“Kenapa bawa aku kesini, Mas? Aku balik ke kelas ya, lima menit lagi kan bel masuk,” ucap Eveline gugup.
Baku hantam yang terjadi di kantin mereda berkat kedatangan Mas Sagara. Kalau saja dia tidak datang, pasti kericuhan itu akan berlangsung jauh lebih lama.
“Nggak apa-apa, Eve. Aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma mau menjauhkan kamu dari tiga perempuan psikopat itu. Bukan cuma kamu kok yang muak. Aku juga muak! Setiap hari di telepon sama Marsha sampai aku terpaksa harus mengganti nomorku berkali-kali,” ucap Mas Setya. Terlihat bahwa dia juga resah dengan Marsha yang terus mengincarnya.
Dari sekian banyak lokasi yang dapat dituju, entah kenapa Mas Sagara mengajak Eveline untuk ngobrol berdua di dekat gudang sekolah. Lokasinya berada di bagian belakang sekolah. Tempat itu sangat sepi dan jarang ada siswa-siswi yang berlalu lalang di area tersebut.
“Mas Sagara nggak perlu nolong aku lagi,” jawab Eveline singkat. Semenjak mereka sampai di tempat itu, tidak sekali pun Eveline menatap wajah Mas Sagara.
“Loh? Kenapa? Apa salahnya? Niatku kan baik!” sanggah Mas Sagara.
“Aku nggak mau terus-terusan berlindung di balik punggung orang lain, Mas. Aku mau belajar menghadapi serangan Marsha dengan tanganku sendiri. Walau pun aku masih lemah, aku sadar kalau aku bukan anak-anak lagi. Sekarang, aku sudah remaja, Mas,” papar Eveline.
Kalimat itu adalah kalimat paling dewasa yang pernah keluar dari mulut Eveline. Sejauh ini, banyak sekali perubahan Eveline yang mulai nampak.
Ya, begitulah pubertas.
“Tapi, kamu tetap perempuan. Gunanya laki-laki ya untuk melindungi perempuan, kan?” Mas Sagara terdengar seperti membantah opini Eveline.
Mulut Eveline terkunci rapat. Otaknya sibuk memproses setiap ucapan Mas Sagara agar bisa memberikan jawaban yang tepat.
Mas Sagara memperhatikan dalam-dalam sosok yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Begitu cantik meski pun wajahnya panik dan takut. Membuat batin Mas Sagara semakin terkesima dengan gadis muda ini. Pesona Eveline, membuat degup jantung Mas Sagara semakin kencang tak terkendali. Seperti ada dorongan dalam hati untuk menyentuh atau memberikan suatu kesan tak terlupakan. Dalam bentuk apa pun.
Wajah Mas Sagara mulai dialiri dengan arus darah yang deras. Seluruh anggota badannya menuntun untuk melakukan sesuatu yang bisa ia lakukan di tempat yang sangat sepi. Tempat yang bahkan tidak terlihat seekor lalat pun terbang mengitarinya. Tempat yang tepat untuk mencuri kesempatan.
Perlahan ..
Sangat perlahan ..
“Cup!!”
Sekuncup bibir mendarat di pipi kanan Eveline. Kecupan kecil yang masih malu-malu kucing.
Mata Eveline seketika terbelalak. Dia terkejut Mas Sagara akan melakukan hal itu. Suasana yang tengah tegang, berubah menjadi teramat canggung.
“Mmm ... Maaf,” ucap Mas Sagara tanpa aba-aba.
Saat Eveline tengah membuka rongga mulutnya untuk menjawab Mas Sagara, sebuah suara yang familiar mendahuluinya. Suara Eveline tertahan di tenggorokan dan gagal ia ungkapkan.
“Sagara! Cepat ikut saya!” bentak suara Pak Teguh, salah satu guru BK selain Bu Latri. Tapi, Pak Teguh dikenal sebagai guru BK yang lumayan menyeramkan.
