Mitha mengamati ruangan yang dilapisi kaca tebal di sekelilingnya. Warna putih dan abu-abu mendominasi cat dinding. Sofa berwarna hitam diletakkan di bagian kiri ruangan. Bila duduk di sana terlihat air mancur yang terletak di taman kota, satu-satunya ruang publik yang ada di tengah-tengah bangunan gedung bertingkat. Di belakangnya diletakkan sepasang kursi dan meja yang terbuat dari kayu jati. Di sana biasanya Almarhum Hermawan berkutat dengan semua pekerjaannya. Dari sana juga lahir ide-ide cemerlang untuk terus membesarkan perusahaan. Mitha menyentuh pinggiran meja itu. Merasakan sisa-sisa kenangan yang tertinggal. Perlahan matanya mengabut mengingat betapa dekatnya mereka dulu. Hermawan bukan ayah kandungnya, tapi kedekatan mereka melebihi itu. Panas di bola matanya mendesak cairan bening itu keluar. Rindu menerobos ke dalam sanubarinya. Benar sekali ungkapan seseorang akan terasa sangat berarti jika dia tidak lagi berada di sisi. Air mata itu tidak hanya kerinduan untuk Hermawan
bening itu masih saja merembes keluar meski dia menutup kelopak matanya. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Bandung, bibirnya tak berhenti merapal doa untuk keselamatan putranya. Hanya Bima yang dia punya setelah Vano menghilang. Jika dia harus kehilangan putranya, Mitha tidak tahu lagi bagaimana bertahan. Bima penguatnya sekarang. Dia penyemangatnya untuk terus membongkar misteri yang menyelubungi hidupnya. "Mit, kita harus bicara," pinta Max dengan mimik serius. "Berdua ..." imbuhnya.Mitha membuka matanya dan mendapati sorot cemas di mata lelaki itu. Dia mengerti sesuatu sedang terjadi, ada yang salah. Ketakutan seketika memeluk jiwanya. Tanpa sadar pelukannya mengetat."Mommy, aku sesak ..." lirih Bima di dadanya.Mitha terkesiap, tak sadar jika sedang memeluk putranya. "Maaf, ya, Sayang. Mommy ngga sengaja." Mitha merangkum wajah Bima. "kamu sama Eyang Ratih, ya, Mommy mau ngomong sebentar sama Om Max."Mitha menyerahkan Bima pada Buk Ratih yang juga terpukul. Wanita paruh ba
Max mengedarkan pandangan ke seluruh bangunan yang berdiri di atas tanah berukuran 20x20 m2 itu. Bangunan-bangunan permanen bercat putih yang telah memudar itu, terlihat tidak terawat. Lumut melekat hampir di semua dinding. Beberapa ruangan juga terlihat keropos, belum lagi pintu dan kusen jendela digerogoti rayap. Benar-benar tidak terurus sama sekali.Bila dibandingkan saat Max masih tinggal di sana, pasti tidak ada yang mengira jika dulu bangunan yang terlihat angker itu gedung elit dan megah. Di sana berdiri panti asuhan yang menampung puluhan anak-anak terlantar dan tidak diinginkan keluarganya. Max tidak ingat kapan persisnya berada di sana dan kenapa. Satu-satunya kenangan yang tertinggal adalah, dia terbangun di pagi hari dan tidak melihat kedua orang tuanya. Dia menangis berhari-hari, tidak mau menyentuh makanan. Seorang wanita dengan sabar membujuknya hingga kemudian dia melupakan kesedihannya dan mulai berbaur dengan anak-anak yang ada di sana."Marcel! Kaukah itu?" Max me
Mitha menyantap sarapannya dalam diam dan kepala tertunduk. Rasa malu masih menyelubungi hatinya. Andai saja ponselnya tidak kembali berdering, tentu saat ini dia akan menyesali diri sejadi-jadinya. Dia tidak mengerti mengapa begitu mudah kehilangan kendali bila bersama Max. Apa karena perasaan dulu kembali bersemi atau hanya Max satu-satunya orang yang bisa dipercaya saat ini. Bersamanya, Mitha merasa terlindungi dan tidak sendirian. "Aku sudah putuskan tinggal di sini selama misteri ini belum terpecahkan," ujar Max tiba-tiba membuat Mitha tersedak."What! Big no ... tidak boleh," tolak Mitha tegas. Dia tidak segila itu membiarkan laki-laki yang mengusik ketenangan hatinya tinggal di rumahnya. "Satu atap. Dengan Max! Kill me first, " keluh hatinya.Dahi Max berkerut. "Why? Kau lebih aman bersamaku," tanyanya tak mengerti."Justru denganmu aku merasa tidak aman!" seru Mitha tanpa sadar. Detik kemudian dia terkesiap menyadari reaksinya yang berlebihan. "Tidak aman? Maksudmu, aku me
