Satu minggu berlalu dengan sangat lambat. Jantung Mirna berdebum-debum menanti hari ini tiba. Sebentar lagi mereka akan berkumpul di rumahnya untuk menghadiri pertemuan dengan Alia. Dia pasti akan dipuji-puji di depan ibu-ibu lain. Mirna berdandan serapi mungkin, memakai minyak wangi yang mahal dan gamis baru yang berkibar. Dia juga menukar emas ibu Nayna yang bentuknya kuno dengan gelang baru yang siap dia pamerkan di depan semua orang. Dirinya pasti akan dikagumi. Lemak Mirna bergoyang-goyang seiring langkahnya meninggalkan kamar. Ponsel terpasang di telinganya. “Halo~ iya, makanannya kapan sampai? Jangan lama, saya ada tamu penting, nih.”Ia berkacak pinggang sambil melongokkan kepala ke jendela. Belum ada tanda-tanda kedatangan seseorang. Lagi pula waktu perjanjiannya dua jam lagi. “Saya kirim satu jam lagi ya, Buk. Ini sudah disiapkan makanannya.”“Cepetan, ya. Saya pesen banyak, loh! Jangan sampai tumpah dan rusak bentuknya.”Mirna mengangkat dagu angkuh. Katering yang hargan
Mirna semakin gelisah. Sebab beberapa hari setelah pertemuan yang gagal itu, nomor Alia tak bisa dihubungi lagi. Tangannya yang memegang ponsel bergetar. Di grup whats*pp yang dia buat khusus untuk para calon member PT. Sanjaya Emas sedang ribut sejak kemarin. Mereka memberondong Mirna dan menyuruhnya terus menghubungi Alia. Mereka sudah menduga-duga jika itu adalah penipuan, tapi Mirna masih kekeh. Perempuan cantik yang ekspresi dan senyumnya selalu terlihat profesional itu tidak mungkin menipunya. Besoknya di saat Mirna merasa Alia akan datang, atau minimal menghubunginya, yang muncul adalah Teh Desy, Teh Kokom, dan Teh Lesti.“Aduh, gimana ini, Teh Mirna. Saya sudah ditanya-tanya sama bapaknya anak-anak. Katanya mana orang yang mengaku manajer itu?” Teh Lesti mendahului, semakin menambah resah di hati Mirna. Mereka bahkan tidak protes meskipun Mirna tidak membukakan pintu lebar-lebar dan menyuruh mereka masuk. Kegelisahan di wajah mereka tercetak dengan jelas. “Ada kerabat saya
Meski Mirna percaya pada Alia, rasa takut masih menelusup diam-diam di hatinya. Bagaimana kalau Alia memang menipunya? Kepala Mirna terasa panas memikirkannya.“Teh Mirna, kita udah siap ini. Ayo!”Suara Kokom di luar rumah entah mengapa menghadirkan degup gugup di jantung Mirna. Tapi dengan cepat dia menguasai diri. Dadanya ia busungkan. Dia pandai menilai orang. Mana mungkin Alia yang terlihat baik itu menipunya! Dengan gamis berwarna hijau cerahnya, ia keluar rumah. Raut mukanya angkuh, seolah sangat yakin jika dirinya tidak salah menilai orang seperti Alia. Alia mungkin punya alasan tidak menghubunginya. Mungkin dia terkena musibah, ponselnya bisa saja hilang atau dia mengalami kecelakaan.Ia harus mengorbankan uangnya untuk membayar ongkos ojek. Lebih baik naik ojek, daripada mesti duduk semobil dengan ibu-ibu rempong yang kampungan itu!Sesampainya di jalan Gapura nomor 19, Mirna seketika menyeringai. Melihat di hadapannya toko emas bertuliskan Sanjaya Emas terpampang. Tokonya
Bagus pulang di saat gelap mendominasi langit. Bahunya tertunduk muram. Banyak pekerjaan di kantor dan ia mesti lembur beberapa hari. Ditambah Lisa tak pernah menghubunginya selama seminggu penuh. Ia mengernyit saat mendapati kondisi ruang tamu yang berantakan. Puntung rokok berhamburan di atas meja. Kenapa tidak dibereskan? Biasanya rumah selalu rapi saat Bagus pulang kerja. “Bu? Ibu?”Meskipun Bagus memanggil berulang kali, tapi tidak ada sahutan. Saat ia mengintip di dapur, tempat itu tak kalah berantakan. Cucian piring menumpuk dan bekas panci terhambur begitu saja. Bagus memutuskan masuk ke kamarnya. “Lho, kok berantakan juga?” Lemarinya terbuka dengan pakaian yang berhamburan keluar. Kasur terangkat dan bantal yang terlepas dari sarungnya. Seprei juga berantakan. Apa ada maling yang baru saja masuk?Segera Bagus keluar dan mengetuk pintu kamar Ibu. “Bu? Ibu ada di dalam?”Bukannya Ibu yang membuka kamar, malah Randy yang muncul dari balik pintu kamarnya. “Nyariin Ibu?” Bagu
