Mirna menanti kedatangan Alia dengan hati riang gembira. Baginya Alia adalah penyelamat yang akan membuatnya menjadi konglomerat. Di meja ruang tamu, ia sudah menyiapkan banyak makanan untuk menjamu Alia. Dia beli dari beberapa tempat. Ada banyak kue mahal yang akan dia bungkuskan untuk Alia nanti. Alia pasti akan tersanjung dengan kebaikannya lalu mengelu-elukan nama Mirna di depan sang CEO. Bukan tidak mungkin dirinya akan diangkat menjadi salah satu staf PT. Sanjaya emas dan perlahan akan naik jabatan hingga akhirnya menjadi sejajar dengan posisi Alia. Mirna mengibas-ibaskan tangan ke depan wajah sambil mengedipkan mata berulang kali. Dia juga akan terlihat cantik seperti Alia. Akan dia rawat seluruh badannya agar tak ada lagi mulut-mulut nyinyir yang menjulidinya setiap hari.Cantik, kaya, dan punya posisi tinggi kini menjadi impian Mirna.Pintu rumah terketuk dengan irama yang pelan. Mirna sudah tahu siapa yang datang. Segera ia mengangkat ujung dasternya dan melesat membuka pi
Alia langsung melempar sepatunya ketika tiba di kamar kos Vina. Harus bersandiwara dan menampilkan senyum sok profesional ala wanita karir lebih melelahkan ketimbang melayani pria hidung belang semalaman. Bibirnya kebas dan giginya kering. Lebih mudah tersenyum genit daripada tersenyum ramah seperti itu.Vina yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menyerbunya. “Gimana? Berhasil, kan?”Alia mengembus napas bosan. “Ya iyalah, ngapain gue pulang cepet kalau gagal?” Dilemparnya kantong hitam itu ke arah Vina. “Nih, uang lo.”Vina menangkapnya dengan dada berdebar antusias. Diintipnya isi kantong itu. Isinya uang dan emas. “Berapa totalnya?”“Sembilan kali 12 juta. Ditambah emas yang harganya setara tiga dikali 12 juta. Yah, sekitar 140-an, ditambah dengan uang pendaftaran Mirna yang kemarin, jadinya 150 juta lebih.” Alia merebahkan diri ke kasur Vina. “Yang dari Mirna buat elo aja.”Alia langsung bangun kembali. “Seriusan lo? Sebanyak itu?”“Iya, itu khusus buat lo. Tapi, dalam
Satu minggu berlalu dengan sangat lambat. Jantung Mirna berdebum-debum menanti hari ini tiba. Sebentar lagi mereka akan berkumpul di rumahnya untuk menghadiri pertemuan dengan Alia. Dia pasti akan dipuji-puji di depan ibu-ibu lain. Mirna berdandan serapi mungkin, memakai minyak wangi yang mahal dan gamis baru yang berkibar. Dia juga menukar emas ibu Nayna yang bentuknya kuno dengan gelang baru yang siap dia pamerkan di depan semua orang. Dirinya pasti akan dikagumi. Lemak Mirna bergoyang-goyang seiring langkahnya meninggalkan kamar. Ponsel terpasang di telinganya. “Halo~ iya, makanannya kapan sampai? Jangan lama, saya ada tamu penting, nih.”Ia berkacak pinggang sambil melongokkan kepala ke jendela. Belum ada tanda-tanda kedatangan seseorang. Lagi pula waktu perjanjiannya dua jam lagi. “Saya kirim satu jam lagi ya, Buk. Ini sudah disiapkan makanannya.”“Cepetan, ya. Saya pesen banyak, loh! Jangan sampai tumpah dan rusak bentuknya.”Mirna mengangkat dagu angkuh. Katering yang hargan
