Kali ini Nayna datang bukan untuk melancarkan rencananya. Ia naik ke lantai dua restoran Rama dan mengetuk ruang kerja lelaki itu. Kendati para pegawai Rama melihatnya aneh karena ia langsung menyelonong begitu saja.Pintu itu terbuka dengan tiga kali ketukan. Wajah Rama yang terkejut menyambut Nayna. Lelaki itu terdiam kaku dan tetap berdiri di depan pintu.“Saya boleh masuk?” Rama tidak menjawab. Kedua bola mata itu bergetar dan tidak tahu harus melakukan apa. “Boleh?” Nayna tidak memaksa Rama. Jika lelaki itu tidak ingin melihatnya di sini, maka Nayna akan pergi.Tapi, Rama malah menggeser tubuh sebagai tanda mengizinkan Nayna masuk. Nayna melangkah masuk dan duduk di depan meja kerja Rama alih-alih di sofa.Rama menghampiri mejanya dengan langkah ragu. Nayna tahu betul apa yang membuat lelaki itu menjadi seperti ini. Padahal rencananya tidak seperti ini. Ia hanya ingin membuat Lisa merasa dikhianati lalu mengungkap segalanya, bukan membuat Rama semakin tersakiti.“Saya datang un
Nayna tidak memprediksi ketika ia turun dari mobil, sekelompok wanita paruh baya berdandan mencolok menunggunya di depan gerbang rumah Rama. Mereka punya raut wajah yang sama, seperti menyimpan kemarahan. Beberapa di antaranya berkacak pinggang, ada juga yang bersedekap layaknya bos. Yang pasti mereka semua menatap Nayna berang.“Oh, jadi ini pelakor yang sok-sok baik itu?” Seorang wanita berbaju putih dan menenteng tas merah mengkilap mengawali percakapan.“Cuma begini tampangnya? Cantikan juga Bu Lisa ke mana-mana!”“Iya, betul itu.”Ah, rasa-rasanya Nayna bisa menebak siapa dalang dari semua ini. “Heh, tahu nggak, Bu Lisa itu menderita gara-gara kamu! Ngapain juga kamu nggak tahu malu tinggal di rumah orang! Nggak punya uang buat nyewa rumah?!” Ibu-ibu yang bibirnya paling merah bercerocos sambil melotot ke arah Nayna. “Miskin kali, Bu Sari! Mau mengeruk uang suami orang pakai cara murahan kayak begitu.”Bu Sari yang berkacak pinggang di barisan paling depan maju dua langkah men
Rama sangat kalut. Tiba-tiba saja ia mendapat telepon dari Bik Sumi bahwa Ayna diserang oleh ibu-ibu kompleks. Mereka menghakimi Ayna sebagai pelakor, padahal wanita itu tidak pernah sekalipun menggodanya. Rama-lah yang jatuh hati.“Maafkan saya, Ayna.” Ia sangat malu untuk sekadar duduk di samping Ayna. Alih-alih marah, Ayna malah memberinya senyum hangat. “Tidak perlu minta maaf. Kamu nggak bersalah.”Ayna meraih kedua bahunya, lalu menepuk-nepuk tepi ranjang di sampingnya. Rama bangkit dan kembali duduk di samping wanita itu. Dilihatnya wajah Ayna yang terluka. Dahinya tergores, pipi yang memerah bekas tamparan, serta sudut bibir yang sobek. Hati Rama terasa seperti diremas-remas. Perempuan ini banyak terluka karenanya. Ia mengulurkan tangan, menyapu helaian rambut Ayna yang berantakan seperti habis ditarik habis-habisan. “Ini bukan apa-apa, Rama.” Sebab semua ini bukan salah Rama. Nayna yang memulai segalanya, maka semua risiko harus siap ditanggungnya. Dirasakannya jari-jari
Esok paginya bukanlah awal hari yang menenangkan. Di depan pagar rumah yang tingginya melewati kepala itu, kumpulan ibu-ibu yang kemarin menyerang Nayna kembali berkumpul. Kali ini di barisan pertama dipimpin oleh Kepala Kompleks yang berkumis tebal dan berbadan lebih pendek. Mereka menekan bel berulang kali. Kepala kompleks hanya bisa pasrah dikerubungi ibu-ibu kelompok arisan Melati Berondong itu. “Aduh, sabar-sabar, Ibu-ibu!” Rambutnya beterbangan karena pergerakan mereka yang bar-bar.“Kita harus usir pelakor itu!” “Setuju! Keluar kamu, pelakor nggak tahu malu!” Yang pertama kali keluar adalah Bik Sumi. Ia bahkan belum menyajikan sarapan di meja, tapi tahu-tahu sudah ada keributan yang tidak jelas di luar rumah. “Ada apa lagi ini? Kalian mau ngapain lagi?” Bik Sumi tergopoh-gopoh menghampiri pagar, tapi enggan membukakan untuk mereka. “Panggil majikan kamu! Pak Rama itu keliatannya aja baik, ternyata suka main belakang. Diam-diam bawa perempuan lain tinggal di rumah.” “Say
