Share

PEKERJAAN MEREKA

Author: ICETEA
last update Last Updated: 2021-06-21 18:09:58

Tap ...

Tap ..

“Mas, aku tahu komisimu banyak! Kenapa kamu nggak pernah ngasih nafkah buat keluargamu?! Kamu kira gajiku di kios seafood cukup buat kebutuhan kita sehari-hari?! Kamu bahkan nggak mau bayar listrik dan air! Bulan depan listrik mau diputus gara-gara kita udah nunggak selama tiga bulan!!” omel Bu Dewi.

Tap ...

Tap ...

Eveline melangkahkan kakinya langkah demi langkah untuk masuk ke dalam rumah saat orang tuanya sedang sibuk berdebat membahas kondisi keuangan mereka.

“Kalau kamu butuh uang ya kerja yang bener! Enak banget kamu ngandalin uangku!” sahut Pak Fero dengan entengnya.

“Mas!! Kamu itu suami dan ayah disini! Kamu harus tanggung jawab, dong! Uangmu cuma habis buat beli minuman keras! Kalau kamu nggak bisa nafkahi keluarga kamu, kamu pergi aja dari sini!” marah Bu Dewi lagi.

Matanya melotot dibarengi dengan cecaran kebencian yang tak kunjung berhenti.

“Hey! Jangan seenaknya ya kamu! Rumah ini dibeli atas campur tangan ibuku juga! Aku nggak mungkin pergi dari sini! Ini satu-satunya peninggalan ibuku yang masih ada!” sahut Pak Fero.

Bu Dewi berdecak kesal.

“Hah?! Kamu lupa? Rumah ini hasil dari usahaku dan usaha ibumu!!! Uangku juga ada di sini! Yang harusnya pergi itu kamu! Kamu sama sekali nggak ada andil di sini! Kamu itu cuma beban! Sekarang, mana hasil kerjamu? Mana? Manaaaa!! Mana bayaranmu untuk tinggal di sini selama bertahun-tahun?!” teriak Bu Dewi.

"Apaa!!! Jadi kamu minta bayaran karena aku tinggal di rumah yang ibuku bangun? Dasar istri nggak tahu malu!!" balas Pak Fero kesal.

Eveline terus mengendap-endap menuju kamarnya. Sebisa mungkin, dia tidak ingin orang tuanya melihat sosoknya yang baru pulang dari rumah Tante Yosina.

Tap ...

Tap ...

“Kalau bukan karena aku, anakmu nggak akan jadi secantik itu! Dia punya wajah Jepang yang nggak dimiliki orang lain!! Semua itu karena keluargaku punya gen unggul! Nggak kayak kamu yang jelek dan kampungan kayak gembel!” bentak Pak Fero semakin tidak masuk akal.

“Hah? Itu sama sekali penting, bodoh! Mau dia (Eveline) jelek atau cantik, semua bakal lebih baik kalau aku “bikin”nya nggak sama kamu! Kamu bener-bener laki-laki nggak becus! Nggak bisa diandalin sama sekali!” suara Bu Dewi semakin meninggi.

Setelah berlangkah-langkah Eveline ambil, sampailah dia di dalam kamarnya.

Untung saja, pintu kamarnya tidak menimbulkan suara saat dibuka atau ditutup. Jadi, kedua orangnya benar-benar tidak menyadari kehadirannya.

Brukkk!

Eveline merebahkan dirinya di atas kasur kecilnya yang nyaman.

“Pasti Mama lagi mode jahat. Untung tadi dia nggak lihat aku. Pasti aku bakal dimarahin karena pulang jam segini,” ucap Eveline lirih.

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Suasana di luar pun sudah sunyi senyap. Jarang ada orang yang menimbulkan suara bising. Kecuali kedua orang tua Eveline yang hobi bertengkar dan membuat keributan.

Setelah lebih dari jam tujuh malam, orang tua Eveline memang sudah pasti ada di rumah. Mereka telah menyelesaikan pekerjaannya dan akan kembali melakukannya esok hari. Hanya hari-hari tertentu saja mereka bisa di rumah saat siang atau sore. Saat pekerjaan mereka sedikit atau selesai lebih awal.

