Meski Mirna percaya pada Alia, rasa takut masih menelusup diam-diam di hatinya. Bagaimana kalau Alia memang menipunya? Kepala Mirna terasa panas memikirkannya.“Teh Mirna, kita udah siap ini. Ayo!”Suara Kokom di luar rumah entah mengapa menghadirkan degup gugup di jantung Mirna. Tapi dengan cepat dia menguasai diri. Dadanya ia busungkan. Dia pandai menilai orang. Mana mungkin Alia yang terlihat baik itu menipunya! Dengan gamis berwarna hijau cerahnya, ia keluar rumah. Raut mukanya angkuh, seolah sangat yakin jika dirinya tidak salah menilai orang seperti Alia. Alia mungkin punya alasan tidak menghubunginya. Mungkin dia terkena musibah, ponselnya bisa saja hilang atau dia mengalami kecelakaan.Ia harus mengorbankan uangnya untuk membayar ongkos ojek. Lebih baik naik ojek, daripada mesti duduk semobil dengan ibu-ibu rempong yang kampungan itu!Sesampainya di jalan Gapura nomor 19, Mirna seketika menyeringai. Melihat di hadapannya toko emas bertuliskan Sanjaya Emas terpampang. Tokonya
Bagus pulang di saat gelap mendominasi langit. Bahunya tertunduk muram. Banyak pekerjaan di kantor dan ia mesti lembur beberapa hari. Ditambah Lisa tak pernah menghubunginya selama seminggu penuh. Ia mengernyit saat mendapati kondisi ruang tamu yang berantakan. Puntung rokok berhamburan di atas meja. Kenapa tidak dibereskan? Biasanya rumah selalu rapi saat Bagus pulang kerja. “Bu? Ibu?”Meskipun Bagus memanggil berulang kali, tapi tidak ada sahutan. Saat ia mengintip di dapur, tempat itu tak kalah berantakan. Cucian piring menumpuk dan bekas panci terhambur begitu saja. Bagus memutuskan masuk ke kamarnya. “Lho, kok berantakan juga?” Lemarinya terbuka dengan pakaian yang berhamburan keluar. Kasur terangkat dan bantal yang terlepas dari sarungnya. Seprei juga berantakan. Apa ada maling yang baru saja masuk?Segera Bagus keluar dan mengetuk pintu kamar Ibu. “Bu? Ibu ada di dalam?”Bukannya Ibu yang membuka kamar, malah Randy yang muncul dari balik pintu kamarnya. “Nyariin Ibu?” Bagu
Bagus pusing bukan main. Kerumunan tetangga yang melakukan protes meminta ganti rugi itu berhasil ia bubarkan, tapi hanya untuk malam ini. Besok dan entah beberapa hari ke depan, mereka pasti akan kembali.Ia memijat kepalanya sambil mondar-mandir di ruang tengah di mana Mirna dan dua saudaranya yang lain duduk di sofa.“Aku sudah bilang, Ibu nggak seharusnya percaya sama orang itu! Aku lagi yang kena! Emangnya kerjaan aku gajinya berapa?! Bisa gantiin duit ratusan juta gara-gara ulah Ibu?!"“Kok nyalahin Ibu! Salahin yang nipu, dong! Ibu cuma korban kayak mereka. Ini nggak adil! Kok malah kita yang harus ganti rugi?”Randy mendengus bosan. “Ibu emang nggak pernah menyadari kesalahan, ya.”“Diam kamu!” Mirna kembali memusatkan perhatian pada Bagus setelah menyemprot Randy. “Ibu nggak mau masuk penjara, Gus. Usahain, dong! Tuntut balik mereka kalau perlu. Enak aja minta ganti rugi! Mereka yang ma
Lisa sengaja berangkat pagi-pagi untuk singgah di ATM. Saat memeriksa rekeningnya, Rama sama sekali tidak membekukan atau mengosongkannya. Ia bisa bernapas lega. Sambil mendecak keberatan, dia kirimkan nominal uang yang diminta oleh Bagus. Sial! Ia hanya membutuhkan teman untuk bermain-main dan melampiaskan kesepiannya saat Rama tiada, tapi Bagus malah meminta banyak hal. Barang mahal-lah, uang bulanan-lah, sekarang sampai meminta semua utang ibunya dilunasi. Setelah ia berhasil menyingkirkan Nayna, maka Lisa juga akan melenyapkan Bagus dari hidupnya, lalu dia bisa hidup tenang bersama Rama. Lisa mendengus panjang sembari keluar dari bilik ATM sambil menelepon Bagus. “Uangnya sudah aku kirim. Setelah ini kamu fokus ke Vina. Cari dan bawa dia ke hadapan aku.”“Eh, sudah dikirim?!” Lisa memutar bola mata. Reaksi kampungan itu sangat dibencinya. “Langsung cek aja! Kerjain tugas kamu secepatnya!”Jeda yang agak panjang seolah Bagus belum sadar dari keterkejutannya. “Kamu denger aku n
