Suasana hati Lian sangat bagus. Hari ini ia akan memperkenalkan kekasih hatinya pada sang Mama. Wanita cantik dengan dress selutut itu sudah duduk di samping kemudi.
Tersenyum kearah Lian dengan sangat manis.
“Aku gugup, Sayang.”
Tangan Amelia melingkar ke bahu Lian.
“Jangan khawatir Sayang. Mamaku orang terbaik di dunia, kamu akan beruntung memiliki mertua sepertinya.”
Amelia menanggapi hal tersebut dengan anggukan kepala. semoga saja yang dikatakan Lian itu benar. Karena selama ini Amelia selalu mendengar jika kebanyakan mertua itu jahat.
Beberapa menit kemudian sepasang kekasih yang saling mencintai itu sampai di kediaman Lian. Lian dengan romantis membukakan pintu untuk sang pujaan hati.
“Makasih Sayang.”
Lian menggandeng tangan Amelia dengan mesra memasuki rumah.
“Maa!” suara Lian menggema di rumah besar dan megah.
“Aku ada kejutan buat Mama!”
Amelia mengamati Lian yang begitu antusias. Ada rasa haru, bangga, dan senang menyelinap di dalam hati. Bersama Lian ia selalu merasa spesial.
Suara Langkah kaki terdengar, Lian melepas tangannya dari Amelia lalu menyambut kedatangan sang Mama.
“Ini Amelia, Ma.”
Lian memperkenalkan Amelia pada Mama Rena. Gadis itu melangkah mendekat lalu bergerak memeluk Mama Rena.
“Senang bertemu Tante,” ucap Amelia dengan senyum hangat.
“Selamat dating di rumah tante, Nak.”
Mama Rena mempersilakan Rena duduk di sofa, gadis itu langsung menurut.
“Sepertinya tante pernah lihat kamu ya. Tapi dimana?”
Mama Rena mencoba mengingat-ingat pertemuan dengan Amelia. Bagi Mama Rena wajah Amelia terlihat tidak asing.
Amelia tertawa renyah.
“Mama baru ketemu Amel hari ini kok. Mama belum tahu kalau ini Amel artis yang sedang naik daun itu,” timpal Lian membuat bibir Mama Rena membentuk huruf ‘o’.
Perbincangan mereka semakin larut sampai pada akhirnya Amelia terkejut oleh pertanyaan Mama Rena.
“Jadi kapan rencana kalian menikah?”
“Uhuukkhh..” Amelia yang pada saat itu sedang minum tersedak. Lian dengan cepat mengambilkan tisu untuk Amelia.
“Mama kok tanyanya mendadak gitu sih,” keluh Lian.
Mama Rena terlihat heran.
“Lha emang ada yang salah dengan pertanyaan mama?”
Mama Rena sangat senang begitu Lian memberitahu akan membawa gadis pulang untuk dikenalkan pada Mama Rena dan Papa Amir. Karena mereka sudah lama menginginkan putranya itu segera menikah.
“Ya bukan gitu, Ma.”
“Saya dan Lian akan menikah tapi tidak dalam kurun waktu dekat-dekat ini, Tan. Karena saya masih ingin mengepakkan sayap lebih lebar lagi di dunia entertaint. Sekarang sedang masa keemasan untuk saya jadi saya ingin menikmatinya dulu sebelum saya undur diri dan fokus dengan keluarga. Karena setelah menikah saya akan memilih dari dunia hiburan. Jadi mungkin lima atau paling lama sepuluh tahun lagi, Tan.”
Mulut Mama Rena terbuka lebar.
“Sepuluh tahun lagi?”
Amelia tersenyum kikuk. Apa ada yang salah dengannya sehingga Mama Rena berekspresi seperti itu.
“Baiklah kalau begitu. Silakan kamu nikmati duniamu itu dan jangan harap saya akan meunggu. Lian bisa menikah meskipun bukan sama kamu.”
Mama Rena berbicara dengan santai lalu pergi meninggalkan Amelia dan Lian.
“Lian bagaimana ini?” tanya Amelia khawatir.
“Kamu tenang saja. Semua serahkan padaku.”
Untuk saat ini Lian memilih mengalah dan enggan bernegosiasi dengan mamanya. Yang ada mamanya akan marah dan semakin menentang hubungannya dengan Amelia. Lian akan membicarakannya lagi saat mood sang mama sudah membaik.
Kenangan itu masih segar dalam ingatan Amelia. Dimana dia sangat diterima dengan tangan terbuka lebar. Setelah tahu rencana masa depannya Mama Rena langsung memblacklist dirinya.
“Memangnya mama kamu akan dengan mudah luluh begitu saja Lian?”
Amelia ingat betul dengan tatapan sinis Mama Rena hari itu.