Bu Dewi, ibu Eveline bekerja di salah satu kios seafood yang ada di kota itu. Kios itu menjual berbagai hasil laut mentah. Cumi-cumi, gurita, ikan-ikan laut, dan masih banyak lainnya. Ya, tidak heran kenapa dia selalu memasak seafood yang notabene adalah makanan yang membuat Eveline alergi. Nyatanya, memang itulah yang bisa dimasak. Sisa-sisa seafood dari kios yang tidak terjual, selalu dibawa pulang oleh Bu Dewi untuk dimasak di rumah.

Pekerjaan ini adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan Bu Dewi. Selain karena pekerjaannya mudah, kios seafood ini adalah milik sahabat karib Bu Dewi yang bernama Bu Sandra. Mereka berdua sudah berteman sejak masa sekolah.

Di samping itu, Bu Sandra adalah salah satu orang yang mengetahui kondisi psikologis Bu Dewi. Saat Bu Dewi menjadi jahat, Bu Dewi selalu memarahi pembeli dan bersifat sangat ketus. Dia kadang memarahi pembeli yang melalukan sedikit kesalahan atau menawar harga seafood menjadi lebih murah.

Saat itulah Bu Sandra meminta Bu Dewi untuk istirahat dan giliran Bu Sandra yang akan melayani pembeli. Bekerja bergantian.

Tetapi, ketika Bu Dewi dalam mode baik, dia bahkan meminta maaf berkali-kali ketika pembeli tidak sengaja terciprat air saat Bu Dewi mengemas seafood pesanan.

Ya, dua jiwa yang berbeda hidup dalam satu tubuh yang lemah.

Lalu, apa pekerjaan Pak Fero?

Singkat saja, Pak Fero tidak memiliki pekerjaan tetap. Tidak memiliki pekerjaan normal seperti yang dilakukan oleh orang-orang. Tapi, Pak Fero melakukan suatu aktifitas yang sangat berisiko.

Pak Fero menjadi salah satu penyalur atau perantara perdagangan ilegal yang ada di pasar gelap. Dia bertugas mencarikan barang-barang pesanan orang di pasar gelap yang letaknya di dekat pelabuhan kota itu. Hal ini memang bukanlah hal yang normal. Dia melakukannya secara diam-diam. Bahkan, identitas orang yang melakukan pemesanan pun sangat dirahasiakan.

Banyak sekali barang-barang yang pernah Pak Fero dapatkan di pasar gelap. Handphone dengan harga yang 10 kali lebih murah dari harga aslinya, narkotika yang dikemas seperti makanan ringan, alat elektronik dengan harga yang sangat murah, dan sebagainya. Karena kegiatan ini bergerak secara langsung mau pun berbasis internet, Pak Fero sangat sibuk mengurus semuanya setiap hari.

Ketika semua pesanan telah disampaikan kepada pemesan, Pak Fero mendapatkan komisi yang nominalnya tidak pasti. Tergantung barang apa yang ia cari. Semakin berharga barang yang ia dapatkan, semakin besar pula komisi yang ia dapatkan. Bahkan, Pak Fero pernah menerima komisi sebesar dua puluh juta karena bisa mendapatkan narkotika jenis tertentu yang keberadaannya sangat langka. Tak diragukan lagi, uang Pak Fero melimpah karena komisi yang ia dapatkan tentunya cukup besar. Tapi, uang itu selalu dihambur-hamburkan untuk konsumsi minuman keras yang berlebihan.

Uang yang dicari dengan cara yang haram, habis untuk membeli sesuatu yang haram!

Itulah yang membuat Bu Dewi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Gajinya yang tak seberapa, selalu hanya tinggal recehan ketika akhir bulan. Sedangkan suami bejatnya bahkan tidak ingin tahu bagaimana sulitnya kondisi di rumah.

“Aku tahu uang itu haram! Tapi, kebutuhan sehari-hari lebih penting dari pada mikirin haram atau nggak!” bentakan Bu Dewi terdengar kembali.

Eveline mendengarkan setiap kata demi kata yang terlontar dari mulut kedua orang tuanya. Kini, dia terbiasa mendengar itu dan menjadikannya sebagai lagu pengantar tidur.

