"Ciyeee ... Ada yang dianter sama preman jalanan, nih! Nggak malu ya? Hahaha,” ejek Vidia dengan nada bicara yang menyebalkan.
Gadis ber-ego tinggi itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan anggun perlahan seperti seekor burung bangau.
Pergerakannya diikuti oleh dua sahabat segerombolannya.
“Dia itu orang baik, Vi. Jangan menghakimi dia karena penampilannya. Kamu sendiri nggak kenal sama dia, kan?” jawab Eveline halus. Dibanding membantah, ucapan Eveline lebih terdengar seperti sebuah nasehat.
Waktu istirahat berjalan kurang menyenangkan untuk Eveline. Saat Eveline, Linda, dan Anastasia tengah asyik menikmati soto ayam pesanan mereka di kantin sekolah, muncullah tiga monster pengganggu yang merusak pemandangan.
“Kalau nggak ada Bang Lucas, aku sama Eveline udah telat ke sekolah, tau! Kalau kamu nggak tahu apa-apa, mending tutup mulut kotormu itu!” sahut Linda dengan nada bicara yang tinggi.
"Bacot!! Mulutmu itu yang kotor!" bentak Vidia marah. Membuat beberapa pengunjung kantin kaget bukan kepalang.
Tapi, Marsha menepuk pundak Vidia. Memberikan isyarat bahwa Vidia tidak perlu naik darah.
Marsha pun turut andil menanggapi.
“Oh, jadi orang itu namanya Bang Lucas? Hahaha," tawa Marsha terdengar menghina.
Tapi, dilanjutkannya kalimat yang belum selesai ia ucapkan.
"Bukannya kalian biasa datang ke sekolah paling pagi? Kenapa tiba-tiba jadi yang telat gitu? Wah, kalian ngasih jatah dulu ya ke Bang Lucas biar dianterin naik motor? Udah bosen ya jalan kaki?” Marsha menimpali dengan nada penghinaan yang dalam.
Linda sudah otomatis tersulut emosinya.
“Hahaha. Makasih banget lho, karena kamu udah perhatiin aku sama Eveline sampai-sampai kamu hafal jam berangkat kami. Tapi tolong, bisa nggak sih ngurusin diri sendiri dulu? Nggak capek kamu musuhin kami?” bentak Linda tegas.
Suara khas Linda yang lantang nyatanya mencuri banyak perhatian. Seketika itu juga, tontonan baru hadir di tengah-tengah ricuhnya aktifitas kantin.
“Heh! Satu-satunya masalahku tu sama si jepang itu! Cewek sok cantik yang hobinya bikin ulah!” bantah Marsha tiba-tiba.
Jari telunjuk Marsha runcing mengarah ke wajah Eveline yang masih duduk diam.
“Heran deh. Kamu kenapa sih pakai ikut-ikutan? Kalau kamu diam dan nggak ikut campur, kita nggak akan kasar ke kamu!” timpal Vidia.
Eveline masih berusaha diam dan tenang. Dia sama sekali tidak ingin memperkeruh suasana yang sudah tak kondusif.
“Bisa-bisanya ya sekolah nerima anak persilangan kayak dia. Kenapa kita belajar pelajaran sejarah Indonesia kalau ada keturunan penjajah diterima di sekolah ini!” lanjut Vidia lantang.
Bentakan Vidia begitu tajam. Membuat hati Eveline bagai tercabik-cabik.
“Udah, Udah ... Yuk, kita pindah kantin aja. Aku malu dilihatin sama banyak orang. Aku jadi nggak nyaman kalau mau makan,” bisik Alda tepat ditelinga Marsha. Suaranya begitu pelan dan terbata-bata karena panik.
“Justru karena ada si jepang, kita harus makan di sini! Biar dia tahu kalau nggak ada tempat buat penjajah di dunia ini!” jawab Marsha dengan keras.
BRAKKK!!!
Linda memukul meja kantin dengan energi penuh. Suaranya mulai memancing perhatian orang-orang yang ada di luar kantin. Beberapa orang yang sebatas lewat pun menjadi menoleh ke arah sumber suara.
