“Tante, sepertinya Eveline sebentar lagi mau meninggal.. Eve nggak tahu apa yang terjadi.. Tapi, Eve berdarah,” ucap Eveline tiba-tiba. Memecah suasana hening.
Tante Yosina terpaku. Linda pun demikian. Mereka sama-sama terkejut dengan ucapan yang baru saja terlontar dari mulut Eveline.
“Eve.. Kamu nggak apa-apa? Kamu baik-baik aja, nak?” tanya Tante Yosina cemas. Air mukanya berubah dalam sekejap.
Mereka bertiga tengah duduk bersama di depan rumah Tante Yosina setelah makan. Duduk beralaskan tikar persegi yang tak terlalu besar. Sembari menunggu isi perut mereka dicerna dengan baik, bercengkerama adalah salah satu opsi yang tepat.
Udara dingin mulai membuat kulit Eveline kedinginan. Tapi, hal itulah yang ia sukai. Menjadi satu dengan alam. Bertautan dengan angin dingin hingga menusuk kulit.
“Tadi pulang sekolah Eve berdarah, tante. Ada darah keluar dari tubuh Eveline. Eve takut kalau punya penyakit parah. Eve belum mau meninggal,” jawab Elle dengan gemetaran. Wajahnya ketakutan menatap Tante Yosina dan Linda secara bergantian.
“Kamu mimisan? Atau tubuhmu ada yang luka? Ibu kamu udah tahu?” tanya Linda pula.
“Darahnya.. keluar dari sini..,” Eveline menyentuh area kewanitaannya yang tertutup celana panjang cokelat berbahan katun. Dia raba area itu perlahan. Tanpa sadar, terasa sedikit noda darah yang kembali mengotori celananya.
“Aduh.. Kayaknya keluar lagi darahnya,” ucap Eveline panik.
Kedua bola mata Eveline membelalak.
“Mama, ini gimana? Eve kenapa, Ma?” Linda pun tak kalah panik. Digenggamnya lengan Eveline dengan erat. Takut jika sahabat karibnya kesakitan akan sesuatu.
“Eveline takut, Tante. Waktu pulang sekolah, Eve merasa seperti ada sesuatu yang keluar. Seperti buang air kecil. Setelah Eve lihat, ternyata darah! Darahnya keluar sendiri. Nggak bisa ditahan,” sambung Eveline.
Ekspresi Tante Yosina mendadak berubah. Kecemasan yang sedari tadi mendominasi wajahnya seketika sirna.
Mendengar jawaban polos yang dilontarkan Eveline, justru membuat Tante Yosina tertawa terbahak-bahak. Melihat tingkah laku Eveline yang sangat lugu, membuat perut Tante Yosina seperti dikocok.
“Hahahaha ... Sayang ... Itu nggak apa-apa. Itu bukan penyakit. Eve bener-bener belum tahu? Hahahaha,” sahut Tante Yosina.
Telapak tangan Tante Yosina menutup mulutnya yang terbuka lebar karena tidak bisa menahan tawa.
“Mama kok malah ketawa, sih? Memangnya itu apa, Ma? Kasihan Eveline, Ma! Jangan diketawain,” Linda menimpali. Gadis manis itu sedikit kesal.
“Eve, itu namanya menstruasi. Itu wajar. Walau pun tante nggak mengalami hal semacam itu, tapi tante cukup paham soal menstruasi. Itu tandanya, kamu udah mulai dewasa. Eveline udah bukan anak-anak lagi. Zona ini namanya masa remaja. Setelah ini, tubuh kamu juga akan banyak berubah. Kamu juga pasti jadi lebih cantik. Semua teman-teman kamu juga pasti akan mengalami hal yang sama, kok. Sekarang kan Eveline udah kelas satu SMP, jadi memang sudah waktunya untuk menstruasi,”papar Tante Yosina panjang lebar.
Penjelasan Tante Yosina begitu halus dan jelas hingga mudah dipahami.
“Jadi.. Eve nggak akan mati kan, Tante?” tanya Eveline dengan wajah lega. Wajah tegangnya perlahan mulai hilang.
