Semua berawal saat Lian baru saja pulang dari kantor. Sang mama dan papa sudah menunggu di meja makan. Hari itu Lian pulang sekitar jam delapan malam karena ada banyak berkas yang harus dicek olehnya.
"Halo Ma, Pa!" Sapa Lian kala memasuki dapur.
"Sudah pulang, Sayang." Mama Rena mengusap kepala Lian dengan lembut. Lantas Lian mencium pipi Mamanya.
"Lian capek banget," Keluh pria itu setelah menyalami tangan mama dan papanya.
"Kamu mandi dulu. Setelah itu kita makan bersama."
Lian menuruti titah sang Mama. Pria itu berjalan ke arah kamar untuk membersihkan diri dan melepas penat sejenak.
"Mama takut Lian tidak mau, Pa." Mama Rena bertanya pada sang suami.
"Mama tenang saja. Lian tidak bisa menolak kali ini."
Ada rasa khawatir di dalam hati Mama Rena. Selama ini Lian selalu memutuskan segalanya sendiri. Dan kini mereka mengambil alih keputusan untuk pria dewasa itu. Bukan tanpa sebab, melainkan hanya ingin yang terbaik bagi putra semata wayangnya itu.
"Papa yakin?" Tanya Mama Rena ragu.
"Yakin, Ma."
Tak butuh waktu bagi Lian untuk membersihkan diri.Beberapa menit kemudian ia sudah hadir kembali di sisi mama dan papanya.
"Lian selalu merindukan masakan Mama. Resto bintang lima pun gak akan mampu mengalahkan masakan Mama."
Lian dengan lahap menyantap masakan yang tersaji masih hangat di meja makan. Mama Rena dan Papa Amir pun sama-sama menyantap makan malam mereka sambil diselingi obrolan kecil di dalamnya.
"Lian gimana kantor, aman?" Tanya Papa Amir memulai obrolan mereka setelah selesai makan.
"Lancar, Pa. Papa lihat sendiri kan baru saja perusahaan ada di tanganku, perkembangannya melonjak cepat."
"Kamu memang hebat, Lian. Papa harus segera pensiun Papa harap kamu siap mengemban amanah besar itu."
Papa Amir seorang pengusaha besar. Karena usianya sudah sepuh dia berniat menyerahkan semua tanggung jawab kepada anaknya yaitu Lian. Sudah cukup baginya untuk belajar dan saat ini waktunya Lian mengambil alih semua.
"Lian siap kok, Pak. Semua sudah Lian pelajari dari Papa."
"Baguslah kalau begitu."
"Lian." Kali ini Mama Rena yang mulai bicara.
"Sebenarnya ada hal lain yang ingin kita sampaikan kepada kamu, Sayang."
Lian menatap kedua orang tuanya bergantian. Tak seperti biasanya, mereka akan langsung ngomong jika ada hal yang perlu dibicarakan. Pasti ini hal yang penting.
"Ngomong aja, Ma, Pa. Lian pasti dengerin kok."
"Kami sudah menyiapkan perjodohan buat kamu."
Baru saja satu kalimat keluar dari mulut Papa Amir, tapi Lian dengan cepat menyahut.
"Perjodohan? Jangan aneh-aneh deh kalian. Lian bisa pilih calon istri sendiri. Sudah bukan jamannya kali Ma, Pa."
"Dengerin dulu Lian," Ucap Mama Rena dengan lembut.
"Namanya Nadira, dia anak dari temen papa waktu sma. Dia sekarang tinggal sama pakde budenya karena teman papa itu sudah meninggal waktu Nadira masih remaja.Dia dibesarkan dengan pendidikan yang baik dan bermoral. Gadisnya cantik, baik. Papa yakin kalau kamu bakalan suka."
Lian tak menanggapi, pria itu memilih meminta pembelaan sang mama.
"Ma, tolong jelasin sama papa kalau Lian punya pilihan sendiri."
Mama Rena menggelengkan kepala.