“HEH! Dengerin ya kalian, para binatang haram! Terutama kamu, Marsha! Masalahmu itu, cuma karena rasa cemburu lihat Mas Sagara perhatian ke Eveline. Kenapa jadi pakai bawa-bawa Jepang, sih? Emang apa salahnya kalau Eveline keturunan Jepang? Dia jadi jauh lebih cantik dari kamu. Iri bilang bosss!!!” bentak Linda dengan ganas. Dia ucapkan semua amarahnya tepat di depan wajah Marsha.
Emosi Marsha terpacu mendengar perkataan pedas dari Linda.
“Diem kamu yatim! Hahaha ... Kasihan orang tua kamu di neraka! Mereka harus lihat anaknya jadi kasar begini. Upssiee. Kamu nggak malu? Pantes aja orang tua kamu meninggal duluan. Mereka nggak sudi punya anak kayak kamu! Tau nggak?!” balas Vidia tajam.
Tiba-tiba,
Byurrrr!
Belum lima detik mulut Vidia tertutup, guyuran soto mendarat membasahi wajah dan rambutnya yang sudah sangat rapi. Baju seragamnya menjadi kekuningan terkena noda kuah soto yang pekat. Dengan penampilan yang semakin buruk, suasana hati Vidia pun menjadi semakin buruk pula.
“Eveline!! Berani-beraninya kamu!!” teriak Vidia marah. Matanya melotot besar seperti hampir keluar dari kelopak matanya.
Marsha dan Alda tak kalah kagetnya. Mulut mereka menganga karena tak menyangkan Eveline akan berbuat demikian.
Mendengar sahabatnya disinggung mengenai hal yang sangat sensitif, Eveline yang lembut dan polos kehilangan kendalinya. Rasa marah muncul di dalam hatinya. Walau pun Vidia menyinggung Linda, hati Eveline ikut teriris pula.
“Jangan olok-olok Linda! Jangan kasar! Aku bisa laporin kamu ke kepala sekolah!” ancam Eveline singkat. Tubuhnya kaku tegang sambil berdiri.
Sreet!
“Dasar perempuan b*ngsat! Anj*ng!! Nggak tahu aturan! Perempuan laknat!!!” Vidia menghampiri Eveline dan menarik rambut panjang yang terurai dengan sekuat tenaga. Ditariknya rambut Eveline hingga kepala Eveline hampir membentur tepi meja.
Keadaan menjadi semakin tak terkendali. Semua orang yang ada di tempat itu pun mulai ricuh.
“Lepasin Eveline! Semua kan kamu yang mulai! Kamu yang laknat! Dasar lon*e! Dasar kelompok anj*ng! Perkumpulan pel*cur!” bentak Linda sembari membantu melepaskan tangan Vidia yang berikat menjadi satu dengan helaian rambut Eveline.
Sesekali dipukulnya tangan Vidia agar melepaskan cengkeramannya.
Melihat Eveline yang merintih kesakitan karena serangan Vidia, Marsha tertawa puas di ujung ruangan. Melihat sebuah pemandangan yang seru tanpa harus mengotori tangannya.
Tanpa menyentuh Eveline sedikit pun, akhirnya dia bisa memberi pelajaran gadis jepang yang sudah merenggut laki-laki idamannya.
“Anak yatim diem aja! Minggir! Sana pergiiii anj*ng!” teriak Vidia lagi. Seluruh isi soto yang diguyurkan ke badan Vidia mengotori sekitar. Meja dan lantai menjadi ikut kotor pula.
Di satu sisi, Anastasia ikut kesal melihat kejadian yang nampak di depan matanya. Baginya, ketiga monster kaya itu sudah sangat keterlaluan.
“Kamu lama-lama bikin muak juga, ya!” Anastasia yang sedari tadi diam, terpancing juga untuk melakukan penyerangan ke kubu monster. Ditendangnya kaki Marsha yang berdiri santai menonton perkelahian.
Duggg!!!
“Aduh! Apa-apaan sih, kamu! Ngapain kamu ikut-ikutan?!” Marsha mengaduh. Matanya melotot ke arah Anastasia. Sebelah tangannya memegangi bagian bawah lututnya yang sakit akibat tendangan maut.
“Lama-lama aku muak lihat kelakuan kamu dan gengmu! Kenapa sih kalian nggak ada bosen-bosennya gangguin Eveline! Mendingan kalian pergi sekarang! Cari kesibukan lain! Kalian nggak capek?!” Anastasia memperingatkan. Suaranya hampir tenggelam karena kebisingan dari pertengkaran Vidia.
