Beberapa hari berlalu..
Hari berjalan normal seperti biasanya. Seperti biasa pula, Eveline dan Linda berangkat sekolah bersama-sama. Mereka suka bertukar cerita sembari melangkahkan kaki-kaki kecil mereka.
“Lin, aku pengen nabung deh buat beli handphone. Temen-temen di kelasku udah punya handphone semua. Kayaknya seru deh kalau punya handphone sendiri,” celetuk Eveline.
Eveline dan Linda tengah melalui sebuah jembatan besi yang menjadi rute harian mereka untuk berangkat ke sekolah. Rute yang menjadi favorit Eveline karena di bawah jembatan itu terpampang sebuah sungai panjang yang indah.
Tepi jembatan itu biasa menjadi tongkrongan anak-anak berandalan dengan sepeda motor yang dimodifikasi sebagian rupa hingga menyerupai sebuah gerobak hajatan. Para anak lelaki yang berkumpul seperti rombongan pawai.
Ketika motor itu lewat, otomatis akan mengundang tawa orang-orang yang menyaksikannya.
“Tapi kan harga handphone mahal banget, Eve. Kalau kamu mau ngumpulin uang saku sih mungkin bisa. Tapi butuh waktu yang lumayan lama,” sahut Linda. Kakinya menapaki tepian jembatan yang bangunannya dibuat lebih tinggi dari pada bagian tengah.
“Tapi, uang sakuku cuma lima ribu, Lin. Itu juga kalau Ibu lagi dalam mode baik. Kalau ibu lagi marah-marah, jangankan dikasih uang. Ibu bahkan sama sekali nggak menyediakan makanan di rumah. Kalau nggak, ibu pasti masak seafood. Sama aja! Nggak bisa aku makan,” papar Eveline kesal.
Linda memandang nanar temannya yang memiliki nasib na’as. Hidup Linda memang sama malangnya. Tapi, dia tidak pernah merasa menderita selama dirinya hidup bersama Tante Yosina.
“Nggak apa-apa, Eve. Aku juga belum punya handphone sendiri, kok. Kalau lagi butuh banget, aku baru pinjam handphone Mama Yosina. Kalau kamu butuh apa-apa, bisa minta tolong sama Mama Yosina juga kok,” hibur Linda. Digenggamnya tangan sahabatnya itu dengan erat.
Eveline tersenyum lembut.
Cahaya matahari belum terlihat dari peraduannya. Langit masih dipenuhi awan putih menyerupai tumpukan kapas yang super banyak. Linda dan Eveline memang selalu berangkat sekolah lebih awal. Tepatnya, sebelum suasana terasa ramai dan panas.
Mereka sangat menyukai dinginnya kabut dan udara pagi yang menusuk kulit.
Dingin.
Hingga membuat wajah mereka mati rasa.
“Hei! Cewek! Mau kemana kalian?” goda seorang laki-laki muda di ujung jembatan besi. Laki-laki duduk santai di samping sepeda motor andalannya.
Perawakannya tinggi kurus dengan penampilan yang berantakan. Keseluruhan rambutnya diwarnai hingga berwarna merah muda menyala. Celana jeansnya memiliki robekan yang menganga besar di bagian lututnya. Laki-laki itu juga mengenakan kaos putih yang dibalut dengan jaket kulit hitam.
Satu hal lagi yang menjadi ciri khas laki-laki itu. Sepeda motor hasil modifikasi yang menyerupai gerobak hajatan.
Laki-laki muda itu adalah Bang Lucas.
“Mau dagang kerak telor, Bang! Ya Sekolah lahhh! Udah jelas-jelas pakai seragam sekolah!” bentak Linda dengan logat daerah Papua yang khas.
“Hey .. Hey ... Sekarang sumber air su dekat. Beta sonde pernah terlambat lagi ... Bantu mama ambil air untuk mandi adek. (iklan yang diperankan oleh masyarakat Papua di televisi),” goda laki-laki itu.
Eveline sedikit menahan tawa mendengar Bang Lucas menggoda cara berbicara Linda yang khas.
