Lisa menunggu Rama memanaskan mobil di garasi, sementara dirinya berdiri di ambang pagar. Mulai hari ini dia akan membuat Rama mengantarnya setiap hari, agar tidak ada kesempatan bagi Rama untuk berpaling ke perempuan lain. “Eh, Bu Lisa. Ngapain di luar?” Wanita berumur awal 40-an yang Lisa kenal sebagai Bu Sari diam-diam melirik ke dalam rumah, pada pintu yang terbuka. Kalung emasnya mencolok dan membuat mata Lisa silau. Norak sekali. “Nunggu suami saya.” Lisa tidak repot-repot bersikap ramah. “Ohhhh suami.” Sari masih melongok ke dalam. Muka julid itu ingin rasanya Lisa tampol. “Omong-omong di rumah Bu Lisa ada perempuan muda, ya? Kerabat atau keluarga, nih?” Lisa mendecak. Dalam hati kesal setengah mati karena Rama begitu lama memanaskan mobil. “Keluarga, ya? Pantesan dekat banget sama Pak Rama.” Sari mengangguk-angguk, meski dalam hati masih kepo setengah mati. “Apa maksudnya? Sejak kapan perempuan murahan itu dekat dengan suami saya?” Kedua alis tebal Sari spontan terangk
Rama masih berdiam diri di tempatnya. Ia pejamkan mata rapat-rapat. Napasnya ia atur sedemikian rupa agar amarah itu tidak berhasil menguasai dirinya.Lisa sedang sakit, dan Lisa tidak sedang salah paham. Rama memang keluar bersama Ayna semalam dan melakukan hal yang tidak seharusnya dia lakukan bersama perempuan lain.Rama khilaf, terbawa perasaan dan ia mengakui itu. Ia menarik napas panjang. Berusaha untuk mengenyahkan segala godaan yang merayunya untuk berpikir negatif. Di saat seperti ini dialah yang harus berpikir secara rasional.Rama memutuskan ke restoran saja, membiarkan Lisa menenangkan diri dulu. Ia masuk terlebih dahulu untuk memanggil Bik Sumi. Bik Sumi datang dari arah dapur, dan serta merta kaget melihat keadaan wajah Rama. “Loh, itu muka sama lehernya kenapa, Pak? Siapa yang cakar?”Lagi-lagi Rama hanya menghela napas. “Bukan siapa-siapa, Bik. Lisa ada di rumah Bu Sari. Kalau dia pulang, kabari saya ya.” Bik Sumi mengangguk dengan ekspresi bingung. “Iya, Pak, tapi
Kali ini Nayna datang bukan untuk melancarkan rencananya. Ia naik ke lantai dua restoran Rama dan mengetuk ruang kerja lelaki itu. Kendati para pegawai Rama melihatnya aneh karena ia langsung menyelonong begitu saja.Pintu itu terbuka dengan tiga kali ketukan. Wajah Rama yang terkejut menyambut Nayna. Lelaki itu terdiam kaku dan tetap berdiri di depan pintu.“Saya boleh masuk?” Rama tidak menjawab. Kedua bola mata itu bergetar dan tidak tahu harus melakukan apa. “Boleh?” Nayna tidak memaksa Rama. Jika lelaki itu tidak ingin melihatnya di sini, maka Nayna akan pergi.Tapi, Rama malah menggeser tubuh sebagai tanda mengizinkan Nayna masuk. Nayna melangkah masuk dan duduk di depan meja kerja Rama alih-alih di sofa.Rama menghampiri mejanya dengan langkah ragu. Nayna tahu betul apa yang membuat lelaki itu menjadi seperti ini. Padahal rencananya tidak seperti ini. Ia hanya ingin membuat Lisa merasa dikhianati lalu mengungkap segalanya, bukan membuat Rama semakin tersakiti.“Saya datang un