Mitha sampai di rumah menjelang tengah malam. Dahinya berkerut mendapati seluruh ruangan di lantai satu gelap gulita, hanya cahaya dari selasar lantai dua yang menerangi, itu pun tidak terlalu terang. Terlalu lelah, dia memilih abai dengan keadaan tak biasa itu, tapi suara Max menghentikan langkahnya di anak tangga keempat."Dari mana? Seharian aku mencarimu, telponku juga tidak kau angkat," tegurnya dingin. Mitha berbalik, memicingkan mata agar bisa melihat dengan jelas lelaki yang sedang duduk bersedekap di atas sofa di ruang tamu. Merogoh ponsel dari tas, melihat puluhan panggilan tak terjawab, serta pesan dari Max."Sorry, semalam sebelum tidur aku silent ponsel. Lupa mengubah pengaturannya kembali," jawab Mitha enteng, lalu berbalik bermaksud naik ke lantai dua menuju kamar."Kau pergi begitu saja setelah membuatku menunggu semalaman?" dengkus Max, nada suaranya terdengar kesal.Mitha memijit pelipis yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Pikirannya masih berada di bangunan tua di bela
Mitha berdiri bersedekap menghadap jendela yang dipasang kaca bening. Dari sana dia bisa melihat jalanan yang sesak oleh kendaraan. Masih sangat pagi, tapi kemacetan sudah mengular hingga puluhan kilo meter. Macet dan kesemberawutan sudah lumrah dilihat di jalanan Ibukota. Bahkan sudah menjadi khas kota Jakarta. Bosan melihat hal yang sama setiap hari, dia mengangkat kepala, mengamati langit biru yang bersih tanpa awan. Sejenak pikirannya lebih ringan setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Mitha mendengkus kesal. Entah apa yang ada dalam pikiran Max. Lelaki itu benar-benar sudah gila, meminta mereka berciuman untuk membuktikan jika dia tidak punya rasa lagi, adalah hal paling konyol dan gila. Mitha mengabaikan permintaan Max, lantas memilih pergi ke kamar. Tapi, laki-laki itu keras kepala, mendesak hingga Mitha harus memberi tamparan agar otak si lelaki kembali waras.Setelah memberi peringatan keras kepada Max, Mitha mengurung diri di dalam kamar selama dua hari. Dia enggan mela
Haris memarkir mobil di pekarangan yang tidak terlalu luas. Mengumpulkan beberapa kantong belanjaan, lalu keluar setelah memastikan pintu mobil terkunci dengan menekan remote mobil. Dia melangkah masuk ke dalam rumah bergaya minimalis bercat abu-abu.Meletakkan kantong yang dia bawa di atas meja ruang tamu. Mata lelaki itu celingukkan mencari sosok pemilik rumah. Derai tawa terdengar di bagian belakang, memandu langkahnya ke sana. Senyum terbit di wajah Haris saat melihat sosok yang selalu menyita pikirannya dua tahun terakhir. Gadis cantik dengan rambut panjang yang kini sedang dikepang oleh Buk Darsih--asisten rumah tangga-- yang sengaja dia pekerjakan untuk membantu, sekaligus menemani gadis kesayangannya. Ringan kaki lelaki itu melangkah mendekati kedua orang yang sedang duduk di dalam gazebo."Ngomongin apa, sih, sampai ngga sadar ada Mas di sini?" tanya Haris.Gadis itu menoleh, terkejut dengan kehadiran lelaki itu di sampingnya, lalu tersenyum malu. "Maaf, Mas, keasyikan becan
Lepaskan aku! Apa kau sudah gila?!""Ya, aku sudah gila, bahkan gila.adalah nama tengahku" Sosok itu terus meyeret tubuh Evelin di kegelapan malam, meski wanita itu terus meronta, setelah tadi dia harus menyekap wanita besar mulut itu di ruang bawah tanah rumahnya. Bahkan untuk mengelabui orang-orang, dia memerintahkan sopir membawa Hilux putih miliknya ke cucian mobil. Sang sopir sempat heran. Mengapa dia memerintahkan mencuci mobil sedangkan hujan turun begitu deras. Sebuah perintah yang tidak masuk akal dan akan menimbulkan kecurigaan orang lain. Tapi dia tak perduli. Dia harus cepat menciptakan alibi agar Mitha tak mencari Evelin. Akan dia pastikan Mitha akan mati sebelum menyadari semuanya. Begitu sampai di sebuah bangunan tua. Dia berhenti. Bermaksud mengambil kunci dari saku jaketnya, tapi pergerakan Evelin yang tiba-tiba bangun dan menyerangnya membuatnya murka. Keduanya bergumul di atas rumput. Evelin yang kalah tenaga dan postur terjebak di bawah tubuhnya. Tidak ingin meng