“T ... Tapi ... Ada apa, Pak? Apa salah saya? Kami di sini nggak ngapa-ngapain. Kami cuma ngobrol,” Mas Sagara terkejut.
“Diam! Ikut saya ke ruang BK sekarang!” lanjut Pak Teguh.
Eveline dan Mas Sagara saling pandang. Wajah mereka benar-benar pucat putih seperti tidak bernyawa.
“Baik, Pak. Kami akan segera ke ruang BK. Tapi tolong denger penjelasan kami dulu, Pak,” pinta Eveline memelas.
“Hm? Saya nggak panggil kamu. Saya cuma minta Sagara yang menemui saya. Kamu bisa kembali ke kelas kamu,” jawab Pak Teguh.
Jawaban Pak Teguh semakin membuat Eveline dan Mas Sagara bingung. Lantas, apa alasan Mas Sagara harus berhadapan dengan Pak Teguh di ruang BK?
Apa dia melakukan kesalahan lain yang bahkan tidak dia ketahui?
Apa Pak Teguh melihat Mas Sagara mencium pipi Eveline?
Tapi, sepertinya hal itu tidak cukup darurat.
Teeett ...
Teeettt ...
Bel masuk berdering beberapa kali. Karena situasi yang sangat aneh, akhirnya Eveline dan Mas Sagara mengikuti perintah Pak Teguh.
“Kamu balik ke kelas aja, Eve. Kita ngobrol lagi lain waktu,” ucap Mas Sagara sembari berjalan mengikuti Pak Teguh yang sudah melangkahkan kaki terlebih dahulu. Meninggalkan Eveline yang terpaku.
***
“Saya sudah jelaskan kalau kami sama sekali tidak melakukan hal yang salah! Kami sama sekali tidak melakukan perzinaan!” bantah Mas Sagara. Kekesalannya mulai muncul karena guru BK satu ini begitu paten dengan pendapatnya sendiri.
“Kamu nggak usah mengelak! Ada saksi mata atas perbuatan kamu! Bahkan saksi itu sampai membuat laporan tertulis di ruang BK. Dia bilang kalau kamu menyoba menodai Eveline di dekat gudang. Kamu bahkan sampai memaksa Eveline hanya demi memuaskan hasrat kamu sendiri!” papar Pak Teguh keras.
Mas Sagara bagai dijatuhi bom atom. Tuduhan yang ditujukan padanya benar-benar tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi.
“Saya berani sumpah, Pak! Saya tidak mungkin menodai Eveline. Bapak bisa tanya ke Eveline! Dia satu-satunya saksi yang bisa menjelaskan apakah saya menyakiti dia atau tidak!” nada bicara Mas Sagara semakin memuncak.
“Sayangnya, saya nggak berhak mengonfirmasi kebenaran dari pihak korban. Hal itu hanya akan membuat kondisinya semakin memburuk. Semuanya harus dirahasiakan dari korban, tetapi tetap menghukum pelaku kejahatan. Bukankah sebaiknya memang begitu?” ucap Pak Teguh lagi.
“Omong kosong apa ini! Saya benar-benar tidak bersalah!” bentak Mas Sagara.
“Dengar! Saya mendapat laporan dari orang yang sangat terpercaya. Laporan dari orang ini, tidak pernah meleset. Semua kejahatan bisa terselesaikan berkat laporan-laporan yang dikirimkan oleh saksi penting ini. Tolong jangan ragukan dia! Lagi pula, kamu pasti sudah memaksa Eveline untuk tutup mulut dan merahasiakan perbuatan bejat kamu. Kali ini, jangan melawan Bapak!” tukas Pak Teguh.
Keputusan aneh yang dibuat benar-benar berlawanan dengan fakta yang terjadi. Marah, kesal, tidak terima, dan merasa tidak adil berkumpul menjadi satu di batin Mas Sagara.