Nayna tidak memprediksi ketika ia turun dari mobil, sekelompok wanita paruh baya berdandan mencolok menunggunya di depan gerbang rumah Rama. Mereka punya raut wajah yang sama, seperti menyimpan kemarahan. Beberapa di antaranya berkacak pinggang, ada juga yang bersedekap layaknya bos. Yang pasti mereka semua menatap Nayna berang.“Oh, jadi ini pelakor yang sok-sok baik itu?” Seorang wanita berbaju putih dan menenteng tas merah mengkilap mengawali percakapan.“Cuma begini tampangnya? Cantikan juga Bu Lisa ke mana-mana!”“Iya, betul itu.”Ah, rasa-rasanya Nayna bisa menebak siapa dalang dari semua ini. “Heh, tahu nggak, Bu Lisa itu menderita gara-gara kamu! Ngapain juga kamu nggak tahu malu tinggal di rumah orang! Nggak punya uang buat nyewa rumah?!” Ibu-ibu yang bibirnya paling merah bercerocos sambil melotot ke arah Nayna. “Miskin kali, Bu Sari! Mau mengeruk uang suami orang pakai cara murahan kayak begitu.”Bu Sari yang berkacak pinggang di barisan paling depan maju dua langkah men
Rama sangat kalut. Tiba-tiba saja ia mendapat telepon dari Bik Sumi bahwa Ayna diserang oleh ibu-ibu kompleks. Mereka menghakimi Ayna sebagai pelakor, padahal wanita itu tidak pernah sekalipun menggodanya. Rama-lah yang jatuh hati.“Maafkan saya, Ayna.” Ia sangat malu untuk sekadar duduk di samping Ayna. Alih-alih marah, Ayna malah memberinya senyum hangat. “Tidak perlu minta maaf. Kamu nggak bersalah.”Ayna meraih kedua bahunya, lalu menepuk-nepuk tepi ranjang di sampingnya. Rama bangkit dan kembali duduk di samping wanita itu. Dilihatnya wajah Ayna yang terluka. Dahinya tergores, pipi yang memerah bekas tamparan, serta sudut bibir yang sobek. Hati Rama terasa seperti diremas-remas. Perempuan ini banyak terluka karenanya. Ia mengulurkan tangan, menyapu helaian rambut Ayna yang berantakan seperti habis ditarik habis-habisan. “Ini bukan apa-apa, Rama.” Sebab semua ini bukan salah Rama. Nayna yang memulai segalanya, maka semua risiko harus siap ditanggungnya. Dirasakannya jari-jari
Esok paginya bukanlah awal hari yang menenangkan. Di depan pagar rumah yang tingginya melewati kepala itu, kumpulan ibu-ibu yang kemarin menyerang Nayna kembali berkumpul. Kali ini di barisan pertama dipimpin oleh Kepala Kompleks yang berkumis tebal dan berbadan lebih pendek. Mereka menekan bel berulang kali. Kepala kompleks hanya bisa pasrah dikerubungi ibu-ibu kelompok arisan Melati Berondong itu. “Aduh, sabar-sabar, Ibu-ibu!” Rambutnya beterbangan karena pergerakan mereka yang bar-bar.“Kita harus usir pelakor itu!” “Setuju! Keluar kamu, pelakor nggak tahu malu!” Yang pertama kali keluar adalah Bik Sumi. Ia bahkan belum menyajikan sarapan di meja, tapi tahu-tahu sudah ada keributan yang tidak jelas di luar rumah. “Ada apa lagi ini? Kalian mau ngapain lagi?” Bik Sumi tergopoh-gopoh menghampiri pagar, tapi enggan membukakan untuk mereka. “Panggil majikan kamu! Pak Rama itu keliatannya aja baik, ternyata suka main belakang. Diam-diam bawa perempuan lain tinggal di rumah.” “Say
Kepala Lisa terasa sangat sakit, padahal pagi ini ia sudah meminum obatnya. Obat itu cukup membantu, ia akan menjadi tenang dan sekujur tubuhnya terasa ringan. Namun, akhir-akhir ini ia sering sakit kepala. Rasanya seperti ada listrik yang menyengat naik ke kepala. Ia juga semakin sensitif, melampiaskan amarah kapan saja dan di mana saja. Mungkin karena ketakutannya yang semakin besar, ia jadi banyak pikiran. Semua ini gara-gara Nayna si kampungan itu! Sekarang dia tak mampu mengontrol ucapannya. Ekspresi Rama terlihat rumit, menanti jawaban dari Lisa. “Aku tanya, apa maksud kamu, Lisa?” Lisa menelan ludah. Kesiap napasnya memendek. “Di-dia bukan Ayna, dia cuma perempuan kampungan yang menumpang di rumah ini. Perempuan nggak tahu diri yang mencoba merebut kamu dari aku!” Huh, baguslah. Di saat identitas Nayna terbongkar, maka semua rahasianya juga akan terancam. Ia harus bisa mengusir wanita itu tanpa mengungkap identitasnya. “Cukup, Lisa. Kamu selalu saja berprasangka buruk