Kepala Lisa terasa sangat sakit, padahal pagi ini ia sudah meminum obatnya. Obat itu cukup membantu, ia akan menjadi tenang dan sekujur tubuhnya terasa ringan. Namun, akhir-akhir ini ia sering sakit kepala. Rasanya seperti ada listrik yang menyengat naik ke kepala. Ia juga semakin sensitif, melampiaskan amarah kapan saja dan di mana saja. Mungkin karena ketakutannya yang semakin besar, ia jadi banyak pikiran. Semua ini gara-gara Nayna si kampungan itu! Sekarang dia tak mampu mengontrol ucapannya. Ekspresi Rama terlihat rumit, menanti jawaban dari Lisa. “Aku tanya, apa maksud kamu, Lisa?” Lisa menelan ludah. Kesiap napasnya memendek. “Di-dia bukan Ayna, dia cuma perempuan kampungan yang menumpang di rumah ini. Perempuan nggak tahu diri yang mencoba merebut kamu dari aku!” Huh, baguslah. Di saat identitas Nayna terbongkar, maka semua rahasianya juga akan terancam. Ia harus bisa mengusir wanita itu tanpa mengungkap identitasnya. “Cukup, Lisa. Kamu selalu saja berprasangka buruk
Semakin hari Lisa semakin aneh. Itulah yang dirasakan Rama. Tiba-tiba saja ia menegang dan menggertakkan gigi di dalam mobil. Saat tiba di gym, Lisa membanting pintu mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Langkahnya terburu-buru dan deru napasnya memburu hebat. Ada yang salah dengan Lisa belakangan ini. Ia makin mudah marah dan terprovokasi. Rama menghela napas berkali-kali. Menetralkan kepalanya dari prasangka yang macam-macam. Lisa membanting pintu gym yang transparan. Langkahnya berderap cepat dengan napas memburu hebat, tak peduli seberapa banyak orang yang menatapnya canggung. Mereka sempat menghentikan kegiatan olahraga mereka sampai akhirnya Lisa masuk ke ruangannya. Jantung Lisa diremas kemarahan. Kepalanya mendidih seperti hendak meledak. Bayangan-bayangan buruk Nayna dan Rama terus terputar di kepalanya bagai kaset rusak. Tidak ada pilihan lain, ia harus segera menyingkirkan Nayna dari rumah. Kalau perlu melenyapkannya sekalian. Ia tak peduli bagaimana pun caranya, m
Pagi-pagi sekali pintu rumah Mirna diketuk dengan pelan. Bagus baru saja berangkat kerja dan Randy masih tidur. Kaki Mirna bersantai di atas sofa sambil menonton berita artis. Ia mendecak karena waktu santainya terganggu.“Siapa, sih pagi-pagi! Baru juga jam delapan sudah bertamu!” Ia mengentakkan kaki menuju pintu.Jari-jarinya yang dilingkari cincin-cincin emas pinjaman dari ibu Nayna membuka handle pintu. Kening Mirna mengerut–meski dalam hati ia terpana. Di depannya berdiri seorang wanita bersetelan rapi. Kemeja putih, celana kain dan blazer cantik yang pas di badan langsingnya.“Selamat pagi, Bu.” Suara itu menyapa dengan sopan.Mirna tersenyum canggung, tapi dalam hati mencibir. Sepertinya mau minta sumbangan. “Eh, iya pagi. Ada apa, ya?”“Boleh saya minta waktunya sebentar, Bu?”“Oh, iya, boleh.” Mirna membuka pintu lebar-lebar dan membiarkan perempuan berambut lurus sebahu itu masuk. “Silakan duduk.”Wanita itu duduk. “Terima kasih, ya, Bu.” Lalu tersenyum sopan sambil meletak
Nayna sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Bukan hanya Lisa yang ingin dia beri pelajaran. Mirna dan Bagus juga ada dalam modul rencana balas dendamnya. Selama lima tahun diperlakukan seenaknya, Nayna akhirnya menyadari, bahwa selama ini dia tidak dianggap sebagai menantu. Dirinya dieksploitasi habis-habisan, tenaga, maupun harta keluarganya dimanfaatkan oleh perempuan itu. Ia berikan tugas itu kepada Vina selama dia bertarung bersama Lisa di rumah Rama. Vina-lah yang menyiapkan segalanya agar perusahaan palsu yang dibangun secara mendadak itu terdengar meyakinkan. Setelah menelepon Alia, teman penjajal malamnya yang bersedia dibayar menjadi manajer dadakan, Vina beralih menghubungi Nayna. “Halo, Vin?”Vina bangun dari pembaringannya, sudah agak lama dia tidak mendapat kabar dari Nayna. “Kamu apa kabar, Nay? Baik-baik aja, kan di sana?”Ada jeda puluhan detik sebelum suara pelan Nayna mengalun dari seberang sana. “Aku nggak apa-apa, Vin.”Vina mendecak tidak sabaran. “Kamu itu