Entah sudah berapa kali Nayna melatih dirinya untuk tampil sepercaya diri ini. Ia memaksakan diri, menggali semua rasa bencinya dan menghilangkan segala naluri baik yang masih tersisa dalam dirinya. Wajah yang terkejut hebat itu memberinya kepuasan. Sorot mata dingin miliknya ia pamerkan pada wanita yang pernah menjadi ibu mertuanya. Ekspresinya yang kaku dan postur tubuhnya yang pongah. Segalanya sempurna. Hari ini adalah hari yang dia tunggu-tunggu.Tatapan Nayna kian mendingin. “Maksud saya, Mantan Mertua.”“Na-Nayna?” Nayna bersedekap. Auranya mengelap, menghadirkan rasa disorientasi pada kepala Mirna. Ia membeku hebat. Sepertinya dirinya sedang berhalusinasi sampai melihat seorang perempuan maha cantik ini sebagai Nayna. Mana mungkin Nayna yang dekil dan tidak berguna itu berubah sedrastis ini?“Ya, ini Nayna.”Bagai disambar petir di siang bolong, Mirna berjengit mundur. Egonya seakan dicabik-cabik melihat menantu yang dulu sangat menurut padanya dan bisa ia jadikan sebagai p
Bagus mengernyit heran saat tiba-tiba Ibu meneleponnya dan berteriak panik. Untung saja rapatnya ditunda satu jam lagi. Kalau tidak, ia akan sangat malu di ruang rapat. “Kenapa, sih, Bu? Aku lagi kerja, nih.”“Cepat pulang! Di rumah ada Nayna yang mau merampok semua barang-barang kita. Tanah dan rumah juga mau direbut!”“Apa?” Bagus bungkam seketika. Hal gila apa lagi yang dilakukan Nayna?“Cepat! Dia bawa preman!”Secepat kilat sebelum telepon itu terputus, Bagus segera menyambar tasnya dan keluar buru-buru. Belum cukup menghancurkan barang-barang di rumah, sekarang Nayna membawa preman untuk merebut hartanya? Untuk apa? Karena tidak diberi harta gono gini? Cih, memangnya Nayna pantas diberi harta gono gini?!Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah. Bagus lebih heran lagi ketika bagian depan rumahnya dikelilingi para tetangga yang melongokkan kepala ke teras. Kenapa jadi ramai begini? Mereka menunjuk-nunjuk ke arah rumah dengan bibir julid sambil berbisik di mana suara mereka bis
Nayna menggigit bibir. Menahan gulungan sesak yang menyerbu dadanya. Hatinya benar-benar sudah mati. Tak ada rasa kasihan, tak pula sedikit pun kebaikan yang tersisa saat ia menyaksikan Bagus tengah dihajar habis-habisan oleh kedua pengawalnya. Yang ada hanya gelombang kebencian. Ia ingin Bagus lebih menderita dari itu. Dia menginginkan Bagus sekarat di hadapannya. Lelaki itu menjerit meminta pengampunan, tapi Nayna tetap bungkam. Menikmati penderitaan Bagus lebih lama lagi. “Cukup.” Satu kata itu mampu membuat bogeman-bogeman keras yang memberondong tubuh Bagus berhenti. Dua pengawal itu menyingkir, membiarkan Nayna mendekat ke arah Bagus. Mereka beralih menghadang Mirna yang masih menjerit histeris mencoba menghampiri Bagus. Dipandangnya lelaki yang kini babak belur itu dari atas. Menyaksikan wajahnya yang bonyok dan pandangannya yang tidak fokus. “Aku akan segera mengirimkan surat cerai resmi.” Ia berjongkok lalu memasang kacamata hitamnya. Disentaknya dagu Bagus dan ia paksa
“Harusnya kamu menelepon saya. Ayo masuk.” Senyum itu ramah seperti biasanya, seolah lelaki ini tak punya beban sedikit pun. “Nggak enak sama pelanggan lain. Saya bisa menunggu.” Nayna memandang deretan pengunjung yang menunggu di luar restoran.“Kamu bukan pelanggan, tapi tamu saya. Memang nggak ada meja dan ruangan yang kosong, kita bisa makan di ruangan saya. Biar saya yang traktir.”Dengan senyum yang kian mengembang, Rama melangkah memasuki restorannya, menengok sekilas untuk memastikan Nayna mengikutinya. Membelah hiruk pikuk restoran sampai tiba di depan ruangannya di lantai dua.“Eva, tolong siapkan makanan ke ruangan saya, ya. Paket steak lengkap.” Seorang waitress mengangguk di tengah tugasnya yang mondar-mandir dari satu meja ke lainnya. Rama membuka pintu ruangannya. “Maaf, masih berantakan.” Dokumen, buku, dan lembaran-lembaran grafik, serta laptop dan iPad berserakan di atas meja Rama. Seolah sudah menjadi kebiasaan, Nayna melewati Rama dan membereskan meja lelaki it