Nayna melihat pegangan Rama pada setir kemudi kian mengencang. Lelaki itu sangat tegang. Mestinya Nayna membiarkan saja. Dia cukup diam sampai mereka tiba di rumah.Alih-alih menuruti logikanya, ia malah mengulurkan tangan, menyentuh bahu Rama yang kelewat kaku. Rama mungkin akan merasa keram jika tubuhnya terus menegang seperti itu.Rama terhenyak, ia lirik Nayna sekilas. Di matanya ada kebingungan. “Apa pun yang terjadi nanti, jangan menyakiti diri sendiri. Rilekskan badan kamu, supaya kepala kamu juga bisa ikut rileks.”Rama menuruti ucapan spontan itu. Ia menghela napas berulang kali, menetralkan isi kepalanya yang terasa panas, juga mengurangi prasangka buruk yang terus berkeliaran dalam pikirannya. “Dulu, semarah apa pun dia, Lisa hanya akan minum di dalam rumah. Dia tidak pernah datang ke bar.”Nayna menahan senyum sarkas yang hendak meluncur dari bibirnya. Tidak pernah ke bar katanya.“Saya berusaha memahami emosinya yang sering kali meledak-ledak, tapi untuk kali ini rasany
Nayna diam saja di kursinya saat Rama turun dan memapah Lisa keluar mobil. Ia menatap lurus ke depan tanpa terganggu oleh suara erangan Lisa.“Lepas! Aku mau ke hotel. Aku nggak mau pulang~” Lisa terus bergumam sambil sempoyongan dalam papahan Rama. Nayna menunduk parau saat pemandangan Rama dan Lisa menghilang dari balik pintu rumah. Lagi-lagi ia dibuat bingung oleh perasaannya sendiri. Nayna tidak ingin bersimpati pada Rama, tak ingin pula merasa bingung akan pilihan haruskan dia mundur atau melanjutkan balas dendam ini hanya karena Rama yang akan sakit hati.Ia tidak ingin menjadi Nayna yang dulu, Nayna yang selalu saja mementingkan perasaan orang lain ketimbang perasaannya sendiri. Dia harus tegas. Semua rencananya harus dia jalankan secepatnya. Nayna menengok ke kursi belakang. Menemukan tas Lisa yang tergeletak dengan barang-barang yang mencuat keluar. Dilihatnya bungkusan obat yang menyembul keluar. Ia raih tas kulit bermerek itu. Diambilnya bungkusan obat yang sepertinya ba
Mirna menanti kedatangan Alia dengan hati riang gembira. Baginya Alia adalah penyelamat yang akan membuatnya menjadi konglomerat. Di meja ruang tamu, ia sudah menyiapkan banyak makanan untuk menjamu Alia. Dia beli dari beberapa tempat. Ada banyak kue mahal yang akan dia bungkuskan untuk Alia nanti. Alia pasti akan tersanjung dengan kebaikannya lalu mengelu-elukan nama Mirna di depan sang CEO. Bukan tidak mungkin dirinya akan diangkat menjadi salah satu staf PT. Sanjaya emas dan perlahan akan naik jabatan hingga akhirnya menjadi sejajar dengan posisi Alia. Mirna mengibas-ibaskan tangan ke depan wajah sambil mengedipkan mata berulang kali. Dia juga akan terlihat cantik seperti Alia. Akan dia rawat seluruh badannya agar tak ada lagi mulut-mulut nyinyir yang menjulidinya setiap hari.Cantik, kaya, dan punya posisi tinggi kini menjadi impian Mirna.Pintu rumah terketuk dengan irama yang pelan. Mirna sudah tahu siapa yang datang. Segera ia mengangkat ujung dasternya dan melesat membuka pi
Alia langsung melempar sepatunya ketika tiba di kamar kos Vina. Harus bersandiwara dan menampilkan senyum sok profesional ala wanita karir lebih melelahkan ketimbang melayani pria hidung belang semalaman. Bibirnya kebas dan giginya kering. Lebih mudah tersenyum genit daripada tersenyum ramah seperti itu.Vina yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menyerbunya. “Gimana? Berhasil, kan?”Alia mengembus napas bosan. “Ya iyalah, ngapain gue pulang cepet kalau gagal?” Dilemparnya kantong hitam itu ke arah Vina. “Nih, uang lo.”Vina menangkapnya dengan dada berdebar antusias. Diintipnya isi kantong itu. Isinya uang dan emas. “Berapa totalnya?”“Sembilan kali 12 juta. Ditambah emas yang harganya setara tiga dikali 12 juta. Yah, sekitar 140-an, ditambah dengan uang pendaftaran Mirna yang kemarin, jadinya 150 juta lebih.” Alia merebahkan diri ke kasur Vina. “Yang dari Mirna buat elo aja.”Alia langsung bangun kembali. “Seriusan lo? Sebanyak itu?”“Iya, itu khusus buat lo. Tapi, dalam
