Nadira pov
Menikah dengan orang yang baru dikenal, adalah petualangan baru yang harus aku lalui. Bagaimana tidak.Ternyata orang itu jauh dari ekspetasiku. Yang kupikir menikah dengan orang asing semua akan mudah karena kita saling tak kenal. Semua akan berjalan dengan apa adanya. Dan, ya, itu benar. Semua berjalan apa adanya walaupun sangat menyakitkan.Tak ada malam pertama yang selalu didamba kedua pengantin baru. Bahkan, dia menolak seakan tak sudi dan menganggapku hina. Padahal aku hanya manusia biasa sama sepertinya yang tak berdaya menolak perjodohan ini.Iya, Pakde dan Bude telah menjodohkanku dengan pria bernama Aulian Putra Pratama. Kuakui dia memang sosok tampan dan sukses meneruskan usaha papanya. Tapi, untuk urusan hati, pria yang biasa kusebut Mas Lian adalah orang paling egois dan palingg tidak punya hati di muka bumi ini.Karena perjodohan ini dia sangat membenciku padahal bukan aku yang patut disalahkan. Aku hanya mengikuti titah Pakde dan Bude yang menurutku benar. Tidak mungkin mereka memilih orang yang salah untukku yang sudah mereka anggap seperti anak kandung sendiri. Selain itu, kata Pakde, orangtuaku adalah sahabat papa Amir dulu. Mereka sudah sepakat menjodohkan anak-anak mereka bahkan saat mereka belum menikah. Salahkan saja mereka, bukan aku.Mas Lian, kenapa bisa ia sangat egois. Jika memang tidak suka denganku mengapa tidak menolak saja dan menikah dengan wanita yang dipanggil sayang saat dia telepon. Dengan begitu mungkin ketika kepala gak akan ada yang sakit, terutama aku. Sudah jelas aku istri sahnya tapi di depanku dia menyebut wanita lain dengan sebut sayang. Sungguh tega.Kalau saja bukan karena Mama Erna dan Papa Amir, mungkin aku sudah angkat kaki dari rumah ini.Astaghfirullah, bagaimana bisa aku berpikir pendek seperti itu.Bagaimana pun mas Lian kini adalah suamiku. Aku harus berjuang mendapatkan hatinya. Kata Bude, doa istri itu sangat ijabah. Mungkin aku hanya perlu bersabar dan mendoakan supaya lekas luluh hatinya. Supaya nama wanita lain lekas geser di hatinya terganti dengan namaku selamanya. Mungkin benar ini adalah jalan jihadku meraih rido-Nya.“Heh!”Aku yang sedang asyik melamun pun kaget saat tiba-tiba Mas Lian datang dan mengibaskan selembar ketas di depan wajah.“Saya tidak butuh ini!” dia melempar kembali kertas itu di wajahku.Kulirik kertas yang jatuh ke lantai, rupanya itu tiket honeymoon hadiah dari Papa dan mama tadi.“Aku juga gak minat kok, Mas.”Dia tersenyum, seolah mengejek ucapanku.“Saya tahu betul wanita seperti apa kamu. Luarnya aja sok agamis dalamnya, pasti busuk.”“Sudahlah Mas, aku gak mau berdebat sama kamu. Percuma, karena sangat membenciku. Jadi apa pun yang keluar dari mulutku akan selalu kamu telan mentah-mentah!” tegasku. Aku sudah capek terus diinjak-injak. Sudah cukup dia terus berteriak.“Hati-hati ya, Mas. Benci bisa jadi cinta.”“Mimpi!”“Aku hanya memberi pesan sebelum kamu benar-benar jatuh cinta.”Benar kan, banyak kisah yang kubaca dari novel romantis, kalau pada awalnya tokoh utama saling benci tapi pada akhirnya mereka saling mencintai. Bahkan tak terpisahkan. Semoga saja aku dan Mas Lian bisa seperti itu. Kisah manis yang diawali dengan kebencian tapi happy ending.“Wanita gila!”Aku tak peduli lagi dengan ucapannya. Lebih baik sekarang aku pergi ke kamar dan istirahat. Mas Lian mungkin tidak tahu kalau akting di depan mama dan papa juga cukup menguras tenaga dan emosi.Benar saja, saking lelahnya aku tak butuh waktu lama setelah mengambil wudu dan gosok gigi, tak perlu waktu lama aku pergi ke alam mimpi. Berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. # Pagi sudah menyapa dengan mentari yang menyemburkan sinarnya. Meskipun bukan istri yang diharapkan aku akan tetap melakukan tugas istri yang baik, seperti saat ini, menyiapkan sarapan untuk Mas Lian.Kemarin malam dia kesal karenaku. Aku harap nasi goreng spesial buatanku bisa sedikit mengobati rasa kesal itu. Setelah menyiapkan makanan di atas meja suara langkah kaki Mas Lian terdengar menuruni anak tangga. Langkahku dengan gesit berlari ke arahnya untuk menyambut.