"Mama nggak suka sama Amelia. Dia itu seorang seleb yang apa pun bakal diumbar sebagai pundi uang. Mama gak suka ya nanti dikit-dikit keluarga kita disorot media."
Lian menghela napas.
"Maaf Ma, Pa. Untuk kali ini Lian gak bisa mengikuti permintaan kalian."
"Lian denger Papa baik-baik. Papa mendirikan perusahaan itu tidaklah mudah. Ada kala naik turunnya. Dan di saat Papa terpuruk dan akan menyerah ayah Nadira mengulurkan tangan memberikan bantuannya."
"Jadi ini maksudnya balas budi sama temen Papa. Kenapa harus mengorbankan Lian." Sahut Lian cepat.
"Bukan seperti itu maksud Papa, Nak."
"Lalu apa, Ma? Papa yang punya hutang kenapa Lian yang harus membayarnya." Lian tak mengalah.
"Kamu salah paham. Mungkin Nadira itu memang anak teman Papa. Tapi selain itu, kami juga mempertimbangkan gadis itu dari seluk beluknya. Dan dialah gadis yang paling pantas buat kamu. Bukan Amelia."
"Tapi Lian hanya cinta sama Amelia, bukan wanita lain. Apa Mama paham."
"Cinta setelah pernikahan jauh lebih indah Lian." Kata Papa Amir.
"Lian gak setuju dengan perjodohan ini, titik!"
"Baiklah, kalau kamu memang tidak mau silakan siap-siap keluar dari rumah ini. Dan papa juga akan mencoreng hak ahli waris untukmu."
Lian tak berkutik untuk beberapa detik. Tak seperti biasanya Papanya memberi ancaman. Biasanya mereka akan bernegosiasi sampai menemukan jalan tengahnya. Tapi kali Papa Amir serius dengan ucapannya, terlihat dari raut wajahnya yang tajam.
"Tapi, Pa."
"Semua ada di tangan kamu Lian. Papa kasih kamu waktu berpikir sampai besok. Papa tunggu keputusannya saat sarapan."
Papa Amir pergi meninggalkan meja dapur. Mama Rena melihat wajah putranya yang terlihat kesal dengan keputusan yang dibuat sepihak oleh kedua orang tua. Tangan Mama Rena terulur meraih tangan besar Lian.
"Sayang, percaya deh sama kami. Mama memilih Nadira karena menurut Mama dia yang terbaik untuk kamu. Bukan Amelia. Bahkan diusianya itu gadis itu masih sibuk dengan dirinya sendiri. Kamu harus paham Lian jika Amelia itu egois. Dia tidak pantas untuk kamu." Jelas Mama Rena.
Lian tidak menjawab, pria itu sedang asik dengan pikirannya sendiri. Tidak pernah terlintas sama sekali nama gadis lain selain Amelia, kekasih dari jaman kuliahnya. Lian paham dengan kondisi Amelia yang sedang naik daun di dunia entertainment. Gadis yang paling ia cinta sedang menikmati buah hasil perjuangannya. Karena itu saat Amelia menolak rencana menikah dengannya Lian menerima.
"Kamu paham kan sekarang gimana dilemanya aku."
Setelah menjelaskan panjang lebar pada Amelia, Lian bisa bernapas lega. Sedangkan wanita di depannya kini hanya menatap kosong ke depan dengan tangan menopang dagu.
"Aku hanya cinta kamu, Mel. Harus aku ulangi berapa kali agar kamu percaya."
Amelia menoleh, iris matanya bergerak ke arah Lian. Menatap dengan dalam mencari sebuah kebenaran di sana.
"Tapi aku takut Lian."
Amelia melihat dengan jelas jika cinta Lian masih membara, mata Lian tak berbohong.
"Apa yang perlu ditakutkan? Semua hanya tentang waktu, Sayang."
Kali ini Lian meraih tangan Amelia dan menautkan jemarinya dengan erat.
"Setelah semua beralih ke tanganku baru aku bisa memutuskan segalanya, Mel. Aku harap kamu mengerti, Sayang." Lian berucap dengan penuh harap.
