Esok paginya bukanlah awal hari yang menenangkan. Di depan pagar rumah yang tingginya melewati kepala itu, kumpulan ibu-ibu yang kemarin menyerang Nayna kembali berkumpul. Kali ini di barisan pertama dipimpin oleh Kepala Kompleks yang berkumis tebal dan berbadan lebih pendek. Mereka menekan bel berulang kali. Kepala kompleks hanya bisa pasrah dikerubungi ibu-ibu kelompok arisan Melati Berondong itu. “Aduh, sabar-sabar, Ibu-ibu!” Rambutnya beterbangan karena pergerakan mereka yang bar-bar.“Kita harus usir pelakor itu!” “Setuju! Keluar kamu, pelakor nggak tahu malu!” Yang pertama kali keluar adalah Bik Sumi. Ia bahkan belum menyajikan sarapan di meja, tapi tahu-tahu sudah ada keributan yang tidak jelas di luar rumah. “Ada apa lagi ini? Kalian mau ngapain lagi?” Bik Sumi tergopoh-gopoh menghampiri pagar, tapi enggan membukakan untuk mereka. “Panggil majikan kamu! Pak Rama itu keliatannya aja baik, ternyata suka main belakang. Diam-diam bawa perempuan lain tinggal di rumah.” “Say
Kepala Lisa terasa sangat sakit, padahal pagi ini ia sudah meminum obatnya. Obat itu cukup membantu, ia akan menjadi tenang dan sekujur tubuhnya terasa ringan. Namun, akhir-akhir ini ia sering sakit kepala. Rasanya seperti ada listrik yang menyengat naik ke kepala. Ia juga semakin sensitif, melampiaskan amarah kapan saja dan di mana saja. Mungkin karena ketakutannya yang semakin besar, ia jadi banyak pikiran. Semua ini gara-gara Nayna si kampungan itu! Sekarang dia tak mampu mengontrol ucapannya. Ekspresi Rama terlihat rumit, menanti jawaban dari Lisa. “Aku tanya, apa maksud kamu, Lisa?” Lisa menelan ludah. Kesiap napasnya memendek. “Di-dia bukan Ayna, dia cuma perempuan kampungan yang menumpang di rumah ini. Perempuan nggak tahu diri yang mencoba merebut kamu dari aku!” Huh, baguslah. Di saat identitas Nayna terbongkar, maka semua rahasianya juga akan terancam. Ia harus bisa mengusir wanita itu tanpa mengungkap identitasnya. “Cukup, Lisa. Kamu selalu saja berprasangka buruk
Semakin hari Lisa semakin aneh. Itulah yang dirasakan Rama. Tiba-tiba saja ia menegang dan menggertakkan gigi di dalam mobil. Saat tiba di gym, Lisa membanting pintu mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Langkahnya terburu-buru dan deru napasnya memburu hebat. Ada yang salah dengan Lisa belakangan ini. Ia makin mudah marah dan terprovokasi. Rama menghela napas berkali-kali. Menetralkan kepalanya dari prasangka yang macam-macam. Lisa membanting pintu gym yang transparan. Langkahnya berderap cepat dengan napas memburu hebat, tak peduli seberapa banyak orang yang menatapnya canggung. Mereka sempat menghentikan kegiatan olahraga mereka sampai akhirnya Lisa masuk ke ruangannya. Jantung Lisa diremas kemarahan. Kepalanya mendidih seperti hendak meledak. Bayangan-bayangan buruk Nayna dan Rama terus terputar di kepalanya bagai kaset rusak. Tidak ada pilihan lain, ia harus segera menyingkirkan Nayna dari rumah. Kalau perlu melenyapkannya sekalian. Ia tak peduli bagaimana pun caranya, m
Pagi-pagi sekali pintu rumah Mirna diketuk dengan pelan. Bagus baru saja berangkat kerja dan Randy masih tidur. Kaki Mirna bersantai di atas sofa sambil menonton berita artis. Ia mendecak karena waktu santainya terganggu.“Siapa, sih pagi-pagi! Baru juga jam delapan sudah bertamu!” Ia mengentakkan kaki menuju pintu.Jari-jarinya yang dilingkari cincin-cincin emas pinjaman dari ibu Nayna membuka handle pintu. Kening Mirna mengerut–meski dalam hati ia terpana. Di depannya berdiri seorang wanita bersetelan rapi. Kemeja putih, celana kain dan blazer cantik yang pas di badan langsingnya.“Selamat pagi, Bu.” Suara itu menyapa dengan sopan.Mirna tersenyum canggung, tapi dalam hati mencibir. Sepertinya mau minta sumbangan. “Eh, iya pagi. Ada apa, ya?”“Boleh saya minta waktunya sebentar, Bu?”“Oh, iya, boleh.” Mirna membuka pintu lebar-lebar dan membiarkan perempuan berambut lurus sebahu itu masuk. “Silakan duduk.”Wanita itu duduk. “Terima kasih, ya, Bu.” Lalu tersenyum sopan sambil meletak