“Hahahaha .. Nggak akan. Tenang aja. Tapi, selama menstruasi, kamu harus lebih jaga kesehatan, ya. Makan makanan yang bergizi, minum air putih yang banyak. Biar nggak lemes. Linda juga pasti sebentar lagi pasti menstruasi. Kalian kan sama-sama udah kelas satu SMP. Sama-sama udah remaja. Nanti tante beliin kamu pembalut. Tante ajarin semuanya. Sekarang kamu ke kamar mandi dulu. Pasti celana kamu kena darah lagi,” ucap Tante Yosina lagi.
Eveline mengikuti seluruh instruksi yang diberikan Tante Yosina dan segera bergegas ke kamar mandi.
Eveline merasa beruntung karena Tante Yosina adalah orang pertama yang ia beri tahu soal menstruasi pertamanya. Sudah sangat jelas bahwa Bu Dewi tidak akan mungkin mengajarkan hal semacam itu kepada putrinya. Satu-satunya hal yang dipedulikan Bu Dewi hanyalah sifat egois dan amarahnya yang menggebu-gebu.
***
“Ssssttt ... Eve .. Tadi apa namanya? Mediasi? Mandiasi? Mentruksi?” bisik Linda.
Eveline menolehkan kepalanya kepada sahabat yang masih duduk di sampingnya.
“Menstruasi, Lin. Aku juga lagi hafalin namanya. Masih agak asing bahasanya di telinga aku,” jawab Eveline ikut berbisik pula.
Kedua gadis tersebut bercengkerama di depan rumah di saat Tante Yosina merapikan pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran. Masih di atas tikar yang sedari tadi mereka gunakan.
“Nah, itu. Beneran nggak sakit, kan? Kata Mama, aku juga bakal mengalami itu. Kalau sakit, aku nggak mau ah!” tukas Linda manja.
Ucapan Linda membuat Eveline terkekeh.
“Tapi kata Tante Yosina, semua perempuan juga akan mengalami menstruasi. Kayaknya kita harus belajar lebih jauh tentang hal ini deh. Tapi, rasanya sama sekali nggak sakit kok, Lin,” jawab Eveline.
“Kalau kata Mama, nanti ada pelajaran tentang menstruasi di SMP. Tapi aku kurang tahu juga, sih. Kita kan baru satu bulan masuk SMP. Masih perkenalan sama temen-temen. Tugas kita juga belum banyak,” tukas Linda.
Eveline dan Linda sama-sama bersekolah di SMP CIPTA BANGSA. Walau pun satu sekolah, mereka tidak belajar di kelas yang sama. Berbeda dengan kelas Eveline yang terletak di dekat gerbang depan, kelas Linda justru ada di bagian belakang sekolah yang bersebelahan dengan lapangan voli.
“Pantesan dulu waktu aku kelas enam, ada temenku yang berdarah juga. Aku kira dia sakit parah soalnya dia sampai disuruh pulang sama guru,” ucap Eveline lagi.
“Tapi Eve ... Memang gunanya menstruasi itu buat apa, sih? Kenapa kita harus mengalami itu? Justru lebih enak kalau kita nggak pernah berdarah. Kita nggak harus pakai bantal kecil yang ditaruh di celana dalam. Yang bentuknya kayak popok bayi. Yang tadi Mama beli buat kamu tu..,” celetuk Linda.
"Pembalut, Liiinnn," ucap Eveline membenarkan.
Linda hanya terkekeh dan menjulurkan lidahnya tanda mengejek.
“Kita tunggu pelajaran dari sekolah aja, Lin. Kalau kamu pengen tahu, kamu kan bisa tanya sama Tante Yosina. Mama kamu itu pinter, lho! Baik banget pula. Kalau nggak ada Tante Yosina, aku nggak tahu lagi harus kemana. Tetangga lain nggak akan ada yang mau peduli sama aku,” jawab Eveline ringan.
Linda mengangguk.
“Kita sama-sama membutuhkan Tante Yosina, Eve. Kalau nggak ada dia, aku juga pasti udah ada di panti asuhan. Untung-untung kalau di panti. Masih bisa makan dan tidur, punya banyak temen, nggak kehujanan juga. Gimana kalau aku akhirnya bakal hidup di emperan toko, atau di bawah jembatan penyeberangan? Setiap hari harus mengemis di lampu merah? Pasti aku nggak akan punya masa depan yang baik,” sahut Linda. Wajahnya sangat serius.