“Dasar wanita manja! Nggak tahu diri!!” maki Pak Fero.

“Apa ayah segitu bencinya sama aku dan ibu, ya? Sampai-sampai nggak mau ngasih uang buat ibu. Apa ayah bukan ayah kandungku, ya?” batin Eveline.

Mendengar pertengkaran itu, Eveline teringat bagaimana Pak Setya memperlakukannya dengan begitu perhatian. Ucapannya, kata-kata penenang dan dukungannya, membuat Eveline merasakan sesuatu yanng belum pernah ia rasakan. Hubungan ayah dan anak yang dekat.

“Kalau ibu nikah sama Pak Setya, pasti hidupku bisa lebih bahagia. Sayangnya, Pak Setya itu ayahnya Marsha. Musuh bebuyutanku,” celetuk Eveline lirih.

Dipandangnya langit-langit kamarnya. Langit-langit yang sudah kotor karena bekas air hujan yangg merembes hingga ke bagian dalam. Walau begitu, bangunan ini terhitung cukup kuat dan belum ada yang roboh sejak rumah ini didirikan. Kalau rumah ini sampai roboh, entah siapa yang akan membetulkannya. Dilihat dari kondisi orang tua Eveline yang sangat tidak akur. Bahkan jika salah satu diantara mereka ada yang meninggal, sepertinya tidak akan ada yang merasa kehilangan.

Tangan Eveline meraih kalender meja yang tergeletak di meja kecil. Diraihnya dengan posisi berbaring yang tidak berubah.

Diperhatikannya semua demi jejeran angka satu persatu.

Enam belas ...

Tujuh belas ...

Delapan belas ...

“Tiga hari lagi ulang tahunku,” batin Eveline.

“Selama ini ibu dan ayah nggak pernah peduli sama ulang tahunku. Apa tahun ini bakal sama aja, ya? Lagi pula, apa ibu dan ayah ingat tanggal ulang tahunku?” sambung Eveline.

Diletakannya kalender kecil itu di dadanya. Dia ingin sekali saja dalam hidupnya, ada momen dimana ulang tahunnya menjadi terasa berkesan. Ucapan selamat sekali pun, belum pernah ia dapatkan dari kedua orang tuanya.

“Ya, aku nggak perlu berharap apa-apa,” ucap Eveline dengan wajah pasrah.

Related chapters

  • Merpati Tanpa Sayap   KAVIAR

    “Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en

    Last Updated : 2021-06-25
  • Merpati Tanpa Sayap   EMOSI MAS SAGARA

    “Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..

    Last Updated : 2021-06-29
  • Merpati Tanpa Sayap   SALAH TUDUH

    "Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng

    Last Updated : 2021-09-02
  • Merpati Tanpa Sayap   SALAH TUDUH (BAGIAN 2)

    "Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng

    Last Updated : 2021-09-06
  • Merpati Tanpa Sayap   PASAR GELAP

    TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok

    Last Updated : 2021-09-09
  • Merpati Tanpa Sayap   BOLOS

    "Eve! Kamu ngapain berdiri di situ? Ayo masuk!" pekik Linda lantang.Perjalanan mereka ke sekolah cukup baik-baik saja hingga akhirnya Eveline mendadak menghentikan langkahnya saat hanya tinggal tiga langkah memasuki pintu gerbang sekolah."Kok kamu diem terus, sih! Kamu nggak mau masuk? Ada yang salah?" tanya Linda lagi.Linda heran melihat langkah kaki Eveline yang terhenti dengan tatapan mata ke arah depan. Entah apa yang tengah dipandang. Tapi, Eveline benar-benar terpaku bagai patung manekin."Aku ... hari ini nggak mau sekolah!" kata Eveline singkat.Kata-kata yang diucapkan Eveline sulit dimengerti oleh Linda. Perjalanan yang mereka berdua lalui dengan suka cita dan lantunan lagu-lagu riang, seketika sirna saat raut wajah Eveline berubah. Sepertinya, niat hati Eveline untuk bersekolah seketika hilang."Aku nggak siap ketemu sama Marsha dan gengnya hari ini. Aku hari ini mau kabur. Aku mau bolos," ucap Eveline lirih.Linda yang berdiri mengha

