Entah sudah berapa kali Nayna melatih dirinya untuk tampil sepercaya diri ini. Ia memaksakan diri, menggali semua rasa bencinya dan menghilangkan segala naluri baik yang masih tersisa dalam dirinya. Wajah yang terkejut hebat itu memberinya kepuasan. Sorot mata dingin miliknya ia pamerkan pada wanita yang pernah menjadi ibu mertuanya. Ekspresinya yang kaku dan postur tubuhnya yang pongah. Segalanya sempurna. Hari ini adalah hari yang dia tunggu-tunggu.Tatapan Nayna kian mendingin. “Maksud saya, Mantan Mertua.”“Na-Nayna?” Nayna bersedekap. Auranya mengelap, menghadirkan rasa disorientasi pada kepala Mirna. Ia membeku hebat. Sepertinya dirinya sedang berhalusinasi sampai melihat seorang perempuan maha cantik ini sebagai Nayna. Mana mungkin Nayna yang dekil dan tidak berguna itu berubah sedrastis ini?“Ya, ini Nayna.”Bagai disambar petir di siang bolong, Mirna berjengit mundur. Egonya seakan dicabik-cabik melihat menantu yang dulu sangat menurut padanya dan bisa ia jadikan sebagai p
Bagus mengernyit heran saat tiba-tiba Ibu meneleponnya dan berteriak panik. Untung saja rapatnya ditunda satu jam lagi. Kalau tidak, ia akan sangat malu di ruang rapat. “Kenapa, sih, Bu? Aku lagi kerja, nih.”“Cepat pulang! Di rumah ada Nayna yang mau merampok semua barang-barang kita. Tanah dan rumah juga mau direbut!”“Apa?” Bagus bungkam seketika. Hal gila apa lagi yang dilakukan Nayna?“Cepat! Dia bawa preman!”Secepat kilat sebelum telepon itu terputus, Bagus segera menyambar tasnya dan keluar buru-buru. Belum cukup menghancurkan barang-barang di rumah, sekarang Nayna membawa preman untuk merebut hartanya? Untuk apa? Karena tidak diberi harta gono gini? Cih, memangnya Nayna pantas diberi harta gono gini?!Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah. Bagus lebih heran lagi ketika bagian depan rumahnya dikelilingi para tetangga yang melongokkan kepala ke teras. Kenapa jadi ramai begini? Mereka menunjuk-nunjuk ke arah rumah dengan bibir julid sambil berbisik di mana suara mereka bis
Nayna menggigit bibir. Menahan gulungan sesak yang menyerbu dadanya. Hatinya benar-benar sudah mati. Tak ada rasa kasihan, tak pula sedikit pun kebaikan yang tersisa saat ia menyaksikan Bagus tengah dihajar habis-habisan oleh kedua pengawalnya. Yang ada hanya gelombang kebencian. Ia ingin Bagus lebih menderita dari itu. Dia menginginkan Bagus sekarat di hadapannya. Lelaki itu menjerit meminta pengampunan, tapi Nayna tetap bungkam. Menikmati penderitaan Bagus lebih lama lagi. “Cukup.” Satu kata itu mampu membuat bogeman-bogeman keras yang memberondong tubuh Bagus berhenti. Dua pengawal itu menyingkir, membiarkan Nayna mendekat ke arah Bagus. Mereka beralih menghadang Mirna yang masih menjerit histeris mencoba menghampiri Bagus. Dipandangnya lelaki yang kini babak belur itu dari atas. Menyaksikan wajahnya yang bonyok dan pandangannya yang tidak fokus. “Aku akan segera mengirimkan surat cerai resmi.” Ia berjongkok lalu memasang kacamata hitamnya. Disentaknya dagu Bagus dan ia paksa
“Harusnya kamu menelepon saya. Ayo masuk.” Senyum itu ramah seperti biasanya, seolah lelaki ini tak punya beban sedikit pun. “Nggak enak sama pelanggan lain. Saya bisa menunggu.” Nayna memandang deretan pengunjung yang menunggu di luar restoran.“Kamu bukan pelanggan, tapi tamu saya. Memang nggak ada meja dan ruangan yang kosong, kita bisa makan di ruangan saya. Biar saya yang traktir.”Dengan senyum yang kian mengembang, Rama melangkah memasuki restorannya, menengok sekilas untuk memastikan Nayna mengikutinya. Membelah hiruk pikuk restoran sampai tiba di depan ruangannya di lantai dua.“Eva, tolong siapkan makanan ke ruangan saya, ya. Paket steak lengkap.” Seorang waitress mengangguk di tengah tugasnya yang mondar-mandir dari satu meja ke lainnya. Rama membuka pintu ruangannya. “Maaf, masih berantakan.” Dokumen, buku, dan lembaran-lembaran grafik, serta laptop dan iPad berserakan di atas meja Rama. Seolah sudah menjadi kebiasaan, Nayna melewati Rama dan membereskan meja lelaki it