“Mas sarapan dulu yuk!” ajakku dengan penuh harap meskipun tahu pada akhirnya....“Saya sarapan di kantor.”Mas Lian menolak, tidak mengejutkan lagi karena aku sudah mulai terbiasa.“Kali ini aja,” mataku berbinar mengharap dia akan setuju.Dia tidak menjawab, hanya melirik jam yang melingkar di tangan.“Saya terlambat!”Selalu saja begitu. Apa tak ada alasan yang lain. Mas Lian meninggalkanku yang kecewa. Tapi, tak masalah karena aku mulai terbiasa. Atau aku harus berusaha mengubah kebiasaan itu. Apa aku bisa dan memiliki kesempatan itu. Entahlah.Aku hendak kembali ke dapur. Langkahku terhenti saat melihat Mas Lian kembali. Mungkinkah dia berubah pikiran, batinku.“Kenapa Mas? Mau sarapan?”Pertanyaanku dia abaikan dengan pergi begitu saja ke lantai atas. Aku mengembuskan napas dalam. Ya Allah, luaskanlah kesabaranku menghadapi makhlukmu yang satu itu.Memilih menyantap nasi goreng seorang diri di dapur. Saat baru beberapa sendok nasi masuk ke mulutku Mas Lian datang dengan tatapan tajam.“Tanda tangan!”“Apa ini, Mas?”Aku mengamati sebuah map di depanku.“Surat kontrak.”“Maksud kamu?”“Pernikahan kita hanya sementara, tanda tangani surat itu. Setelah kita pisah kamu akan dapat uang kompensasi. Dua ratus juta.”Tak habis pikir dengan jalan pikirannya. Bagaimana bisa Mas Lian menganggap pernikahan yang sah di mata agama dan negara hanya sebuah kesepakatan belaka. “Cepat! Bukankah kamu menikah dengan saya karena uang. Jadi untuk apa berpikir lama. Cepat tanda tangan untung ambil keuntungan.”Aku tersenyum sumbang.“Bagaimana bisa kamu menghargai pernikahan yang sakral ini hanya dua ratus juta. Hanya itu kemampuanmu.”Aku tak mau kalah.“Kamu mau berapa 300 juta, 500 juta?”“Maaf, Mas. Aku gak bisa, bagiku pernikahan ini tak ternilai.”Kuserahkan kembali map itu padanya.“Kamu mau berapa?”“Bagaimana jika aku tidak mau?”“Terserah! Saya sudah baik memberikan tawaran untukmu. Kamu malah ngelunjak.”Mas Lian pergi dengan amarahnya. Aku tak peduli dengan hal itu.Aku memilih melanjutkan sarapanku yang sempat terjeda. Tapi, mataku beralih pada benda yang tergeletak di atas meja tak jauh dari Mas Lian berdiri tadi. Sebenarnya ingin tidak peduli, tapi naluri suka menolongku jauh lebih besar. Alhasil kuraih benda tersebut dan berlari menyusul suamiku.“Mas Lian!!!”BughKuelus dahiku yang baru saja bertabrakan dengan...Dada Mas LianKuberanikan diri melihat dia yang terlihat menahan amarah.“Ini ketinggalan.”Dia menyahut kunci mobil di tanganku dengan cepat.“Makasih.”Mulutku ternganga seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Ini beneran?“Buat saya jatuh cinta jika kamu tidak ingin menandatanganinya.”Dia lantas pergi setelah mengucapkan hal itu. Aku semakin bingung dibuatnya.Setelah Mas Lian berangkat kerja aku kembali masuk. Ucapannya masih menghantui kepalaku. Dia bilang aku harus membuatnya jatuh cinta. Haruskah? Tapi bagaimana bisa aku membuatnya jatuh cinta padaku sedangkan dia menutup rapat jalan kesana.Aku mengembuskan napas panjang.Setelah mencuci piring bekas aku sarapan tadi, aku memilih berselonjoran di depan tv. Seperti hari biasanya, tinggal seorang diri saat dia ke kantor sangat membosankan. Yang menghiburku hanyalah drama korea yang ada di layar kaca.Andai, kisahku semanis drama yang biasa kutonton. Seseru kisah yang biasanya kubaca. Tapi, ini kisahku yang pilu dan memuakkan.Biasanya dalam drama aku melihat pemeran utama pria yang dingin layaknya es batu akan mencair melihat pemeran utama wanitanya, yah meskipun butuh waktu.Ya, waktu. Kenapa aku jadi lupa. Semua itu hanya butuh proses. Mas Lian pasti akan luluh seiring berjalannya waktu. Dalam pepatah jawa pun aku sering mendengar, wiwiting tresno jalaran saka kulino. Yang artinya cint
