Mitha menyantap sarapannya dalam diam dan kepala tertunduk. Rasa malu masih menyelubungi hatinya. Andai saja ponselnya tidak kembali berdering, tentu saat ini dia akan menyesali diri sejadi-jadinya. Dia tidak mengerti mengapa begitu mudah kehilangan kendali bila bersama Max. Apa karena perasaan dulu kembali bersemi atau hanya Max satu-satunya orang yang bisa dipercaya saat ini. Bersamanya, Mitha merasa terlindungi dan tidak sendirian. "Aku sudah putuskan tinggal di sini selama misteri ini belum terpecahkan," ujar Max tiba-tiba membuat Mitha tersedak."What! Big no ... tidak boleh," tolak Mitha tegas. Dia tidak segila itu membiarkan laki-laki yang mengusik ketenangan hatinya tinggal di rumahnya. "Satu atap. Dengan Max! Kill me first, " keluh hatinya.Dahi Max berkerut. "Why? Kau lebih aman bersamaku," tanyanya tak mengerti."Justru denganmu aku merasa tidak aman!" seru Mitha tanpa sadar. Detik kemudian dia terkesiap menyadari reaksinya yang berlebihan. "Tidak aman? Maksudmu, aku me
Mitha sampai di rumah menjelang tengah malam. Dahinya berkerut mendapati seluruh ruangan di lantai satu gelap gulita, hanya cahaya dari selasar lantai dua yang menerangi, itu pun tidak terlalu terang. Terlalu lelah, dia memilih abai dengan keadaan tak biasa itu, tapi suara Max menghentikan langkahnya di anak tangga keempat."Dari mana? Seharian aku mencarimu, telponku juga tidak kau angkat," tegurnya dingin. Mitha berbalik, memicingkan mata agar bisa melihat dengan jelas lelaki yang sedang duduk bersedekap di atas sofa di ruang tamu. Merogoh ponsel dari tas, melihat puluhan panggilan tak terjawab, serta pesan dari Max."Sorry, semalam sebelum tidur aku silent ponsel. Lupa mengubah pengaturannya kembali," jawab Mitha enteng, lalu berbalik bermaksud naik ke lantai dua menuju kamar."Kau pergi begitu saja setelah membuatku menunggu semalaman?" dengkus Max, nada suaranya terdengar kesal.Mitha memijit pelipis yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Pikirannya masih berada di bangunan tua di bela
Mitha berdiri bersedekap menghadap jendela yang dipasang kaca bening. Dari sana dia bisa melihat jalanan yang sesak oleh kendaraan. Masih sangat pagi, tapi kemacetan sudah mengular hingga puluhan kilo meter. Macet dan kesemberawutan sudah lumrah dilihat di jalanan Ibukota. Bahkan sudah menjadi khas kota Jakarta. Bosan melihat hal yang sama setiap hari, dia mengangkat kepala, mengamati langit biru yang bersih tanpa awan. Sejenak pikirannya lebih ringan setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Mitha mendengkus kesal. Entah apa yang ada dalam pikiran Max. Lelaki itu benar-benar sudah gila, meminta mereka berciuman untuk membuktikan jika dia tidak punya rasa lagi, adalah hal paling konyol dan gila. Mitha mengabaikan permintaan Max, lantas memilih pergi ke kamar. Tapi, laki-laki itu keras kepala, mendesak hingga Mitha harus memberi tamparan agar otak si lelaki kembali waras.Setelah memberi peringatan keras kepada Max, Mitha mengurung diri di dalam kamar selama dua hari. Dia enggan mela
