“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat.
“Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya.
Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat.
“Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-engah. Napasnya tak beraturan.
“Tenang aja, San. Tapi, Kamu dari mana sih? Kok kayaknya kamu capek banget gitu? Ada sesuatu?” tanya Bu Dewi. Kedua tangannya bergerak dengan terampil memisahkan gurita kecil dengan gurita yang ukurannya lebih besar. Kaki-kaki gurita di dalam ember besar, saling terkait satu sama lain bagai benang kusut.
“Anakku tadi kesrempet motor waktu mau berangkat sekolah, Mbak. Padahal aku udah bilang kalau berangkat sekolah lewat gang dekat sungai aja. Ya emang lebih jauh sih, tapi kan lebih aman. Jalanannya juga nggak terlalu ramai. Eh, tapi bandel anaknya! Dia nekat nyeberang jalan raya sama Reyhan, anaknya Pak Joko yang jualan sate di seberang kios. Untung lukanya nggak parah, Mbak. Udah lemes badanku dari tadi,” papar Bu Sandra dengan wajah panik yang perlahan kian menjadi lega.
“Hah? Terus anakmu sekarang dimana, San? Dia beneran nggak apa-apa? Kalau kamu mau nemenin dia dulu nggak apa-apa, kok. Aku bisa jaga kios sendiri,” tukas Bu Dewi ikut khawatir.
Tapi, Bu Sandra menggelengkan kepalanya sembari mengembuskan napas panjang.
“Nggak usah, Mbak. Dia di rumah sama kakeknya, kok. Nanti siang juga adikku, Sari udah pulang kuliah. Lagian aku juga pengen nemenin kamu kerja, Mbak. Stok dari Pak Dadang kan baru dateng juga. Banyak seafood yang harus kita bersihin,” jawab Bu Sandra.
Bu Sandra memanglah wanita yang bijak dan penuh kasih. Wanita yang menjadi sahabat seperjuangan Bu Dewi itu memang memiliki sifat bertanggung jawab atas semua yang ia lakukan. Sifat itu sudah nampak jelas sejak Bu Sandra duduk di bangku sekolah. Hal sekecil apa pun, tidak pernah ia abaikan. Di saat kondisi seperti ini pun, dia berusaha untuk bisa menyelesaikan masalah terkait anaknya, Rama dan juga mengurus keadaan kiosnya.
Di sisi lain, Bu Sandra memiliki alasan kenapa dia tidak tega meninggalkan Bu Dewi bekerja seorang diri. Ya, dia takut kalau sisi jahat Bu Dewi muncul dan kondisi kios menjadi tidak baik. Bu Sandra khawatir tidak ada orang yang akan menengahi pertikaian yang akan muncul saat Bu Dewi berubah kepribadian.
Tap ...
Tap ...
Ting!!
Sebuah lonceng kecil di atas pintu kios berbunyi nyaring. Menandakan ada seorang calon pembeli yang masuk ke dalam kios.
“Silakan, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Bu Sandra mendekati pembeli wanita yang baru datang.
Pembeli itu tidak menjawab ucapan Bu Sandra sama sekali. Wanita tua yang berpenampilan mewah itu hanya melirikkan kedua matanya ke arah Bu Sandra dengan tatapan sinis. Kaftan panjangnya, tas kulit buaya bermerk, dan sanggul rambut yang mengkilap mengisyaratkan bahwa wanita itu tidak akan membeli ikan kecil yang dimasak untuk stok makan beberapa hari.
“Saya mau kaviar satu kilogram!” pinta wanita tua itu singkat.
“Kaviar?” Bu Dewi kebingungan.
“Em ... Maaf, Bu. Tapi, kami tidak menjual kaviar,” jawab Bu Sandra.
“Kaviar itu apa, San? Merk mobil?” tanya Bu Dewi lagi.