Mirna semakin gelisah. Sebab beberapa hari setelah pertemuan yang gagal itu, nomor Alia tak bisa dihubungi lagi. Tangannya yang memegang ponsel bergetar. Di grup whats*pp yang dia buat khusus untuk para calon member PT. Sanjaya Emas sedang ribut sejak kemarin. Mereka memberondong Mirna dan menyuruhnya terus menghubungi Alia. Mereka sudah menduga-duga jika itu adalah penipuan, tapi Mirna masih kekeh. Perempuan cantik yang ekspresi dan senyumnya selalu terlihat profesional itu tidak mungkin menipunya. Besoknya di saat Mirna merasa Alia akan datang, atau minimal menghubunginya, yang muncul adalah Teh Desy, Teh Kokom, dan Teh Lesti.“Aduh, gimana ini, Teh Mirna. Saya sudah ditanya-tanya sama bapaknya anak-anak. Katanya mana orang yang mengaku manajer itu?” Teh Lesti mendahului, semakin menambah resah di hati Mirna. Mereka bahkan tidak protes meskipun Mirna tidak membukakan pintu lebar-lebar dan menyuruh mereka masuk. Kegelisahan di wajah mereka tercetak dengan jelas. “Ada kerabat saya
Meski Mirna percaya pada Alia, rasa takut masih menelusup diam-diam di hatinya. Bagaimana kalau Alia memang menipunya? Kepala Mirna terasa panas memikirkannya.“Teh Mirna, kita udah siap ini. Ayo!”Suara Kokom di luar rumah entah mengapa menghadirkan degup gugup di jantung Mirna. Tapi dengan cepat dia menguasai diri. Dadanya ia busungkan. Dia pandai menilai orang. Mana mungkin Alia yang terlihat baik itu menipunya! Dengan gamis berwarna hijau cerahnya, ia keluar rumah. Raut mukanya angkuh, seolah sangat yakin jika dirinya tidak salah menilai orang seperti Alia. Alia mungkin punya alasan tidak menghubunginya. Mungkin dia terkena musibah, ponselnya bisa saja hilang atau dia mengalami kecelakaan.Ia harus mengorbankan uangnya untuk membayar ongkos ojek. Lebih baik naik ojek, daripada mesti duduk semobil dengan ibu-ibu rempong yang kampungan itu!Sesampainya di jalan Gapura nomor 19, Mirna seketika menyeringai. Melihat di hadapannya toko emas bertuliskan Sanjaya Emas terpampang. Tokonya
Bagus pulang di saat gelap mendominasi langit. Bahunya tertunduk muram. Banyak pekerjaan di kantor dan ia mesti lembur beberapa hari. Ditambah Lisa tak pernah menghubunginya selama seminggu penuh. Ia mengernyit saat mendapati kondisi ruang tamu yang berantakan. Puntung rokok berhamburan di atas meja. Kenapa tidak dibereskan? Biasanya rumah selalu rapi saat Bagus pulang kerja. “Bu? Ibu?”Meskipun Bagus memanggil berulang kali, tapi tidak ada sahutan. Saat ia mengintip di dapur, tempat itu tak kalah berantakan. Cucian piring menumpuk dan bekas panci terhambur begitu saja. Bagus memutuskan masuk ke kamarnya. “Lho, kok berantakan juga?” Lemarinya terbuka dengan pakaian yang berhamburan keluar. Kasur terangkat dan bantal yang terlepas dari sarungnya. Seprei juga berantakan. Apa ada maling yang baru saja masuk?Segera Bagus keluar dan mengetuk pintu kamar Ibu. “Bu? Ibu ada di dalam?”Bukannya Ibu yang membuka kamar, malah Randy yang muncul dari balik pintu kamarnya. “Nyariin Ibu?” Bagu
Bagus pusing bukan main. Kerumunan tetangga yang melakukan protes meminta ganti rugi itu berhasil ia bubarkan, tapi hanya untuk malam ini. Besok dan entah beberapa hari ke depan, mereka pasti akan kembali.Ia memijat kepalanya sambil mondar-mandir di ruang tengah di mana Mirna dan dua saudaranya yang lain duduk di sofa.“Aku sudah bilang, Ibu nggak seharusnya percaya sama orang itu! Aku lagi yang kena! Emangnya kerjaan aku gajinya berapa?! Bisa gantiin duit ratusan juta gara-gara ulah Ibu?!"“Kok nyalahin Ibu! Salahin yang nipu, dong! Ibu cuma korban kayak mereka. Ini nggak adil! Kok malah kita yang harus ganti rugi?”Randy mendengus bosan. “Ibu emang nggak pernah menyadari kesalahan, ya.”“Diam kamu!” Mirna kembali memusatkan perhatian pada Bagus setelah menyemprot Randy. “Ibu nggak mau masuk penjara, Gus. Usahain, dong! Tuntut balik mereka kalau perlu. Enak aja minta ganti rugi! Mereka yang ma
