Nadira menatap nanar pemandangan di depannya. Sungguh indah, rumah minimalis dengan suguhan taman di depan rumah. Rumah yang akan ia tinggali mulai saat ini bersama sang suami. Lian sengaja memboyong Nadira ke rumah yang ia beli sendiri agar hubungan yang sebenarnya tidak diketahui semua orang. Nadira dibuat kagum, selera Lian tidak begitu buruk.
Brakkk..
Aksi pengamatan Nadira buyar saat Lian dengan sengasa menutup bagasi mobil dengan keras.
"Bawa koper kamu!" tunjuk Lian pada koper yang tergeletak tak jauh dari mobilnya.
"Tapi Mas-" Belum juga selesai bicara, Lian seenak jidat meninggalkan Nadira.
Memang apa yang bisa diharapkan dari sang suami. Lian akan membawakan kopernya dengan satu tangan melingkar di pinggang, menuntun Nadira masuk rumah. Nadira menghela napas dalam, itu hanya bayangannya. Sekarang gadis dengan hijab berwarna abu muda itu harus menyeret kopernya sendiri, dan satu lagi tas ransel yang cukup besar. Berjalan sedikit kewalahan mengikuti Lian yang masuk rumah lebih dulu.
"Lelet amat!" todong Lian saat baru saja Nadira sampai di depan pintu.
"Berat Mas," balas Nadira.
Lian tak menjawab, pria itu memberi isyarat agar Nadira mengikuti langkahnya.
"Ini kamar kamu." Tunjuk Lian pada kamar yang terletak di pojok kiri lantai bawah.
"Kamar aku?" Nadira bingung.
"Ya, kamar saya ada di atas."
Nadira semakin mengerutkan dahi. Bukankah mereka sepasang suami istri lalu kenapa Lian harus menyiapkan kamar terpisah.
"Tapi kan kita suami istri, Mas. Mana ada ceritanya pisah kamar."
"Itu berlaku untuk pasangan normal, sedangkan kita tidak. Kita hanya sepasang manusia asing yang disatukan oleh keadaan. Semua terpaksa. Jadi jangan pernah mengharapkan saya layaknya suami sungguhan. Semua akan segera berakhir di waktu yang tepat."
Nadira tersenyum kecut.
"Mudah sekali ya kamu bicara seperti itu, Mas. Pernikahan sama sekali gak ada artinya bagi kamu. Padahal, waktu akad kamu sudah berjanji di hadapan Allah. Apa arti pernikahan yang sakral di mata kamu ini cuma permainan. Astaghfirullah... "
"Saya tidak peduli dengan penilaianmu. Yang jelas tinggal di sini ikuti peraturan saya."
Nadira hanya mengelus dada saat punggung Lian semakin menjauh dari netranya. Apa benar Nadira akan bertahan dengan orang seperti Lian. Daripada memikirkan Lian yang teguh dengan pendiriannya, Nadira memilih masuk kamar barunya. Merapikan tempat singgahnya. Menata barangnya ke tempat yang baru. Setelah selesai dia memilih merebahkan diri untuk istirahat. Berdebat dengan Lian juga butuh tenaga. Nadira akan menyiapkan banyak tenaga juga kesabaran untuk menghadapi Lian selanjutnya.
Suara azan maghrib berkumandang membuat Nadira terperanjat. Gadis itu bangun dari tidurnya lalu duduk.
"Ya Allah, sudah maghrib."
Nadira ketiduran cukup lama. Ia sampai seperti kebingungan saat bangun. Mungkin itu karena dia tidur di waktu yang tidak diperbolehkan tidur. Tadi karena merasa tubuhnya sangat penat, setelah merapikan barangnya dan sedikit istirahat begitu masuk waktu asar Nadira langsung shalat. Setelah menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim Nadira melanjutkan waktu rebahannya sampai ia tertidur. Setelah subuh dan asar adalah dua waktu yang tidak disarankan untuk tidur. Selain tidak baik bagi kesehatan juga tidak disenangi oleh Allah.
Tanpa menunggu lama Nadira langsung beranjak mengambil wudu dari kamar mandi dalam kamarnya. Setelah shalat gadis itu berniat mengelilingi rumah barunya. Mengenali setiap sudut yang ada.