Kepolosan Bu Dewi seketika ditertawakan oleh wanita tua yang menggunakan make-up tebal seperti hendak mengunjungi suatu acara penting.
“Hahahaha! Bodoh! Kalian ini penjual seafood! Bagaimana bisa kalian nggak tahu apa itu kaviar? Kaviar itu telur ikan yang super mahal!” olok si pembeli mengesalkan itu.
“Maaf, Bu. Kami benar-benar tidak memiliki kaviar. Kami hanya menyediakan telur ikan salmon. Kami minta maaf, Bu,” Bu Sandra menghiba. Tubuhnya setengah tertunduk di depan wanita itu.
Raut wajah pembeli itu kian muram.
“Hey!!! Kalian ini kuno sekali! Kerja kok nggak becus! Kalau nggak tahu kaviar, jangan sok berani jual makanan laut begini! Waktu saya jadi terbuang hanya karena masuk ke tempat ini dan nggak mendapatkan apa yang saya cari! Dasar penjual bodoh! Kuno! Tidak berpendidikan!!” omel wanita itu tepat di hadapan Bu Sandra yang sudah dibanjiri oleh keringat dingin.
“Kalian ini benar-benar pedagang yang mengecewakan pembeli. Kalian ini ...,” sambung sang pembeli.
Tap ...
Tap ...
Tap ...
Pluk!!
Melihat Bu Sandra yang dimarahi terus-menerus, Bu Dewi naik pitam. Diraihnya satu ekor gurita yang paling besar di dalam ember. Digenggamnya gurita itu dengan sangat kuat. Tanpa basa-basi lagi, Bu Dewi berjalan mendekati pembeli itu dan memasukkan gurita besar itu ke dalam mulut si pembeli. Membuat pembeli menjengkelkan itu terdiam dengan wajah terkejut.
“Diam! Wanita tua nggak tahu diri!” bentak Bu Dewi.
Seketika itu juga, sebuah gurita besar membungkam mulut wanita tua yang dari tadi melontarkan hinaannya kepada Bu Sandra dan Bu Dewi. Bibir berwarna merah tuanya, kini berpadu dengan seekor gurita yang menggeliat.
“Cuih! Apa-apaan ini!!” wanita tua itu meludahkan gurita besar yang sempat mengisi bibirnya. Gurita hidup dengan delapan kaki yang masih bergerak-gerak.
“Aduh! Bu Dewi jadi jahat gara-gara ibu tua ini bikin masalah,” batin Bu Sandra.
“Anda yang bodoh! Sudah jelas-jelas tempat ini hanya kios kecil! Sudah sangat jelas tempat ini bukan supermarket atau kios di luar negeri! Masih aja cari kaviar!” bentak Bu Dewi tepat di depan wajah wanita tua itu.
Bu Dewi melanjutkan ucapannya.
“Apa kedua mata anda buta, Nyonya? Satu-satunya telur yang ada di sini hanya telur ikan salmon! Dan juga "telur" suami anda yang sedang menunggu di depan kios! Kalau anda bersikeras menginginkan kaviar, Silakan anda masuk ke dalam laut dan cari sendiri telur ikan mahal yang anda mau! Kalau perlu, anda tunggu satu persatu ikan di laut sampai mereka bertelur! Agar anda bisa segera menelan kaviar bodoh itu! Itu pun kalau anda selamat! Bisa saja tubuh anda dikoyak ikan hiu saat baru lima meter berenang. Wanita tua bodoh!!!” omel Bu Dewi panjang lebar.
Melihat temannya membela mati-matian seperti itu, Bu Sandra justru tidak menengahi pertikaian tersebut. Dia justru terkagum-kagum dengan kemarahan Bu Dewi yang terlihat sangat keren.
“Hanya orang bodoh yang mencari kaviar di kios kecil seperti ini! Dan anda adalah orang itu! Pakaian anda saja yang mewah. Tapi otak anda hanya sebesar telur salmon” lanjut Bu Dewi.