Nayna sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Bukan hanya Lisa yang ingin dia beri pelajaran. Mirna dan Bagus juga ada dalam modul rencana balas dendamnya. Selama lima tahun diperlakukan seenaknya, Nayna akhirnya menyadari, bahwa selama ini dia tidak dianggap sebagai menantu. Dirinya dieksploitasi habis-habisan, tenaga, maupun harta keluarganya dimanfaatkan oleh perempuan itu. Ia berikan tugas itu kepada Vina selama dia bertarung bersama Lisa di rumah Rama. Vina-lah yang menyiapkan segalanya agar perusahaan palsu yang dibangun secara mendadak itu terdengar meyakinkan. Setelah menelepon Alia, teman penjajal malamnya yang bersedia dibayar menjadi manajer dadakan, Vina beralih menghubungi Nayna. “Halo, Vin?”Vina bangun dari pembaringannya, sudah agak lama dia tidak mendapat kabar dari Nayna. “Kamu apa kabar, Nay? Baik-baik aja, kan di sana?”Ada jeda puluhan detik sebelum suara pelan Nayna mengalun dari seberang sana. “Aku nggak apa-apa, Vin.”Vina mendecak tidak sabaran. “Kamu itu
Mirna memakai semua perhiasannya yang tersisa, hasil dari merayu ibu Nayna untuk meminjamkannya. Untung saja perempuan lemah itu tidak pernah menagih sampai dia meninggal. Kepalanya melenggang angkuh, menoleh ke sana kemari dengan bangga. Kali ini ia memakai daster panjang yang baru dia beli di butik depan kampung khusus untuk hari ini. Badan suburnya melenggok melewati lorong. Lihat, mana ada ibu-ibu lain yang bisa memakai daster seharga 400 ribu seperti dirinya?Maklum, sebentar lagi dia akan jadi orang kaya. Mungkin dia tidak akan punya waktu lagi untuk memakai daster. Sambil berjalan melewati rumah demi rumah yang dihuni ibu-ibu kumuh berambut gersang seperti tanaman kering, bibirnya bergoyang ke kanan dan ke kiri. Yang akan pakai daster nanti palingan adalah pembantunya. Uh, asik sekali.Dia akan membuat acara kumpul-kumpul setiap minggu dan mengundang ibu-ibu elit yang akan ikut menjadi member PT. Emas Sanjaya. Mirna sudah tidak sabar.“Eh, Teh Mirna, saya baru mau ke rumahnya
Lisa menyerahkan resep yang lama pada apoteker di hadapannya. Obatnya sudah habis, ia harus mendapatkan stok yang baru. “Sudah memperbarui resep ke dokter, Bu?”Lisa memiringkan bibir malas. “Pakai resep yang ini saja.”“Lebih baik diperiksakan lagi kondisinya, Bu. Barangkali dokter akan memberikan resep yang baru jika kondisi Ibu menjadi lebih buruk atau lebih baik.”“Ck! Saya nggak perlu pendapat kamu. Kasih aja kenapa, sih! Saya bakal bayar, nggak perlu kasih nasihat segala. Saya tahu kondisi tubuh saya!”Untuk apa kembali berkonsultasi jika dengan obat saja dia bisa merasa lebih baik? Buang-buang uang dan waktu. Lisa memutar bola mata. “Ah, baik. Saya berikan obat yang sama dengan satu minggu yang lalu, ya.”Lisa memamerkan wajah datar, menunggu sang apoteker bertubuh mungil itu mengambilkan obat dan menuliskan dosis pada setiap bungkusannya. “Ini, minggu depan diusahakan konsultasi ke dokter dulu ya, Bu.”Lisa merebut bungkusan obat tanpa berniat mengiyakan. Ditinggalkannya ap
Nayna memasang wajah datar selama Rama melajukan mobil mengikuti Lisa. Mungkin dengan begini, dia tidak perlu merepotkan diri untuk membongkar segalanya pada Rama. Rama akan tahu dengan sendirinya. Lebih mudah baginya. Setelah ini, Nayna juga akan membeberkan tentang identitasnya pada Rama, tentang apa yang sudah Lisa lakukan padanya. Nayna menghela napas. Mempersiapkan diri untuk melihat wajah penuh kekecewaan milik Rama saat tahu bahwa Nayna bukanlah orang sebaik yang dia pikirkan. Mobil Rama berhenti. Dilihatnya mobil Lisa singgah di halaman sebuah hotel bintang empat. Rama mencondongkan kepala, memperjelas penglihatannya. Keningnya mengerut.“Hotel? Mereka ke hotel?”Dada Rama kembang kempis. Ia tak mampu menahan diri lebih lama. Tanpa mengucapkan apa pun, ia keluar mobil dan berlari ke depan sana, di mana Bagus tengah memapah Lisa keluar mobil. Mereka hampir masuk ke hotel ketika Rama mencegah.Diraihnya bahu pria yang tengah memapah Lisa. Lelaki itu oleng, hampir-hampir ia te