“Kamu kan tahu sendiri gimana mama menyambut kamu dengan hangat. Mama itu sangat baik hanya saja kita saat itu kurang diskusi. Akhirnya mama marah deh dengan tahu rencana kamu yang nikahnya nanti-nanti aja. Padahal mama kan inginnya aku segera menikah.” Jelas Lian membuat mata Amelia membulat.
Lian kemudian melirik jam yang melingkar di tangannya.
“Sepertinya cukup untuk hari ini, Mel. Sudah malam, kamu mau aku antar atau gimana?”
Amelia masih belum puas dengan pertemuannya hari ini.
“Aku masih kangen,” ucap gadis itu manja.
Lian pun bergerak memeluk gadisnya itu, mengusap kepalanya dengan lembut dan mengecupnya mesra.
“Aku juga tapi kita masih bisa bertemu lain hari.”
Wajah Amelia terangkat.
“Janji?”
Lian mengangguk pasti.
“Pasti Sayang. Aku cuma minta satu hal ke kamu. Aku mohon untuk sabar.”
Gadis itu terlihat sedang menimang, beberapa detik kemudian kepalanya bergerak naik-turun.
“Oke!” balas Amelia membuat Lian bernapas lega.
“Yuk pulang!” ajak Lian seraya mengapit pinggang sang kekasih.
“Aku akan dijemput sama Adimas, kamu duluan aja.”
Lian memeluk Amelia sekali lagi. Gadis itu pun membalas peluk hangat seolah enggan untuk melepasnya.
“See you, jaga diri ya Sayang.”
Lian menguraikan pelukannya lalu mengacak rambut Amelia dengan gemas, membuat gadis itu mencebikkan bibir.
“Kamu semakin lucu tahu kalau seperti itu,” tambah Lian.
“Udah sana pulang! Ditunggu istri di rumah.” Amelia sengaja menekan kata istri yang diucap.
“Bye!” Lian melambaikan tangan, Amelia membalas hal yang sama.
Tanpa mereka ketahui jika di sana ada sepasang mata yang menjadi pertemuan yang tak seharusnya terjadi itu. Meskipun sedikit terkejut sekaligus marah. Tapi dia tak berdaya melakukan hal apapun. Dia akan memantau keduanya mulai saat ini. Karena di balik duas insan itu ada seseorang yang mungkin kini hatinya sedang tak baik-baik saja. Tentu sajat hatinya pasti akan hancur. Kenyataan suaminya memilih pergi bertemu sang kekasih bukan menghabiskan waktu dengan gadis yang sudah menyandang gelar istri.
Setelah menempuh perjalan sekitar tiga puluh menit Lian akhirnya sampai di rumah. Dia
membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Padahal dia sudah menyiapkan kunci cadangank jika suatu saat Nadira mengunci rumahnya.
Saat masuk rumah terlihat Nadira tertidur di sofa depan. Lian pun berjalan mendekati sang istri.
“Bangun!” Lian sedikit menggoyang bahu Nadira.
Gadis itu langsung terperanjat dan kaget dengan kedatangan sang suami.
“Mas Lian sudah pulang, maaf aku ketiduran.” Nadira mengucek matanya, menyesuaikan cahaya yang menusuk netranya.
“Lain kali kalau saya keluar jangan lua mengunci pintu. Saya takut kamu lengah dan rumah saya dibobol maling. Saya tidak mau kehilangan harta benda hanya karena kelalaian kamu.”
Nadira mengerjabkan matanya beberapa kali. Tak percaya dengan ucapan sang suami.Gadis itu sama sekali tak habis pikir dengan jalan pikiran sang suami. Apa tak pernah Lian berpikir tentang dirinya sedikit pun. Jika bukan sebagai seorang istri, anggap saja Nadira manusia juga sama sepertinya. Bahkan Lian lebih memedulikan hartanya.
"Maaf, Mas. Aku lupa."
"Saya tidak suka orang pelupa," Jawab Lian penuh penekan.
"Mas sudah makan?"
Bukan menjawab pertanyaan Nadira, Lian malah berjalan mengabaikan gadis itu dan terus melangkah menuju kamarnya.
Nadira yang mengekori Lian dari belakang berhenti saat sampai di anak tangga pertama karena Lian sudah memberinya tatapan tajam.
Gadis itu akhirnya beringsut mundur dan membiarkan Lian pergi.
"Sebenarnya siapa wanita yang kamu temui itu, Mas. Apa dia tidak tahu kalau kamu sudah menikah." Gumam Nadira dengan menghela napas panjang.
Langkahnya kini beranjak menuju kamar. Seharian ini sudah dibuat pusing dengan sikap Lian. Entah besok, hari seperti apa yang akan dihadapi Nadira.
