Pagi seperti biasanya Nadira bangun saat qiraah dari toa masjid terdengar. Gadis itu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dua puluh menit kemudian Nadira sudah siap untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Karena tidak mendapati tanda-tanda kehidupan Nadira beranjak ke kamar Lian.
"Mas Lian!"
Nadira mengetuk beberapa kali pintu kayu di depannya. Tapi, tak membuahkan hasil sama sekali. Meskipun gamang dia memutuskan untuk memutar knop pintu. Pintu terbuka, terlihat Lian yang masih tertidur pulas di tempatnya.
"Mas Lian, bangun!" Panggil Nadira, gadis itu berdiri di sisi ranjang. Tak berniat menyentuh Lian karena sudah mempunyai wudu.
"Mas Lian, udah subuh. Shalat yuk!" Ajak Nadira tak pantang menyerah.
Mendengar namanya dipanggil berkali-kali akhirnya Lian bangun. Ia merasa kesal karena tidurnya terganggu.
"Apaan sih, masih pagi juga." Ketus Lian setelah mengumpulkan nyawanya.
"Sudah subuh, Mas. Ayo shalat," Ucap Nadira lembut dengan senyum manisnya.
"Shalat aja sana! Gak usah ajak-ajak."
Nadira menghela napas, tapi kali ini ia tidak ingin menghadapi Lian dengan emosi. Masih pagi juga untuk mulai berdebat.
"Mas Islam, kan? Tahu kan hukum shalat itu gimana?"
Lian juga tidak ingin menghancurkan moodnya. Masih pagi sudah menghadapi Nadira yang menurutnya selalu membuatnya kesal. Pria itu akhirnya mengalah dan memilih meninggalkan Nadira menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.
Nadira tersenyum senang sambil mengamati kepergian Lian.
"Kamu itu sangat menjengkelkan. Tapi kok, gemes ya lihat kamu bangun tidur kayak gini."
Hati Nadira berdesir. Ada sesuatu yang aneh menggelayut dalam sana. Gadis itu pun akhirnya kembali ke kamar untuk shalat. Sebelum Lian kembali dan akan mengomelinya lagi.
Setelah selesai dengan ibadah paginya Nadira pergi ke dapur. Menyiapkan omelet seperti biasa karena gadis itu lupa belum membeli kebutuhan dapur. Nadira dengan gembira menyiapkan makanan di meja makan. Sampai akhirnya aktivitasnya terhenti ketika melihat Lian turun dari kamarnya. Gadis itu berlari mendekati sang suami.
"Mas sarapan yuk! Aku udah nyiapin." Ajak Nadira antusias.
Lian melirik jam tangan dengan tatapan angkuh.
"Sudah siang. Saya makan di kantor," Balas Lian tanpa melirik wajah Nadira yang mulai mengendur.
Lian berjalan melalui Nadira dengan acuh. Nadira mengejar Lian yang berjalan keluar rumah.
"Tapi Mas-"
Bukk
Nadira menubruk tubuh Lian yang berhenti mendadak.
Lian berbalik badan dengan emosi tersulut.
"Kamu bisa dengar kan. Saya makan di kantor!" Bentak Lian.
Nadira membatin dalam hati, bisa tidak suaminya itu bicara pelan saja. Nadira juga bisa dengar tanpa perlu ia membentak.
Lian hendak melanjutkan langkahnya tapi Nadira kembali menghalangi.
"Apalagi?" Tanya Lian dengan mata tajam.
Nadira tak berani menatap wajah tampan tapi menyeramkan itu. Gadis itu lebih memilih memandangi lantai marmer di bawah kakinya.
"Kalau Mas Lian gak keberatan nanti kita bisa belanja bulanan. Gak ada bahan makanan yang bisa kumasak di dapur."
Lian pergi tanpa mengiyakan permintaan Nadira. Lagi-lagi gadis itu hanya bisa menghela napas panjang.