Semakin hari Lisa semakin aneh. Itulah yang dirasakan Rama. Tiba-tiba saja ia menegang dan menggertakkan gigi di dalam mobil. Saat tiba di gym, Lisa membanting pintu mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Langkahnya terburu-buru dan deru napasnya memburu hebat. Ada yang salah dengan Lisa belakangan ini. Ia makin mudah marah dan terprovokasi. Rama menghela napas berkali-kali. Menetralkan kepalanya dari prasangka yang macam-macam. Lisa membanting pintu gym yang transparan. Langkahnya berderap cepat dengan napas memburu hebat, tak peduli seberapa banyak orang yang menatapnya canggung. Mereka sempat menghentikan kegiatan olahraga mereka sampai akhirnya Lisa masuk ke ruangannya. Jantung Lisa diremas kemarahan. Kepalanya mendidih seperti hendak meledak. Bayangan-bayangan buruk Nayna dan Rama terus terputar di kepalanya bagai kaset rusak. Tidak ada pilihan lain, ia harus segera menyingkirkan Nayna dari rumah. Kalau perlu melenyapkannya sekalian. Ia tak peduli bagaimana pun caranya, m
EXTRA PARTTerima Kasih, Sayang. “Mereka seenaknya narik rambut dan meludahi wajah aku kalau kesel. Memangnya aku ini apa?” Bibir Lisa bergetar-getar, menahan diri untuk tak berteriak dan tetap berbisik. Sedang Bagus di sampingnya mengusap wajah frustrasi. “Aku sering ditampar di sel. Disebut tukang selingkuh dan mau ngebunuh istri. Mereka begitu karena ada beberapa yang ditangkap karena mencuri untuk ngasih makan istri dan anak.” Ini adalah ketiga kalinya mereka bertemu dalam pembinaan para napi. Napi pria dan wanita digabung dalam satu aula untuk mendengarkan bimbingan yang diadakan setiap tahun. Sudah tiga tahun berlalu dan kehidupan di dalam penjara tidak pernah baik-baik saja untuk mereka. Ada saja napi lain yang kurang ajar dan sok berkuasa. Rasanya seperti di neraka. Jika Lisa tahu kehidupan di penjara akan sesulit ini, maka ia akan menahan diri untuk tak selingkuh dengan Bagus dan memilih setia. Setidaknya biarpun sibuk, kehidupan pernikahannya bersama Rama selalu baik-bai
Satu tahun kemudian. Nayna mengerutkan kening saat Vina masuk membawa beberapa kantong besar yang entah isinya apa. Raut wajahnya terlihat antusias. Sudut bibirnya terus terangkat ketika ia mengeluarkan isi dari semua kantong yang dibawanya. Ada aneka macam kue dan makanan. Hidangan yang sangat banyak. Vina bahkan bersenandung sambil sesekali tertawa sendirian. “Abis mimpi bagus, ya, Vin?” Nayna mendekat, mengintip isi dari mangkuk-mangkuk plastik yang dikemas rapi itu. Selama dua bulan terakhir, Vina seringkali mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan mimpinya, seperti mimpi menang lotere, mimpi gendong keponakan, atau mimpi masuk surga. “Yah … bisa dibilang begitu.” Vina cengengesan. “Kali ini mau ngundang siapa lagi?” Setiap kali ia merayakan mimpinya, Vina pasti mengundang orang lain untuk berbagi. Entah itu anak yatim, para tukang ojek, tetangga, ataupun teman-teman seprofesinya dulu. “Teman lama.” Senyum Vina kian lebar dengan mata menerawang. Nayna menggulung
