, kok. Soalnya Mama aku kerja di sini. Dia juga fine-fine aja kalau aku bolos. Katanya, sekolah itu harus tulus. Harus

  • Merpati Tanpa Sayap   BOLOS

    "Eve! Kamu ngapain berdiri di situ? Ayo masuk!" pekik Linda lantang.Perjalanan mereka ke sekolah cukup baik-baik saja hingga akhirnya Eveline mendadak menghentikan langkahnya saat hanya tinggal tiga langkah memasuki pintu gerbang sekolah."Kok kamu diem terus, sih! Kamu nggak mau masuk? Ada yang salah?" tanya Linda lagi.Linda heran melihat langkah kaki Eveline yang terhenti dengan tatapan mata ke arah depan. Entah apa yang tengah dipandang. Tapi, Eveline benar-benar terpaku bagai patung manekin."Aku ... hari ini nggak mau sekolah!" kata Eveline singkat.Kata-kata yang diucapkan Eveline sulit dimengerti oleh Linda. Perjalanan yang mereka berdua lalui dengan suka cita dan lantunan lagu-lagu riang, seketika sirna saat raut wajah Eveline berubah. Sepertinya, niat hati Eveline untuk bersekolah seketika hilang."Aku nggak siap ketemu sama Marsha dan gengnya hari ini. Aku hari ini mau kabur. Aku mau bolos," ucap Eveline lirih.Linda yang berdiri mengha

  • Merpati Tanpa Sayap   PASAR GELAP

    TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok

  • Merpati Tanpa Sayap   SALAH TUDUH (BAGIAN 2)

    "Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng

  • Merpati Tanpa Sayap   SALAH TUDUH

    "Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng

  • Merpati Tanpa Sayap   EMOSI MAS SAGARA

    “Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..

  • Merpati Tanpa Sayap   KAVIAR

    “Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status