"Sabar Dira! Sabar, berbakti sama suami itu ganjarannya Surga." Nadira bermonolog sambil mengelus dada berjalan ke arah dapur.
Nadira memutuskan sarapan seorang diri. Menanti Lian juga percuma tak bikin perutnya kenyang. Baru saja gadis itu menyendokkan sesuap nasi, ia dikejutkan oleh kedatangan Lian yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.
"Astaghfirullah... Mas ngagetin aja."
Lian mengulurkan ponselnya pada Nadira membuat gadis itu mengerutkan dahi karena bingung.
"Apa Mas? Mau sarapan?"
"Tulis nomor kamu. Saya akan transfer nanti, kamu bisa belanja sendiri."
Ingin bingung tapi ini Lian. Nadira harus siap dengan segala sikap Lian yang penuh misteri. Nadira akhirnya menuliskan nomornya seperti permintaan Lian.
"Hati-hati ya, Mas." Ucap Nadira saat mengulurkan ponsel Lian kembali pada sang pemiliknya. Seperti orang tuli, begitulah Lian saat menghadapi Nadira. Bahkan untuk sekadar berkata ya saja berat. Mungkin memang pria itu benar-benar tuli.
Nadira melanjutkan sarapannya kembali.
Tidak ada aktivitas yang dilakukan Nadira membuat gadis itu bosan. Rumah Lian yang baginya cukup besar untuk ia tinggali seorang diri. Gadis itu pun memilih menyaksikan acara tv di ruang tengah.
Suara dering ponsel membuat gadis itu terperanjat dari posisi nyamannya. Dengan cepat ia menggeser panel hijau untuk menerima panggilan masuk.
"Assalamu'alaikum, halo, Ma!" Sapa Nadira.
"Waalaikumsalam, gimana kabarnya, Nak?" Suara lembut Mama Rena terdengar dari seberang.
"Alhamdulilah, Nadira sehat. Mama dan Papa gimana, sehat 'kan?"
"Alhamdulillah sehat juga, Nak. Lian baikkan sama kamu." Mama Rena bertanya langsung to the point.
Nadira tersenyum getir. Mengingat bagaimana Lian bersikap padanya. Tapi ia juga tidak mau membuat Mama Rena terluka karena Lian masih belum bisa menerima keberadaannya.
Bibir Nadira terangkat membentuk senyuman, meskipun sang Mama tak bisa melihat hal itu.
"Mas Lian baik kok, Ma. Alhamdulillah, malah baik banget."
Mama Rena lega mendengar pengakuan sang menantu. Nadira pasti bisa meluluhkan anaknya yang keras kepala, itulah keyakinan Mama Rena. Dengan kelembutan dan kasih sayang Nadira, Lian akan menerima seiring jalannya waktu.
"Mama senang dengernya, Nak."
Mama Rena memberi jeda.
"Nanti makan malam disini ya. Jangan lupa bilang sama Lian, kalau kamu yang minta pasti mau. Kalau Mama, anak itu pasti ada aja alasannya." Lanjut Mama Rena sambil terkekeh.
Bagaimana Nadira menyampaikan pada sang suami. Jika Mama Rena saja Lian bisa mencari alasan, bagaimana dengan dirinya. Bahkan masih berniat mengutarakan Lian pasti akan membungkamnya lebih dulu dengan omongan tidak sedapnya.
"InsyaAllah,Ma." Nadira terpaksa mengiyakan saja permintaan Mama Rena
"Mama tunggu lho. Mama kangen sama menantu mama."
Panggilan berakhir setelah Nadira menjawab salam dari sang mertua. Kini gadis itu bingung bagaimana cara menyampaikannya pada Lian.
Saat pikiran berkelana tanpa ada arah, ponsel Nadira kembali berbunyi. Berbeda dengan dering yang tadi, kali ini tanda pesan masuk.