Eveline tersenyum lembut melihat Linda. Gadis seusianya dengan rambut keriting sebahu. Linda memiliki suara yang merdu. Setiap mereka berangkat sekolah, Linda selalu melantunkan lagu-lagu dengan lirik yang menenangkan hati di sepanjang perjalanan.
“Bahkan aku sama sekali nggak tahu wajah orang tuaku. Tapi, itu nggak penting! Selama aku hidup bersama Mama Yosina, semua hal boleh terjadi,” lanjut Linda penuh penekanan.
Semua kalimat yang dilontarkan Linda seolah-olah tanpa beban. Gadis itu membicarakan masa lalunya yang terbilang sensitif dan tabu dengan penuh percaya diri.
Hampir seluruh keluarga Linda adalah masyarakat asli Papua Barat. Tapi, beberapa kerabat menikah dengan masyarakat dari berbagai wilayah. Salah satunya adalah keluarga Tante Yosina yang merupakan masyarakat asli Semarang, Jawa Tengah. Tidak heran apa bila Linda memiliki kulit cokelat eksotis dengan rambut keriting yang cantik. Saat Linda mengepang rambutnya, dia terlihat berkali-kali lipat cantiknya.
“Nggak masalah, Lin. Justru aku yang masih punya orang tua lengkap, berharap mereka mati secepat mungkin. Kalau jadi aku, nggak punya orang tua adalah sebuah kehidupan yang indah,” Eveline menimpali.
"Hush! Jangan gitu, Eve. Ati-ati sama omongan kamu," Linda memperingatkan.
Berbeda dengan Eveline. Kakeknya adalah warga Jepang asli. Kakek Tomo adalah seorang pebisnis makanan ringan yang menjual produk-produknya ke Indonesia. Sedangkan neneknya, istri kakek Tomo adalah nenek Lasmini, wanita jawa yang anggun dan gemulai. Pernikahan keduanya, menghadirkan sosok anak laki-laki yang dinamai Yamada Fero, ayah kandung Eveline.
Ayah yang kini sudah setengah gila karena pergaulannya yang liar.
Hal itulah yang membuat Eveline memiliki campuran darah Jepang. Kulit Eveline sangat putih dengan rambut lurus berwarna kecoklatan panjang. Rambutnya sangat cantik. Sangat jarang anak seusianya memiliki rambut seindah rambut Eveline. Bisa dibilang, Eveline adalah anak yang sangat cantik.
“Eve, kamu pernah kepikiran buat kabur dari rumah, nggak?” tanya Linda.
“Enggak pernah sama sekali. Tapi aku sering berpikir untuk bunuh diri!” jawab Eveline berapi-api.
Hanami Eveline. Gadis kecil yang dilahirkan dari keluarga yang memiliki banyak kisah dramatis yang tragis. Hari dimana dia dilahirkan, hari itu pula yang menjadi awal dari seluruh bencana yang ada di kehidupannya sampai saat ini. “Sayang ... Kok kamu nggak pernah makan di rumah? Masakan ibu nggak enak ya?” ucap Bu Dewi dengan wajah yang memelas. Dia duduk mendekati Eveline yang tengah mengerjakan soal matematika di ruang tamu. Semakin lama, tubuh Bu Dewi semakin dekat dengan tubuh putrinya. Membuat Eveline tidak nyaman. “Eveline, kok kamu diam aja, nak? Masakan ibu pasti nggak enak ya..,” lanjut Bu Dewi. Eveline hanya terdiam sambil terus menggerakkan pensil di jemarinya untuk menghitung rumus-rumus yang memusingkan. Bahkan tatapan matanya tidak berpindah sekali pun. &nb
Jam menunjukkan pukul sebelas siang. Masih dalam suasana yang terik dan cerah. Eveline dan Linda pulang dari sekolah lebih awal. Karena para guru mengadakan rapat dadakan untuk membahas Hari Pendidikan Nasional, terpaksa siswa-siswi segera dipulangkan tanpa melanjutkan pelajaran yang lain. Tentu hal itu merupakan kesenangan yang dahsyat pagi para peserta didik. Sepulang sekolah, Eveline dan Linda berencana untuk tidak langsung pulang ke rumah. Mereka pergi ke sebuah warung internet (warnet) untuk memecahkan rasa penasaran yang berputar di benak mereka sejak beberapa waktu ke belakang. Tanpa memikirkan hal lain, tempat yang mereka tuju setelah keluar dari lingkungan sekolah adalah warung internet. Tempat itu hanya berjarak kurang lebih 50 meter dari sekolah mereka. “Eve, nulisnya bener di sini? Namanya menstruasi, kan?” tanya Linda. Tangannya mengetik huruf-huruf di papan keyboard komputer dengan dua jari telunjuk. Gerakan jarinya masih