“Jangan mentang-mentang kamu ketua kelas jadi bisa seenaknya! Udahlah! Kamu diem aja! Kalau kamu berulah terus, aku bakal sebarin aib keluarga kamu ke seluruh grup sekolah!” ancam Marsha.
Tak disangka, ucapan Marsha berhasil membuat Anastasia mengunci mulutnya rapat-rapat.
Anastasia tidak cukup kuat melawan Marsha. Gertakan itu, melumpuhkan tindakan beraninya. Dia bahkan tidak berani melerai pertengkaran yang tengah terjadi antara Vidia, Eveline, dan Linda.
“Lepasiiiin!” teriak Eveline kesakitan.
“Nggak! Kamu lihat nggak apa yang udah kamu lakuin?! Perawatan rambut dan kulitku tu mahal! Berani-beraninya kamu numpahin kuah soto di kepalaku!” bentak Vidia.
“Waduh .. Yuk kita pergi aja, Mar. Kondisinya kok makin runyam gini. Mana ibu kantin lagi keluar. Nggak ada yang melerai. Ayolah. Aku takut kalau ada guru yang lewat,” lagi-lagi Alda membisikkan usulannya ke telinga Marsha. Tapi, tidak ada jawaban.
Tap ..
Tap ..
Tap ..
“STOP! STOP! Cukup! Berhenti!” bentak seseorang yang baru saja muncul di pintu kantin. Wajahnya tegas dan suaranya kencang menggelegegar. Cukup kuat untuk membuat tangan Vidia berhenti menjambak rambut Eveline.
“Berhenti! Kalau kalian masih ribut, aku bakal panggil guru BK!” lanjut suara itu.
“Mas Sagara?” ucap Eveline. Rambutnya berantakan seperti habis terkena badai angin.
Tap ...
Tap ...
Tanpa basa-basi lagi, Mas Sagara menghampiri Eveline yang berdiri seperti orang bodoh. Berhadap-hadapan dengan Vidia.
Saat Mas Sagara sudah berdiri tepat di depan Eveline, laki-laki itu menggenggam pergelangan tangan Eveline dengan kuat dan pasti. Tanpa aba-aba atau ucapan sedikit pun.
“Ikut aku sekarang!” ucap Mas Sagara berat.
Ketiga monster kejam itu hanya tercengang melihat sosok Mas Sagara datang hanya untuk membawa Eveline pergi. Bahkan, Mas Sagara tidak mendaratkan pandangannya ke orang lain selain Eveline.
“Urusan dia belum selesai, ya! Jangan asal bawa dia kabur dong, Mas!” pekik Marsha protes.
“Diam! Kamu nggak usah cari gara-gara lagi! Aku tahu semua ini kamu yang mulai. Ini bukan pertama kalinya kamu nyerang Eveline!” jawab Mas Sagara marah.
“Aku? Nyerang? Mas! Aku dari tadi berdiri di sini! Aku nggak nyerang Eveline sama sekali! Kenapa Mas Sagara jadi nyalahin aku? Nggak adil dong, Mas!” bantah Marsha lagi.
“Karena budak-budak kamu ini yang jadi bonekamu! Kamu nggak mau tanganmu kotor. Makanya kamu yang bikin Vidia menyalurkan serangannya,” jawab Mas Sagara.
Tanpa mendengar jawaban apa-apa lagi, Mas Sagara membawa pergi Eveline keluar dari kantin. Tanpa menunggu pembelaan diri dari Marsha.
“Aduuuuh! Apa kata orang kalau lihat penampilanku jelek kayak gini! Masa anak sultan mukanya kena kuah soto. Ihhh, kesel banget aku!” omel Vidia. Tangannya sibuk memunguti sisa-sisa isian soto yang masih tersangkut di tubuhnya.
“Vi, yuk ke UKS. Di sana ada seragam ganti, kok. Yuk,” ajak Alda lirih. Didekati temannya yang tengah gelap mata karena emosi dan diajak keluar menuju ruang UKS.
Sementara Linda dan Anastasia hanya menatap sisa-sisa pertengkaran yang baru saja terjadi. Mereka berdua masih diam dalam kekesalan masing-masing. Mereka redam habis-habis agar suasana tidak semakin keruh.