Amelia terlihat menghela napas dalam.
"Apa jaminan kalau kamu tidak akan jatuh cinta pada istrimu itu?"
Ketakutan terbesar Amelia adalah jika suatu saat kekasih hati di depannya itu berubah pikiran. Karena masa depan tak ada yang bisa menebak. Bisa saja Lian jatuh cinta karena mereka sering bertemu bahkan tinggal seatab. Amelia iri akan hal itu.
"Ya ampun Amelia, tak pernah terbesit sedikit pun untuk aku jatuh cinta sama dia. Dia sangat tidak menarik bagiku."
Amelia masih ragu tapi berusaha percaya pada kekasihnya itu. Selama ini Lian selalu setia padanya. Meskipun pernah beberapa kali Amelia digosibkan dekat dengan sesama artis, Lian selalu percaya kesetiaan Amelia. Kini saatnya wanita itu juga menaruh kepercayaan yang sama.
"Baiklah. Aku pegang ucapan kamu."
Senyum terukir dari wajah Lian.
"Makasih Sayang udah ngertiin aku."
"Apa kamu yakin dengan rencana kamu, Lian?"
Amelia seperti diterpa dilema berat. Antara ia yakin tapi juga ragu jika semua tidak sesuai ekspetasinya.
"Kamu meragukan aku?" Lian balik bertanya.
"Bukan seperti itu. Tapi... Mama kamu sangat tidak suka denganku, itu ketakutan keduaku."
"Kamu tenang aja, Mel. Itu juga jadi prku nanti buat meyakinkan Mama. Atau kalau perlu kita kawin lari saja jika Mama menolak."
Keduanya pun tertawa bersamaan.
Lian sudah dibutakan cintanya pada Amelia. Dia sama sekali tidak peduli jika ada seorang wanita di rumahnya yang menanti kepulangannya dengan cemas. Meskipun Lian kerap kali bersikap kasar, Nadira tetap setia menunggu di depan pintu. Berharap suara pintu diketuk lalu dia dan suaminya saling berhadapan. Lian akan senyum merekah melihat sang istri menyambutnya dengan hangat. Sedangkan Nadira akan mengharapkan hadiah sebuah kecupan di kening. Manis sekali bayangan Nadira.
Suasana hati Lian sangat bagus. Hari ini ia akan memperkenalkan kekasih hatinya pada sang Mama. Wanita cantik dengan dress selutut itu sudah duduk di samping kemudi.Tersenyum kearah Lian dengan sangat manis.“Aku gugup, Sayang.”Tangan Amelia melingkar ke bahu Lian.“Jangan khawatir Sayang. Mamaku orang terbaik di dunia, kamu akan beruntung memiliki mertua sepertinya.”Amelia menanggapi hal tersebut dengan anggukan kepala. semoga saja yang dikatakan Lian itu benar. Karena selama ini Amelia selalu mendengar jika kebanyakan mertua itu jahat.Beberapa menit kemudian sepasang kekasih yang saling mencintai itu sampai di kediaman Lian. Lian dengan romantis membukakan pintu untuk sang pujaan hati.“Makasih Sayang.”Lian menggandeng tangan Amelia dengan mesra memasuki rumah.“Maa!” suara Lian menggema di rumah besar dan megah.“Aku ada kejutan buat Mama!”Amelia mengamati Lian yang begitu antusias. Ada rasa haru, bangga, dan senang menyelinap di dalam hati. Bersama Lian ia selalu merasa spes
Pagi seperti biasanya Nadira bangun saat qiraah dari toa masjid terdengar. Gadis itu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dua puluh menit kemudian Nadira sudah siap untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Karena tidak mendapati tanda-tanda kehidupan Nadira beranjak ke kamar Lian."Mas Lian!"Nadira mengetuk beberapa kali pintu kayu di depannya. Tapi, tak membuahkan hasil sama sekali. Meskipun gamang dia memutuskan untuk memutar knop pintu. Pintu terbuka, terlihat