“Eve, aku tinggal masuk ke kelas dulu, ya. Kamu sendirian dulu nggak apa-apa, kan? Nanti kalau udah waktunya pulang sekolah, aku ke sini lagi,” ucap Anastasia, si ketua kelas. Anastasia juga merupakan teman yang cukup akrab dengan Eveline. Eveline menganggukkan kepalanya dengan uluran senyuman kecil. Menginsyaratkan bahwa dia baik-baik saja dan Anastasia bisa kembali ke kelas untuk mengikuti pembelajaran yang tengah berlangsung. Hari ini, bukan hari yang menyenangkan bagi Eveline. Tapi, bukan juga hari yang menyedihkan. Pelajaran baru berjalan 30 menit. Sayangnya, penyakit maag Eveline mendadak kambuh untuk yang kesekian kalinya dan membuatnya harus beristirahat di ruang UKS. Di sisi lain, Eveline cukup lega. Penyakitnya tahu kapan waktu yang tepat untuk kambuh. Yaitu, saat ini! Saat mata pelajaran Pak Setya sedang dilakukan di kelasnya. “Ah, pelajaran matematikanya aja udah susah setengah mati. Ditambah lagi, Pak Setya orangnya aneh. Kenapa s
“Pak.. Kenapa Pak Setya ada di sini?” tanya Eveline gugup. Keringat dingin yang membasahi kulit kepalanya sudah mulai terasa. Ada rasa panik dan takut yang tiba-tiba menggerayangi kulit Eveline. Eveline penasaran mengapa tiba-tiba gurunya menghampiri siswi yang sakit. Karena apa yang dilakukan Pak Setya adalah bukan hal yang biasa. “Kenapa memangnya? Kalau murid saya ada yang sakit, apa saya nggak boleh jenguk? Penyakit maag kamu kambuh saat pelajaran saya. Tentu saja secara nggak langsung saya juga bertanggung jawab,” jawab Pak Setya ringan. Kedua kakinya mulai membawanya berkeliling ruangan UKS yang luasnya hanya setengah dari ruang kelas. Langkah kakinya tenang dan lamban. Diperhatikannya satu persatu poster kesehatan dan alat-alat kesehatan yang di tata rapi di sebuah almari kecil. Tangannya mulai memeriksa apakah setiap alat berfungsi dengan baik atau tidak. “Terima kasih, Pak. Tapi, Pak Setya nggak perlu repot-repot. Sebentar lag
“Loh, Eve? Kok kamu udah balik ke kelas? Bukannya perut kamu masih sakit, ya?" Anastasia menatap Eveline yang baru saja memasuki kelas. "Tapi tenang aja, dua jam lagi kita pulang kok. Masih ada pelajaran seni rupa. Gampang lah ya. Kita nggak usah mikir keras. Nggak usah mikirin rumus-rumus,” sambung Anastasia santai. Eveline hanya menganggukkan kepalanya. Dia sama sekali tidak keberatan dengan pelajaran seni rupa yang akan segera dimulai. Di samping materinya yang ringan, guru seni rupa dirasa tidak terlalu rewel dan cukup santai dengan para siswa-siswi. “Iya, Nas. Mumpung lagi jam istirahat, nih. Tadi aku udah izin sama Bu Latri buat balik ke kelas. Kepalaku malah jadi pusing kalau tiduran terus,” jawab Eveline. Eveline berjalan tertatih sambil memegangi perutnya yang masih sedikit perih. Ternyata, terlalu lama di ruang UKS juga membuatnya teramat jenuh. Tidak ada teman yang bisa ia ajak bicara. Hanya Bu Latri yang sesekali menanyai k
