“Lisa, bisa bicara sebentar?” Lisa baru saja melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi ketika Rama datang dengan wajah seriusnya. Ia mengerutkan kening seraya menghentikan gerakannya mengeringkan rambut dengan handuk. Lelaki itu mendekat dan mengangkat seuntai gelang yang selalu dia pakai setiap saat. “Ini punya kamu, 'kan?” Lisa segera mengambil gelang itu dari tangan Rama. “Loh, kok bisa sama kamu?” Rama juga merasa heran, mengapa gelang ini bisa ada di bawah kulkas? “Semalam kamu ke dapur? Kamu nggak melihat hal yang aneh-aneh? Ada maling yang masuk?” Kening Lisa berkerut bingung mencerna semua pertanyaan Rama. “Aku ke dapur buat ngambil minum. Memangnya kenapa, sih?” “Jam berapa?” Lisa mengangkat bahu tidak peduli. “Mana aku tahu, aku cuma bangun dan ngambil minum.” “Kamu nggak menemukan sesuatu yang aneh?” “Aneh apa, sih?” “Dapur berantakan pagi ini, seperti habis diamuk. Aku pikir rumah kita kemasukan maling.” Lisa mendongak untuk mengingat-ingat apa saja yang dia lak
Suasana di meja makan mendadak dipenuhi dengan keheningan. Saat perhatian Rama tertuju padanya, Lisa melirik Nayna dan wanita itu memberinya seringai yang sama seperti semalam. Lisa melotot. Nayna pasti berbohong! Itu sudah jelas. Nayna ingin membuat Lisa menjadi pihak yang paling disalahkan. “Kamu bilang kamu menghajar Ayna. Kamu hajar di bagian mana?” Ah, Rama benar. Bukti fisik tidak bisa disembunyikan. Dia sangat ingat luka-luka yang ia timbulkan di wajah Nayna semalam, tapi kenapa sekarang malah tidak ada? “Saya nggak merasakan sakit sama sekali. Mungkin kamu cuma bermimpi, Lisa.” Rama mengangguk menyetujui dugaan Nayna dan Lisa sangat tidak menyukainya. “Buat apa aku menceritakan ini ke kalian kalau aku cuma mimpi? Kamu bilang dapur berantakan, 'kan? Aku yang yang buat semuanya berantakan!” Spontan Lisa berdiri dengan wajah memerah emosi. “Aku yang mengacaukan dapur, kenapa? Aku perlu kasih pelajaran ke perempuan ini!” Dia tuding Nayna dengan dada yang naik turun dan emb
Itu pertanda buruk. Nayna bisa merasakan ketertarikan Rama padanya. Saat mata Rama memandangnya penuh rasa terima kasih dan ketika lelaki itu tak kunjung mengalihkan pandangan seolah menemukan sesuatu pada diri Nayna. Sesuatu yang dia inginkan, sesuatu yang dia impikan sejak dulu. Nayna memahami perasaan itu, karena dia juga merasakan hal yang sama. Ada banyak hal yang ada pada diri Rama yang dia impikan dimiliki oleh Bagus. Tapi, Nayna tersadar. Bagus adalah Bagus dan Rama tetaplah Rama. Keduanya sudah dirancang dengan sifat yang berbeda. Barulah setelah Lisa menandaskan air di gelasnya, Rama akhirnya mengalihkan mata dan berdiri dari duduknya. “Aku ambilkan obat kamu, ya.” Lisa hanya cuek dan tidak peduli. Mendadak hati Nayna diliputi kekesalan. Rama keluar dari dapur, sementara waktu yang kosong itu digunakan Lisa untuk mendominasi keadaan. “Gimana caranya kamu sembunyiin semua luka kamu?” Mata itu memicing tajam pada Nayna, menilai wajah dan tubuh Nayna yang bersih dari lu
Lisa menunggu Rama memanaskan mobil di garasi, sementara dirinya berdiri di ambang pagar. Mulai hari ini dia akan membuat Rama mengantarnya setiap hari, agar tidak ada kesempatan bagi Rama untuk berpaling ke perempuan lain. “Eh, Bu Lisa. Ngapain di luar?” Wanita berumur awal 40-an yang Lisa kenal sebagai Bu Sari diam-diam melirik ke dalam rumah, pada pintu yang terbuka. Kalung emasnya mencolok dan membuat mata Lisa silau. Norak sekali. “Nunggu suami saya.” Lisa tidak repot-repot bersikap ramah. “Ohhhh suami.” Sari masih melongok ke dalam. Muka julid itu ingin rasanya Lisa tampol. “Omong-omong di rumah Bu Lisa ada perempuan muda, ya? Kerabat atau keluarga, nih?” Lisa mendecak. Dalam hati kesal setengah mati karena Rama begitu lama memanaskan mobil. “Keluarga, ya? Pantesan dekat banget sama Pak Rama.” Sari mengangguk-angguk, meski dalam hati masih kepo setengah mati. “Apa maksudnya? Sejak kapan perempuan murahan itu dekat dengan suami saya?” Kedua alis tebal Sari spontan terangk