Sebuah pesan masuk dari m-bankingnya. Lian baru saja mentransfer uang sebesar sepuluh juta ke no rekeningnya yang baru saja ia kirim. Tak lama kemudian pesan Lian datang.
[Buat belanja kebutuhan dapur. Kalau untuk yang lain, silakan minta kalau kurang]
Nadira hanya mencebikkan bibir.
"Andai aja transfer cinta semudah transfer duit dari atm."
Karena Nadira sudah mendapat jatah bulanan, ia pun bersiap untuk pergi ke mall dan berbelanja kebutuhan dapur dan yang lain. Seelah ganti baju ia pergi dengan ojek online yang, sudah ia pesan.
Dua puluh menit kemudian Nadira sudah sampai di tempat tujuan.
Nadira langsung menuju tempat kebutuhan dapur. Memasukkan belanjaan pilihannya ke troli. Nadira membeli beberapa bahan pokok makanan dan kamar mandi. Setelah selesai ia membayarnya di kasir. Tak banyak yang ia beli. Mungkin cukup untuk kebutuhan seminggu mendatang.
Nadira menenteng belanjaan di kedua tangannya keluar mall. Tapi saat berada di depan mall tak sengaja ada seorang yang lari dan menabraknya.
"Maaf!" Ucap gadis itu pada Nadira yang memunguti barangnya jatuh. Gadis itu pun tak lupa membantunya.
"Gak papa, lain kali hati-hati ya, Mbak." Kata Nadira dengan senyum ramah.
Gadis di depannya itu merasa bersalah karena kurang hati-hati, dan terburu-buru.
"Sekali lagi saya minta maaf."
"Tidak masalah Mbak."
Nadira meninggalkan gadis itu.
"Lian! Aku tunggu kamu di tempat biasa."
Nadira memutar badannya. Gadis itu terlihat menempelkan benda tipis di telinga. Apa pemilik nama itu sama dengan sang suami.
Nadira berpikir sejenak.
"Ah mana mungkin. Nama juga bisa pasaran kan."
Nadira povMenikah dengan orang yang baru dikenal, adalah petualangan baru yang harus aku lalui. Bagaimana tidak.Ternyata orang itu jauh dari ekspetasiku. Yang kupikir menikah dengan orang asing semua akan mudah karena kita saling tak kenal. Semua akan berjalan dengan apa adanya. Dan, ya, itu benar. Semua berjalan apa adanya walaupun sangat menyakitkan.Tak ada malam pertama yang selalu didamba kedua pengantin baru. Bahkan, dia menolak seakan tak sudi dan menganggapku hina. Padahal aku hanya manusia biasa sama sepertinya yang tak berdaya menolak perjodohan ini.Iya, Pakde dan Bude telah menjodohkanku dengan pria bernama Aulian Putra Pratama. Kuakui dia memang sosok tampan dan sukses meneruskan usaha papanya. Tapi, untuk urusan hati, pria yang biasa kusebut Mas Lian adalah orang paling egois dan palingg tidak punya hati di muka bumi ini.Karena perjodohan ini dia sangat membenciku padahal bukan aku yang patut disalahkan. Aku hanya mengikuti titah Pakde dan Bude yang menurutku benar. T
Setelah Mas Lian berangkat kerja aku kembali masuk. Ucapannya masih menghantui kepalaku. Dia bilang aku harus membuatnya jatuh cinta. Haruskah? Tapi bagaimana bisa aku membuatnya jatuh cinta padaku sedangkan dia menutup rapat jalan kesana.Aku mengembuskan napas panjang.Setelah mencuci piring bekas aku sarapan tadi, aku memilih berselonjoran di depan tv. Seperti hari biasanya, tinggal seorang diri saat dia ke kantor sangat membosankan. Yang menghiburku hanyalah drama korea yang ada di layar kaca.Andai, kisahku semanis drama yang biasa kutonton. Seseru kisah yang biasanya kubaca. Tapi, ini kisahku yang pilu dan memuakkan.Biasanya dalam drama aku melihat pemeran utama pria yang dingin layaknya es batu akan mencair melihat pemeran utama wanitanya, yah meskipun butuh waktu.Ya, waktu. Kenapa aku jadi lupa. Semua itu hanya butuh proses. Mas Lian pasti akan luluh seiring berjalannya waktu. Dalam pepatah jawa pun aku sering mendengar, wiwiting tresno jalaran saka kulino. Yang artinya cint