Beberapa hari berlalu.. Hari berjalan normal seperti biasanya. Seperti biasa pula, Eveline dan Linda berangkat sekolah bersama-sama. Mereka suka bertukar cerita sembari melangkahkan kaki-kaki kecil mereka. “Lin, aku pengen nabung deh buat beli handphone. Temen-temen di kelasku udah punya handphone semua. Kayaknya seru deh kalau punya handphone sendiri,” celetuk Eveline. Eveline dan Linda tengah melalui sebuah jembatan besi yang menjadi rute harian mereka untuk berangkat ke sekolah. Rute yang menjadi favorit Eveline karena di bawah jembatan itu terpampang sebuah sungai panjang yang indah. Tepi jembatan itu biasa menjadi tongkrongan anak-anak berandalan dengan sepeda motor yang dimodifikasi sebagian rupa hingga menyerupai sebuah gerobak hajatan. Para anak lelaki yang berkumpul seperti rombongan pawai. Ketika motor itu lewat, otomatis akan mengundang tawa orang-orang yang menyaksikannya. “Tapi kan harga handphone mahal banget, Eve. Kalau
"Ciyeee ... Ada yang dianter sama preman jalanan, nih! Nggak malu ya? Hahaha,” ejek Vidia dengan nada bicara yang menyebalkan. Gadis ber-ego tinggi itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan anggun perlahan seperti seekor burung bangau. Pergerakannya diikuti oleh dua sahabat segerombolannya. “Dia itu orang baik, Vi. Jangan menghakimi dia karena penampilannya. Kamu sendiri nggak kenal sama dia, kan?” jawab Eveline halus. Dibanding membantah, ucapan Eveline lebih terdengar seperti sebuah nasehat. Waktu istirahat berjalan kurang menyenangkan untuk Eveline. Saat Eveline, Linda, dan Anastasia tengah asyik menikmati soto ayam pesanan mereka di kantin sekolah, muncullah tiga monster pengganggu yang merusak pemandangan. “Kalau nggak ada Bang Lucas, aku sama Eveline udah telat ke sekolah, tau! Kalau kamu nggak tahu apa-apa, mending tutup mulut kotormu itu!” sahut Linda dengan nada bicara yang tinggi. "Bacot!! Mulutmu itu yang kotor!" bentak Vidia
“Kenapa bawa aku kesini, Mas? Aku balik ke kelas ya, lima menit lagi kan bel masuk,” ucap Eveline gugup. Baku hantam yang terjadi di kantin mereda berkat kedatangan Mas Sagara. Kalau saja dia tidak datang, pasti kericuhan itu akan berlangsung jauh lebih lama. “Nggak apa-apa, Eve. Aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma mau menjauhkan kamu dari tiga perempuan psikopat itu. Bukan cuma kamu kok yang muak. Aku juga muak! Setiap hari di telepon sama Marsha sampai aku terpaksa harus mengganti nomorku berkali-kali,” ucap Mas Setya. Terlihat bahwa dia juga resah dengan Marsha yang terus mengincarnya. Dari sekian banyak lokasi yang dapat dituju, entah kenapa Mas Sagara mengajak Eveline untuk ngobrol berdua di dekat gudang sekolah. Lokasinya berada di bagian belakang sekolah. Tempat itu sangat sepi dan jarang ada siswa-siswi yang berlalu lalang di area tersebut. “Mas Sagara nggak perlu nolong aku lagi,” jawab Eveline singkat. Semenjak mereka sampai di tempat itu
“Kamu kemana aja, sih? Katanya mau nungguin aku! Tapi, kok malah aku yang jadi nungguin kamu?! Kamu pergi kemana aja?!” omel Linda beruntun saat sosok Eveline muncul dan berjalan menghampiri dirinya dengan wajah cengar-cengir.Eveline menggaruk kepalanya. Melihat Linda yang sudah naik pitam dengan wajah tegang, Eveline merasa gemas sekaligus bersalah. Tidak disangka jika kebersamaannya dengan Bryan membuat Eveline lupa waktu dan terlambat kembali ke sekolah.“Maaf, Lin. Tadi aku nggak lihat jam. Jadinya yaaa … lupa. Hehehe. Jangan marah, dong,” ucap Eveline mendekati Linda yang duduk seorang diri di gazebo depan sekolah.Wajah Linda memang sudah merengut dengan alis mata yang turun tajam. Dahinya pun mengerut. Tapi, tentu saja Linda tidak akan terlalu mengambil hati keterlambatan Eveline. Perasaan yang ia rasakan hanyalah sebatas kesal yang umum terjadi. Tidak perlu diperpanjang.“Yaa … Oke. Tapi, nanti kamu mai