Pengacara Alif Trisakti yang mendampingi Nayna mengucapkan selamat kepada mereka berdua karena telah memenangkan persidangan dan kedua terdakwa sudah dihukum seberat-beratnya. Ruangan sidang itu senyap. Helaan napas yang tegang dan lega bersahut-sahutan. Nayna menatap kosong dua punggung yang melemas di depan sana setelah menerima berita hukuman mereka. Mungkin Nayna merasakan kelegaan seperti yang dirasakan Vina yang duduk di sampingnya, tapi lebih daripada itu, ada perasaan nanar yang menghinggapi. Hanya karena nafsu sesaat, kedua orang itu benar-benar hancur, orang-orang yang ada di sisi mereka, yang mencintai mereka dengan tulus juga ikut mereka hancurkan. Hanya gara-gara nafsu sesaat itu, Nayna harus hadir di tempat ini, berjalan sejauh ini, dan bertindak sebesar ini. Di sisi deretan meja yang lain, ia mendengar sesenggukan dan teriakan protes dari Mirna. Ujung jarinya menunjuk-bunjuk hakim dan berusaha menggapai Bagus. Sesekali memelototi Nayna dengan mata memerah.“Anak say
“Kamu bisa menemui pengacara bersama saya?” Rama bertanya keesokan harinya. Alih-alih menelepon, ia malah datang sendiri dengan baju rapi seolah sudah siap mengantar Nayna ke suatu tempat. Kemarin pagi setelah sarapan, Rama pulang dan tidak kembali lagi. Dia hanya meminta izin kepada Pak RT untuk menginap sampai Nayna sedikit membaik. “Hanya sekali. Setelah itu saya akan urus sisanya.” Sepertinya Rama mengerti ekspresi keberatan di wajah Nayna. “Pengacara untuk membela saya dan membuat Lisa dihukum?” Nayna mengernyit. Bukankah itu terlalu ikut campur? “Bahkan tanpa pengacara pun, Lisa dan Bagus sudah bisa dihukum.” Mata Nayna seolah bertanya, ‘lalu kenapa kamu sendiri yang menyodorkan pengacara pada saya?’ Dan Rama mengerti arti tatapan itu. “Anggaplah sebagai pembalasan dendam terakhir. Lisa akan sangat marah jika melihat saya ada di pihak kamu.” “Kamu yakin?” “Saya juga ingin sedikit memberikan pelajaran. Dia sudah mengkhianati kepercayaan saya.” Jika alasan rasional itu m
Jantung Nayna berdebar cepat. Ia terpaku di hadapan Rama tanpa mampu menjawab ajakan pria itu. Mata Rama masih memandangnya dengan tatapan sayu.“Oh, mau salat bareng? Gue ikut, ya?” sahut Vina yang baru saja keluar dari kamar mandi.Rama memberikan tiga anggukan lalu bangkit dari sofa, melewati Nayna begitu saja tanpa menunggu jawaban wanita itu. Ia berjalan menuju kamar mandi sambil menggulung lengan kemejanya. Sekarang Nayna tahu seperti apa aroma parfum pria itu. Wanginya seperti kayu manis, sepat, dan menusuk hidung, tapi berkesan dalam indra penciuman Nayna. Nayna menghela napas, duduk di sofa yang ditiduri Rama. Masih hangat dengan jejak Rama yang tertinggal. Nayna belum mengucapkan terima kasih. Setidaknya dia harus jadi orang yang tahu diri karena Rama sudah repot-repot merawatnya. Nayna masih sibuk dengan pikirannya ketika pintu kamar mandi terbuka. Rama keluar dengan wajah dan rambut yang basah. “Bisa wudhu?” Nayna tidak mengerti mengapa dia sampai menahan napas. "Bisa
Sekujur tubuh Nayna terasa remuk redam. Kelopak matanya berat untuk terbuka. Tenggorokan yang terbakar dan kepala yang pening, tapi ia tetap berusaha membuka mata.Langit-langit yang temaram menyambutnya beserta suara dengkuran halus di samping. Ia menemukan Vina yang meringkuk menghadap ke arahnya. Ah, sepertinya dia jatuh sakit dan merepotkan Vina. Padahal Vina-lah yang mesti dirawat. Samar-samar Nayna mencium aroma parfum yang tertinggal, yang akhir-akhir ini sering kali dia cium. Terendus seperti wangi Rama. Apa hanya perasaannya?Nayna memaksakan diri untuk bangun. Sepertinya dia sudah lama berbaring sebab punggungnya terasa kebas. Ia hanya ingat Vina yang menyuapinya bubur beberapa kali. Mendongak, Nayna melihat jarum pendek pada jam dinding mengarah pada angka empat. Berarti sudah Subuh. Berapa lama ia terbaring sakit?Napasnya masih sedikit berat, tak sengaja ketika ia mengembuskan napas, Nayna menemukan kakinya yang dibalut dengan perban baru dan lebih tebal. “Nay? Kamu ba
