Hatiku sedikit merasa lega setelah mencurahkan isi hati pada Mila. Tak ada yang bisa menjadi pendengar yang baik selain dia. Dulu, ada Bude yang mengerti segala isi hati. Tapi jika Bude tahu rumah tanggaku yang tidak baik-baik saja dia akan khawatir. Setelah merasa puas bertemu Mila, aku berpamitan untuk kembali pulang. Hari pun sudah beranjak sore. Aku harus menyiapkan makanan sebelum Mas Lian pulang.“Aku balik dulu ya.”Mila membalas pelukanku, lalu kami sama-sama menaiki ojek online menuju rumah masing-masing.Tak butuh waktu lama, ojek online yang kutumpangi berhenti di depan rumah. Setelah membayar ongkos aku segera masuk rumah. Tapi aku dibuat bertanya saat ada mobil asing yang terparkir di depan rumah. Apa Mas Lian punya mobil lain, aku membatin.Pintu yang terbuka menuntun langkahku terus maju.“Assalamua-la-ikum.”Begitu terkejutnya aku dengan pemandangan di depanku.Seorang wanita yang memeluk suamiku itu, mengurai pelukannya mendengar salam dariku.Tubuhku terasa lemas, t
“Mas apa kita beneran akan pergi?” tanyaku saat Mas Lian sudah selesai makan.“Nggak.”“Jadi kamu bohong ke Mama.”“Saya akan pergi sendiri.”Mataku menyipit mendengar jawaban ambiku darinya.“Pergi sendiri?”“Selama saya di Bali kamu nginep di rumah Bude.”Hatiku mencelos.“Artinya kamu berbohong sama Mama, Mas. Lebih baik tadi kamu bilang aja kalau gak bisa pergi, alasan banyak kerjaan atau gimana gitu.”“Sama aja bohongkan, udah kamu gak usah pusing mikirin itu.”Mas Lian unjuk diri dari tempatnya. Aku menarik napas panjang. Entah sampai kapan aku punya stok kesabaran untuk menghadapi kulkas dingin itu. Kesabaran ada batasnya dan aku tak bisa menjamin akan sabar selamanya.Dari pada memikirkan Mas Lian aku memilih membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor bekas makan malamku dangannya tadi. Tentang esok biarlah semua mengalir apa adanya. Setelah menyelesaikan pekerjaan aku memilih istirahat. Gegas kaki ini melangkah ke kamar.#Paginya seperti biasa, aku menyiapkan sarapan
“Kamu bicara dengan siapa, Mas?” tanya Nadira.Lian yang berdiri di depan jendela menghadap keluar memutar badan.“Bukan siapa-siapa,” balasnya. Nadira menerka-nerka, sudah pasti suaminya itu bicara dengan gadis itu.“Kamu jangan bohong, Mas.”Merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan suami gadis itu kembali bertanya, “pasti wanita itu kan?” tebak Nadira.Bayangan sang suami yang berada di dalam dekapan wanita lain itu muncul, membuat ulu hati terasa perih.“Jangan bilang kamu akan pergi dengannya.”“Bukan urusan kamu.”Lian terlihat santai tak penuli dengan Nadira yang menahan emosi dan siap meledak kapan saja.“Aku mohon, Mas. Kali ini saja kamu dengerin aku.”Lian duduk di ranjang dengan punggung bersandar di kepala ranjang. Tangannya asik memainkan benda pipih yang ada di tangan.Nadira berjalan mendekat, lalu gadis berparas ayu itu duduk di sisi Lian.“Mas, aku paham kalau kamu belum bisa menerima aku. Tapi setidaknya kamu harus menjaga perasaanku, bukan. Jangan pikirkan p
"Jangan berharap banyak pada saya, karena saya tidak pernah menginginkan pernikahan ini sedikit pun!" ucapnya dengan tegas.Gadis yang masih menggunakan gaun pengantin itu terhenyak. Dadanya mendadak merasa nyeri. Tidak pernah menyangka jika malam yang seharusnya berlangsung romantis dan indah malah membuatnya merasa sedih dan kecewa. Merasa tidak diinginkan. Bahkan, pria yang baru saja menyandang gelar suami tadi pagi seperti enggan menyentuhnya.Nadira Kusuma Dewi, gadis yang kini genap berusia dua puluh tiga tahun. Di usianya yang terbilang masih cukup muda, ia harus menerima perjodohan oleh Pakde dan Budenya. Sebagai bentuk balas budi telah merawat Nadira sampai sekarang, gadis ayu dengan bulu mata lentik itu dengan pasrah menerima perjodohan. Dia percaya jika Pakdenya telah memilih lelaki terbaik untuknya.Ternyata, impian pernikahan bahagia itu hanyalah bayangan. Pria yang dipilih Pakde dan Budenya jauh dari suami impian. Bahkan yang lebih sakit, Nadira ditolak saat malam pertam