Dengan setelan baju dan celana berwana marun Nadira keluar dari kamar. Kerudung instan tetap melekat di kepala menutupi rambut hitam legam. Tak ada suara tanda kehidupan di dalam rumah. Lian, entah di mana dia berada. Nadira tak tertarik mencarinya. Gadis itu lebih tertarik dengan dapur yang ada di depannya. Sebuah dapur lengkap dengan kitchen set. Meja dapur yang begitu mengkilat karena terbuat dari marmer. Mata Nadira langsung melebar tersanjung dengan pemandangan di depannya. Dapur barunya akan membuatnya betah beroperasi di sana.
Nadira membuka-buka disana berharap bisa menemukan bahan makanan yang bisa ia makan. Gadis itu hanya menemukan telur di dalam kulkas. Hari ini adalah hari pertama dia masak di dapur milik Lian, yang kini jadi miliknya juga. Nadira memasak nasi dalam magic com menggunakan air panas agar lebih cepat matang. Lalu tak lupa menyiapkan omelet spesial untuk suaminya. Berharap jika perhatian Nadira akan meluluhkan hati sang suami.
Tak butuh waktu lama untuk menyiapkan omelet. Setelah omelet matang, sambil menunggu nasi matang Nadira berkeliling rumah. Setiap sudut rumah lantai dasar sudah ia absen satu per satu. Tinggal lantai dua yang belum ia kunjungi. Tapi hatinya gamang untuk melangkah ke atas. Satu kakinya sudah menepaki anak tangga, tapi beberapa menit kemudian ia tarik lagi. Beberapa kali seperti itu. Sampai akhirnya Nadira memilih pergi ke kamar untuk menunaikan shalat Isha karena azan sudah mulai berkumandang.
"Assalamu'alaikum warrahmatullah.. Assalamu'alaikum warrahmatullah... "
"Ya Allah lembutkanlah hati suami hamba. Berikan ruang untukku di hatinya. Bantu Mas Lian menerima pilihan Mamanya. Semua hamba serahkan kepada-Mu. Aamiin."
Nadira mengusapkan kedua tangannya ke wajah setelah berdoa. Melipat kembali mukena dan meletakkan ke tempat asal. Nadira mengambil hijabnya lalu memakainya sebelum keluar kamar.
Gadis dengan badan mungil itu menuntun langkahnya ke dapur. Nadira ingin memastikan jika nasi yang ia masak tadi sudah matang. Setelah memastikan nasi matang Nadira tanpa ragu pergi ke lantai dua untuk mengajak Lian makan malam bersama.
Tok.. Tok...
Nadira mengetuk pintu kamar Lian dengan hati-hati.
Gadis itu mengulang sampai ke tiga kalinya, baru sang empunya membukakan pintu.
"Apa?" bentak Lian setelah pintu terbuka.
Nadira sedikit kaget.
"Anu-itu, aku sudah menyiapkan makan malam. Ayo makan bersama, Mas." Nadira menggigit bibir bawahnya.
"Saya belum lapar!"
"Tap-"
Brakkkk
Pintu ditutup dengan keras bahkan saat Nadira belum selesai bicara. Gadis itu mengelus dada. Sabar Nadira, gumamnya.
Dengan kecewa Nadira menuruni anak tangga. Sepertinya butuh usaha lebih keras lagi untuk membuat Lian menerima kehadirannya.
Nadira memilih duduk di meja makan sambil mengamati makanan yang sudah tersaji di atas meja. Berharap jika ego Lian akan runtuh dengan rasa lapar yang menerjang. Detik berganti menit masih belum ada tanda kedatangan Lian. Bahkan perut Nadira sudah mulai keroncongan karena sejak tadi belum diisi. Ingin makan dulu tapi takut Lian berubah pikiran. Akhirnya gadis itu memilih untuk bersabar sedikit lagi.
Suara derap langkah kaki terdengar dari arah tangga. Nadira antusias untuk menyambut kedatangan Lian. Namun, melihat pakaian tapi Lian Nadira sedikit ragu. Tidak mungkin hanya untuk makan malam dengannya pria itu berpakaian rapi seperti itu.