“Banyak bacot kau bang. Nama doang yang bagus, penampilan udah kayak kernet odong-odong. Norak banget sih Bang tuh rambut pake dikasih pink-pink gitu!” omel Linda. Wajahnya masam dan kesal karena digoda Bang Lucas.
“Hey! jangan salah ya! Ini tuh style dek! Kamu anak kecil mana paham style jaman sekarang?” Bang Lucas menimpali.
Eveline dan Linda saling bertatap mata. Pernyataan Bang Lucas benar-benar imajinatif sekali. Sungguh berlawanan dengan pendapat Eveline dan Linda.
“Emangnya, model jaman sekarang temanya harum manis ya, Bang?” celetuk Eveline dengan polosnya.
Tawa Linda pecah. Tawanya kencang sampai matanya berair. Membuat Bang Lucas mati kutu tak berucap sama sekali.
“Hahahaha, MANTAP! Tuh Bang, dengerin omongan Eveline. Bukannya keren, Bang Lucas malah mirip sama harum manis. Tinggal dikasih tusukan di atasnya dah siap dijual tuh Bang, Hahaha,” goda Linda.
Wajah Bang Lucas kesal ditekuk. Tak disangka dia akan balik diolok-olok oleh anak yang masih bau kencur.
“Heh Papua! Nippon (Jepang)! Kalian itu yang ketinggalan jaman! Makanya ikut geng motornya Abang biar nggak cupu,” sahut Bang Lucas lagi.
Linda kembali tertawa terbahak-bahak. Baginya, percakapan ini terasa sangat lucu dan konyol.
“Hah? Masuk gengnya abang? OGAH! Norak banget!” tolak Linda.
“Bilang aja kalau kalian nggak punya motor keren kayak gini, kan? Naik motor aja kalian nggak bisa. Apa-apaan jaman sekarang berangkat sekolah masih jalan kaki!” balas Bang Lucas sambil mengelus jok motornya yang dimodifikasi menjadi warna pelangi. Dia tidak mau kalah berdebat meski pun lawannya adalah seorang anak remaja awal.
“Emang! Heh Bang! Lagi pula, siapa yang mau punya motor kayak gitu! Kurus amat tuh motor. Pasti nggak pernah dikasih makan ya, Bang? Aduh, aduh .. Kasihan banget!” balas Linda lagi.
“Namanya juga style! KEREN BANGET INI! Capek deh ngomong sama kamu,” Bang Lucas makin kesal.
“HAH? Nggak salah? Bang, keren dari mananya? Jok motor warna pelangi, body kanan kiri ditempelin banyak stiker, lampunya kelap-kelip. Bang Lucas tuh geng motor buat rombongan pawai apa gimana? Itu motor udah langsing bener kayak body belalang. Masih juga diwarnain. Lebih cocok dipakai buat nganterin anak bocil yang mau berangkat ngaji!” tukas Linda lagi.
Mendengar perdebatan konyol antara Linda Bang Lucas, Eveline kembali menahan tawanya hingga terjongkok-jongkok.
Tawa kencangnya berusaha ditahan meski akhirnya gagal. Eveline takut kalau Bang Lucas ikut mengomelinya karena tertawa.
“Dasar ya ni anak Papua emang ngeselinnya bukan main. Anak kecil kaya kamu emang nggak pernah ngerti tren! Abang jitak juga kamu pasti nangis. Terus laporan sama Mama kamu!” sindir Bang Lucas.
“Abang ngaca dulu dah. Itu rambut sampai pink gitu serius seleranya abang? Nggak pernah gitu Bang malem-malem sebelum tidur nangis dulu karena nyesel pilih warna rambut?” lanjut Linda.
Eveline semakin tidak kuat menahan tawanya.
Wajah Bang Lucas memerah karena kesal dan malu. Dia tidak menyangka kalau Linda bisa membalas olokannya. Tapi, dia tahu kalau candaan kasar ini memang sudah sering dia dapatkan dari kawan-kawan satu tongkrongannya.
“Suka-suka abang dong mau pilih gaya rambut kayak gimana. Abang pilih pink tu biar kelihatan kayak orang koryahh! Muka abang kan putih nih, warna rambut apa aja ya pasti cocok-cocok aja. Ini lagi Nippon! Ketawa-ketawa doang dari tadi? Seneng ya kamu denger orang diolok-olok!!!” ucap Bang Lucas geregetan.
