“Loh, Eve? Kok kamu udah balik ke kelas? Bukannya perut kamu masih sakit, ya?" Anastasia menatap Eveline yang baru saja memasuki kelas.
"Tapi tenang aja, dua jam lagi kita pulang kok. Masih ada pelajaran seni rupa. Gampang lah ya. Kita nggak usah mikir keras. Nggak usah mikirin rumus-rumus,” sambung Anastasia santai.
Eveline hanya menganggukkan kepalanya. Dia sama sekali tidak keberatan dengan pelajaran seni rupa yang akan segera dimulai.
Di samping materinya yang ringan, guru seni rupa dirasa tidak terlalu rewel dan cukup santai dengan para siswa-siswi.
“Iya, Nas. Mumpung lagi jam istirahat, nih. Tadi aku udah izin sama Bu Latri buat balik ke kelas. Kepalaku malah jadi pusing kalau tiduran terus,” jawab Eveline.
Eveline berjalan tertatih sambil memegangi perutnya yang masih sedikit perih. Ternyata, terlalu lama di ruang UKS juga membuatnya teramat jenuh. Tidak ada teman yang bisa ia ajak bicara.
Hanya Bu Latri yang sesekali menanyai keadaan Eveline. Itu pun terdengar sedikit mengganggu.
“Eve, tadi tumbenan lho Pak Setya nggak ngasih tugas. Pak Setya tadi cuma nerangin materi baru tentang aljabar. Sisanya, Pak Setya malah nyeritain soal film-film jepang. Semacam kartun lah pokoknya. Tadi Pak Setya juga sempet pergi sebentat. Tapi, nggak tahu kemana sih,” papar Anastasia.
“Film jepang?” mata Eveline membesar. Dilangkahkan kakinya ke bangku di samping Anastasia. Meja dan bangku paling depan yang berhadapan dengan papan tulis. Di sanalah tempat duduk permanen Anastasia dan Eveline.
“Iya! Ternyata Pak Setya sama kayak aku, lho! Suka sesuatu yang berbau jepang. Kayak film, anime, dan artis-artis jepang!” jawab Anas dengan mata berbinar.
Segirang itu Anastasia menemukan orang yang satu selera dengan dia. Dirinya semakin merasa bahwa kesukaannya adalah sesuatu yang keren.
“Tapi aku nggak begitu mengikuti sih, Eve. Aku lebih suka lagu-lagu jepang. Kalau yang lainnya sih, nggak berlebihan. Lagi pula, handphoneku juga masih baru. Belum ada satu bulan. Aku belum tahu gimana caranya masuk ke situs nonton film dan anime jepang,” sambung Anastasia.
Mendengar penjelasan Anastasia, Eveline mulai tertarik dan penasaran seperti apa karya-karya yang berbau jepang. Karya-karya dari tempat asal kakeknya yang sudah meninggal dunia.
Eveline menyimak ucapan Anastasia dengan antusias. Untuk anak yang belum memiliki handphone sendiri, mendengarkan cerita orang lain adalah salah satu hiburan yang paling asik.
“Tapi, selera Pak Setya kayaknya lebih parah, deh! Tadi Pak Setya cerita kalau di rumah sampai mengoleksi poster-poster artis jepang. Emm ... Siapa ya nama artisnya? Aku lupa. Kalau nggak salah, artis yang namanya Hitomi Sora,” kata Anas lagi.
Wajah Anastasia terlihat begitu sumringah.
“Hitomi Sora? Kok aku baru denger nama ini, ya?” Eveline kebingungan.
“Aku juga, Eve. Pak Setya kayaknya udah jadi weeaboo (wibu). Orang yang suka bangeeet sama hal-hal berbau jepang. Oh ya, kamu kan keturunan jepang. Jangan-jangan Pak Setya juga tertarik sama kamu. HAHAHAHAHA,” canda Anas.
Mendengar tawa Anastasia yang kencang, tidak membangunkan sisi humor Eveline. Dia justru mengingat bagaimana Pak Setya begitu perhatian padanya di UKS.
“Apa mungkin Pak Setya suka sama aku? Tapi kan, dia cuma mau jadi sosok ayah tiri buat aku. Nggak mungkin banget Pak Setya mau macem-macem,” batin Eveline.