Hatiku sedikit merasa lega setelah mencurahkan isi hati pada Mila. Tak ada yang bisa menjadi pendengar yang baik selain dia. Dulu, ada Bude yang mengerti segala isi hati. Tapi jika Bude tahu rumah tanggaku yang tidak baik-baik saja dia akan khawatir. Setelah merasa puas bertemu Mila, aku berpamitan untuk kembali pulang. Hari pun sudah beranjak sore. Aku harus menyiapkan makanan sebelum Mas Lian pulang.“Aku balik dulu ya.”Mila membalas pelukanku, lalu kami sama-sama menaiki ojek online menuju rumah masing-masing.Tak butuh waktu lama, ojek online yang kutumpangi berhenti di depan rumah. Setelah membayar ongkos aku segera masuk rumah. Tapi aku dibuat bertanya saat ada mobil asing yang terparkir di depan rumah. Apa Mas Lian punya mobil lain, aku membatin.Pintu yang terbuka menuntun langkahku terus maju.“Assalamua-la-ikum.”Begitu terkejutnya aku dengan pemandangan di depanku.Seorang wanita yang memeluk suamiku itu, mengurai pelukannya mendengar salam dariku.Tubuhku terasa lemas, t
“Mas apa kita beneran akan pergi?” tanyaku saat Mas Lian sudah selesai makan.“Nggak.”“Jadi kamu bohong ke Mama.”“Saya akan pergi sendiri.”Mataku menyipit mendengar jawaban ambiku darinya.“Pergi sendiri?”“Selama saya di Bali kamu nginep di rumah Bude.”Hatiku mencelos.“Artinya kamu berbohong sama Mama, Mas. Lebih baik tadi kamu bilang aja kalau gak bisa pergi, alasan banyak kerjaan atau gimana gitu.”“Sama aja bohongkan, udah kamu gak usah pusing mikirin itu.”Mas Lian unjuk diri dari tempatnya. Aku menarik napas panjang. Entah sampai kapan aku punya stok kesabaran untuk menghadapi kulkas dingin itu. Kesabaran ada batasnya dan aku tak bisa menjamin akan sabar selamanya.Dari pada memikirkan Mas Lian aku memilih membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor bekas makan malamku dangannya tadi. Tentang esok biarlah semua mengalir apa adanya. Setelah menyelesaikan pekerjaan aku memilih istirahat. Gegas kaki ini melangkah ke kamar.#Paginya seperti biasa, aku menyiapkan sarapan
“Kamu bicara dengan siapa, Mas?” tanya Nadira.Lian yang berdiri di depan jendela menghadap keluar memutar badan.“Bukan siapa-siapa,” balasnya. Nadira menerka-nerka, sudah pasti suaminya itu bicara dengan gadis itu.“Kamu jangan bohong, Mas.”Merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan suami gadis itu kembali bertanya, “pasti wanita itu kan?” tebak Nadira.Bayangan sang suami yang berada di dalam dekapan wanita lain itu muncul, membuat ulu hati terasa perih.“Jangan bilang kamu akan pergi dengannya.”“Bukan urusan kamu.”Lian terlihat santai tak penuli dengan Nadira yang menahan emosi dan siap meledak kapan saja.“Aku mohon, Mas. Kali ini saja kamu dengerin aku.”Lian duduk di ranjang dengan punggung bersandar di kepala ranjang. Tangannya asik memainkan benda pipih yang ada di tangan.Nadira berjalan mendekat, lalu gadis berparas ayu itu duduk di sisi Lian.“Mas, aku paham kalau kamu belum bisa menerima aku. Tapi setidaknya kamu harus menjaga perasaanku, bukan. Jangan pikirkan p