Lisa sengaja berangkat pagi-pagi untuk singgah di ATM. Saat memeriksa rekeningnya, Rama sama sekali tidak membekukan atau mengosongkannya. Ia bisa bernapas lega. Sambil mendecak keberatan, dia kirimkan nominal uang yang diminta oleh Bagus. Sial! Ia hanya membutuhkan teman untuk bermain-main dan melampiaskan kesepiannya saat Rama tiada, tapi Bagus malah meminta banyak hal. Barang mahal-lah, uang bulanan-lah, sekarang sampai meminta semua utang ibunya dilunasi. Setelah ia berhasil menyingkirkan Nayna, maka Lisa juga akan melenyapkan Bagus dari hidupnya, lalu dia bisa hidup tenang bersama Rama. Lisa mendengus panjang sembari keluar dari bilik ATM sambil menelepon Bagus. “Uangnya sudah aku kirim. Setelah ini kamu fokus ke Vina. Cari dan bawa dia ke hadapan aku.”“Eh, sudah dikirim?!” Lisa memutar bola mata. Reaksi kampungan itu sangat dibencinya. “Langsung cek aja! Kerjain tugas kamu secepatnya!”Jeda yang agak panjang seolah Bagus belum sadar dari keterkejutannya. “Kamu denger aku n
EXTRA PARTTerima Kasih, Sayang. “Mereka seenaknya narik rambut dan meludahi wajah aku kalau kesel. Memangnya aku ini apa?” Bibir Lisa bergetar-getar, menahan diri untuk tak berteriak dan tetap berbisik. Sedang Bagus di sampingnya mengusap wajah frustrasi. “Aku sering ditampar di sel. Disebut tukang selingkuh dan mau ngebunuh istri. Mereka begitu karena ada beberapa yang ditangkap karena mencuri untuk ngasih makan istri dan anak.” Ini adalah ketiga kalinya mereka bertemu dalam pembinaan para napi. Napi pria dan wanita digabung dalam satu aula untuk mendengarkan bimbingan yang diadakan setiap tahun. Sudah tiga tahun berlalu dan kehidupan di dalam penjara tidak pernah baik-baik saja untuk mereka. Ada saja napi lain yang kurang ajar dan sok berkuasa. Rasanya seperti di neraka. Jika Lisa tahu kehidupan di penjara akan sesulit ini, maka ia akan menahan diri untuk tak selingkuh dengan Bagus dan memilih setia. Setidaknya biarpun sibuk, kehidupan pernikahannya bersama Rama selalu baik-bai
Satu tahun kemudian. Nayna mengerutkan kening saat Vina masuk membawa beberapa kantong besar yang entah isinya apa. Raut wajahnya terlihat antusias. Sudut bibirnya terus terangkat ketika ia mengeluarkan isi dari semua kantong yang dibawanya. Ada aneka macam kue dan makanan. Hidangan yang sangat banyak. Vina bahkan bersenandung sambil sesekali tertawa sendirian. “Abis mimpi bagus, ya, Vin?” Nayna mendekat, mengintip isi dari mangkuk-mangkuk plastik yang dikemas rapi itu. Selama dua bulan terakhir, Vina seringkali mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan mimpinya, seperti mimpi menang lotere, mimpi gendong keponakan, atau mimpi masuk surga. “Yah … bisa dibilang begitu.” Vina cengengesan. “Kali ini mau ngundang siapa lagi?” Setiap kali ia merayakan mimpinya, Vina pasti mengundang orang lain untuk berbagi. Entah itu anak yatim, para tukang ojek, tetangga, ataupun teman-teman seprofesinya dulu. “Teman lama.” Senyum Vina kian lebar dengan mata menerawang. Nayna menggulung