Satu minggu berlalu dengan sangat lambat. Jantung Mirna berdebum-debum menanti hari ini tiba. Sebentar lagi mereka akan berkumpul di rumahnya untuk menghadiri pertemuan dengan Alia. Dia pasti akan dipuji-puji di depan ibu-ibu lain. Mirna berdandan serapi mungkin, memakai minyak wangi yang mahal dan gamis baru yang berkibar. Dia juga menukar emas ibu Nayna yang bentuknya kuno dengan gelang baru yang siap dia pamerkan di depan semua orang. Dirinya pasti akan dikagumi. Lemak Mirna bergoyang-goyang seiring langkahnya meninggalkan kamar. Ponsel terpasang di telinganya. “Halo~ iya, makanannya kapan sampai? Jangan lama, saya ada tamu penting, nih.”Ia berkacak pinggang sambil melongokkan kepala ke jendela. Belum ada tanda-tanda kedatangan seseorang. Lagi pula waktu perjanjiannya dua jam lagi. “Saya kirim satu jam lagi ya, Buk. Ini sudah disiapkan makanannya.”“Cepetan, ya. Saya pesen banyak, loh! Jangan sampai tumpah dan rusak bentuknya.”Mirna mengangkat dagu angkuh. Katering yang hargan
Mirna semakin gelisah. Sebab beberapa hari setelah pertemuan yang gagal itu, nomor Alia tak bisa dihubungi lagi. Tangannya yang memegang ponsel bergetar. Di grup whats*pp yang dia buat khusus untuk para calon member PT. Sanjaya Emas sedang ribut sejak kemarin. Mereka memberondong Mirna dan menyuruhnya terus menghubungi Alia. Mereka sudah menduga-duga jika itu adalah penipuan, tapi Mirna masih kekeh. Perempuan cantik yang ekspresi dan senyumnya selalu terlihat profesional itu tidak mungkin menipunya. Besoknya di saat Mirna merasa Alia akan datang, atau minimal menghubunginya, yang muncul adalah Teh Desy, Teh Kokom, dan Teh Lesti.“Aduh, gimana ini, Teh Mirna. Saya sudah ditanya-tanya sama bapaknya anak-anak. Katanya mana orang yang mengaku manajer itu?” Teh Lesti mendahului, semakin menambah resah di hati Mirna. Mereka bahkan tidak protes meskipun Mirna tidak membukakan pintu lebar-lebar dan menyuruh mereka masuk. Kegelisahan di wajah mereka tercetak dengan jelas. “Ada kerabat saya
Meski Mirna percaya pada Alia, rasa takut masih menelusup diam-diam di hatinya. Bagaimana kalau Alia memang menipunya? Kepala Mirna terasa panas memikirkannya.“Teh Mirna, kita udah siap ini. Ayo!”Suara Kokom di luar rumah entah mengapa menghadirkan degup gugup di jantung Mirna. Tapi dengan cepat dia menguasai diri. Dadanya ia busungkan. Dia pandai menilai orang. Mana mungkin Alia yang terlihat baik itu menipunya! Dengan gamis berwarna hijau cerahnya, ia keluar rumah. Raut mukanya angkuh, seolah sangat yakin jika dirinya tidak salah menilai orang seperti Alia. Alia mungkin punya alasan tidak menghubunginya. Mungkin dia terkena musibah, ponselnya bisa saja hilang atau dia mengalami kecelakaan.Ia harus mengorbankan uangnya untuk membayar ongkos ojek. Lebih baik naik ojek, daripada mesti duduk semobil dengan ibu-ibu rempong yang kampungan itu!Sesampainya di jalan Gapura nomor 19, Mirna seketika menyeringai. Melihat di hadapannya toko emas bertuliskan Sanjaya Emas terpampang. Tokonya
Bagus pulang di saat gelap mendominasi langit. Bahunya tertunduk muram. Banyak pekerjaan di kantor dan ia mesti lembur beberapa hari. Ditambah Lisa tak pernah menghubunginya selama seminggu penuh. Ia mengernyit saat mendapati kondisi ruang tamu yang berantakan. Puntung rokok berhamburan di atas meja. Kenapa tidak dibereskan? Biasanya rumah selalu rapi saat Bagus pulang kerja. “Bu? Ibu?”Meskipun Bagus memanggil berulang kali, tapi tidak ada sahutan. Saat ia mengintip di dapur, tempat itu tak kalah berantakan. Cucian piring menumpuk dan bekas panci terhambur begitu saja. Bagus memutuskan masuk ke kamarnya. “Lho, kok berantakan juga?” Lemarinya terbuka dengan pakaian yang berhamburan keluar. Kasur terangkat dan bantal yang terlepas dari sarungnya. Seprei juga berantakan. Apa ada maling yang baru saja masuk?Segera Bagus keluar dan mengetuk pintu kamar Ibu. “Bu? Ibu ada di dalam?”Bukannya Ibu yang membuka kamar, malah Randy yang muncul dari balik pintu kamarnya. “Nyariin Ibu?” Bagu