“Hahaham bercanda kok! Nggak mungkin lah Pak Setya suka sama kamu. Kan Pak Setya udah punya anak dan istri. Tuh, anaknya lagi makan sama Vidia,” tukas Anastasia lagi.
Anastasia dan Eveline langsung menoleh ke target yang menjadi bahan pembicaraan mereka. Menoleh ke sebuah meja paling belakang yang diisi oleh tiga perempuan yang tengah bercengkerama. Dua diantaranya, tengah menikmati nasi goreng dan susu kotak. Mereka adalah Vidia dan Marsha. Sedangkan gadis satunya bernama Esmeralda.
"Hah?!" Eveline tersentak. Membelalakkan mata selebar-lebarnya menatap rombongan tiga orang yang sudah dikenal orang banyak siswa.
Seketika dada Eveline seperti ditimpa sesuatu yang berat. Anak Pak Setya, adalah teman satu kelasnya, yang sekaligus musuhnya.
“Marsha? Anaknya Pak Setya?” tenggorokan Eveline tercekat.
“Yupp!! Aku juga baru tahu, kok. Kemarin Mbak Maya, penjaga koperasi kita, cerita tentang guru-guru sekolah ini. Eh, sampai bahas-bahas soal Pak Setya,” ucap Anas menjelaskan.
Setelah mendengarkan ucapan Anastasia, keterkejutan Eveline belum hilang. Dia masih tidak menyangka. Bahkan Eveline masih belum sanggup berkata-kata.
"Eve? Kok kamu bengong?" tanya Anas saat melihat ekspresi kosong Eveline.
Perlahan, Eveline jatuh dalam lamunannya. Memutar balik kenangan yang sudah berlalu. Bayangan mengenai suatu peristiwa yang pernah terjadi saat masa orientasi siswa (ospek). Dari situlah ia mengenal ketiga monster tak berperasaan itu. Monster yang hidup dengan nama Vidia, Marsha, dan Esmeralda.
(FLASHBAK: Masa Orientasi Siswa)
Semua berawal dari secercah rasa iri yang terselip di hati Marsha. Rasa iri karena kecantikan dan daya tarik Eveline yang mengundang banyak perhatian kakak kelas. Terutama, para senior laki-laki. Hanya berdasarkan sebuah alasan yang sepele, terjadilah sebuah drama yang sangat kekanak-kanakan.
Marsha, seorang gadis seusia Eveline berparas manis. Rambutnya lurus sebahu berwarna hitam legam. Sangat cantik dengan tubuh tinggi semampai yang agak berisi. Dia adalah putri pertama dari Pak Setya, guru matematika yang mengajar kelas satu.
Sejak masa orientasi, Marsha memang sangat suka mencari perhatian. Terutama perhatian para senior. Dipikirnya, dengan kenalan yang begitu banyak, bisa memudahkannya untuk menjadi ketua osis tahun depan dan memiliki sosok pacar yang terkenal di lingkup sekolah.
Sedangkan Vidia, dia adalah gadis cantik berambut panjang ikal. Vidia merupakan salah satu pewaris restoran besar yang cabangnya sudah menyebar di seluruh Indonesia. Diantara ketiga monster itu, Vidialah yang dijuluki si anak konglomerat. Dia memang teramat kaya hingga keluarganya menjadi donator tetap SMP CIPTA BANGSA.
Penampilan Vidia sangat glamor. Setiap hari, model rambutnya selalu berubah-ubah. Dihias sedemikian rupa hingga menyerupai boneka barbie. Mengetahui pengaruh besar keluarganya terhadap sekolah, membuatnya sangat sinis dan semena-mena kepada orang lain.
Berbeda dengan Esmeralda. Atau gadis yang sering dipanggil Alda. Bisa dibilang, keluarga Alda bisa bertahan hidup karena campur tangan keluarga Vidia. Ayah Alda adalah salah satu kepala cabang restoran milik keluarga Vidia di Yogyakarta. Kalau bukan karena itu, orang tua Alda hanyalah seorang buruh di pabrik tekstil.