"Mas Lian mau kemana?"
Benar dugaan Nadira. Lian berjalan keluar rumah, tidak pergi ke dapur.
"Bukan urusan kamu."
"Tapi ini sudah malam, Mas. Sebaiknya kita makan malam di rumah saja."
Lian menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Nadira yang sedari tadi ia punggungi.
Menatap gadis bermata cokelat itu dengan tajam.
"Mau saya kemana pun bukan urusan kamu. Bisa gak sih kamu gak ganggu saya sebentar saja!"
Nyali Nadira menciut. Entah sudah berapa kali suami berkata kasar padanya. Padahal Nadira tak pernah minta apapun. Gadis itu paham jika mereka menikah karena perjodohan, tapi tidak seharusnya juga Lian bersikap seperti itu padanya.
Gadis itu memilih diam tak berani melanjutkan lagi. Lian yang masih berdiri di hadapannya meraih ponsel dalam saku celana karena berbunyi.
"Halo Sayang!"
Sontak Nadira mengangkat wajah, mata gadis itu melebar. Sayang. Apa telinga Nadira salah dengar. Tanpa berpikir tentang perasaan Nadira, Lian dengan enteng memanggil gadis lain dengan sebutan sayang.
"Sabar, kamu tunggu, sebentar lagi aku sampai."
Lian memutuskan sambungan telepon lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.
"Siapa yang kamu panggil sayang, Mas?"
"Wanita yang paling aku sayangi. Dan sekarang karena kehadiran kamu, waktu saya jadi terbatas untuk bertemu dengannya." Lian menjawab tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Sedangkan hati Nadira, tentu saja hancur mengetahui pengakuan sang suami yang sangat jujur.
"Talak aku, Mas." Nadira sudah tak ingin berharap banyak pada Lian. Karena pria itu sama sekali tak memberi Nadira kesempatan untuk mengeruk hatinya.
"Kamu tenang aja, itu bakal terjadi. Tapi tidak sekarang."
Lian pergi meninggalkan Nadira di rumah seorang diri. Pria itu sama sekali tidak peduli jika Nadira sebelumnya tidak pernah di rumah sendirian. Nadira merasa takut. Tapi, rasa takut itu kalah akan kekecewaan yang ia dapat. Air mata yang ia tahan akhirnya tumpah. Nadira menangis tersedu di atas ranjang dengan tubuh tengkurap sampai lelah datang dan kantuk menyerang. Nadira berhenti menangis setelah ia tertidur.
Bukan pernikahan seperti ini yang Nadira harapkan.
Semua berawal saat Lian baru saja pulang dari kantor. Sang mama dan papa sudah menunggu di meja makan. Hari itu Lian pulang sekitar jam delapan malam karena ada banyak berkas yang harus dicek olehnya."Halo Ma, Pa!" Sapa Lian kala memasuki dapur."Sudah pulang, Sayang." Mama Rena mengusap kepala Lian dengan lembut. Lantas Lian mencium pipi Mamanya."Lian capek banget," Keluh pria itu setelah menyalami tangan mama dan papanya."Kamu mandi dulu. Setelah itu kita makan bersama."Lian menuruti titah sang Mama. Pria itu berjalan ke arah kamar untuk membersihkan diri dan melepas penat sejenak."Mama takut Lian tidak mau, Pa." Mama Rena bertanya pada sang suami."Mama tenang saja. Lian tidak bisa menolak kali ini."Ada rasa khawatir di dalam hati Mama Rena. Selama ini Lian selalu memutuskan segalanya sendiri. Dan kini mereka mengambil alih keputusan untuk pria dewasa itu. Bukan tanpa sebab, melainkan hanya ingin yang terbaik bagi putra semata wayangnya itu."Papa yakin?" Tanya Mama Rena ragu