Haris memarkir mobil di pekarangan yang tidak terlalu luas. Mengumpulkan beberapa kantong belanjaan, lalu keluar setelah memastikan pintu mobil terkunci dengan menekan remote mobil. Dia melangkah masuk ke dalam rumah bergaya minimalis bercat abu-abu.Meletakkan kantong yang dia bawa di atas meja ruang tamu. Mata lelaki itu celingukkan mencari sosok pemilik rumah. Derai tawa terdengar di bagian belakang, memandu langkahnya ke sana. Senyum terbit di wajah Haris saat melihat sosok yang selalu menyita pikirannya dua tahun terakhir. Gadis cantik dengan rambut panjang yang kini sedang dikepang oleh Buk Darsih--asisten rumah tangga-- yang sengaja dia pekerjakan untuk membantu, sekaligus menemani gadis kesayangannya. Ringan kaki lelaki itu melangkah mendekati kedua orang yang sedang duduk di dalam gazebo."Ngomongin apa, sih, sampai ngga sadar ada Mas di sini?" tanya Haris.Gadis itu menoleh, terkejut dengan kehadiran lelaki itu di sampingnya, lalu tersenyum malu. "Maaf, Mas, keasyikan becan
Lepaskan aku! Apa kau sudah gila?!""Ya, aku sudah gila, bahkan gila.adalah nama tengahku" Sosok itu terus meyeret tubuh Evelin di kegelapan malam, meski wanita itu terus meronta, setelah tadi dia harus menyekap wanita besar mulut itu di ruang bawah tanah rumahnya. Bahkan untuk mengelabui orang-orang, dia memerintahkan sopir membawa Hilux putih miliknya ke cucian mobil. Sang sopir sempat heran. Mengapa dia memerintahkan mencuci mobil sedangkan hujan turun begitu deras. Sebuah perintah yang tidak masuk akal dan akan menimbulkan kecurigaan orang lain. Tapi dia tak perduli. Dia harus cepat menciptakan alibi agar Mitha tak mencari Evelin. Akan dia pastikan Mitha akan mati sebelum menyadari semuanya. Begitu sampai di sebuah bangunan tua. Dia berhenti. Bermaksud mengambil kunci dari saku jaketnya, tapi pergerakan Evelin yang tiba-tiba bangun dan menyerangnya membuatnya murka. Keduanya bergumul di atas rumput. Evelin yang kalah tenaga dan postur terjebak di bawah tubuhnya. Tidak ingin meng
"Maafin aku Mas ..." isak seorang wanita sambil memeluk kaki suaminya erat. Airmatanya tak berhenti mengalir membasahi pipi tirusnya.Dada sang suami turun naik dengan napas memburu. Matanya menyorot tajam pada istrinya. Terlihat kemarahan yang membuat bergidik di sinar matanya,. Seolah dia ingin menguliti perempuan yang dinikahinya setahun yang lalu."Kenapa kamu tidak bilang kalau aku sudah menikah?!" geramnya menusuk tepat ke jantung perempuan itu."Maaf, Mas. Aku jatuh cinta sejak menemukanmu hanyut di sungai. Cintaku sangat besar hingga tak perduli dengan statusmu," isaknya menunduk dalam."Setidaknya ceritakan kebenaran padaku. Aku punya anak dan istriku sedang mengandung!" raungnya garang. Dia menarik kakinya kasar hingga perempuan itu terjerembab di lantai tanah."Mas, mas ... jangan tinggalkan aku. Aku sangat mencintaimu," jerit perempuan itu sambil merangkak mengejar suaminya yang berdiri di ambang pintu kamar. Dia memeluk kaki lelaki itu kembali.Namun, lelaki itu menyepa
Flash back on.Hermawan terus berusaha melakukan panggilan ke nomor putranya--Haris. Dia menjepit ponsel di telinga dengan menaikkan sebelah bahunya sambil terus berusaha fokus mengemudikan mobil. Dia sangat gusar atau lebih tepatnya murka. Dokumen yang datang seminggu yang lalu menyulut kemarahannya. Entah siapa pengirimannya dan apa motif si pengirim tidak penting, tapi mendapati dirinya ditipu mentah-mentah membuat dadanya menggelegak, dan satu-satunya orang yang dia pikir bertanggung jawab adalah Haris karena dia otak kejadian delapan tahun yang lalu. Jika tujuannya hanya mempermalukan dan membuka topengnya, mengapa harus memalsukan hasil tes DNA Mitha dan Max. Dia sama sekali tidak mengerti. Dia terus mencoba lagi, tapi nihil. Putus asa, Hermawan mencoba menghubungi ponsel Elena. Di dering ke empat terdengar suara wanita itu menjawab di seberang sana."Hallo, Pa. Ada apa?""Mana Haris?""Mas Haris belum pulang. Dia bilang mau hang out dengan teman-temannya. "Hang out?! Kemana?"