Semalaman penuh Rama hampir-hampir tidak tidur karena sibuk mengompres Nayna, memastikan handuk yang melekat di dahinya tetap terasa hangat. Nayna sangat gelisah. Ia sering merintih dan berdeham sambil memegang lehernya. Sepertinya tenggorokan wanita itu terasa sakit. Karena itu, Rama terus menyuapkan air secara berkala, sedangkan Vina dia suruh istirahat. Tidak lucu jika Nayna sembuh nanti, malah giliran Vina yang sakit. Nayna akan cemas dan merasa bersalah lagi. Rama masih berjaga di kamar Nayna, mengamati bagaimana mata yang terpejam itu sering kali mengerjap sayu. Wajah Nayna masih pucat dan bibirnya bergetar kedinginan padahal ia sudah memakai dua lapis selimut. Rama terdorong untuk menggenggam tangan wanita itu dan meniupnya. Mungkin tidak sopan, tapi rasa-rasanya ia ingin berbaring di samping Nayna dan mendekap wanita itu, menyalurkan rasa hangat dan berbagi kesakitan yang sama. Entah sejak kapan ia begitu ingin melindungi perempuan mungil yang selalu terlihat sok kuat ini.
ASeolah semua tenaga Lisa berangsur-angsur kembali. Rasa lapar dan kelelahan yang menyerangnya tergantikan dengan amarah membabi buta. “Kamu nggak lebih baik daripada aku, Mas.”Serangan telak itu menembus hati Rama. Kepalanya mendadak blank. Niatnya untuk membiarkan Lisa masuk dan berganti pakaian lenyap sudah. Rasa-rasanya ia tak sanggup melihat Lisa masuk dan mengingatkan lelaki itu pada kegagalan dan ketidakbecusannya menjadi seorang suami. “Jangan bergerak! Anda kami kepung.” Suara berat dengan nada yang tegas itu memecah suasana sunyi yang menyesakkan di antara mereka. Lisa membelalak saat melihat dua orang polisi tengah mengacungkan pistol ke arah dirinya dan Rama. Ia mundur ketakutan dan bersembunyi di balik punggung Rama.“Kamu menelepon polisi? Sialan. Harusnya aku nggak ke sini,” bisik Lisa. Sedang Rama mengernyit. Dia tidak pernah menelepon polisi.“Maaf, Pak. Saya tidak pernah melapor.” “Katanya di sini ada pencurian. Kami datang atas laporan dari penghuni rumah.” P
Waktu tiga hari ini adalah waktu yang sangat panjang dan melelahkan bagi Lisa, benar-benar seperti neraka. Setiap detik ia merasa hendak mati. Tak ada harapan dan bantuan yang datang, yang ada hanya ketakutan. Tak ada makanan, tempat tinggal, dan air. Ia mesti berjuang mati-matian untuk mendapatkan semua itu, meski dengan cara mencuri sekalipun. Di malam pertama, ia berbaring kelelahan di batang pohon pinggir jalan. Namun, tiba-tiba ia dibangunkan paksa oleh orang gila yang hendak melecehkannya. Tertawa menjijikkan sambil mengejarnya dengan penampilan kotor. “Heh, mau apa kamu! Jangan sentuh saya!” Orang gila berambut gimbal dengan gigi ompong dan wajah yang kotor itu terkekeh aneh sambil mencoba menyentuh lengan Lisa. “Pergi kamu, Gembel Sialan!”Sial! Orang gila ini tidak mau pergi. Lisa terpaksa melarikan diri, tapi orang itu tetap mengejar dengan baju compang-camping yang warnanya tidak jelas lagi. “Siapa pun tolong singkirkan orang sinting itu!” Lisa menjerit, tapi tidak ad