Suasana hati Lian sangat bagus. Hari ini ia akan memperkenalkan kekasih hatinya pada sang Mama. Wanita cantik dengan dress selutut itu sudah duduk di samping kemudi.Tersenyum kearah Lian dengan sangat manis.“Aku gugup, Sayang.”Tangan Amelia melingkar ke bahu Lian.“Jangan khawatir Sayang. Mamaku orang terbaik di dunia, kamu akan beruntung memiliki mertua sepertinya.”Amelia menanggapi hal tersebut dengan anggukan kepala. semoga saja yang dikatakan Lian itu benar. Karena selama ini Amelia selalu mendengar jika kebanyakan mertua itu jahat.Beberapa menit kemudian sepasang kekasih yang saling mencintai itu sampai di kediaman Lian. Lian dengan romantis membukakan pintu untuk sang pujaan hati.“Makasih Sayang.”Lian menggandeng tangan Amelia dengan mesra memasuki rumah.“Maa!” suara Lian menggema di rumah besar dan megah.“Aku ada kejutan buat Mama!”Amelia mengamati Lian yang begitu antusias. Ada rasa haru, bangga, dan senang menyelinap di dalam hati. Bersama Lian ia selalu merasa spes
Pagi seperti biasanya Nadira bangun saat qiraah dari toa masjid terdengar. Gadis itu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dua puluh menit kemudian Nadira sudah siap untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Karena tidak mendapati tanda-tanda kehidupan Nadira beranjak ke kamar Lian."Mas Lian!"Nadira mengetuk beberapa kali pintu kayu di depannya. Tapi, tak membuahkan hasil sama sekali. Meskipun gamang dia memutuskan untuk memutar knop pintu. Pintu terbuka, terlihat Lian yang masih tertidur pulas di tempatnya."Mas Lian, bangun!" Panggil Nadira, gadis itu berdiri di sisi ranjang. Tak berniat menyentuh Lian karena sudah mempunyai wudu."Mas Lian, udah subuh. Shalat yuk!" Ajak Nadira tak pantang menyerah.Mendengar namanya dipanggil berkali-kali akhirnya Lian bangun. Ia merasa kesal karena tidurnya terganggu."Apaan sih, masih pagi juga." Ketus Lian setelah mengumpulkan nyawanya."Sudah subuh, Mas. Ayo shalat," Ucap Nadira lembut dengan senyum manisnya."Shalat aja
Nadira povMenikah dengan orang yang baru dikenal, adalah petualangan baru yang harus aku lalui. Bagaimana tidak.Ternyata orang itu jauh dari ekspetasiku. Yang kupikir menikah dengan orang asing semua akan mudah karena kita saling tak kenal. Semua akan berjalan dengan apa adanya. Dan, ya, itu benar. Semua berjalan apa adanya walaupun sangat menyakitkan.Tak ada malam pertama yang selalu didamba kedua pengantin baru. Bahkan, dia menolak seakan tak sudi dan menganggapku hina. Padahal aku hanya manusia biasa sama sepertinya yang tak berdaya menolak perjodohan ini.Iya, Pakde dan Bude telah menjodohkanku dengan pria bernama Aulian Putra Pratama. Kuakui dia memang sosok tampan dan sukses meneruskan usaha papanya. Tapi, untuk urusan hati, pria yang biasa kusebut Mas Lian adalah orang paling egois dan palingg tidak punya hati di muka bumi ini.Karena perjodohan ini dia sangat membenciku padahal bukan aku yang patut disalahkan. Aku hanya mengikuti titah Pakde dan Bude yang menurutku benar. T
Setelah Mas Lian berangkat kerja aku kembali masuk. Ucapannya masih menghantui kepalaku. Dia bilang aku harus membuatnya jatuh cinta. Haruskah? Tapi bagaimana bisa aku membuatnya jatuh cinta padaku sedangkan dia menutup rapat jalan kesana.Aku mengembuskan napas panjang.Setelah mencuci piring bekas aku sarapan tadi, aku memilih berselonjoran di depan tv. Seperti hari biasanya, tinggal seorang diri saat dia ke kantor sangat membosankan. Yang menghiburku hanyalah drama korea yang ada di layar kaca.Andai, kisahku semanis drama yang biasa kutonton. Seseru kisah yang biasanya kubaca. Tapi, ini kisahku yang pilu dan memuakkan.Biasanya dalam drama aku melihat pemeran utama pria yang dingin layaknya es batu akan mencair melihat pemeran utama wanitanya, yah meskipun butuh waktu.Ya, waktu. Kenapa aku jadi lupa. Semua itu hanya butuh proses. Mas Lian pasti akan luluh seiring berjalannya waktu. Dalam pepatah jawa pun aku sering mendengar, wiwiting tresno jalaran saka kulino. Yang artinya cint