Mendengar olokan Bu Dewi, wanita tua itu terkesiap. Mulutnya terkunci rapat dengan kekesalan yang tidak dapat ia utarakan. Dia hanya memasang wajah tegang dan berbalik berjalan keluar meninggalkan kios.
“Dasar wanita tua gila!” teriak Bu Dewi.
“Mbak, mbak .. Udah, Mbak. Dia udah keluar kok, Mbak. Jangan diurusin lagi. Tuh kan, Mbak Dewi jadi emosi kayak gini,” Bu Sandra mengelus pundak Bu Dewi lembut.
Mata Bu Dewi masih menatap wanita tua itu berjalan menuju sebuah mobil sedan bersama suaminya. Pintu kios yang terbuat dari kaca, membuat Bu Dewi dapat memperhatikan wanita tua itu hingga benar-benar menghilang tanpa jejak.
Glek
Glek
Bu Dewi menengguk air dingin yang ia ambil dari dalam kulkas. Ia teguk air dingin yang ia ambil langsung dari botolnya.
“Mbak, udah. Tenangin diri ya. Biar aku yang melayani pembeli. Mbak Dewi istirahat aja sampai perasaan Mbak membaik,” ucap Bu Sandra.
"Diam kamu!! Berisik banget tahu nggak, sih?! Bacot!" bentak Bu Dewi tiba-tiba.
Bu Dewi kembali duduk di tempatnya semula dan memisahkan gurita-gurita yang ia urus sejak tadi. Kemarahannya masih belum mereda. Mode jahatnya pun masih belum hilang pula. Membuat Bu Sandra pun kena omelan.
“Ya, walau pun sekarang dia sangat sensitif, tapi aku benar-benar kagum sama keberaniannya. Ternyata, kekurangan Mbak Dewi bisa jadi kelebihan di saat yang tepat,” batin Bu Sandra sembari mengulurkan senyuman hangat ke arah Bu Dewi
“Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..
"Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng
"Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng
TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok
"Eve! Kamu ngapain berdiri di situ? Ayo masuk!" pekik Linda lantang.Perjalanan mereka ke sekolah cukup baik-baik saja hingga akhirnya Eveline mendadak menghentikan langkahnya saat hanya tinggal tiga langkah memasuki pintu gerbang sekolah."Kok kamu diem terus, sih! Kamu nggak mau masuk? Ada yang salah?" tanya Linda lagi.Linda heran melihat langkah kaki Eveline yang terhenti dengan tatapan mata ke arah depan. Entah apa yang tengah dipandang. Tapi, Eveline benar-benar terpaku bagai patung manekin."Aku ... hari ini nggak mau sekolah!" kata Eveline singkat.Kata-kata yang diucapkan Eveline sulit dimengerti oleh Linda. Perjalanan yang mereka berdua lalui dengan suka cita dan lantunan lagu-lagu riang, seketika sirna saat raut wajah Eveline berubah. Sepertinya, niat hati Eveline untuk bersekolah seketika hilang."Aku nggak siap ketemu sama Marsha dan gengnya hari ini. Aku hari ini mau kabur. Aku mau bolos," ucap Eveline lirih.Linda yang berdiri mengha
Entah kenapa Eveline merasa nyaman berbincang dengan teman barunya. Meski tidak terbilang baru karena mereka teman satu angkatan di sekolah, keduanya bahkan belum pernah saling bertatapan satu kali pun."Nggak apa-apa. Aku lagi males sekolah. Jadi aku ke sini," jawab Eveline ringan. Ekspresinya dibuat senormal mungkin untuk menutupi kebohongannya.Bryan mengangguk. Dia meneguk minuman botol miliknya dengan pembawaan yang keren. Laki-laki bermata sipit dan berambut lurus tebal itu menaikkan kaki kirinya dan ditumpangkan pada kaki kanannya. Sesekali, wajahnya ditolehkan untuk menatap sosok Eveline yang terus memperhatikannya dengan keheranan."Kamu juga bolos? Kenapa?" Eveline balik bertanya.Bryan menghela napas sekali. Menatap sekeliling selama beberapa detik."Aku nggak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, aku kabur aja. Aku sering ke sini, kok. Soalnya Mama aku kerja di sini. Dia juga fine-fine aja kalau aku bolos. Katanya, sekolah itu harus tulus. Harus