Eveline terus tertawa tanpa henti.
“Heh, kalian tuh kenapa nggak buru-buru pergi, sih? Kalau telat ke sekolah, bisa mampus kalian! Biasanya kalau gerbang sekolah udah dikunci, murid yang telat nggak boleh masuk. Nah loh! RASAIN!” celetuk Bang Lucas dengan nada mengejek.
Tanpa terasa, Linda dan Eveline terlalu lama berdebat dengan Bang Lucas. Hampir satu jam mereka berdiri di tepi jembatan dan saling melemparkan olokan satu sama lain.
Alhasil, Eveline dan Linda lupa waktu.
“Duh, jam berapa ini, Bang? Kita lupa waktu nih. Keasikan disini,” tanya Eveline panik.
Bang Lucas memeriksa jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Udah jam tujuh kurang lima menit. Nah kan? Emang kalian bisa sampai sekolah sebelum jam tujuh? Sekolah kalian masih satu kilometer lagi kan? Mampussss!!!” olok Bang Lucas lagi.
Linda pun ikut panik dan mengajak Eveline segera bergegas.
“Eve, kita lari yang kenceng aja yuk! Siapa tahu Pak Satpam lagi nggak fokus terus gerbangnya ditutup jam sepuluh,” ucap Linda panik.
“Udah ... Yok, sama abang aja. Abang anterin pakai motor!” tawar Bang Lucas.
Eveline dan Linda terdiam sejenak memperhatikan Bang Lucas yang mendekati motornya dan menyalakan mesin secara tiba-tiba.
Treeennnnkkk ..
Treeeeenkkk ..
Suaranya sangat nyaring. Seperti memaksa telinga untuk segera tuli.
“Naik motor itu, Bang? BERISIK BANGET! Itu knalpot atau kaleng diseret?” omel Linda.
“Heh Papua, kamu mau abang anterin nggak? Bawel banget ini anak! Udah buruan! Nanti kalau telat bisa nangis-nangis kalian,” ejek Bang Lucas lagi.
Eveline melangkahkan kaki mendekati Bang Lucas. Menandakan bahwa Eveline menerima tawaran Bang Lucas.
“Udah Lin, ayo! Dari pada kita telat ke sekolah,” ucap Eveline lembut.
Dengan ragu, Linda mengikuti langkah Eveline. Mereka menghampiri Bang Lucas yang sudah duduk di atas motor belalangnya. Tanpa menunggu lama, mereka berdua pun segera naik ke jok belakang. Tepat di belakang tubuh Bang Lucas.
“Bang, kita naik motor bertiga gini kayak rombongan banci nggak sih?” celetuk Linda lagi.
“BERISIK!” balas Bang Lucas.
Bang Lucas menoleh ke segala arah jalanan untuk memastikan kondisi aman untuk memulai perjalanan. Walau pun jembatan ini berada di dalam kawasan perkampungan, banyak kendaraan bermotor yang melaluinya.
Tiiiinnn ...
Tiiiinnn ...
“BAAANG, MAU KEMANAA?” teriak laki-laki seusia Bang Lucas dengan motor belalang yang hampir serupa dengan milik Bang Lucas.
Sosok itu melaju dengan santai. Mengendai motor hebohnya yang memiliki bendera di belakangnya.
“HOY, MARTIN! NIH MAU NGANTERIN ANAK BOCIL BERANGKAT NGAJI!” teriak Bang Lucas sembari menjalankan motor belalangnya.
Linda manyun. Wajahnya cemberut kesal mendengar ucapan Bang Lucas. Walau begitu, Linda harus mengakui bahwa Bang Lucas telah berjasa menolong Eveline dan Linda agar tidak terlambat ke sekolah.
Penampilan Bang Lucas memang sangat nyentrik dan mencolok. Tapi, bukan berarti dia orang yang jahat dan nakal. Dia tetap orang yang ramah dan tidak keberatan memberikan bantuan kepada orang lain.