Pengacara Alif Trisakti yang mendampingi Nayna mengucapkan selamat kepada mereka berdua karena telah memenangkan persidangan dan kedua terdakwa sudah dihukum seberat-beratnya. Ruangan sidang itu senyap. Helaan napas yang tegang dan lega bersahut-sahutan. Nayna menatap kosong dua punggung yang melemas di depan sana setelah menerima berita hukuman mereka. Mungkin Nayna merasakan kelegaan seperti yang dirasakan Vina yang duduk di sampingnya, tapi lebih daripada itu, ada perasaan nanar yang menghinggapi. Hanya karena nafsu sesaat, kedua orang itu benar-benar hancur, orang-orang yang ada di sisi mereka, yang mencintai mereka dengan tulus juga ikut mereka hancurkan. Hanya gara-gara nafsu sesaat itu, Nayna harus hadir di tempat ini, berjalan sejauh ini, dan bertindak sebesar ini. Di sisi deretan meja yang lain, ia mendengar sesenggukan dan teriakan protes dari Mirna. Ujung jarinya menunjuk-bunjuk hakim dan berusaha menggapai Bagus. Sesekali memelototi Nayna dengan mata memerah.“Anak say
“Kamu bisa menemui pengacara bersama saya?” Rama bertanya keesokan harinya. Alih-alih menelepon, ia malah datang sendiri dengan baju rapi seolah sudah siap mengantar Nayna ke suatu tempat. Kemarin pagi setelah sarapan, Rama pulang dan tidak kembali lagi. Dia hanya meminta izin kepada Pak RT untuk menginap sampai Nayna sedikit membaik. “Hanya sekali. Setelah itu saya akan urus sisanya.” Sepertinya Rama mengerti ekspresi keberatan di wajah Nayna. “Pengacara untuk membela saya dan membuat Lisa dihukum?” Nayna mengernyit. Bukankah itu terlalu ikut campur? “Bahkan tanpa pengacara pun, Lisa dan Bagus sudah bisa dihukum.” Mata Nayna seolah bertanya, ‘lalu kenapa kamu sendiri yang menyodorkan pengacara pada saya?’ Dan Rama mengerti arti tatapan itu. “Anggaplah sebagai pembalasan dendam terakhir. Lisa akan sangat marah jika melihat saya ada di pihak kamu.” “Kamu yakin?” “Saya juga ingin sedikit memberikan pelajaran. Dia sudah mengkhianati kepercayaan saya.” Jika alasan rasional itu m
Jantung Nayna berdebar cepat. Ia terpaku di hadapan Rama tanpa mampu menjawab ajakan pria itu. Mata Rama masih memandangnya dengan tatapan sayu.“Oh, mau salat bareng? Gue ikut, ya?” sahut Vina yang baru saja keluar dari kamar mandi.Rama memberikan tiga anggukan lalu bangkit dari sofa, melewati Nayna begitu saja tanpa menunggu jawaban wanita itu. Ia berjalan menuju kamar mandi sambil menggulung lengan kemejanya. Sekarang Nayna tahu seperti apa aroma parfum pria itu. Wanginya seperti kayu manis, sepat, dan menusuk hidung, tapi berkesan dalam indra penciuman Nayna. Nayna menghela napas, duduk di sofa yang ditiduri Rama. Masih hangat dengan jejak Rama yang tertinggal. Nayna belum mengucapkan terima kasih. Setidaknya dia harus jadi orang yang tahu diri karena Rama sudah repot-repot merawatnya. Nayna masih sibuk dengan pikirannya ketika pintu kamar mandi terbuka. Rama keluar dengan wajah dan rambut yang basah. “Bisa wudhu?” Nayna tidak mengerti mengapa dia sampai menahan napas. "Bisa
Sekujur tubuh Nayna terasa remuk redam. Kelopak matanya berat untuk terbuka. Tenggorokan yang terbakar dan kepala yang pening, tapi ia tetap berusaha membuka mata.Langit-langit yang temaram menyambutnya beserta suara dengkuran halus di samping. Ia menemukan Vina yang meringkuk menghadap ke arahnya. Ah, sepertinya dia jatuh sakit dan merepotkan Vina. Padahal Vina-lah yang mesti dirawat. Samar-samar Nayna mencium aroma parfum yang tertinggal, yang akhir-akhir ini sering kali dia cium. Terendus seperti wangi Rama. Apa hanya perasaannya?Nayna memaksakan diri untuk bangun. Sepertinya dia sudah lama berbaring sebab punggungnya terasa kebas. Ia hanya ingat Vina yang menyuapinya bubur beberapa kali. Mendongak, Nayna melihat jarum pendek pada jam dinding mengarah pada angka empat. Berarti sudah Subuh. Berapa lama ia terbaring sakit?Napasnya masih sedikit berat, tak sengaja ketika ia mengembuskan napas, Nayna menemukan kakinya yang dibalut dengan perban baru dan lebih tebal. “Nay? Kamu ba