"Kalian berdua sengaja janjian bolos? Bry! Mama emang ngijinin kamu bolos sesekali. Tapi, ya jangan sering-sering, dong. Bukan karena nilai atau apanya. Tapi, Mama nggak mau dipanggil ke sekolah kalau kamu bermasalah. Mama nggak ada waktu. Nanti kalau kerjaan Mama nggak ada yang megang kan sayang banget," ucap Tante Mira mengomel.Bryan menjawab, "Iyaaaaa. Siap sistttt."Mata Tante Mira memicing kepada putra satu-satunya itu. Sebal sekaligus gemas saat Bryan mengolok atau menggodanya."Aku ini Mama kamu. Bukan kakak-kakak pedagang baju online. Seenaknya panggil sist ke Mama sendiri. Kamu pengen Mama dagang online beneran apa gimana?" omel Tante Mira lagi.Bryan menahan tawa. Tak beda dengan Eveline."Udah, udah. Ini! Koin buat kalian. Awas kamu Bry kalau minggu depan minta lagi. Mama jitak kamu sampai nangis," ucap Tante Mira sembari mengulurkan lima belas keping koin ke telapak tangan Bryan yang sudah menengadah."Woahhh. Siappp Mama cantik. Gini, dong
Entah kenapa Eveline merasa nyaman berbincang dengan teman barunya. Meski tidak terbilang baru karena mereka teman satu angkatan di sekolah, keduanya bahkan belum pernah saling bertatapan satu kali pun."Nggak apa-apa. Aku lagi males sekolah. Jadi aku ke sini," jawab Eveline ringan. Ekspresinya dibuat senormal mungkin untuk menutupi kebohongannya.Bryan mengangguk. Dia meneguk minuman botol miliknya dengan pembawaan yang keren. Laki-laki bermata sipit dan berambut lurus tebal itu menaikkan kaki kirinya dan ditumpangkan pada kaki kanannya. Sesekali, wajahnya ditolehkan untuk menatap sosok Eveline yang terus memperhatikannya dengan keheranan."Kamu juga bolos? Kenapa?" Eveline balik bertanya.Bryan menghela napas sekali. Menatap sekeliling selama beberapa detik."Aku nggak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, aku kabur aja. Aku sering ke sini, kok. Soalnya Mama aku kerja di sini. Dia juga fine-fine aja kalau aku bolos. Katanya, sekolah itu harus tulus. Harus
"Eve! Kamu ngapain berdiri di situ? Ayo masuk!" pekik Linda lantang.Perjalanan mereka ke sekolah cukup baik-baik saja hingga akhirnya Eveline mendadak menghentikan langkahnya saat hanya tinggal tiga langkah memasuki pintu gerbang sekolah."Kok kamu diem terus, sih! Kamu nggak mau masuk? Ada yang salah?" tanya Linda lagi.Linda heran melihat langkah kaki Eveline yang terhenti dengan tatapan mata ke arah depan. Entah apa yang tengah dipandang. Tapi, Eveline benar-benar terpaku bagai patung manekin."Aku ... hari ini nggak mau sekolah!" kata Eveline singkat.Kata-kata yang diucapkan Eveline sulit dimengerti oleh Linda. Perjalanan yang mereka berdua lalui dengan suka cita dan lantunan lagu-lagu riang, seketika sirna saat raut wajah Eveline berubah. Sepertinya, niat hati Eveline untuk bersekolah seketika hilang."Aku nggak siap ketemu sama Marsha dan gengnya hari ini. Aku hari ini mau kabur. Aku mau bolos," ucap Eveline lirih.Linda yang berdiri mengha