    Last Updated : 2021-09-11
  • Merpati Tanpa Sayap   HELLO, BRYAN

    Entah kenapa Eveline merasa nyaman berbincang dengan teman barunya. Meski tidak terbilang baru karena mereka teman satu angkatan di sekolah, keduanya bahkan belum pernah saling bertatapan satu kali pun."Nggak apa-apa. Aku lagi males sekolah. Jadi aku ke sini," jawab Eveline ringan. Ekspresinya dibuat senormal mungkin untuk menutupi kebohongannya.Bryan mengangguk. Dia meneguk minuman botol miliknya dengan pembawaan yang keren. Laki-laki bermata sipit dan berambut lurus tebal itu menaikkan kaki kirinya dan ditumpangkan pada kaki kanannya. Sesekali, wajahnya ditolehkan untuk menatap sosok Eveline yang terus memperhatikannya dengan keheranan."Kamu juga bolos? Kenapa?" Eveline balik bertanya.Bryan menghela napas sekali. Menatap sekeliling selama beberapa detik."Aku nggak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, aku kabur aja. Aku sering ke sini, kok. Soalnya Mama aku kerja di sini. Dia juga fine-fine aja kalau aku bolos. Katanya, sekolah itu harus tulus. Harus

    Last Updated : 2021-09-14
  • Merpati Tanpa Sayap   MESIN CAPIT BONEKA

    "Kalian berdua sengaja janjian bolos? Bry! Mama emang ngijinin kamu bolos sesekali. Tapi, ya jangan sering-sering, dong. Bukan karena nilai atau apanya. Tapi, Mama nggak mau dipanggil ke sekolah kalau kamu bermasalah. Mama nggak ada waktu. Nanti kalau kerjaan Mama nggak ada yang megang kan sayang banget," ucap Tante Mira mengomel.Bryan menjawab, "Iyaaaaa. Siap sistttt."Mata Tante Mira memicing kepada putra satu-satunya itu. Sebal sekaligus gemas saat Bryan mengolok atau menggodanya."Aku ini Mama kamu. Bukan kakak-kakak pedagang baju online. Seenaknya panggil sist ke Mama sendiri. Kamu pengen Mama dagang online beneran apa gimana?" omel Tante Mira lagi.Bryan menahan tawa. Tak beda dengan Eveline."Udah, udah. Ini! Koin buat kalian. Awas kamu Bry kalau minggu depan minta lagi. Mama jitak kamu sampai nangis," ucap Tante Mira sembari mengulurkan lima belas keping koin ke telapak tangan Bryan yang sudah menengadah."Woahhh. Siappp Mama cantik. Gini, dong

    Last Updated : 2021-09-16

Latest chapter

  • Merpati Tanpa Sayap   DIMANA TANTE YOSINA?

    “Kamu kemana aja, sih? Katanya mau nungguin aku! Tapi, kok malah aku yang jadi nungguin kamu?! Kamu pergi kemana aja?!” omel Linda beruntun saat sosok Eveline muncul dan berjalan menghampiri dirinya dengan wajah cengar-cengir.Eveline menggaruk kepalanya. Melihat Linda yang sudah naik pitam dengan wajah tegang, Eveline merasa gemas sekaligus bersalah. Tidak disangka jika kebersamaannya dengan Bryan membuat Eveline lupa waktu dan terlambat kembali ke sekolah.“Maaf, Lin. Tadi aku nggak lihat jam. Jadinya yaaa … lupa. Hehehe. Jangan marah, dong,” ucap Eveline mendekati Linda yang duduk seorang diri di gazebo depan sekolah.Wajah Linda memang sudah merengut dengan alis mata yang turun tajam. Dahinya pun mengerut. Tapi, tentu saja Linda tidak akan terlalu mengambil hati keterlambatan Eveline. Perasaan yang ia rasakan hanyalah sebatas kesal yang umum terjadi. Tidak perlu diperpanjang.“Yaa … Oke. Tapi, nanti kamu mai