“Kenapa bawa aku kesini, Mas? Aku balik ke kelas ya, lima menit lagi kan bel masuk,” ucap Eveline gugup. Baku hantam yang terjadi di kantin mereda berkat kedatangan Mas Sagara. Kalau saja dia tidak datang, pasti kericuhan itu akan berlangsung jauh lebih lama. “Nggak apa-apa, Eve. Aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma mau menjauhkan kamu dari tiga perempuan psikopat itu. Bukan cuma kamu kok yang muak. Aku juga muak! Setiap hari di telepon sama Marsha sampai aku terpaksa harus mengganti nomorku berkali-kali,” ucap Mas Setya. Terlihat bahwa dia juga resah dengan Marsha yang terus mengincarnya. Dari sekian banyak lokasi yang dapat dituju, entah kenapa Mas Sagara mengajak Eveline untuk ngobrol berdua di dekat gudang sekolah. Lokasinya berada di bagian belakang sekolah. Tempat itu sangat sepi dan jarang ada siswa-siswi yang berlalu lalang di area tersebut. “Mas Sagara nggak perlu nolong aku lagi,” jawab Eveline singkat. Semenjak mereka sampai di tempat itu
Tap ... Tap .. “Mas, aku tahu komisimu banyak! Kenapa kamu nggak pernah ngasih nafkah buat keluargamu?! Kamu kira gajiku di kios seafood cukup buat kebutuhan kita sehari-hari?! Kamu bahkan nggak mau bayar listrik dan air! Bulan depan listrik mau diputus gara-gara kita udah nunggak selama tiga bulan!!” omel Bu Dewi. Tap ... Tap ... Eveline melangkahkan kakinya langkah demi langkah untuk masuk ke dalam rumah saat orang tuanya sedang sibuk berdebat membahas kondisi keuangan mereka. “Kalau kamu butuh uang ya kerja yang bener! Enak banget kamu ngandalin uangku!” sahut Pak Fero dengan entengnya. “Mas!! Kamu itu suami dan ayah disini! Kamu harus tanggung jawab, dong! Uangmu cuma habis buat beli minuman keras! Kalau kamu nggak bisa nafkahi keluarga kamu, kamu pergi aja dari sini!” marah Bu Dewi lagi. Matanya melotot dibarengi dengan cecaran kebencian yang tak kunjung berhenti. “Hey! Jangan seenaknya ya kamu! Rumah ini d
“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en
“Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..
"Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng
"Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng
TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok
"Eve! Kamu ngapain berdiri di situ? Ayo masuk!" pekik Linda lantang.Perjalanan mereka ke sekolah cukup baik-baik saja hingga akhirnya Eveline mendadak menghentikan langkahnya saat hanya tinggal tiga langkah memasuki pintu gerbang sekolah."Kok kamu diem terus, sih! Kamu nggak mau masuk? Ada yang salah?" tanya Linda lagi.Linda heran melihat langkah kaki Eveline yang terhenti dengan tatapan mata ke arah depan. Entah apa yang tengah dipandang. Tapi, Eveline benar-benar terpaku bagai patung manekin."Aku ... hari ini nggak mau sekolah!" kata Eveline singkat.Kata-kata yang diucapkan Eveline sulit dimengerti oleh Linda. Perjalanan yang mereka berdua lalui dengan suka cita dan lantunan lagu-lagu riang, seketika sirna saat raut wajah Eveline berubah. Sepertinya, niat hati Eveline untuk bersekolah seketika hilang."Aku nggak siap ketemu sama Marsha dan gengnya hari ini. Aku hari ini mau kabur. Aku mau bolos," ucap Eveline lirih.Linda yang berdiri mengha
“Kamu kemana aja, sih? Katanya mau nungguin aku! Tapi, kok malah aku yang jadi nungguin kamu?! Kamu pergi kemana aja?!” omel Linda beruntun saat sosok Eveline muncul dan berjalan menghampiri dirinya dengan wajah cengar-cengir.Eveline menggaruk kepalanya. Melihat Linda yang sudah naik pitam dengan wajah tegang, Eveline merasa gemas sekaligus bersalah. Tidak disangka jika kebersamaannya dengan Bryan membuat Eveline lupa waktu dan terlambat kembali ke sekolah.“Maaf, Lin. Tadi aku nggak lihat jam. Jadinya yaaa … lupa. Hehehe. Jangan marah, dong,” ucap Eveline mendekati Linda yang duduk seorang diri di gazebo depan sekolah.Wajah Linda memang sudah merengut dengan alis mata yang turun tajam. Dahinya pun mengerut. Tapi, tentu saja Linda tidak akan terlalu mengambil hati keterlambatan Eveline. Perasaan yang ia rasakan hanyalah sebatas kesal yang umum terjadi. Tidak perlu diperpanjang.“Yaa … Oke. Tapi, nanti kamu mai