Kemakmuran keluarga Alda tercipta karena persahabatan keluarga Vidia dan Esmeralda yang sudah terjalin sejak belasan tahun yang lalu. Ikatan itu pula yang melahirkan persahabatan antara Vidia dan Alda sampai saat ini. Mereka berdua selalu bersekolah di sekolah yang sama. Sampai akhirnya mereka bertemu dengan Marsha saat masa orientasi di SMP CIPTA BANGSA.
Ketiga gadis itu saling cocok satu sama lain karena memilik ambisi yang sama. Menjadi bagian dari kepengurusan osis. Dan memiliki pacar yang keren. Alasan konyol yang mereka ambil yaitu untuk mendongkrak popularitas. Agar semakin dikenal orang.
Sayangnya, sejak hari pertama masa orientasi, Eveline si gadis keturunan jepang sudah mengambil hampir separuh perhatian dari para seluruh senior.
“Eveline, ya? Wajah kamu unik ya? Kayak artis di film Jepang. Jadi nggak bosen ngelihatin kamu,” ucap Kak Leo, si ketua osis.
“Hey, anak jepang. Kapan-kapan aku ajak makan bareng. Mau nggak?” tanya Mas Sandy, wakil ketua osis.
“Hai ... Kamu Eveline ya? Bisa nih tahun depan gantiin aku jadi Putri Sekolah,” ucap Kak Virginia, si pemegang piala Putri Sekolah se-Jawa Tengah tahun lalu.
“Eveline, kamu mau aku ajari melukis? Siapa tahu kalau kamu masuk ekstrakurikuler melukis, yang daftar bakal banyak!” ajak Mas Noval, ketua esktrakurikuler seni.
Semua perlakuan baik para senior disalah artikan oleh Vidia, Marsha, dan Esmeralda.
Tapi, ada satu titik di mana semuanya menjadi semakin parah.
Peristiwa apa yang mendasari kebencian Marsha kepada Eveline?
Di samping karena mendapat banyak perhatian, alasan Marsha sangat memusuhi Eveline adalah ...
Mas Sagara.
Ya, Marsha menyukai Mas Sagara. Laki-laki itu adalah cerminan sosok 'pacar keren' yang diidam-idamkan Marsha. Hal itulah yang mendorong Marsha diam-diam menaruh hati pada Mas Sagara.
Sayangnya, Marsha beberapa kali memergoki Mas Sagara selalu memberi camilan dan air minum kepada Eveline selama ospek. Terkadang, Mas Sagara selalu menghampiri Eveline hanya untuk sekadar ngobrol ringan dan bercanda.
Sejak saat itu, Marsha memiliki dendam pribadi kepada Eveline. Pembalasan dendamnya, melibatkan Vidia dan Esmeralda. Campur tangan Vidia memang bukan main kejamnya. Kekuasaaan seolah-olah berada dalam genggaman tangannya. Walau pun Marsha adalah rival utama Eveline, campur tangan Vidia adalah sesuatu yang patut dikhawatirkan.