Lian yang masih tertidur pulas di tempatnya."Mas Lian, bangun!" Panggil Nadira, gadis itu berdiri di sisi ranjang. Tak berniat menyentuh Lian karena sudah mempunyai wudu."Mas Lian, udah subuh. Shalat yuk!" Ajak Nadira tak pantang menyerah.Mendengar namanya dipanggil berkali-kali akhirnya Lian bangun. Ia merasa kesal karena tidurnya terganggu."Apaan sih, masih pagi juga." Ketus Lian setelah mengumpulkan nyawanya."Sudah subuh, Mas. Ayo shalat," Ucap Nadira lembut dengan senyum manisnya."Shalat aja
Nadira povMenikah dengan orang yang baru dikenal, adalah petualangan baru yang harus aku lalui. Bagaimana tidak.Ternyata orang itu jauh dari ekspetasiku. Yang kupikir menikah dengan orang asing semua akan mudah karena kita saling tak kenal. Semua akan berjalan dengan apa adanya. Dan, ya, itu benar. Semua berjalan apa adanya walaupun sangat menyakitkan.Tak ada malam pertama yang selalu didamba kedua pengantin baru. Bahkan, dia menolak seakan tak sudi dan menganggapku hina. Padahal aku hanya manusia biasa sama sepertinya yang tak berdaya menolak perjodohan ini.Iya, Pakde dan Bude telah menjodohkanku dengan pria bernama Aulian Putra Pratama. Kuakui dia memang sosok tampan dan sukses meneruskan usaha papanya. Tapi, untuk urusan hati, pria yang biasa kusebut Mas Lian adalah orang paling egois dan palingg tidak punya hati di muka bumi ini.Karena perjodohan ini dia sangat membenciku padahal bukan aku yang patut disalahkan. Aku hanya mengikuti titah Pakde dan Bude yang menurutku benar. T
Setelah Mas Lian berangkat kerja aku kembali masuk. Ucapannya masih menghantui kepalaku. Dia bilang aku harus membuatnya jatuh cinta. Haruskah? Tapi bagaimana bisa aku membuatnya jatuh cinta padaku sedangkan dia menutup rapat jalan kesana.Aku mengembuskan napas panjang.Setelah mencuci piring bekas aku sarapan tadi, aku memilih berselonjoran di depan tv. Seperti hari biasanya, tinggal seorang diri saat dia ke kantor sangat membosankan. Yang menghiburku hanyalah drama korea yang ada di layar kaca.Andai, kisahku semanis drama yang biasa kutonton. Seseru kisah yang biasanya kubaca. Tapi, ini kisahku yang pilu dan memuakkan.Biasanya dalam drama aku melihat pemeran utama pria yang dingin layaknya es batu akan mencair melihat pemeran utama wanitanya, yah meskipun butuh waktu.Ya, waktu. Kenapa aku jadi lupa. Semua itu hanya butuh proses. Mas Lian pasti akan luluh seiring berjalannya waktu. Dalam pepatah jawa pun aku sering mendengar, wiwiting tresno jalaran saka kulino. Yang artinya cint
Hatiku sedikit merasa lega setelah mencurahkan isi hati pada Mila. Tak ada yang bisa menjadi pendengar yang baik selain dia. Dulu, ada Bude yang mengerti segala isi hati. Tapi jika Bude tahu rumah tanggaku yang tidak baik-baik saja dia akan khawatir. Setelah merasa puas bertemu Mila, aku berpamitan untuk kembali pulang. Hari pun sudah beranjak sore. Aku harus menyiapkan makanan sebelum Mas Lian pulang.“Aku balik dulu ya.”Mila membalas pelukanku, lalu kami sama-sama menaiki ojek online menuju rumah masing-masing.Tak butuh waktu lama, ojek online yang kutumpangi berhenti di depan rumah. Setelah membayar ongkos aku segera masuk rumah. Tapi aku dibuat bertanya saat ada mobil asing yang terparkir di depan rumah. Apa Mas Lian punya mobil lain, aku membatin.Pintu yang terbuka menuntun langkahku terus maju.“Assalamua-la-ikum.”Begitu terkejutnya aku dengan pemandangan di depanku.Seorang wanita yang memeluk suamiku itu, mengurai pelukannya mendengar salam dariku.Tubuhku terasa lemas, t