Semalaman penuh Rama hampir-hampir tidak tidur karena sibuk mengompres Nayna, memastikan handuk yang melekat di dahinya tetap terasa hangat. Nayna sangat gelisah. Ia sering merintih dan berdeham sambil memegang lehernya. Sepertinya tenggorokan wanita itu terasa sakit. Karena itu, Rama terus menyuapkan air secara berkala, sedangkan Vina dia suruh istirahat. Tidak lucu jika Nayna sembuh nanti, malah giliran Vina yang sakit. Nayna akan cemas dan merasa bersalah lagi. Rama masih berjaga di kamar Nayna, mengamati bagaimana mata yang terpejam itu sering kali mengerjap sayu. Wajah Nayna masih pucat dan bibirnya bergetar kedinginan padahal ia sudah memakai dua lapis selimut. Rama terdorong untuk menggenggam tangan wanita itu dan meniupnya. Mungkin tidak sopan, tapi rasa-rasanya ia ingin berbaring di samping Nayna dan mendekap wanita itu, menyalurkan rasa hangat dan berbagi kesakitan yang sama. Entah sejak kapan ia begitu ingin melindungi perempuan mungil yang selalu terlihat sok kuat ini.
ASeolah semua tenaga Lisa berangsur-angsur kembali. Rasa lapar dan kelelahan yang menyerangnya tergantikan dengan amarah membabi buta. “Kamu nggak lebih baik daripada aku, Mas.”Serangan telak itu menembus hati Rama. Kepalanya mendadak blank. Niatnya untuk membiarkan Lisa masuk dan berganti pakaian lenyap sudah. Rasa-rasanya ia tak sanggup melihat Lisa masuk dan mengingatkan lelaki itu pada kegagalan dan ketidakbecusannya menjadi seorang suami. “Jangan bergerak! Anda kami kepung.” Suara berat dengan nada yang tegas itu memecah suasana sunyi yang menyesakkan di antara mereka. Lisa membelalak saat melihat dua orang polisi tengah mengacungkan pistol ke arah dirinya dan Rama. Ia mundur ketakutan dan bersembunyi di balik punggung Rama.“Kamu menelepon polisi? Sialan. Harusnya aku nggak ke sini,” bisik Lisa. Sedang Rama mengernyit. Dia tidak pernah menelepon polisi.“Maaf, Pak. Saya tidak pernah melapor.” “Katanya di sini ada pencurian. Kami datang atas laporan dari penghuni rumah.” P
Waktu tiga hari ini adalah waktu yang sangat panjang dan melelahkan bagi Lisa, benar-benar seperti neraka. Setiap detik ia merasa hendak mati. Tak ada harapan dan bantuan yang datang, yang ada hanya ketakutan. Tak ada makanan, tempat tinggal, dan air. Ia mesti berjuang mati-matian untuk mendapatkan semua itu, meski dengan cara mencuri sekalipun. Di malam pertama, ia berbaring kelelahan di batang pohon pinggir jalan. Namun, tiba-tiba ia dibangunkan paksa oleh orang gila yang hendak melecehkannya. Tertawa menjijikkan sambil mengejarnya dengan penampilan kotor. “Heh, mau apa kamu! Jangan sentuh saya!” Orang gila berambut gimbal dengan gigi ompong dan wajah yang kotor itu terkekeh aneh sambil mencoba menyentuh lengan Lisa. “Pergi kamu, Gembel Sialan!”Sial! Orang gila ini tidak mau pergi. Lisa terpaksa melarikan diri, tapi orang itu tetap mengejar dengan baju compang-camping yang warnanya tidak jelas lagi. “Siapa pun tolong singkirkan orang sinting itu!” Lisa menjerit, tapi tidak ad