"Kalian berdua sengaja janjian bolos? Bry! Mama emang ngijinin kamu bolos sesekali. Tapi, ya jangan sering-sering, dong. Bukan karena nilai atau apanya. Tapi, Mama nggak mau dipanggil ke sekolah kalau kamu bermasalah. Mama nggak ada waktu. Nanti kalau kerjaan Mama nggak ada yang megang kan sayang banget," ucap Tante Mira mengomel.Bryan menjawab, "Iyaaaaa. Siap sistttt."Mata Tante Mira memicing kepada putra satu-satunya itu. Sebal sekaligus gemas saat Bryan mengolok atau menggodanya."Aku ini Mama kamu. Bukan kakak-kakak pedagang baju online. Seenaknya panggil sist ke Mama sendiri. Kamu pengen Mama dagang online beneran apa gimana?" omel Tante Mira lagi.Bryan menahan tawa. Tak beda dengan Eveline."Udah, udah. Ini! Koin buat kalian. Awas kamu Bry kalau minggu depan minta lagi. Mama jitak kamu sampai nangis," ucap Tante Mira sembari mengulurkan lima belas keping koin ke telapak tangan Bryan yang sudah menengadah."Woahhh. Siappp Mama cantik. Gini, dong
“Kamu kemana aja, sih? Katanya mau nungguin aku! Tapi, kok malah aku yang jadi nungguin kamu?! Kamu pergi kemana aja?!” omel Linda beruntun saat sosok Eveline muncul dan berjalan menghampiri dirinya dengan wajah cengar-cengir.Eveline menggaruk kepalanya. Melihat Linda yang sudah naik pitam dengan wajah tegang, Eveline merasa gemas sekaligus bersalah. Tidak disangka jika kebersamaannya dengan Bryan membuat Eveline lupa waktu dan terlambat kembali ke sekolah.“Maaf, Lin. Tadi aku nggak lihat jam. Jadinya yaaa … lupa. Hehehe. Jangan marah, dong,” ucap Eveline mendekati Linda yang duduk seorang diri di gazebo depan sekolah.Wajah Linda memang sudah merengut dengan alis mata yang turun tajam. Dahinya pun mengerut. Tapi, tentu saja Linda tidak akan terlalu mengambil hati keterlambatan Eveline. Perasaan yang ia rasakan hanyalah sebatas kesal yang umum terjadi. Tidak perlu diperpanjang.“Yaa … Oke. Tapi, nanti kamu mai
“Kamu kemana aja, sih? Katanya mau nungguin aku! Tapi, kok malah aku yang jadi nungguin kamu?! Kamu pergi kemana aja?!” omel Linda beruntun saat sosok Eveline muncul dan berjalan menghampiri dirinya dengan wajah cengar-cengir.Eveline menggaruk kepalanya. Melihat Linda yang sudah naik pitam dengan wajah tegang, Eveline merasa gemas sekaligus bersalah. Tidak disangka jika kebersamaannya dengan Bryan membuat Eveline lupa waktu dan terlambat kembali ke sekolah.“Maaf, Lin. Tadi aku nggak lihat jam. Jadinya yaaa … lupa. Hehehe. Jangan marah, dong,” ucap Eveline mendekati Linda yang duduk seorang diri di gazebo depan sekolah.Wajah Linda memang sudah merengut dengan alis mata yang turun tajam. Dahinya pun mengerut. Tapi, tentu saja Linda tidak akan terlalu mengambil hati keterlambatan Eveline. Perasaan yang ia rasakan hanyalah sebatas kesal yang umum terjadi. Tidak perlu diperpanjang.“Yaa … Oke. Tapi, nanti kamu mai