TokTokTokMalam baru saja tergantung di atas bumi. Bulan dan bintang-bintang tertempel dengan begitu rapi di dinding langit hingga membentuk suatu kenampakkan yang indah dari jendela kamar Eveline. Semuanya nampak cerah karena sedang musim kemarau. Bahkan tidak ada satu awan pun yang menutupi kilauan sang dewi malam.Seluruh anggota keluarga Eveline sudah berada di bawah satu atap rumah yang sama. Bu Dewi dan Pak Fero pun sibuk dengan dirinya masing-masing tanpa bertegur sapa.Hening.Tidak ada suara perbicangan sedikit pun.Eveline pun tengah meringkuk di atas tempat tidurnya yang hangat dengan mengenakan daster kecil bergambar melati putih. Memandang langit-langit kamarnya yang di tengahnya tergantung lampu bohlam berwarna kuning.Tapi, ketenangan malam yang seharusnya membuat keluarga Eveline ikut tenang, dikacaukan dengan suara ketukan pintu berulang yang cukup keras."Pak Fero!""Bos!""Permisi, Bos!"TokTok
"Kamu kenapa bisa sampai diskors, Mas? Kamu salah apa? Terus, apa hubungannya sama aku, Alda, dan Vidia?" tanya Marsha menekankan.Mas Sagara menanggapi, "Jadi, bukan kalian yang ngelaporin aku ke Pak Teguh?"Alda menggelengkan kepalanya."Nggak, lah!!! Ngapain pake lapor-laporan! Kalau aku benci sama kamu, aku udah langsung pakai kekuatan Papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah, Mas!! Mikir, dong! Jangan kayak gini! Kamu tu merasa difitnah tapi sekarang malah ngefitnah orang!" jawab Vidia tajam sinis. Kedua tangannya berkacak pinggang."Ada yang ngelaporin kamu ke Pak Teguh? Perkara apa?" sambung Marsha dengan tajam.Marsha berdecak. Menghela napas dalam."Mas Sagara buat masalah?" sambung Alda.Banyak pertanyaan dihujamkan bagai guyuran hujan. Membuat Mas Sagara yang semula kesal pada ketiga gadis didepannya, perlahan mulai melunak dan mengurangi kecurigaannya. Alisnya yang tajam turun pun sudah tidak nampak lagi.Mas Sagara menjelaskan deng
"Marshaaa!" teriak Vidia dan Alda keluar dari persembunyiannya. Berlari menghampiri Marsha yang memegangi kepalanya sembari duduk di atas tanah.Tap ...Tap ..."Masha, are you ok? Kamu nggak apa-apa, kan?" Alda merengkuh tubuh Marsha yang masih terdiam sambil meringis kesakitan.Mas Sagara sontak terkejut melihat Vidia dan Alda yang ternyata mengikuti dirinya dan Marsha secara diam-diam.Vidia yang terkenal mudah emosi, tanduknya bagai keluar di atas kepala melihat perlakuan Mas Sagara yang terlalu kasar.Plaaak!!Tamparan keras dilayangkan Vidia ke pipi kiri Mas Sagara. Membuat pipi laki-laki muda itu memerah seketika."Mas! Jangan keterluan, dong! Kalau kamu emang nggak suka lihat Marsha buka baju, ya jangan mukul kepala dia! Kalau Marsha pingsan gimana? Mas Sagara mau tanggung jawab?!" omel Vidia lantang.Di tempat persembunyiannya, Eveline dan Linda pun tak kalah kagetnya. Mereka melongo hingga menutup mulut melihat apa yang teng
“Marsha emang bener-bener keterlaluan! Bisa-bisanya dia laporin aku ke Pak Teguh! Kurang ajar! Suka sih suka, tapi nggak perlu kayak gini juga, dong. Gila! Berbuat nekat cuma buat misahin aku sama Eveline!” omel Mas Sagara dalam perjalanannya menuju sekolah. Dikenakannya pakaian bebas karena Mas Sagara masih dalam masa diskors. Kaus hitam berlengan pendek dengan celana panjang berwarna hitam pula membalut tubuh tingginya yang dikuasai sebuah emosi kesalahpahaman. Laki-laki berparas maskulin itu berencana meluapkan kekesalannya kepada Marsha. Matahari tengah berada di puncak peraduannya. Suasana siang yang terik menandakan sebentar lagi jam pulang sekolah akan tiba. Mas Sagara berniat menunggu sosok Marsha muncul di hadapannya di depan sekolah. Meminta penjelasan dan klarifikasi yang masuk akal. Mas Sagara duduk di sebuah gazebo kecil dekat gerbang sekolah dengan mata berapi-api. Satu menit .. Dua menit .. Sepuluh menit ..
“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en