Bagus pusing bukan main. Kerumunan tetangga yang melakukan protes meminta ganti rugi itu berhasil ia bubarkan, tapi hanya untuk malam ini. Besok dan entah beberapa hari ke depan, mereka pasti akan kembali.Ia memijat kepalanya sambil mondar-mandir di ruang tengah di mana Mirna dan dua saudaranya yang lain duduk di sofa.“Aku sudah bilang, Ibu nggak seharusnya percaya sama orang itu! Aku lagi yang kena! Emangnya kerjaan aku gajinya berapa?! Bisa gantiin duit ratusan juta gara-gara ulah Ibu?!"“Kok nyalahin Ibu! Salahin yang nipu, dong! Ibu cuma korban kayak mereka. Ini nggak adil! Kok malah kita yang harus ganti rugi?”Randy mendengus bosan. “Ibu emang nggak pernah menyadari kesalahan, ya.”“Diam kamu!” Mirna kembali memusatkan perhatian pada Bagus setelah menyemprot Randy. “Ibu nggak mau masuk penjara, Gus. Usahain, dong! Tuntut balik mereka kalau perlu. Enak aja minta ganti rugi! Mereka yang ma
Lisa sengaja berangkat pagi-pagi untuk singgah di ATM. Saat memeriksa rekeningnya, Rama sama sekali tidak membekukan atau mengosongkannya. Ia bisa bernapas lega. Sambil mendecak keberatan, dia kirimkan nominal uang yang diminta oleh Bagus. Sial! Ia hanya membutuhkan teman untuk bermain-main dan melampiaskan kesepiannya saat Rama tiada, tapi Bagus malah meminta banyak hal. Barang mahal-lah, uang bulanan-lah, sekarang sampai meminta semua utang ibunya dilunasi. Setelah ia berhasil menyingkirkan Nayna, maka Lisa juga akan melenyapkan Bagus dari hidupnya, lalu dia bisa hidup tenang bersama Rama. Lisa mendengus panjang sembari keluar dari bilik ATM sambil menelepon Bagus. “Uangnya sudah aku kirim. Setelah ini kamu fokus ke Vina. Cari dan bawa dia ke hadapan aku.”“Eh, sudah dikirim?!” Lisa memutar bola mata. Reaksi kampungan itu sangat dibencinya. “Langsung cek aja! Kerjain tugas kamu secepatnya!”Jeda yang agak panjang seolah Bagus belum sadar dari keterkejutannya. “Kamu denger aku n
Entah sudah berapa kali Nayna melatih dirinya untuk tampil sepercaya diri ini. Ia memaksakan diri, menggali semua rasa bencinya dan menghilangkan segala naluri baik yang masih tersisa dalam dirinya. Wajah yang terkejut hebat itu memberinya kepuasan. Sorot mata dingin miliknya ia pamerkan pada wanita yang pernah menjadi ibu mertuanya. Ekspresinya yang kaku dan postur tubuhnya yang pongah. Segalanya sempurna. Hari ini adalah hari yang dia tunggu-tunggu.Tatapan Nayna kian mendingin. “Maksud saya, Mantan Mertua.”“Na-Nayna?” Nayna bersedekap. Auranya mengelap, menghadirkan rasa disorientasi pada kepala Mirna. Ia membeku hebat. Sepertinya dirinya sedang berhalusinasi sampai melihat seorang perempuan maha cantik ini sebagai Nayna. Mana mungkin Nayna yang dekil dan tidak berguna itu berubah sedrastis ini?“Ya, ini Nayna.”Bagai disambar petir di siang bolong, Mirna berjengit mundur. Egonya seakan dicabik-cabik melihat menantu yang dulu sangat menurut padanya dan bisa ia jadikan sebagai p
Bagus mengernyit heran saat tiba-tiba Ibu meneleponnya dan berteriak panik. Untung saja rapatnya ditunda satu jam lagi. Kalau tidak, ia akan sangat malu di ruang rapat. “Kenapa, sih, Bu? Aku lagi kerja, nih.”“Cepat pulang! Di rumah ada Nayna yang mau merampok semua barang-barang kita. Tanah dan rumah juga mau direbut!”“Apa?” Bagus bungkam seketika. Hal gila apa lagi yang dilakukan Nayna?“Cepat! Dia bawa preman!”Secepat kilat sebelum telepon itu terputus, Bagus segera menyambar tasnya dan keluar buru-buru. Belum cukup menghancurkan barang-barang di rumah, sekarang Nayna membawa preman untuk merebut hartanya? Untuk apa? Karena tidak diberi harta gono gini? Cih, memangnya Nayna pantas diberi harta gono gini?!Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah. Bagus lebih heran lagi ketika bagian depan rumahnya dikelilingi para tetangga yang melongokkan kepala ke teras. Kenapa jadi ramai begini? Mereka menunjuk-nunjuk ke arah rumah dengan bibir julid sambil berbisik di mana suara mereka bis