"Kalian berdua sengaja janjian bolos? Bry! Mama emang ngijinin kamu bolos sesekali. Tapi, ya jangan sering-sering, dong. Bukan karena nilai atau apanya. Tapi, Mama nggak mau dipanggil ke sekolah kalau kamu bermasalah. Mama nggak ada waktu. Nanti kalau kerjaan Mama nggak ada yang megang kan sayang banget," ucap Tante Mira mengomel.Bryan menjawab, "Iyaaaaa. Siap sistttt."Mata Tante Mira memicing kepada putra satu-satunya itu. Sebal sekaligus gemas saat Bryan mengolok atau menggodanya."Aku ini Mama kamu. Bukan kakak-kakak pedagang baju online. Seenaknya panggil sist ke Mama sendiri. Kamu pengen Mama dagang online beneran apa gimana?" omel Tante Mira lagi.Bryan menahan tawa. Tak beda dengan Eveline."Udah, udah. Ini! Koin buat kalian. Awas kamu Bry kalau minggu depan minta lagi. Mama jitak kamu sampai nangis," ucap Tante Mira sembari mengulurkan lima belas keping koin ke telapak tangan Bryan yang sudah menengadah."Woahhh. Siappp Mama cantik. Gini, dong
Entah kenapa Eveline merasa nyaman berbincang dengan teman barunya. Meski tidak terbilang baru karena mereka teman satu angkatan di sekolah, keduanya bahkan belum pernah saling bertatapan satu kali pun."Nggak apa-apa. Aku lagi males sekolah. Jadi aku ke sini," jawab Eveline ringan. Ekspresinya dibuat senormal mungkin untuk menutupi kebohongannya.Bryan mengangguk. Dia meneguk minuman botol miliknya dengan pembawaan yang keren. Laki-laki bermata sipit dan berambut lurus tebal itu menaikkan kaki kirinya dan ditumpangkan pada kaki kanannya. Sesekali, wajahnya ditolehkan untuk menatap sosok Eveline yang terus memperhatikannya dengan keheranan."Kamu juga bolos? Kenapa?" Eveline balik bertanya.Bryan menghela napas sekali. Menatap sekeliling selama beberapa detik."Aku nggak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, aku kabur aja. Aku sering ke sini, kok. Soalnya Mama aku kerja di sini. Dia juga fine-fine aja kalau aku bolos. Katanya, sekolah itu harus tulus. Harus
"Eve! Kamu ngapain berdiri di situ? Ayo masuk!" pekik Linda lantang.Perjalanan mereka ke sekolah cukup baik-baik saja hingga akhirnya Eveline mendadak menghentikan langkahnya saat hanya tinggal tiga langkah memasuki pintu gerbang sekolah."Kok kamu diem terus, sih! Kamu nggak mau masuk? Ada yang salah?" tanya Linda lagi.Linda heran melihat langkah kaki Eveline yang terhenti dengan tatapan mata ke arah depan. Entah apa yang tengah dipandang. Tapi, Eveline benar-benar terpaku bagai patung manekin."Aku ... hari ini nggak mau sekolah!" kata Eveline singkat.Kata-kata yang diucapkan Eveline sulit dimengerti oleh Linda. Perjalanan yang mereka berdua lalui dengan suka cita dan lantunan lagu-lagu riang, seketika sirna saat raut wajah Eveline berubah. Sepertinya, niat hati Eveline untuk bersekolah seketika hilang."Aku nggak siap ketemu sama Marsha dan gengnya hari ini. Aku hari ini mau kabur. Aku mau bolos," ucap Eveline lirih.Linda yang berdiri mengha
TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok
"Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng
"Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng
“Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..
“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en