Hatiku sedikit merasa lega setelah mencurahkan isi hati pada Mila. Tak ada yang bisa menjadi pendengar yang baik selain dia. Dulu, ada Bude yang mengerti segala isi hati. Tapi jika Bude tahu rumah tanggaku yang tidak baik-baik saja dia akan khawatir. Setelah merasa puas bertemu Mila, aku berpamitan untuk kembali pulang. Hari pun sudah beranjak sore. Aku harus menyiapkan makanan sebelum Mas Lian pulang.“Aku balik dulu ya.”Mila membalas pelukanku, lalu kami sama-sama menaiki ojek online menuju rumah masing-masing.Tak butuh waktu lama, ojek online yang kutumpangi berhenti di depan rumah. Setelah membayar ongkos aku segera masuk rumah. Tapi aku dibuat bertanya saat ada mobil asing yang terparkir di depan rumah. Apa Mas Lian punya mobil lain, aku membatin.Pintu yang terbuka menuntun langkahku terus maju.“Assalamua-la-ikum.”Begitu terkejutnya aku dengan pemandangan di depanku.Seorang wanita yang memeluk suamiku itu, mengurai pelukannya mendengar salam dariku.Tubuhku terasa lemas, t
“Mas apa kita beneran akan pergi?” tanyaku saat Mas Lian sudah selesai makan.“Nggak.”“Jadi kamu bohong ke Mama.”“Saya akan pergi sendiri.”Mataku menyipit mendengar jawaban ambiku darinya.“Pergi sendiri?”“Selama saya di Bali kamu nginep di rumah Bude.”Hatiku mencelos.“Artinya kamu berbohong sama Mama, Mas. Lebih baik tadi kamu bilang aja kalau gak bisa pergi, alasan banyak kerjaan atau gimana gitu.”“Sama aja bohongkan, udah kamu gak usah pusing mikirin itu.”Mas Lian unjuk diri dari tempatnya. Aku menarik napas panjang. Entah sampai kapan aku punya stok kesabaran untuk menghadapi kulkas dingin itu. Kesabaran ada batasnya dan aku tak bisa menjamin akan sabar selamanya.Dari pada memikirkan Mas Lian aku memilih membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor bekas makan malamku dangannya tadi. Tentang esok biarlah semua mengalir apa adanya. Setelah menyelesaikan pekerjaan aku memilih istirahat. Gegas kaki ini melangkah ke kamar.#Paginya seperti biasa, aku menyiapkan sarapan
“Kamu bicara dengan siapa, Mas?” tanya Nadira.Lian yang berdiri di depan jendela menghadap keluar memutar badan.“Bukan siapa-siapa,” balasnya. Nadira menerka-nerka, sudah pasti suaminya itu bicara dengan gadis itu.“Kamu jangan bohong, Mas.”Merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan suami gadis itu kembali bertanya, “pasti wanita itu kan?” tebak Nadira.Bayangan sang suami yang berada di dalam dekapan wanita lain itu muncul, membuat ulu hati terasa perih.“Jangan bilang kamu akan pergi dengannya.”“Bukan urusan kamu.”Lian terlihat santai tak penuli dengan Nadira yang menahan emosi dan siap meledak kapan saja.“Aku mohon, Mas. Kali ini saja kamu dengerin aku.”Lian duduk di ranjang dengan punggung bersandar di kepala ranjang. Tangannya asik memainkan benda pipih yang ada di tangan.Nadira berjalan mendekat, lalu gadis berparas ayu itu duduk di sisi Lian.“Mas, aku paham kalau kamu belum bisa menerima aku. Tapi setidaknya kamu harus menjaga perasaanku, bukan. Jangan pikirkan p