Flash back onMitha jengah dengan pemandangan di depannya. Kemesraan yang diumbar Elena berlebihan. Dia seolah ingin menunjukkan bahwa Haris begitu mencintainya. Mitha merasa aneh dengan sikap Elena yang cepat sekali berubah. Ada yang salah dengan wanita itu, tapi tidak tahu apa. Tak ingin berlama-lama melihat adegan itu, dia meminta ijin menemui Keysa yang berada di kamarnya. Bukan cemburu yang dirasakannya, tapi sikap canggung Haris meladeni kemanjaan istrinya. Entah karena apa.Mitha menaiki tangga melingkar menuju lantai dua. Dia merasakan seseorang memperhatikannya intens dan ketika berbalik matanya beradu dengan manik gelap milik Haris. Cepat Mitha berpaling, tak ingin niatnya datang mengunjungi Elena gagal. Langkahnya berhenti di depan pintu bercat cokelat tua. Dia melihat ke kiri dan kanan memastikan situasi aman. Perlahan mendorong pintu kayu itu, lalu masuk ke dalam kamar yang didominasi warna putih. Langkahnya tegas menuju meja rias, matanya liar mencari sesuatu yang bisa m
"Princess, I am sorry. Aku ...""Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela."Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima."Mitha menoleh, menatap Max lekat."Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha, ins
Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan.Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay w
Mendung menggayuti langit Ibukota, meski matahari begitu pongah memancarkan sinarnya, tak mampu menembus mega-mega kelabu yang menaungi areal pemakaman keluarga Hermawan yang berada di tanah pribadi. Isak tangis terdengar ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Jeritan Evelin terasa menusuk perih gendang telinga dan memilukan hati yang mendengar. Beberapa orang terlihat sigap menahan tubuh janda dari Hermawan itu. Terus meronta dan menangis membuat tubuhnya perlahan melemah, lalu terduduk tak berdaya.Mitha mematung melihat adegan itu dari balik kacamata hitamnya. Kemarin malam, setelah mendapat kabar jika laki-laki pilar utama klan Hermawan itu meninggal karna kecelakan, dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari tempat Vano dirawat. Malam itu juga jenazah almarhum langsung dibawa ke Jakarta. Mitha tak mengerti mengapa masalah datang beruntun setelah kecelakaan yang menimpa Vano. Apalagi siangnya beliau masih terlihat bugar dan cerah. Tapi, siapa ya
Mesin EKG seperti musik pengantar tidur untuk sosok yang kini terbaring beku di atas brankar rumah sakit. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, wajahnya pun ditutupi masker untuk menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya. Mobil yang dikemudikan Vano menabrak pembatas jalan tol, berguling beberapa kali hingga tercebur ke dalam sungai yang arusnya sangat deras. Dia dinyatakan koma karena luka parah di kepala.Kenyataan itu membuat Mitha didera rasa bersalah. Andai malam itu dia mendengarkan penjelasan Vano dan tidak larut dalam kemarahannya, tentu semua baik-baik saja. Andai dia lebih sabar dan percaya pada hati kecilnya, tentu saat ini suaminya itu masih sehat dan bugar.Dua minggu yang lalu setelah dia meninggalkan laki-laki itu dengan amarah yang masih menguasai dada, Mitha mendengar ponsel Vano berdering, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, dia tak peduli dan tak ingin tahu. Tidak lama terdengar suara mobilnya menjauh. Sesal segera mendekap tubuhnya, sebesar apa pun kemara
Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati. "Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk. Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya. Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki
Dua tahun kemudian .... USA, New York Max merapatkan mantelnya. Menyeberangi 7th Avenue yang padat. Selama dua tahun tinggal di New York, ini pertama kalinya dia ke bagian lain Manhattan. Hidupnya hanya seputar bekerja dan apartemen. Sebagai kota Metropolitan, New York memiliki kepadatan yang luar biasa. Selain menjadi pusat fashion, kota ini juga merupakan pusat perdagangan, keuangan, seni, dan budaya. Penduduknya pun beragam dan datang dari berbagai bangsa dunia. Jika di Indonesia, New York tak ubahnya Jakarta. Hanya saja tak ada istana negara di kota ini karena pusat pemerintahan ada di Washington D.C. Kaki Max membawanya ke arah Bryant Park. Area terbuka publik yang berada di antara 5th dan 6th Avenue. Max disambut oleh air mancur yang meliuk indah. Di tengah-tengah gedung-gedung pencakar langit, area terbuka itu terlihat sangat menyejukkan. Tidak heran banyak orang menghabiskan waktu di sana, meski hanya untuk sekadar mengobrol atau membaca buku. Max mengedarkan pandangan ke
"Bagaimana keadaannya?" Mitha menatap Elena yang duduk di bawah pohon jambu yang ada di taman belakang rumah sakit jiwa di Jakarta.Hampir setiap pekan dia mengunjungi Elena di sana. Sebelum itu dia dan Vano menyempatkan diri mampir ke rumah Priambudi. Ayah kandung Mitha itu memilih tinggal bersama Haris. Dia ingin menebus keselahan karena telah mengabaikan Elena dulu."Sudah lebih baik," jawab Haris mengikuti arah pandangan Mitha.Elena dinyatakan bersalah atas rencana pembunuhan terhadap Vano, teror kepada Mitha, pemalsuan dokumen, dan yang paling memberatkan, dia otak pembunuhan terhadap Hermawan dan Evelin. Tapi polisi tidak bisa menuntutnya karena hasil pemeriksaan psikolog kepolisian, Elena positif mengidap kelainan jiwa. Dengan kata lain, dia melakukan semua kejahatan diluar kendalinya. Hakim memerintahkan wanita itu dirawat di rumah sakit jiwa dengan pengawasan ketat."Mit, aku minta maaf atas nama Elena," ucap Haris pelan. Haris tidak mengira Elena tega membunuh ayah kandun
Max bersedekap menatap kesal ke arah makhluk cantik di depannya. Bagaimana tidak, awalnya Ivanka setuju menghabiskan waktu sepanjang weekend menikmati segarnya udara di perkebun teh miliknya. Max sudah mengerahkan tenaga dan waktu dua bulan penuh hanya untuk membujuk Ivanka.Namun, di tengah perjalanan gadis itu meminta Max mengarahkan mobil ke kantor polisi terlebih dahulu, setelah mendapat laporan dari anak buahnya jika buronan pengedar narkotika jaringan internasional tertangkap di bandara Soekarno-Hatta. Max tidak bisa membantah karena dia berjanji hanya sebentar.Sepertinya Ivanka terlalu gembira berhasil mendapatkan buruannya hingga mengabaikan keberadaannya. Sejak siang hingga sore menjelang, dia asyik di dalam ruang interogasi. Max berusaha bersabar, meski dadanya menggelegak. Kesal dan marah memenuhi rongga dadanya melihat Ivanka keluar dari ruangan yang tertutup kaca hitam dengan wajah cerah. Bukannya menghampirinya, gadis itu malah menyapa dan asyik berbincang dengan rekan
"Maafkan Ayah, Nak. Harusnya saat itu Ayah mendatangi Hermawan, tapi Ayah begitu takut. Mana mungkin polisi percaya pada cerita Ayah, sementara tidak punya apa-apa lagi."Priambudi menatap Mitha dengan sorot penyesalan. Mata tua itu juga berpendar penuh kerinduan. Untuk pertama kalinya dia bisa melihat putri yang dirindukan selama tiga puluh tiga tahun. Selama ini, dia hanya bisa melihat Mitha dari kejauhan. Hanya mampu menahan amarah jika ada yang menyakiti putrinya. Dia tidak mampu melindungi keluarganya. Hal itu yang membuat dirinya frustrasi. Mabuk dan mengabaikan keluarganya yang lain, yang dibentuk di atas kebohongan. Dia merasa gagal sebagai seorang laki-laki dan sebagai suami."Harusnya Ayah menemuiku. Mengungkap jati diri Ayah. Bukan terus bersembunyi," lirih Mitha membuat Priambudi terdiam."Ayah ingin, tapi Elena ...""Dia mengancam Ayah?" tanya Mitha serak.Priambudi mengangguk. "Ayah hanya bisa melihatmu dari jauh. Elena bilang, dia akan membunuhmu jika sampai Ayah terl