Satu minggu berlalu dengan cepat. Nayna bolak-balik ke rumah mantan mertua yang sekarang menjadi rumahnya. Semua barang mereka yang tertinggal ia buang di depan rumah. Rumah itu menjadi kosong melompong. Nayna hendak merenovasi dan mengubahnya menjadi rumah dengan nuansa yang berbeda. Ia tak ingin ada jejak keluarga Bagus di sini. Pengawal yang dia sewa masih berjaga di depan pintu. Ia baru sadar jika dirinya menghabiskan banyak uang untuk membalaskan dendamnya. Semua aset yang dimiliki orang tuanya telah Nayna jual. Saat Nayna berdiri di ambang pintu, Bagus dengan wajah babak belurnya tertangkap oleh mata Nayna. Lelaki itu berdiri di tepi jalan sambil menatap penuh dendam ke arahnya Nayna menghampiri dengan pandangan angkuhnya sembari melipat tangan di depan dada. “Mau apa?” Nada suaranya seperti sedang bertanya pada pengemis yang nekat hendak memasuki rumah orang. “Aku yang harusnya bertanya. Apa mau kamu? Kenapa kamu melakukan semua ini?” Nayna mendengus. Dalam hati benar-
Bagus menunggu kesempatan untuk mendekati Vina. Wanita seumuran Nayna itu menunduk di jendela mobil sambil mengatakan sesuatu pada pria di dalamnya. Sekarang tamat riwayat lo!Segera setelah mobil itu meluncur pergi, Bagus melangkah lebar menghampiri Vina tepat sebelum wanita itu berbalik. Dihantamnya tengkuk Vina dengan keras hingga tubuhnya melemas sampai akhirnya tidak sadarkan diri.Bagus tersenyum jumawa. Ia bisa membawa Vina ke hadapan Lisa dengan lancar. Dipapahnya wanita itu sambil menunggu taksi. Tak akan ada yang menyadari, palingan mereka hanya mengira Vina sedang mabuk. “Mati kamu, Nayna. Aku akan membalas semua perbuatan kamu!”Bagus menyetop taksi yang datang lima menit kemudian, berusaha memapah Vina menaiki taksi, bersikap seolah perempuan itu adalah kekasihnya yang sedang mabuk saat sopir taksi melirik mereka lewat kaca spion tengah. Dia harus mengabari Lisa. Jantung Bagus meledak antusias. Sayangnya dia tidak bisa menelepon Lisa karena ucapannya pasti akan didenga
Nayna menelusuri setiap rumah yang ada di Jalan Mentari Menari. Ternyata nomor tujuh adalah rumah bekas yang letaknya cukup jauh dari rumah yang lain. Sekelilingnya hanya dipenuhi hutan kecil sehingga meskipun Vina berteriak dari dalam, tak akan ada yang mendengarnya. Sepertinya rumah ini diasingkan atau disebut sebagai rumah angker sampai tak ada orang lain yang mau membangun rumah di sekitarnya.Ia tak akan memaafkan dirinya jika Vina sampai terluka. Ini semua adalah salahnya. Tak masalah jika dia yang mesti berkorban nyawa sekalipun, tapi tidak dengan orang yang dia sayangi. Vina adalah satu-satunya keluarga yang Nayna miliki. Jika Vina sampai celaka, maka Nayna akan hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang tersisa.Ia membuka pintu yang hampir lapuk itu. Bunyi geretan panjang yang menggesek lantai terdengar memekakkan telinga, sekaligus mengikis seluruh keberaniannya. Nayna sangat takut. Ia tak mau kejadian di UGD kembali terulang ketika ia hanya mampu memeluk jenazah dari
Vina gemetar tak terkendali. Perintah itu sangat kejam sampai ia tak mampu berkedip ketika dua preman dengan celana jeans bolong-bolong itu mendekat. Pintu ditutup, Lisa mulai keluar dari ruangan bersama Bagus. Senyumnya merebak sambil mengipaskan surat-surat tanah dan rumah itu ke wajahnya.“Jangan mendekat!” Vina mulai waspada saat salah seorang yang tidak dia ketahui namanya, berambut gimbal dan panjang dengan kumis tebal serta mata melotot mencengkeram pergelangan tangan Nayna. “Jangan sentuh sahabat gue!” Sekuat tenaga Vina berusaha melepaskan cengkeraman itu ketika Nayna mulai meringis saat didorong memepet ke pintu.“Diam lo!” Satu orang lagi mendorong bahu Vina lalu bergabung untuk menyentuh Nayna. Jantung Vina berhenti berdetak. Tubuh Nayna dihempaskan ke dinding dengan benturan keras. Kakinya yang berdarah diinjak tanpa ampun. Si gimbal gondrong mulai mendekatkan wajahnya hendak mencium Nayna.Vina tak memikirkan apa pun ketika ia melempar kursi ke arah mereka. “Jangan sen