“Mas apa kita beneran akan pergi?” tanyaku saat Mas Lian sudah selesai makan.“Nggak.”“Jadi kamu bohong ke Mama.”“Saya akan pergi sendiri.”Mataku menyipit mendengar jawaban ambiku darinya.“Pergi sendiri?”“Selama saya di Bali kamu nginep di rumah Bude.”Hatiku mencelos.“Artinya kamu berbohong sama Mama, Mas. Lebih baik tadi kamu bilang aja kalau gak bisa pergi, alasan banyak kerjaan atau gimana gitu.”“Sama aja bohongkan, udah kamu gak usah pusing mikirin itu.”Mas Lian unjuk diri dari tempatnya. Aku menarik napas panjang. Entah sampai kapan aku punya stok kesabaran untuk menghadapi kulkas dingin itu. Kesabaran ada batasnya dan aku tak bisa menjamin akan sabar selamanya.Dari pada memikirkan Mas Lian aku memilih membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor bekas makan malamku dangannya tadi. Tentang esok biarlah semua mengalir apa adanya. Setelah menyelesaikan pekerjaan aku memilih istirahat. Gegas kaki ini melangkah ke kamar.#Paginya seperti biasa, aku menyiapkan sarapan
“Kamu bicara dengan siapa, Mas?” tanya Nadira.Lian yang berdiri di depan jendela menghadap keluar memutar badan.“Bukan siapa-siapa,” balasnya. Nadira menerka-nerka, sudah pasti suaminya itu bicara dengan gadis itu.“Kamu jangan bohong, Mas.”Merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan suami gadis itu kembali bertanya, “pasti wanita itu kan?” tebak Nadira.Bayangan sang suami yang berada di dalam dekapan wanita lain itu muncul, membuat ulu hati terasa perih.“Jangan bilang kamu akan pergi dengannya.”“Bukan urusan kamu.”Lian terlihat santai tak penuli dengan Nadira yang menahan emosi dan siap meledak kapan saja.“Aku mohon, Mas. Kali ini saja kamu dengerin aku.”Lian duduk di ranjang dengan punggung bersandar di kepala ranjang. Tangannya asik memainkan benda pipih yang ada di tangan.Nadira berjalan mendekat, lalu gadis berparas ayu itu duduk di sisi Lian.“Mas, aku paham kalau kamu belum bisa menerima aku. Tapi setidaknya kamu harus menjaga perasaanku, bukan. Jangan pikirkan p
"Jangan berharap banyak pada saya, karena saya tidak pernah menginginkan pernikahan ini sedikit pun!" ucapnya dengan tegas.Gadis yang masih menggunakan gaun pengantin itu terhenyak. Dadanya mendadak merasa nyeri. Tidak pernah menyangka jika malam yang seharusnya berlangsung romantis dan indah malah membuatnya merasa sedih dan kecewa. Merasa tidak diinginkan. Bahkan, pria yang baru saja menyandang gelar suami tadi pagi seperti enggan menyentuhnya.Nadira Kusuma Dewi, gadis yang kini genap berusia dua puluh tiga tahun. Di usianya yang terbilang masih cukup muda, ia harus menerima perjodohan oleh Pakde dan Budenya. Sebagai bentuk balas budi telah merawat Nadira sampai sekarang, gadis ayu dengan bulu mata lentik itu dengan pasrah menerima perjodohan. Dia percaya jika Pakdenya telah memilih lelaki terbaik untuknya.Ternyata, impian pernikahan bahagia itu hanyalah bayangan. Pria yang dipilih Pakde dan Budenya jauh dari suami impian. Bahkan yang lebih sakit, Nadira ditolak saat malam pertam