“Ingat! Tahun ini kamu akan melaksanakan Ujian Nasional. Saya nggak mungkin meminta kepala sekolah untuk mengeluarkan kamu! Untuk masalah ini, saya akan membuat kamu diskors selama sebulan penuh!” papar Pak Teguh lagi. Wajah tua dengan kaca mata bulatnya terlihat sangat menggelikan. Bisa-bisanya dia mempercayai orang yang bahkan tidak memberikan bukti visual.
“Tapi ... ini tidak adil!” suara Sagara melemah. Matanya putus asa.
“Apa saya boleh tahu siapa yang mengirimkan laporan ke ruang BK?” lanjut Mas Sagara lagi.
P“Identitas saksi harus saya rahasiakan. Tolong jangan mempersulit apa pun dan kembali ke kelas kamu sekarang!” perintah Pak Teguh. Jari telunjuknya menunjuk pintu yang terbuka lebar, mengisyaratkan untuk meminta Mas Sagara pergi.
Merasa diperlakukan sangat tidak adil, hati Mas Sagara membara dan hancur berkeping-keping.
“Ini pasti kelakuan Marsha! Nggak mungkin keliru! Marsha dan komplotannya benar-benar sudah kelewatan!” omel Mas Sagara sembari melangkahkan kakinya keluar dari ruang BK tanpa pamit. Matanya sudah dipenuhi dengan amarah dan kekesalan.
“Marsha ... harus aku beri pelajaran!” lanjut Mas Sagara.
Tap ...
Tap ...
Tap ...
Langkahnya nyaring dan tergesa-gesa.
Penuh dengan dendam di setiap pijakan kakinya.
Sementara itu di ruang BK ...
Pak Teguh masih dengan posisinya yang semula. Duduk tenang sambil mengelus jenggotnya yang memutih sebagian. Kaca matanya memantulkan cahaya matahari yang terik. Pria berusia di atas lima puluh tahun itu benar-benar berlagak sok muda.
Tap ..
Tap ..
“Saya nggak menyangka Pak Teguh sampai bertindak sejauh ini. Tapi, saya senang karena Pak Teguh berhasil menjauhkan Eveline dari anak kelas tiga itu,” ucap seseorang yang tiba-tiba melangkahkan kaki masuk ke ruang BK yang sunyi.
“Hahaha, tenang, Pak! Itu bukan masalah yang sulit. Tapi, kenapa anda meminta saya melakukan hal ini? Eveline hanya siswi biasa yang tidak memiliki kelebihan apa-apa. Untuk apa anda terlalu mempedulikan dia?” jawab Pak Tegus puas.
“Saya tidak akan mengizinkan orang mana pun menyentuh Eveline. Gadis kecil itu, tidak boleh tergores sedikit pun!” jawab orang itu lagi.
Pak Teguh kebingungan mendengar jawaban yang didengarnya. Bukan sesuatu yang biasa sampai ada guru yang begitu mempedulikan siswinya dengan teramat sangat teliti. Apa lagi, guru itu sudah memiliki keluarga di rumahnya.
“Oke, terima kasih atas kerja samanya, Pak Teguh. Saya mau kembali mengajar. Sebagai bayarannya, minggu depan Pak Teguh saya traktir rawon spesial,” kata pria itu. Kakinya melangkah keluar dari ruang BK.
“Dengan senang hati, Pak Setya,” jawab Pak Teguh.
Tap ... Tap .. “Mas, aku tahu komisimu banyak! Kenapa kamu nggak pernah ngasih nafkah buat keluargamu?! Kamu kira gajiku di kios seafood cukup buat kebutuhan kita sehari-hari?! Kamu bahkan nggak mau bayar listrik dan air! Bulan depan listrik mau diputus gara-gara kita udah nunggak selama tiga bulan!!” omel Bu Dewi. Tap ... Tap ... Eveline melangkahkan kakinya langkah demi langkah untuk masuk ke dalam rumah saat orang tuanya sedang sibuk berdebat membahas kondisi keuangan mereka. “Kalau kamu butuh uang ya kerja yang bener! Enak banget kamu ngandalin uangku!” sahut Pak Fero dengan entengnya. “Mas!! Kamu itu suami dan ayah disini! Kamu harus tanggung jawab, dong! Uangmu cuma habis buat beli minuman keras! Kalau kamu nggak bisa nafkahi keluarga kamu, kamu pergi aja dari sini!” marah Bu Dewi lagi. Matanya melotot dibarengi dengan cecaran kebencian yang tak kunjung berhenti. “Hey! Jangan seenaknya ya kamu! Rumah ini d
“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en
“Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..
"Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng
"Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng
TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok
"Eve! Kamu ngapain berdiri di situ? Ayo masuk!" pekik Linda lantang.Perjalanan mereka ke sekolah cukup baik-baik saja hingga akhirnya Eveline mendadak menghentikan langkahnya saat hanya tinggal tiga langkah memasuki pintu gerbang sekolah."Kok kamu diem terus, sih! Kamu nggak mau masuk? Ada yang salah?" tanya Linda lagi.Linda heran melihat langkah kaki Eveline yang terhenti dengan tatapan mata ke arah depan. Entah apa yang tengah dipandang. Tapi, Eveline benar-benar terpaku bagai patung manekin."Aku ... hari ini nggak mau sekolah!" kata Eveline singkat.Kata-kata yang diucapkan Eveline sulit dimengerti oleh Linda. Perjalanan yang mereka berdua lalui dengan suka cita dan lantunan lagu-lagu riang, seketika sirna saat raut wajah Eveline berubah. Sepertinya, niat hati Eveline untuk bersekolah seketika hilang."Aku nggak siap ketemu sama Marsha dan gengnya hari ini. Aku hari ini mau kabur. Aku mau bolos," ucap Eveline lirih.Linda yang berdiri mengha
Entah kenapa Eveline merasa nyaman berbincang dengan teman barunya. Meski tidak terbilang baru karena mereka teman satu angkatan di sekolah, keduanya bahkan belum pernah saling bertatapan satu kali pun."Nggak apa-apa. Aku lagi males sekolah. Jadi aku ke sini," jawab Eveline ringan. Ekspresinya dibuat senormal mungkin untuk menutupi kebohongannya.Bryan mengangguk. Dia meneguk minuman botol miliknya dengan pembawaan yang keren. Laki-laki bermata sipit dan berambut lurus tebal itu menaikkan kaki kirinya dan ditumpangkan pada kaki kanannya. Sesekali, wajahnya ditolehkan untuk menatap sosok Eveline yang terus memperhatikannya dengan keheranan."Kamu juga bolos? Kenapa?" Eveline balik bertanya.Bryan menghela napas sekali. Menatap sekeliling selama beberapa detik."Aku nggak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, aku kabur aja. Aku sering ke sini, kok. Soalnya Mama aku kerja di sini. Dia juga fine-fine aja kalau aku bolos. Katanya, sekolah itu harus tulus. Harus
“Kamu kemana aja, sih? Katanya mau nungguin aku! Tapi, kok malah aku yang jadi nungguin kamu?! Kamu pergi kemana aja?!” omel Linda beruntun saat sosok Eveline muncul dan berjalan menghampiri dirinya dengan wajah cengar-cengir.Eveline menggaruk kepalanya. Melihat Linda yang sudah naik pitam dengan wajah tegang, Eveline merasa gemas sekaligus bersalah. Tidak disangka jika kebersamaannya dengan Bryan membuat Eveline lupa waktu dan terlambat kembali ke sekolah.“Maaf, Lin. Tadi aku nggak lihat jam. Jadinya yaaa … lupa. Hehehe. Jangan marah, dong,” ucap Eveline mendekati Linda yang duduk seorang diri di gazebo depan sekolah.Wajah Linda memang sudah merengut dengan alis mata yang turun tajam. Dahinya pun mengerut. Tapi, tentu saja Linda tidak akan terlalu mengambil hati keterlambatan Eveline. Perasaan yang ia rasakan hanyalah sebatas kesal yang umum terjadi. Tidak perlu diperpanjang.“Yaa … Oke. Tapi, nanti kamu mai