"Ciyeee ... Ada yang dianter sama preman jalanan, nih! Nggak malu ya? Hahaha,” ejek Vidia dengan nada bicara yang menyebalkan. Gadis ber-ego tinggi itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan anggun perlahan seperti seekor burung bangau. Pergerakannya diikuti oleh dua sahabat segerombolannya. “Dia itu orang baik, Vi. Jangan menghakimi dia karena penampilannya. Kamu sendiri nggak kenal sama dia, kan?” jawab Eveline halus. Dibanding membantah, ucapan Eveline lebih terdengar seperti sebuah nasehat. Waktu istirahat berjalan kurang menyenangkan untuk Eveline. Saat Eveline, Linda, dan Anastasia tengah asyik menikmati soto ayam pesanan mereka di kantin sekolah, muncullah tiga monster pengganggu yang merusak pemandangan. “Kalau nggak ada Bang Lucas, aku sama Eveline udah telat ke sekolah, tau! Kalau kamu nggak tahu apa-apa, mending tutup mulut kotormu itu!” sahut Linda dengan nada bicara yang tinggi. "Bacot!! Mulutmu itu yang kotor!" bentak Vidia
“Kenapa bawa aku kesini, Mas? Aku balik ke kelas ya, lima menit lagi kan bel masuk,” ucap Eveline gugup. Baku hantam yang terjadi di kantin mereda berkat kedatangan Mas Sagara. Kalau saja dia tidak datang, pasti kericuhan itu akan berlangsung jauh lebih lama. “Nggak apa-apa, Eve. Aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma mau menjauhkan kamu dari tiga perempuan psikopat itu. Bukan cuma kamu kok yang muak. Aku juga muak! Setiap hari di telepon sama Marsha sampai aku terpaksa harus mengganti nomorku berkali-kali,” ucap Mas Setya. Terlihat bahwa dia juga resah dengan Marsha yang terus mengincarnya. Dari sekian banyak lokasi yang dapat dituju, entah kenapa Mas Sagara mengajak Eveline untuk ngobrol berdua di dekat gudang sekolah. Lokasinya berada di bagian belakang sekolah. Tempat itu sangat sepi dan jarang ada siswa-siswi yang berlalu lalang di area tersebut. “Mas Sagara nggak perlu nolong aku lagi,” jawab Eveline singkat. Semenjak mereka sampai di tempat itu
Tap ... Tap .. “Mas, aku tahu komisimu banyak! Kenapa kamu nggak pernah ngasih nafkah buat keluargamu?! Kamu kira gajiku di kios seafood cukup buat kebutuhan kita sehari-hari?! Kamu bahkan nggak mau bayar listrik dan air! Bulan depan listrik mau diputus gara-gara kita udah nunggak selama tiga bulan!!” omel Bu Dewi. Tap ... Tap ... Eveline melangkahkan kakinya langkah demi langkah untuk masuk ke dalam rumah saat orang tuanya sedang sibuk berdebat membahas kondisi keuangan mereka. “Kalau kamu butuh uang ya kerja yang bener! Enak banget kamu ngandalin uangku!” sahut Pak Fero dengan entengnya. “Mas!! Kamu itu suami dan ayah disini! Kamu harus tanggung jawab, dong! Uangmu cuma habis buat beli minuman keras! Kalau kamu nggak bisa nafkahi keluarga kamu, kamu pergi aja dari sini!” marah Bu Dewi lagi. Matanya melotot dibarengi dengan cecaran kebencian yang tak kunjung berhenti. “Hey! Jangan seenaknya ya kamu! Rumah ini d
“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en
“Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..
"Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng
"Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng
TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok
“Kamu kemana aja, sih? Katanya mau nungguin aku! Tapi, kok malah aku yang jadi nungguin kamu?! Kamu pergi kemana aja?!” omel Linda beruntun saat sosok Eveline muncul dan berjalan menghampiri dirinya dengan wajah cengar-cengir.Eveline menggaruk kepalanya. Melihat Linda yang sudah naik pitam dengan wajah tegang, Eveline merasa gemas sekaligus bersalah. Tidak disangka jika kebersamaannya dengan Bryan membuat Eveline lupa waktu dan terlambat kembali ke sekolah.“Maaf, Lin. Tadi aku nggak lihat jam. Jadinya yaaa … lupa. Hehehe. Jangan marah, dong,” ucap Eveline mendekati Linda yang duduk seorang diri di gazebo depan sekolah.Wajah Linda memang sudah merengut dengan alis mata yang turun tajam. Dahinya pun mengerut. Tapi, tentu saja Linda tidak akan terlalu mengambil hati keterlambatan Eveline. Perasaan yang ia rasakan hanyalah sebatas kesal yang umum terjadi. Tidak perlu diperpanjang.“Yaa … Oke. Tapi, nanti kamu mai
"Kalian berdua sengaja janjian bolos? Bry! Mama emang ngijinin kamu bolos sesekali. Tapi, ya jangan sering-sering, dong. Bukan karena nilai atau apanya. Tapi, Mama nggak mau dipanggil ke sekolah kalau kamu bermasalah. Mama nggak ada waktu. Nanti kalau kerjaan Mama nggak ada yang megang kan sayang banget," ucap Tante Mira mengomel.Bryan menjawab, "Iyaaaaa. Siap sistttt."Mata Tante Mira memicing kepada putra satu-satunya itu. Sebal sekaligus gemas saat Bryan mengolok atau menggodanya."Aku ini Mama kamu. Bukan kakak-kakak pedagang baju online. Seenaknya panggil sist ke Mama sendiri. Kamu pengen Mama dagang online beneran apa gimana?" omel Tante Mira lagi.Bryan menahan tawa. Tak beda dengan Eveline."Udah, udah. Ini! Koin buat kalian. Awas kamu Bry kalau minggu depan minta lagi. Mama jitak kamu sampai nangis," ucap Tante Mira sembari mengulurkan lima belas keping koin ke telapak tangan Bryan yang sudah menengadah."Woahhh. Siappp Mama cantik. Gini, dong
Entah kenapa Eveline merasa nyaman berbincang dengan teman barunya. Meski tidak terbilang baru karena mereka teman satu angkatan di sekolah, keduanya bahkan belum pernah saling bertatapan satu kali pun."Nggak apa-apa. Aku lagi males sekolah. Jadi aku ke sini," jawab Eveline ringan. Ekspresinya dibuat senormal mungkin untuk menutupi kebohongannya.Bryan mengangguk. Dia meneguk minuman botol miliknya dengan pembawaan yang keren. Laki-laki bermata sipit dan berambut lurus tebal itu menaikkan kaki kirinya dan ditumpangkan pada kaki kanannya. Sesekali, wajahnya ditolehkan untuk menatap sosok Eveline yang terus memperhatikannya dengan keheranan."Kamu juga bolos? Kenapa?" Eveline balik bertanya.Bryan menghela napas sekali. Menatap sekeliling selama beberapa detik."Aku nggak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, aku kabur aja. Aku sering ke sini, kok. Soalnya Mama aku kerja di sini. Dia juga fine-fine aja kalau aku bolos. Katanya, sekolah itu harus tulus. Harus
"Eve! Kamu ngapain berdiri di situ? Ayo masuk!" pekik Linda lantang.Perjalanan mereka ke sekolah cukup baik-baik saja hingga akhirnya Eveline mendadak menghentikan langkahnya saat hanya tinggal tiga langkah memasuki pintu gerbang sekolah."Kok kamu diem terus, sih! Kamu nggak mau masuk? Ada yang salah?" tanya Linda lagi.Linda heran melihat langkah kaki Eveline yang terhenti dengan tatapan mata ke arah depan. Entah apa yang tengah dipandang. Tapi, Eveline benar-benar terpaku bagai patung manekin."Aku ... hari ini nggak mau sekolah!" kata Eveline singkat.Kata-kata yang diucapkan Eveline sulit dimengerti oleh Linda. Perjalanan yang mereka berdua lalui dengan suka cita dan lantunan lagu-lagu riang, seketika sirna saat raut wajah Eveline berubah. Sepertinya, niat hati Eveline untuk bersekolah seketika hilang."Aku nggak siap ketemu sama Marsha dan gengnya hari ini. Aku hari ini mau kabur. Aku mau bolos," ucap Eveline lirih.Linda yang berdiri mengha
TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok
"Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng
"Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng
“Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..
“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en