Nadira menatap nanar pemandangan di depannya. Sungguh indah, rumah minimalis dengan suguhan taman di depan rumah. Rumah yang akan ia tinggali mulai saat ini bersama sang suami. Lian sengaja memboyong Nadira ke rumah yang ia beli sendiri agar hubungan yang sebenarnya tidak diketahui semua orang. Nadira dibuat kagum, selera Lian tidak begitu buruk.Brakkk..Aksi pengamatan Nadira buyar saat Lian dengan sengasa menutup bagasi mobil dengan keras."Bawa koper kamu!" tunjuk Lian pada koper yang tergeletak tak jauh dari mobilnya."Tapi Mas-" Belum juga selesai bicara, Lian seenak jidat meninggalkan Nadira.Memang apa yang bisa diharapkan dari sang suami. Lian akan membawakan kopernya dengan satu tangan melingkar di pinggang, menuntun Nadira masuk rumah. Nadira menghela napas dalam, itu hanya bayangannya. Sekarang gadis dengan hijab berwarna abu muda itu harus menyeret kopernya sendiri, dan satu lagi tas ransel yang cukup besar. Berjalan sedikit kewalahan mengikuti Lian yang masuk rumah lebih
Semua berawal saat Lian baru saja pulang dari kantor. Sang mama dan papa sudah menunggu di meja makan. Hari itu Lian pulang sekitar jam delapan malam karena ada banyak berkas yang harus dicek olehnya."Halo Ma, Pa!" Sapa Lian kala memasuki dapur."Sudah pulang, Sayang." Mama Rena mengusap kepala Lian dengan lembut. Lantas Lian mencium pipi Mamanya."Lian capek banget," Keluh pria itu setelah menyalami tangan mama dan papanya."Kamu mandi dulu. Setelah itu kita makan bersama."Lian menuruti titah sang Mama. Pria itu berjalan ke arah kamar untuk membersihkan diri dan melepas penat sejenak."Mama takut Lian tidak mau, Pa." Mama Rena bertanya pada sang suami."Mama tenang saja. Lian tidak bisa menolak kali ini."Ada rasa khawatir di dalam hati Mama Rena. Selama ini Lian selalu memutuskan segalanya sendiri. Dan kini mereka mengambil alih keputusan untuk pria dewasa itu. Bukan tanpa sebab, melainkan hanya ingin yang terbaik bagi putra semata wayangnya itu."Papa yakin?" Tanya Mama Rena ragu
Suasana hati Lian sangat bagus. Hari ini ia akan memperkenalkan kekasih hatinya pada sang Mama. Wanita cantik dengan dress selutut itu sudah duduk di samping kemudi.Tersenyum kearah Lian dengan sangat manis.“Aku gugup, Sayang.”Tangan Amelia melingkar ke bahu Lian.“Jangan khawatir Sayang. Mamaku orang terbaik di dunia, kamu akan beruntung memiliki mertua sepertinya.”Amelia menanggapi hal tersebut dengan anggukan kepala. semoga saja yang dikatakan Lian itu benar. Karena selama ini Amelia selalu mendengar jika kebanyakan mertua itu jahat.Beberapa menit kemudian sepasang kekasih yang saling mencintai itu sampai di kediaman Lian. Lian dengan romantis membukakan pintu untuk sang pujaan hati.“Makasih Sayang.”Lian menggandeng tangan Amelia dengan mesra memasuki rumah.“Maa!” suara Lian menggema di rumah besar dan megah.“Aku ada kejutan buat Mama!”Amelia mengamati Lian yang begitu antusias. Ada rasa haru, bangga, dan senang menyelinap di dalam hati. Bersama Lian ia selalu merasa spes
Pagi seperti biasanya Nadira bangun saat qiraah dari toa masjid terdengar. Gadis itu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dua puluh menit kemudian Nadira sudah siap untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Karena tidak mendapati tanda-tanda kehidupan Nadira beranjak ke kamar Lian."Mas Lian!"Nadira mengetuk beberapa kali pintu kayu di depannya. Tapi, tak membuahkan hasil sama sekali. Meskipun gamang dia memutuskan untuk memutar knop pintu. Pintu terbuka, terlihat Lian yang masih tertidur pulas di tempatnya."Mas Lian, bangun!" Panggil Nadira, gadis itu berdiri di sisi ranjang. Tak berniat menyentuh Lian karena sudah mempunyai wudu."Mas Lian, udah subuh. Shalat yuk!" Ajak Nadira tak pantang menyerah.Mendengar namanya dipanggil berkali-kali akhirnya Lian bangun. Ia merasa kesal karena tidurnya terganggu."Apaan sih, masih pagi juga." Ketus Lian setelah mengumpulkan nyawanya."Sudah subuh, Mas. Ayo shalat," Ucap Nadira lembut dengan senyum manisnya."Shalat aja