"Jangan berharap banyak pada saya, karena saya tidak pernah menginginkan pernikahan ini sedikit pun!" ucapnya dengan tegas.Gadis yang masih menggunakan gaun pengantin itu terhenyak. Dadanya mendadak merasa nyeri. Tidak pernah menyangka jika malam yang seharusnya berlangsung romantis dan indah malah membuatnya merasa sedih dan kecewa. Merasa tidak diinginkan. Bahkan, pria yang baru saja menyandang gelar suami tadi pagi seperti enggan menyentuhnya.Nadira Kusuma Dewi, gadis yang kini genap berusia dua puluh tiga tahun. Di usianya yang terbilang masih cukup muda, ia harus menerima perjodohan oleh Pakde dan Budenya. Sebagai bentuk balas budi telah merawat Nadira sampai sekarang, gadis ayu dengan bulu mata lentik itu dengan pasrah menerima perjodohan. Dia percaya jika Pakdenya telah memilih lelaki terbaik untuknya.Ternyata, impian pernikahan bahagia itu hanyalah bayangan. Pria yang dipilih Pakde dan Budenya jauh dari suami impian. Bahkan yang lebih sakit, Nadira ditolak saat malam pertam
Nadira menatap nanar pemandangan di depannya. Sungguh indah, rumah minimalis dengan suguhan taman di depan rumah. Rumah yang akan ia tinggali mulai saat ini bersama sang suami. Lian sengaja memboyong Nadira ke rumah yang ia beli sendiri agar hubungan yang sebenarnya tidak diketahui semua orang. Nadira dibuat kagum, selera Lian tidak begitu buruk.Brakkk..Aksi pengamatan Nadira buyar saat Lian dengan sengasa menutup bagasi mobil dengan keras."Bawa koper kamu!" tunjuk Lian pada koper yang tergeletak tak jauh dari mobilnya."Tapi Mas-" Belum juga selesai bicara, Lian seenak jidat meninggalkan Nadira.Memang apa yang bisa diharapkan dari sang suami. Lian akan membawakan kopernya dengan satu tangan melingkar di pinggang, menuntun Nadira masuk rumah. Nadira menghela napas dalam, itu hanya bayangannya. Sekarang gadis dengan hijab berwarna abu muda itu harus menyeret kopernya sendiri, dan satu lagi tas ransel yang cukup besar. Berjalan sedikit kewalahan mengikuti Lian yang masuk rumah lebih
Semua berawal saat Lian baru saja pulang dari kantor. Sang mama dan papa sudah menunggu di meja makan. Hari itu Lian pulang sekitar jam delapan malam karena ada banyak berkas yang harus dicek olehnya."Halo Ma, Pa!" Sapa Lian kala memasuki dapur."Sudah pulang, Sayang." Mama Rena mengusap kepala Lian dengan lembut. Lantas Lian mencium pipi Mamanya."Lian capek banget," Keluh pria itu setelah menyalami tangan mama dan papanya."Kamu mandi dulu. Setelah itu kita makan bersama."Lian menuruti titah sang Mama. Pria itu berjalan ke arah kamar untuk membersihkan diri dan melepas penat sejenak."Mama takut Lian tidak mau, Pa." Mama Rena bertanya pada sang suami."Mama tenang saja. Lian tidak bisa menolak kali ini."Ada rasa khawatir di dalam hati Mama Rena. Selama ini Lian selalu memutuskan segalanya sendiri. Dan kini mereka mengambil alih keputusan untuk pria dewasa itu. Bukan tanpa sebab, melainkan hanya ingin yang terbaik bagi putra semata wayangnya itu."Papa yakin?" Tanya Mama Rena ragu