Pagi seperti biasanya Nadira bangun saat qiraah dari toa masjid terdengar. Gadis itu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dua puluh menit kemudian Nadira sudah siap untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Karena tidak mendapati tanda-tanda kehidupan Nadira beranjak ke kamar Lian."Mas Lian!"Nadira mengetuk beberapa kali pintu kayu di depannya. Tapi, tak membuahkan hasil sama sekali. Meskipun gamang dia memutuskan untuk memutar knop pintu. Pintu terbuka, terlihat Lian yang masih tertidur pulas di tempatnya."Mas Lian, bangun!" Panggil Nadira, gadis itu berdiri di sisi ranjang. Tak berniat menyentuh Lian karena sudah mempunyai wudu."Mas Lian, udah subuh. Shalat yuk!" Ajak Nadira tak pantang menyerah.Mendengar namanya dipanggil berkali-kali akhirnya Lian bangun. Ia merasa kesal karena tidurnya terganggu."Apaan sih, masih pagi juga." Ketus Lian setelah mengumpulkan nyawanya."Sudah subuh, Mas. Ayo shalat," Ucap Nadira lembut dengan senyum manisnya."Shalat aja
Nadira povMenikah dengan orang yang baru dikenal, adalah petualangan baru yang harus aku lalui. Bagaimana tidak.Ternyata orang itu jauh dari ekspetasiku. Yang kupikir menikah dengan orang asing semua akan mudah karena kita saling tak kenal. Semua akan berjalan dengan apa adanya. Dan, ya, itu benar. Semua berjalan apa adanya walaupun sangat menyakitkan.Tak ada malam pertama yang selalu didamba kedua pengantin baru. Bahkan, dia menolak seakan tak sudi dan menganggapku hina. Padahal aku hanya manusia biasa sama sepertinya yang tak berdaya menolak perjodohan ini.Iya, Pakde dan Bude telah menjodohkanku dengan pria bernama Aulian Putra Pratama. Kuakui dia memang sosok tampan dan sukses meneruskan usaha papanya. Tapi, untuk urusan hati, pria yang biasa kusebut Mas Lian adalah orang paling egois dan palingg tidak punya hati di muka bumi ini.Karena perjodohan ini dia sangat membenciku padahal bukan aku yang patut disalahkan. Aku hanya mengikuti titah Pakde dan Bude yang menurutku benar. T
Setelah Mas Lian berangkat kerja aku kembali masuk. Ucapannya masih menghantui kepalaku. Dia bilang aku harus membuatnya jatuh cinta. Haruskah? Tapi bagaimana bisa aku membuatnya jatuh cinta padaku sedangkan dia menutup rapat jalan kesana.Aku mengembuskan napas panjang.Setelah mencuci piring bekas aku sarapan tadi, aku memilih berselonjoran di depan tv. Seperti hari biasanya, tinggal seorang diri saat dia ke kantor sangat membosankan. Yang menghiburku hanyalah drama korea yang ada di layar kaca.Andai, kisahku semanis drama yang biasa kutonton. Seseru kisah yang biasanya kubaca. Tapi, ini kisahku yang pilu dan memuakkan.Biasanya dalam drama aku melihat pemeran utama pria yang dingin layaknya es batu akan mencair melihat pemeran utama wanitanya, yah meskipun butuh waktu.Ya, waktu. Kenapa aku jadi lupa. Semua itu hanya butuh proses. Mas Lian pasti akan luluh seiring berjalannya waktu. Dalam pepatah jawa pun aku sering mendengar, wiwiting tresno jalaran saka kulino. Yang artinya cint
Hatiku sedikit merasa lega setelah mencurahkan isi hati pada Mila. Tak ada yang bisa menjadi pendengar yang baik selain dia. Dulu, ada Bude yang mengerti segala isi hati. Tapi jika Bude tahu rumah tanggaku yang tidak baik-baik saja dia akan khawatir. Setelah merasa puas bertemu Mila, aku berpamitan untuk kembali pulang. Hari pun sudah beranjak sore. Aku harus menyiapkan makanan sebelum Mas Lian pulang.“Aku balik dulu ya.”Mila membalas pelukanku, lalu kami sama-sama menaiki ojek online menuju rumah masing-masing.Tak butuh waktu lama, ojek online yang kutumpangi berhenti di depan rumah. Setelah membayar ongkos aku segera masuk rumah. Tapi aku dibuat bertanya saat ada mobil asing yang terparkir di depan rumah. Apa Mas Lian punya mobil lain, aku membatin.Pintu yang terbuka menuntun langkahku terus maju.“Assalamua-la-ikum.”Begitu terkejutnya aku dengan pemandangan di depanku.Seorang wanita yang memeluk suamiku itu, mengurai pelukannya mendengar salam dariku.Tubuhku terasa lemas, t