"Kalian berdua sengaja janjian bolos? Bry! Mama emang ngijinin kamu bolos sesekali. Tapi, ya jangan sering-sering, dong. Bukan karena nilai atau apanya. Tapi, Mama nggak mau dipanggil ke sekolah kalau kamu bermasalah. Mama nggak ada waktu. Nanti kalau kerjaan Mama nggak ada yang megang kan sayang banget," ucap Tante Mira mengomel.Bryan menjawab, "Iyaaaaa. Siap sistttt."Mata Tante Mira memicing kepada putra satu-satunya itu. Sebal sekaligus gemas saat Bryan mengolok atau menggodanya."Aku ini Mama kamu. Bukan kakak-kakak pedagang baju online. Seenaknya panggil sist ke Mama sendiri. Kamu pengen Mama dagang online beneran apa gimana?" omel Tante Mira lagi.Bryan menahan tawa. Tak beda dengan Eveline."Udah, udah. Ini! Koin buat kalian. Awas kamu Bry kalau minggu depan minta lagi. Mama jitak kamu sampai nangis," ucap Tante Mira sembari mengulurkan lima belas keping koin ke telapak tangan Bryan yang sudah menengadah."Woahhh. Siappp Mama cantik. Gini, dong
Entah kenapa Eveline merasa nyaman berbincang dengan teman barunya. Meski tidak terbilang baru karena mereka teman satu angkatan di sekolah, keduanya bahkan belum pernah saling bertatapan satu kali pun."Nggak apa-apa. Aku lagi males sekolah. Jadi aku ke sini," jawab Eveline ringan. Ekspresinya dibuat senormal mungkin untuk menutupi kebohongannya.Bryan mengangguk. Dia meneguk minuman botol miliknya dengan pembawaan yang keren. Laki-laki bermata sipit dan berambut lurus tebal itu menaikkan kaki kirinya dan ditumpangkan pada kaki kanannya. Sesekali, wajahnya ditolehkan untuk menatap sosok Eveline yang terus memperhatikannya dengan keheranan."Kamu juga bolos? Kenapa?" Eveline balik bertanya.Bryan menghela napas sekali. Menatap sekeliling selama beberapa detik."Aku nggak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, aku kabur aja. Aku sering ke sini, kok. Soalnya Mama aku kerja di sini. Dia juga fine-fine aja kalau aku bolos. Katanya, sekolah itu harus tulus. Harus
"Eve! Kamu ngapain berdiri di situ? Ayo masuk!" pekik Linda lantang.Perjalanan mereka ke sekolah cukup baik-baik saja hingga akhirnya Eveline mendadak menghentikan langkahnya saat hanya tinggal tiga langkah memasuki pintu gerbang sekolah."Kok kamu diem terus, sih! Kamu nggak mau masuk? Ada yang salah?" tanya Linda lagi.Linda heran melihat langkah kaki Eveline yang terhenti dengan tatapan mata ke arah depan. Entah apa yang tengah dipandang. Tapi, Eveline benar-benar terpaku bagai patung manekin."Aku ... hari ini nggak mau sekolah!" kata Eveline singkat.Kata-kata yang diucapkan Eveline sulit dimengerti oleh Linda. Perjalanan yang mereka berdua lalui dengan suka cita dan lantunan lagu-lagu riang, seketika sirna saat raut wajah Eveline berubah. Sepertinya, niat hati Eveline untuk bersekolah seketika hilang."Aku nggak siap ketemu sama Marsha dan gengnya hari ini. Aku hari ini mau kabur. Aku mau bolos," ucap Eveline lirih.Linda yang berdiri mengha
TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok
"Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng
"Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng
“Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..
“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en