Hatiku sedikit merasa lega setelah mencurahkan isi hati pada Mila. Tak ada yang bisa menjadi pendengar yang baik selain dia. Dulu, ada Bude yang mengerti segala isi hati. Tapi jika Bude tahu rumah tanggaku yang tidak baik-baik saja dia akan khawatir. Setelah merasa puas bertemu Mila, aku berpamitan untuk kembali pulang. Hari pun sudah beranjak sore. Aku harus menyiapkan makanan sebelum Mas Lian pulang.“Aku balik dulu ya.”Mila membalas pelukanku, lalu kami sama-sama menaiki ojek online menuju rumah masing-masing.Tak butuh waktu lama, ojek online yang kutumpangi berhenti di depan rumah. Setelah membayar ongkos aku segera masuk rumah. Tapi aku dibuat bertanya saat ada mobil asing yang terparkir di depan rumah. Apa Mas Lian punya mobil lain, aku membatin.Pintu yang terbuka menuntun langkahku terus maju.“Assalamua-la-ikum.”Begitu terkejutnya aku dengan pemandangan di depanku.Seorang wanita yang memeluk suamiku itu, mengurai pelukannya mendengar salam dariku.Tubuhku terasa lemas, t
“Mas apa kita beneran akan pergi?” tanyaku saat Mas Lian sudah selesai makan.“Nggak.”“Jadi kamu bohong ke Mama.”“Saya akan pergi sendiri.”Mataku menyipit mendengar jawaban ambiku darinya.“Pergi sendiri?”“Selama saya di Bali kamu nginep di rumah Bude.”Hatiku mencelos.“Artinya kamu berbohong sama Mama, Mas. Lebih baik tadi kamu bilang aja kalau gak bisa pergi, alasan banyak kerjaan atau gimana gitu.”“Sama aja bohongkan, udah kamu gak usah pusing mikirin itu.”Mas Lian unjuk diri dari tempatnya. Aku menarik napas panjang. Entah sampai kapan aku punya stok kesabaran untuk menghadapi kulkas dingin itu. Kesabaran ada batasnya dan aku tak bisa menjamin akan sabar selamanya.Dari pada memikirkan Mas Lian aku memilih membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor bekas makan malamku dangannya tadi. Tentang esok biarlah semua mengalir apa adanya. Setelah menyelesaikan pekerjaan aku memilih istirahat. Gegas kaki ini melangkah ke kamar.#Paginya seperti biasa, aku menyiapkan sarapan
“Kamu bicara dengan siapa, Mas?” tanya Nadira.Lian yang berdiri di depan jendela menghadap keluar memutar badan.“Bukan siapa-siapa,” balasnya. Nadira menerka-nerka, sudah pasti suaminya itu bicara dengan gadis itu.“Kamu jangan bohong, Mas.”Merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan suami gadis itu kembali bertanya, “pasti wanita itu kan?” tebak Nadira.Bayangan sang suami yang berada di dalam dekapan wanita lain itu muncul, membuat ulu hati terasa perih.“Jangan bilang kamu akan pergi dengannya.”“Bukan urusan kamu.”Lian terlihat santai tak penuli dengan Nadira yang menahan emosi dan siap meledak kapan saja.“Aku mohon, Mas. Kali ini saja kamu dengerin aku.”Lian duduk di ranjang dengan punggung bersandar di kepala ranjang. Tangannya asik memainkan benda pipih yang ada di tangan.Nadira berjalan mendekat, lalu gadis berparas ayu itu duduk di sisi Lian.“Mas, aku paham kalau kamu belum bisa menerima aku. Tapi setidaknya kamu harus menjaga perasaanku, bukan. Jangan pikirkan p