  • Merpati Tanpa Sayap   MESIN CAPIT BONEKA

    "Kalian berdua sengaja janjian bolos? Bry! Mama emang ngijinin kamu bolos sesekali. Tapi, ya jangan sering-sering, dong. Bukan karena nilai atau apanya. Tapi, Mama nggak mau dipanggil ke sekolah kalau kamu bermasalah. Mama nggak ada waktu. Nanti kalau kerjaan Mama nggak ada yang megang kan sayang banget," ucap Tante Mira mengomel.Bryan menjawab, "Iyaaaaa. Siap sistttt."Mata Tante Mira memicing kepada putra satu-satunya itu. Sebal sekaligus gemas saat Bryan mengolok atau menggodanya."Aku ini Mama kamu. Bukan kakak-kakak pedagang baju online. Seenaknya panggil sist ke Mama sendiri. Kamu pengen Mama dagang online beneran apa gimana?" omel Tante Mira lagi.Bryan menahan tawa. Tak beda dengan Eveline."Udah, udah. Ini! Koin buat kalian. Awas kamu Bry kalau minggu depan minta lagi. Mama jitak kamu sampai nangis," ucap Tante Mira sembari mengulurkan lima belas keping koin ke telapak tangan Bryan yang sudah menengadah."Woahhh. Siappp Mama cantik. Gini, dong

  • Merpati Tanpa Sayap   HELLO, BRYAN

    Entah kenapa Eveline merasa nyaman berbincang dengan teman barunya. Meski tidak terbilang baru karena mereka teman satu angkatan di sekolah, keduanya bahkan belum pernah saling bertatapan satu kali pun."Nggak apa-apa. Aku lagi males sekolah. Jadi aku ke sini," jawab Eveline ringan. Ekspresinya dibuat senormal mungkin untuk menutupi kebohongannya.Bryan mengangguk. Dia meneguk minuman botol miliknya dengan pembawaan yang keren. Laki-laki bermata sipit dan berambut lurus tebal itu menaikkan kaki kirinya dan ditumpangkan pada kaki kanannya. Sesekali, wajahnya ditolehkan untuk menatap sosok Eveline yang terus memperhatikannya dengan keheranan."Kamu juga bolos? Kenapa?" Eveline balik bertanya.Bryan menghela napas sekali. Menatap sekeliling selama beberapa detik."Aku nggak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, aku kabur aja. Aku sering ke sini, kok. Soalnya Mama aku kerja di sini. Dia juga fine-fine aja kalau aku bolos. Katanya, sekolah itu harus tulus. Harus

  • Merpati Tanpa Sayap   BOLOS

    "Eve! Kamu ngapain berdiri di situ? Ayo masuk!" pekik Linda lantang.Perjalanan mereka ke sekolah cukup baik-baik saja hingga akhirnya Eveline mendadak menghentikan langkahnya saat hanya tinggal tiga langkah memasuki pintu gerbang sekolah."Kok kamu diem terus, sih! Kamu nggak mau masuk? Ada yang salah?" tanya Linda lagi.Linda heran melihat langkah kaki Eveline yang terhenti dengan tatapan mata ke arah depan. Entah apa yang tengah dipandang. Tapi, Eveline benar-benar terpaku bagai patung manekin."Aku ... hari ini nggak mau sekolah!" kata Eveline singkat.Kata-kata yang diucapkan Eveline sulit dimengerti oleh Linda. Perjalanan yang mereka berdua lalui dengan suka cita dan lantunan lagu-lagu riang, seketika sirna saat raut wajah Eveline berubah. Sepertinya, niat hati Eveline untuk bersekolah seketika hilang."Aku nggak siap ketemu sama Marsha dan gengnya hari ini. Aku hari ini mau kabur. Aku mau bolos," ucap Eveline lirih.Linda yang berdiri mengha

  • Merpati Tanpa Sayap   PASAR GELAP

    TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok

  • Merpati Tanpa Sayap   SALAH TUDUH (BAGIAN 2)

    "Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng

  • Merpati Tanpa Sayap   SALAH TUDUH

    "Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng

  • Merpati Tanpa Sayap   EMOSI MAS SAGARA

    “Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..

  • Merpati Tanpa Sayap   KAVIAR

    “Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en

DMCA.com Protection Status