Rama masih berdiam diri di tempatnya. Ia pejamkan mata rapat-rapat. Napasnya ia atur sedemikian rupa agar amarah itu tidak berhasil menguasai dirinya.Lisa sedang sakit, dan Lisa tidak sedang salah paham. Rama memang keluar bersama Ayna semalam dan melakukan hal yang tidak seharusnya dia lakukan bersama perempuan lain.Rama khilaf, terbawa perasaan dan ia mengakui itu. Ia menarik napas panjang. Berusaha untuk mengenyahkan segala godaan yang merayunya untuk berpikir negatif. Di saat seperti ini dialah yang harus berpikir secara rasional.Rama memutuskan ke restoran saja, membiarkan Lisa menenangkan diri dulu. Ia masuk terlebih dahulu untuk memanggil Bik Sumi. Bik Sumi datang dari arah dapur, dan serta merta kaget melihat keadaan wajah Rama. “Loh, itu muka sama lehernya kenapa, Pak? Siapa yang cakar?”Lagi-lagi Rama hanya menghela napas. “Bukan siapa-siapa, Bik. Lisa ada di rumah Bu Sari. Kalau dia pulang, kabari saya ya.” Bik Sumi mengangguk dengan ekspresi bingung. “Iya, Pak, tapi
Kali ini Nayna datang bukan untuk melancarkan rencananya. Ia naik ke lantai dua restoran Rama dan mengetuk ruang kerja lelaki itu. Kendati para pegawai Rama melihatnya aneh karena ia langsung menyelonong begitu saja.Pintu itu terbuka dengan tiga kali ketukan. Wajah Rama yang terkejut menyambut Nayna. Lelaki itu terdiam kaku dan tetap berdiri di depan pintu.“Saya boleh masuk?” Rama tidak menjawab. Kedua bola mata itu bergetar dan tidak tahu harus melakukan apa. “Boleh?” Nayna tidak memaksa Rama. Jika lelaki itu tidak ingin melihatnya di sini, maka Nayna akan pergi.Tapi, Rama malah menggeser tubuh sebagai tanda mengizinkan Nayna masuk. Nayna melangkah masuk dan duduk di depan meja kerja Rama alih-alih di sofa.Rama menghampiri mejanya dengan langkah ragu. Nayna tahu betul apa yang membuat lelaki itu menjadi seperti ini. Padahal rencananya tidak seperti ini. Ia hanya ingin membuat Lisa merasa dikhianati lalu mengungkap segalanya, bukan membuat Rama semakin tersakiti.“Saya datang un
Nayna tidak memprediksi ketika ia turun dari mobil, sekelompok wanita paruh baya berdandan mencolok menunggunya di depan gerbang rumah Rama. Mereka punya raut wajah yang sama, seperti menyimpan kemarahan. Beberapa di antaranya berkacak pinggang, ada juga yang bersedekap layaknya bos. Yang pasti mereka semua menatap Nayna berang.“Oh, jadi ini pelakor yang sok-sok baik itu?” Seorang wanita berbaju putih dan menenteng tas merah mengkilap mengawali percakapan.“Cuma begini tampangnya? Cantikan juga Bu Lisa ke mana-mana!”“Iya, betul itu.”Ah, rasa-rasanya Nayna bisa menebak siapa dalang dari semua ini. “Heh, tahu nggak, Bu Lisa itu menderita gara-gara kamu! Ngapain juga kamu nggak tahu malu tinggal di rumah orang! Nggak punya uang buat nyewa rumah?!” Ibu-ibu yang bibirnya paling merah bercerocos sambil melotot ke arah Nayna. “Miskin kali, Bu Sari! Mau mengeruk uang suami orang pakai cara murahan kayak begitu.”Bu Sari yang berkacak pinggang di barisan paling depan maju dua langkah men
Rama sangat kalut. Tiba-tiba saja ia mendapat telepon dari Bik Sumi bahwa Ayna diserang oleh ibu-ibu kompleks. Mereka menghakimi Ayna sebagai pelakor, padahal wanita itu tidak pernah sekalipun menggodanya. Rama-lah yang jatuh hati.“Maafkan saya, Ayna.” Ia sangat malu untuk sekadar duduk di samping Ayna. Alih-alih marah, Ayna malah memberinya senyum hangat. “Tidak perlu minta maaf. Kamu nggak bersalah.”Ayna meraih kedua bahunya, lalu menepuk-nepuk tepi ranjang di sampingnya. Rama bangkit dan kembali duduk di samping wanita itu. Dilihatnya wajah Ayna yang terluka. Dahinya tergores, pipi yang memerah bekas tamparan, serta sudut bibir yang sobek. Hati Rama terasa seperti diremas-remas. Perempuan ini banyak terluka karenanya. Ia mengulurkan tangan, menyapu helaian rambut Ayna yang berantakan seperti habis ditarik habis-habisan. “Ini bukan apa-apa, Rama.” Sebab semua ini bukan salah Rama. Nayna yang memulai segalanya, maka semua risiko harus siap ditanggungnya. Dirasakannya jari-jari