"Kalian berdua sengaja janjian bolos? Bry! Mama emang ngijinin kamu bolos sesekali. Tapi, ya jangan sering-sering, dong. Bukan karena nilai atau apanya. Tapi, Mama nggak mau dipanggil ke sekolah kalau kamu bermasalah. Mama nggak ada waktu. Nanti kalau kerjaan Mama nggak ada yang megang kan sayang banget," ucap Tante Mira mengomel.Bryan menjawab, "Iyaaaaa. Siap sistttt."Mata Tante Mira memicing kepada putra satu-satunya itu. Sebal sekaligus gemas saat Bryan mengolok atau menggodanya."Aku ini Mama kamu. Bukan kakak-kakak pedagang baju online. Seenaknya panggil sist ke Mama sendiri. Kamu pengen Mama dagang online beneran apa gimana?" omel Tante Mira lagi.Bryan menahan tawa. Tak beda dengan Eveline."Udah, udah. Ini! Koin buat kalian. Awas kamu Bry kalau minggu depan minta lagi. Mama jitak kamu sampai nangis," ucap Tante Mira sembari mengulurkan lima belas keping koin ke telapak tangan Bryan yang sudah menengadah."Woahhh. Siappp Mama cantik. Gini, dong
Entah kenapa Eveline merasa nyaman berbincang dengan teman barunya. Meski tidak terbilang baru karena mereka teman satu angkatan di sekolah, keduanya bahkan belum pernah saling bertatapan satu kali pun."Nggak apa-apa. Aku lagi males sekolah. Jadi aku ke sini," jawab Eveline ringan. Ekspresinya dibuat senormal mungkin untuk menutupi kebohongannya.Bryan mengangguk. Dia meneguk minuman botol miliknya dengan pembawaan yang keren. Laki-laki bermata sipit dan berambut lurus tebal itu menaikkan kaki kirinya dan ditumpangkan pada kaki kanannya. Sesekali, wajahnya ditolehkan untuk menatap sosok Eveline yang terus memperhatikannya dengan keheranan."Kamu juga bolos? Kenapa?" Eveline balik bertanya.Bryan menghela napas sekali. Menatap sekeliling selama beberapa detik."Aku nggak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, aku kabur aja. Aku sering ke sini, kok. Soalnya Mama aku kerja di sini. Dia juga fine-fine aja kalau aku bolos. Katanya, sekolah itu harus tulus. Harus
"Eve! Kamu ngapain berdiri di situ? Ayo masuk!" pekik Linda lantang.Perjalanan mereka ke sekolah cukup baik-baik saja hingga akhirnya Eveline mendadak menghentikan langkahnya saat hanya tinggal tiga langkah memasuki pintu gerbang sekolah."Kok kamu diem terus, sih! Kamu nggak mau masuk? Ada yang salah?" tanya Linda lagi.Linda heran melihat langkah kaki Eveline yang terhenti dengan tatapan mata ke arah depan. Entah apa yang tengah dipandang. Tapi, Eveline benar-benar terpaku bagai patung manekin."Aku ... hari ini nggak mau sekolah!" kata Eveline singkat.Kata-kata yang diucapkan Eveline sulit dimengerti oleh Linda. Perjalanan yang mereka berdua lalui dengan suka cita dan lantunan lagu-lagu riang, seketika sirna saat raut wajah Eveline berubah. Sepertinya, niat hati Eveline untuk bersekolah seketika hilang."Aku nggak siap ketemu sama Marsha dan gengnya hari ini. Aku hari ini mau kabur. Aku mau bolos," ucap Eveline lirih.Linda yang berdiri mengha
TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok
"Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng
"Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng
“Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..
“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en