“Mas apa kita beneran akan pergi?” tanyaku saat Mas Lian sudah selesai makan.“Nggak.”“Jadi kamu bohong ke Mama.”“Saya akan pergi sendiri.”Mataku menyipit mendengar jawaban ambiku darinya.“Pergi sendiri?”“Selama saya di Bali kamu nginep di rumah Bude.”Hatiku mencelos.“Artinya kamu berbohong sama Mama, Mas. Lebih baik tadi kamu bilang aja kalau gak bisa pergi, alasan banyak kerjaan atau gimana gitu.”“Sama aja bohongkan, udah kamu gak usah pusing mikirin itu.”Mas Lian unjuk diri dari tempatnya. Aku menarik napas panjang. Entah sampai kapan aku punya stok kesabaran untuk menghadapi kulkas dingin itu. Kesabaran ada batasnya dan aku tak bisa menjamin akan sabar selamanya.Dari pada memikirkan Mas Lian aku memilih membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor bekas makan malamku dangannya tadi. Tentang esok biarlah semua mengalir apa adanya. Setelah menyelesaikan pekerjaan aku memilih istirahat. Gegas kaki ini melangkah ke kamar.#Paginya seperti biasa, aku menyiapkan sarapan
“Kamu bicara dengan siapa, Mas?” tanya Nadira.Lian yang berdiri di depan jendela menghadap keluar memutar badan.“Bukan siapa-siapa,” balasnya. Nadira menerka-nerka, sudah pasti suaminya itu bicara dengan gadis itu.“Kamu jangan bohong, Mas.”Merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan suami gadis itu kembali bertanya, “pasti wanita itu kan?” tebak Nadira.Bayangan sang suami yang berada di dalam dekapan wanita lain itu muncul, membuat ulu hati terasa perih.“Jangan bilang kamu akan pergi dengannya.”“Bukan urusan kamu.”Lian terlihat santai tak penuli dengan Nadira yang menahan emosi dan siap meledak kapan saja.“Aku mohon, Mas. Kali ini saja kamu dengerin aku.”Lian duduk di ranjang dengan punggung bersandar di kepala ranjang. Tangannya asik memainkan benda pipih yang ada di tangan.Nadira berjalan mendekat, lalu gadis berparas ayu itu duduk di sisi Lian.“Mas, aku paham kalau kamu belum bisa menerima aku. Tapi setidaknya kamu harus menjaga perasaanku, bukan. Jangan pikirkan p
"Jangan berharap banyak pada saya, karena saya tidak pernah menginginkan pernikahan ini sedikit pun!" ucapnya dengan tegas.Gadis yang masih menggunakan gaun pengantin itu terhenyak. Dadanya mendadak merasa nyeri. Tidak pernah menyangka jika malam yang seharusnya berlangsung romantis dan indah malah membuatnya merasa sedih dan kecewa. Merasa tidak diinginkan. Bahkan, pria yang baru saja menyandang gelar suami tadi pagi seperti enggan menyentuhnya.Nadira Kusuma Dewi, gadis yang kini genap berusia dua puluh tiga tahun. Di usianya yang terbilang masih cukup muda, ia harus menerima perjodohan oleh Pakde dan Budenya. Sebagai bentuk balas budi telah merawat Nadira sampai sekarang, gadis ayu dengan bulu mata lentik itu dengan pasrah menerima perjodohan. Dia percaya jika Pakdenya telah memilih lelaki terbaik untuknya.Ternyata, impian pernikahan bahagia itu hanyalah bayangan. Pria yang dipilih Pakde dan Budenya jauh dari suami impian. Bahkan yang lebih sakit, Nadira ditolak saat malam pertam
Nadira menatap nanar pemandangan di depannya. Sungguh indah, rumah minimalis dengan suguhan taman di depan rumah. Rumah yang akan ia tinggali mulai saat ini bersama sang suami. Lian sengaja memboyong Nadira ke rumah yang ia beli sendiri agar hubungan yang sebenarnya tidak diketahui semua orang. Nadira dibuat kagum, selera Lian tidak begitu buruk.Brakkk..Aksi pengamatan Nadira buyar saat Lian dengan sengasa menutup bagasi mobil dengan keras."Bawa koper kamu!" tunjuk Lian pada koper yang tergeletak tak jauh dari mobilnya."Tapi Mas-" Belum juga selesai bicara, Lian seenak jidat meninggalkan Nadira.Memang apa yang bisa diharapkan dari sang suami. Lian akan membawakan kopernya dengan satu tangan melingkar di pinggang, menuntun Nadira masuk rumah. Nadira menghela napas dalam, itu hanya bayangannya. Sekarang gadis dengan hijab berwarna abu muda itu harus menyeret kopernya sendiri, dan satu lagi tas ransel yang cukup besar. Berjalan sedikit kewalahan mengikuti Lian yang masuk rumah lebih