"Jangan berharap banyak pada saya, karena saya tidak pernah menginginkan pernikahan ini sedikit pun!" ucapnya dengan tegas.Gadis yang masih menggunakan gaun pengantin itu terhenyak. Dadanya mendadak merasa nyeri. Tidak pernah menyangka jika malam yang seharusnya berlangsung romantis dan indah malah membuatnya merasa sedih dan kecewa. Merasa tidak diinginkan. Bahkan, pria yang baru saja menyandang gelar suami tadi pagi seperti enggan menyentuhnya.Nadira Kusuma Dewi, gadis yang kini genap berusia dua puluh tiga tahun. Di usianya yang terbilang masih cukup muda, ia harus menerima perjodohan oleh Pakde dan Budenya. Sebagai bentuk balas budi telah merawat Nadira sampai sekarang, gadis ayu dengan bulu mata lentik itu dengan pasrah menerima perjodohan. Dia percaya jika Pakdenya telah memilih lelaki terbaik untuknya.Ternyata, impian pernikahan bahagia itu hanyalah bayangan. Pria yang dipilih Pakde dan Budenya jauh dari suami impian. Bahkan yang lebih sakit, Nadira ditolak saat malam pertam
Nadira menatap nanar pemandangan di depannya. Sungguh indah, rumah minimalis dengan suguhan taman di depan rumah. Rumah yang akan ia tinggali mulai saat ini bersama sang suami. Lian sengaja memboyong Nadira ke rumah yang ia beli sendiri agar hubungan yang sebenarnya tidak diketahui semua orang. Nadira dibuat kagum, selera Lian tidak begitu buruk.Brakkk..Aksi pengamatan Nadira buyar saat Lian dengan sengasa menutup bagasi mobil dengan keras."Bawa koper kamu!" tunjuk Lian pada koper yang tergeletak tak jauh dari mobilnya."Tapi Mas-" Belum juga selesai bicara, Lian seenak jidat meninggalkan Nadira.Memang apa yang bisa diharapkan dari sang suami. Lian akan membawakan kopernya dengan satu tangan melingkar di pinggang, menuntun Nadira masuk rumah. Nadira menghela napas dalam, itu hanya bayangannya. Sekarang gadis dengan hijab berwarna abu muda itu harus menyeret kopernya sendiri, dan satu lagi tas ransel yang cukup besar. Berjalan sedikit kewalahan mengikuti Lian yang masuk rumah lebih
Semua berawal saat Lian baru saja pulang dari kantor. Sang mama dan papa sudah menunggu di meja makan. Hari itu Lian pulang sekitar jam delapan malam karena ada banyak berkas yang harus dicek olehnya."Halo Ma, Pa!" Sapa Lian kala memasuki dapur."Sudah pulang, Sayang." Mama Rena mengusap kepala Lian dengan lembut. Lantas Lian mencium pipi Mamanya."Lian capek banget," Keluh pria itu setelah menyalami tangan mama dan papanya."Kamu mandi dulu. Setelah itu kita makan bersama."Lian menuruti titah sang Mama. Pria itu berjalan ke arah kamar untuk membersihkan diri dan melepas penat sejenak."Mama takut Lian tidak mau, Pa." Mama Rena bertanya pada sang suami."Mama tenang saja. Lian tidak bisa menolak kali ini."Ada rasa khawatir di dalam hati Mama Rena. Selama ini Lian selalu memutuskan segalanya sendiri. Dan kini mereka mengambil alih keputusan untuk pria dewasa itu. Bukan tanpa sebab, melainkan hanya ingin yang terbaik bagi putra semata wayangnya itu."Papa yakin?" Tanya Mama Rena ragu
Suasana hati Lian sangat bagus. Hari ini ia akan memperkenalkan kekasih hatinya pada sang Mama. Wanita cantik dengan dress selutut itu sudah duduk di samping kemudi.Tersenyum kearah Lian dengan sangat manis.“Aku gugup, Sayang.”Tangan Amelia melingkar ke bahu Lian.“Jangan khawatir Sayang. Mamaku orang terbaik di dunia, kamu akan beruntung memiliki mertua sepertinya.”Amelia menanggapi hal tersebut dengan anggukan kepala. semoga saja yang dikatakan Lian itu benar. Karena selama ini Amelia selalu mendengar jika kebanyakan mertua itu jahat.Beberapa menit kemudian sepasang kekasih yang saling mencintai itu sampai di kediaman Lian. Lian dengan romantis membukakan pintu untuk sang pujaan hati.“Makasih Sayang.”Lian menggandeng tangan Amelia dengan mesra memasuki rumah.“Maa!” suara Lian menggema di rumah besar dan megah.“Aku ada kejutan buat Mama!”Amelia mengamati Lian yang begitu antusias. Ada rasa haru, bangga, dan senang menyelinap di dalam hati. Bersama Lian ia selalu merasa spes