Beberapa hari berlalu.. Hari berjalan normal seperti biasanya. Seperti biasa pula, Eveline dan Linda berangkat sekolah bersama-sama. Mereka suka bertukar cerita sembari melangkahkan kaki-kaki kecil mereka. “Lin, aku pengen nabung deh buat beli handphone. Temen-temen di kelasku udah punya handphone semua. Kayaknya seru deh kalau punya handphone sendiri,” celetuk Eveline. Eveline dan Linda tengah melalui sebuah jembatan besi yang menjadi rute harian mereka untuk berangkat ke sekolah. Rute yang menjadi favorit Eveline karena di bawah jembatan itu terpampang sebuah sungai panjang yang indah. Tepi jembatan itu biasa menjadi tongkrongan anak-anak berandalan dengan sepeda motor yang dimodifikasi sebagian rupa hingga menyerupai sebuah gerobak hajatan. Para anak lelaki yang berkumpul seperti rombongan pawai. Ketika motor itu lewat, otomatis akan mengundang tawa orang-orang yang menyaksikannya. “Tapi kan harga handphone mahal banget, Eve. Kalau
"Ciyeee ... Ada yang dianter sama preman jalanan, nih! Nggak malu ya? Hahaha,” ejek Vidia dengan nada bicara yang menyebalkan. Gadis ber-ego tinggi itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan anggun perlahan seperti seekor burung bangau. Pergerakannya diikuti oleh dua sahabat segerombolannya. “Dia itu orang baik, Vi. Jangan menghakimi dia karena penampilannya. Kamu sendiri nggak kenal sama dia, kan?” jawab Eveline halus. Dibanding membantah, ucapan Eveline lebih terdengar seperti sebuah nasehat. Waktu istirahat berjalan kurang menyenangkan untuk Eveline. Saat Eveline, Linda, dan Anastasia tengah asyik menikmati soto ayam pesanan mereka di kantin sekolah, muncullah tiga monster pengganggu yang merusak pemandangan. “Kalau nggak ada Bang Lucas, aku sama Eveline udah telat ke sekolah, tau! Kalau kamu nggak tahu apa-apa, mending tutup mulut kotormu itu!” sahut Linda dengan nada bicara yang tinggi. "Bacot!! Mulutmu itu yang kotor!" bentak Vidia
“Kenapa bawa aku kesini, Mas? Aku balik ke kelas ya, lima menit lagi kan bel masuk,” ucap Eveline gugup. Baku hantam yang terjadi di kantin mereda berkat kedatangan Mas Sagara. Kalau saja dia tidak datang, pasti kericuhan itu akan berlangsung jauh lebih lama. “Nggak apa-apa, Eve. Aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma mau menjauhkan kamu dari tiga perempuan psikopat itu. Bukan cuma kamu kok yang muak. Aku juga muak! Setiap hari di telepon sama Marsha sampai aku terpaksa harus mengganti nomorku berkali-kali,” ucap Mas Setya. Terlihat bahwa dia juga resah dengan Marsha yang terus mengincarnya. Dari sekian banyak lokasi yang dapat dituju, entah kenapa Mas Sagara mengajak Eveline untuk ngobrol berdua di dekat gudang sekolah. Lokasinya berada di bagian belakang sekolah. Tempat itu sangat sepi dan jarang ada siswa-siswi yang berlalu lalang di area tersebut. “Mas Sagara nggak perlu nolong aku lagi,” jawab Eveline singkat. Semenjak mereka sampai di tempat itu
Tap ... Tap .. “Mas, aku tahu komisimu banyak! Kenapa kamu nggak pernah ngasih nafkah buat keluargamu?! Kamu kira gajiku di kios seafood cukup buat kebutuhan kita sehari-hari?! Kamu bahkan nggak mau bayar listrik dan air! Bulan depan listrik mau diputus gara-gara kita udah nunggak selama tiga bulan!!” omel Bu Dewi. Tap ... Tap ... Eveline melangkahkan kakinya langkah demi langkah untuk masuk ke dalam rumah saat orang tuanya sedang sibuk berdebat membahas kondisi keuangan mereka. “Kalau kamu butuh uang ya kerja yang bener! Enak banget kamu ngandalin uangku!” sahut Pak Fero dengan entengnya. “Mas!! Kamu itu suami dan ayah disini! Kamu harus tanggung jawab, dong! Uangmu cuma habis buat beli minuman keras! Kalau kamu nggak bisa nafkahi keluarga kamu, kamu pergi aja dari sini!” marah Bu Dewi lagi. Matanya melotot dibarengi dengan cecaran kebencian yang tak kunjung berhenti. “Hey! Jangan seenaknya ya kamu! Rumah ini d
“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en
“Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..
"Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng
"Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng
“Kamu kemana aja, sih? Katanya mau nungguin aku! Tapi, kok malah aku yang jadi nungguin kamu?! Kamu pergi kemana aja?!” omel Linda beruntun saat sosok Eveline muncul dan berjalan menghampiri dirinya dengan wajah cengar-cengir.Eveline menggaruk kepalanya. Melihat Linda yang sudah naik pitam dengan wajah tegang, Eveline merasa gemas sekaligus bersalah. Tidak disangka jika kebersamaannya dengan Bryan membuat Eveline lupa waktu dan terlambat kembali ke sekolah.“Maaf, Lin. Tadi aku nggak lihat jam. Jadinya yaaa … lupa. Hehehe. Jangan marah, dong,” ucap Eveline mendekati Linda yang duduk seorang diri di gazebo depan sekolah.Wajah Linda memang sudah merengut dengan alis mata yang turun tajam. Dahinya pun mengerut. Tapi, tentu saja Linda tidak akan terlalu mengambil hati keterlambatan Eveline. Perasaan yang ia rasakan hanyalah sebatas kesal yang umum terjadi. Tidak perlu diperpanjang.“Yaa … Oke. Tapi, nanti kamu mai
"Kalian berdua sengaja janjian bolos? Bry! Mama emang ngijinin kamu bolos sesekali. Tapi, ya jangan sering-sering, dong. Bukan karena nilai atau apanya. Tapi, Mama nggak mau dipanggil ke sekolah kalau kamu bermasalah. Mama nggak ada waktu. Nanti kalau kerjaan Mama nggak ada yang megang kan sayang banget," ucap Tante Mira mengomel.Bryan menjawab, "Iyaaaaa. Siap sistttt."Mata Tante Mira memicing kepada putra satu-satunya itu. Sebal sekaligus gemas saat Bryan mengolok atau menggodanya."Aku ini Mama kamu. Bukan kakak-kakak pedagang baju online. Seenaknya panggil sist ke Mama sendiri. Kamu pengen Mama dagang online beneran apa gimana?" omel Tante Mira lagi.Bryan menahan tawa. Tak beda dengan Eveline."Udah, udah. Ini! Koin buat kalian. Awas kamu Bry kalau minggu depan minta lagi. Mama jitak kamu sampai nangis," ucap Tante Mira sembari mengulurkan lima belas keping koin ke telapak tangan Bryan yang sudah menengadah."Woahhh. Siappp Mama cantik. Gini, dong
Entah kenapa Eveline merasa nyaman berbincang dengan teman barunya. Meski tidak terbilang baru karena mereka teman satu angkatan di sekolah, keduanya bahkan belum pernah saling bertatapan satu kali pun."Nggak apa-apa. Aku lagi males sekolah. Jadi aku ke sini," jawab Eveline ringan. Ekspresinya dibuat senormal mungkin untuk menutupi kebohongannya.Bryan mengangguk. Dia meneguk minuman botol miliknya dengan pembawaan yang keren. Laki-laki bermata sipit dan berambut lurus tebal itu menaikkan kaki kirinya dan ditumpangkan pada kaki kanannya. Sesekali, wajahnya ditolehkan untuk menatap sosok Eveline yang terus memperhatikannya dengan keheranan."Kamu juga bolos? Kenapa?" Eveline balik bertanya.Bryan menghela napas sekali. Menatap sekeliling selama beberapa detik."Aku nggak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, aku kabur aja. Aku sering ke sini, kok. Soalnya Mama aku kerja di sini. Dia juga fine-fine aja kalau aku bolos. Katanya, sekolah itu harus tulus. Harus
"Eve! Kamu ngapain berdiri di situ? Ayo masuk!" pekik Linda lantang.Perjalanan mereka ke sekolah cukup baik-baik saja hingga akhirnya Eveline mendadak menghentikan langkahnya saat hanya tinggal tiga langkah memasuki pintu gerbang sekolah."Kok kamu diem terus, sih! Kamu nggak mau masuk? Ada yang salah?" tanya Linda lagi.Linda heran melihat langkah kaki Eveline yang terhenti dengan tatapan mata ke arah depan. Entah apa yang tengah dipandang. Tapi, Eveline benar-benar terpaku bagai patung manekin."Aku ... hari ini nggak mau sekolah!" kata Eveline singkat.Kata-kata yang diucapkan Eveline sulit dimengerti oleh Linda. Perjalanan yang mereka berdua lalui dengan suka cita dan lantunan lagu-lagu riang, seketika sirna saat raut wajah Eveline berubah. Sepertinya, niat hati Eveline untuk bersekolah seketika hilang."Aku nggak siap ketemu sama Marsha dan gengnya hari ini. Aku hari ini mau kabur. Aku mau bolos," ucap Eveline lirih.Linda yang berdiri mengha
TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok
"Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng
"Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng
“Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..
“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en